Sepasang Hikayat
Semestinya tak ada yang dilenyapkan dengan angkara. Semesta adalah kelengangan yang menumbuhkan ilalang di antara gandum. Para penuai masih terlelap sebab anggur terbaik yang terminum semalam disisihkan tuan rumah hingga akhir pesta. Di sisi Nuh, Lot ikut menengadah. Anggur dalam tempayan terakhir telah habis ditenggak. Setelah air setelah api, mereka sama menanti, apa lagi yang akan dimuntahkan langit ke atas mezbah yang kehilangan puja-puji?
(Naimata, 2011-2014)
Memandangmu
Suaramu yang berderak akhirnya patah ketika
Daun-daun zaitun ditiup angin ke pinggang bukit.
Takdir tidak ditancapkan pada tembok seperti
Bingkai sebuah lukisan yang tua dan berdebu.
Kirmizi yang belum menjadi salju terus tumpah
Dan menujukan belati ke perut maut yang lembut.
Aku mengusap punggungmu yang penuh noda
Dan membiarkan terik mengepung kita. Derit roda
Penggiling tua terdengar di kejauhan. Para pekerja
Yang purna mulai berjalan menyusuri pelahan
Setapak sambil membayangkan kantong dinar dan
Sekerat roti bagi perjamuan malam yang seadanya.
“Sebentar lagi,” aku menirukan sabda seorang sahabat
Di atas sebuah perahu yang bergolak, “badai akan
Kuredakan. Berhentilah merengek seperti anak kecil!”
Danau bergelombang melukiskan wajah rahasiamu
Sebelum menjadi begitu bening. Tiga belas ekor ikan
Melintas tenang. Matahari yang muncul dari bawah
Danau mengecup lambungmu ketika gemetarku
Yang malu tak lagi cukup mengarahkan perahu
Ke pantai yang mulai dikepung para serdadu.
(Penfui, 2014)
Kesaksian Seorang Murid
Jubahnya merah terkebas kemarau sebelum terkulai dalam tangan seorang perempuan. Enggan ia menengadah ketika berjalan sebab hidup yang menancapkan diri tak pernah bisa dipanggul. Tingkap yang terbuka menurunkan orang lumpuh di atas sepasang kakinya yang fasih menapak dan hampir tak lagi ia gunakan. Tilam yang tergelar telah sempurna menjadi alas bagi pinggan dan pialanya. Ia memang masih menapak dalam bentuk ketika si lumpuh mulai berjalan dan para tahir sekejap melupakannya. Langit di atas menjadi atap yang terpuji ketika menyembulkan tiang-tiang awan. Laut di bawah menjadi kesedihan yang lengkap ketika menyembunyikan duka nestapa Yunus. Mulailah ia mengambang di tengah-tengah dengan kaki yang terkepung dua belas bintang dan mahkota matahari yang lembut dan keemasan. Para nelayan yang sebentar lagi menebar jala sekejap tersadar bahwa ia tak benar-benar menapak ketika melaju di atas air sambil menjaga agar batu karang yang turut tidak tenggelam.
Ia menumbuhkan rumput bagi sisi kambing yang gersang, mengusap tanduk di kepala kemarau yang lembut dan mengisi penuh anggur ke dalam tempayan tuan pesta yang kosong. Ia menyisihkan air dari tempayan pembasuhan untuk menenggelamkan kota ketika para pembangkang mencoba mengacungkan pedang. Buluh yang terkulai memang tidak akan dipatahkan sebab ia menciptakan tanpa menyentuh dan melenyapkan hanya dengan memejam. Rohnya ia tinggalkan dalam tubuh pelacur terakhir yang disentuhnya sebelum ia memilih meninggikan diri untuk menegaskan bahwa kenisah tiga puluh tiga tahun yang rubuh memang dapat dibangun kembali oleh tukang bangunan yang cermat dan batu penjuru yang tepat hanya dalam tiga hari.
(Naimata, 2013)
Luna, 1
Suaramu yang pasrah terdengar seperti doa orang-orang asing yang letih di tanah terjanji setelah menaklukkan daerah yang mereka lalui dengan menegakkan pedang. Tuhan adalah dongeng yang diciptakan untuk menyertai mereka. Kau dan aku adalah sepasang tokoh yang terjebak di dalam dongeng itu. Bumi dan langit diciptakan secara terpisah, tapi sebagai bagian dari dongeng, mereka selalu ditempatkan berpasangan. Sebagai sepasang tokoh, kita tahu, surga, para malaikat dan para kudus adalah juga bagian dari dongeng yang disembunyikan di dalam sarung pedang. Sedangkan kebahagiaan adalah keadaan lain yang tak tersentuh tutur para pendongeng. Ia berjalan di luar Tuhan, langit dan bumi, surga, para malaikat, para kudus, dan sepasang kita yang tak benar-benar ada.
(Naimata, 2014)
Kamis Putih
Diperjamuan paling kudus
Kuciumkakimu.
Kudengardenting menggelindingi
Dindingtelingaku.
Entahini milik senyummu
Ataukahberasal dari hikayat
Anggurayahku yang memabukkan.
(Naimata,2012)
Ruang Tunggu,3
Ular yang telah melata
Hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Kain pun telah diberi tanda
Saat Eva menatap Adam
Sambil tersedu, “Itulah tulang dari tulangmu!”
(El Tari, sebuah dinihari 2013)
Sajak Terakhir
Surga adalah gelembung sabun
Yang penuh udara
Karena dijejali keluh-kesah orang-orang
Pasrah yang malas berusaha.
Di sebuah taman, engkau pernah
Mewariskan hujah yang kini tak lagi cukup
Untuk menumbuhkan sebutir padi
Di dalam petakmu.
“Mencintai sesederhana menerima,” katamu.
Aku ingin percaya,
Tapi tubuh yang patah di atas salib itu
Menusukkan cahaya matanya ke celah-celah rusukku.
Aku memberi segala
Yang ada pada diriku
Hingga pemberianku tak lagi
Cukup di hadapanmu.
Pohon yang tumbuh dari sebutir kecil
Iman tak bisa dihinggapi burung
Yang malas terbang dan memasrahkan tubuhnya
Pada aliran udara.
Percayalah, Sayang, surga hanya akan menjelma
Puing-puing bagi doamu yang penuh beban.
Labirin yang berliku tidak akan meloloskanmu
Dengan sendirinya, dan jika engkau memilih
Berhenti bergerak, sulur-sulurnya akan menyeretmu
Ke dalam kegelapan.
Engkau tentu percaya, makanan yang dideretkan
Di atas meja jamuan diubah dari batu-batu
Yang berserakan di padang gurun, meski begitu banyak
Pundi-pundi telah diselipkan ke balik
Jubah-tenunan-tanpa-jahitan milik para imammu.
(Naimata, 2014)
Mario F. Lawi dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 18 Februari 1991. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana ini bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flambora. https://puisikompas.wordpress.com/2014/04/23/puisi-mario-f-lawi-5/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar