Senin, 02 November 2020

MEMBACA DALIL KEMANUSIAAN KIAI SUTARA

A. Syauqi Sumbawi *
 
Rehat membaca ulang buku “Dalil Kiai Sutara” karya Taufiq Wr. Hidayat, tiba-tiba saya teringat pada tajug. Bangunan atap berbentuk piramidal, seperti yang ada pada Menara Kudus dan Masjid Agung Demak. Seperti diketahui, bentuk tajug umum menjadi bagian atap dari kontruksi masjid-masjid di pulau ini, selain kubah pada perkembangan berikutnya. Tentu, fungsinya bukan sekadar atap yang melindungi terik dan hujan. Lebih dari itu, tajug adalah simbol kemanusiaan, yang menggambarkan pluralitas—empat sisi bidang dari empat arah— dan transendensi—satu titik pusat di atas—.
 
Kemudian dalam diam, saya pun curiga. Jangan-jangan, “Pancasila” juga terinspirasi dari bentuk tajug, dimana satu nilai Ketuhanan (Yang Maha Esa) dan empat nilai kemanusiaan—universal dan partikular dalam konteks ke-Indonesia-an—, tergambar di sana. Bukankah “Pancasila” dikatakan sebagai hasil dari kristalisasi dari kehidupan masyarakat yang telah berlangsung sejak zaman dulu di wilayah kepulauan ini?! Pada keberadaannya sebagai nilai-nilai, Pancasila berproses dalam “bhinneka tunggal ika” kehidupan masyarakat yang kental dengan religiusitas. Dan tampaknya, kebudayaan masyarakat pun berkembang pada kerangka spiritualitas.
 
Entahlah. Akan tetapi pada desain tersebut, tajug seperti menegaskan bahwa hanya dengan kesadaran tentang kemanusiaan dan menjadi manusia, seseorang akan sampai pada Tuhan.
 
Yah, kemanusiaan sebagai pendakian menuju Tuhan inilah yang menjadi pesan utama dalam buku “Dalil Kiai Sutara”. Melalui tokoh Kiai Sutara, dalil-dalil kemanusiaan—tafsir humanis—, dihadirkan untuk menjawab pelbagai permasalahan, keanehan, dan juga penderitaan manusia, sebagaimana dikemukakan tokoh aku—si santri dengkul— ketika sowan kepadanya.
 
Lantas, siapakah Kiai Sutara?! Kabarnya, dia tinggal di Banyuwangi. Sebuah kabupaten di ujung timur pulau Jawa, yang juga menjadi wilayah domilisi penulis. Di sebuah desa yang entah, di rumah yang sederhana. Hidup dalam kesederhanaan, yang konon, dapat menyepuh jiwa. Kesederhanaan yang tidak simpel. Bahkan, kepelikan yang rumit dan muskil. Namun menyiratkan kearifan. Kesederhanaan yang mengingatkan saya pada ungkapan “gitu saja kok repot” dari mendiang Gus Dur, yang menggambarkan kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kebergantungannya kepada Tuhan.
 
Kiai Sutara bukanlah kiai pada umumnya. Bukan penceramah pengajian umum yang biasanya digelar pada peringatan hari-hari besar. Dia juga tak seperti kiai pengasuh pesantren. Tak ada bangunan pesantren di sekitar rumahnya, kecuali mushala tempat anak-anak membaca al-Qur’an dan mengaji kitab-kitab elementer, seperti “sullam safinah”. Juga shalat berjamaah dengan tetangga. Meskipun tak pernah terlihat memegang tongkat khatib dan menjadi imam shalat jum’at, tidak ada yang meragukan kedalaman ilmu, luas wawasan, dan kearifan pandangannya.
 
Konon, Kiai Sutara hafal al-Qur’an. Hafal kitab Ihya ulumuddin, karangan al-Ghazali yang kental dengan perpaduan antara fiqh dan tasawuf, syariat dan hakikat. Dan yang membuatnya tampak berbeda dengan kyai lainnya, selain menguasai kitab-kitab kuning, Kiai Sutara adalah penggemar musik klasik, semisal karya Beethoven. Penggemar musik dangdut, keroncong, dan wayang kulit. Ringkasnya, dia adalah seorang penikmat seni serta pembaca sastra, filsafat, dan sejarah. Sebuah kegemaran yang lagi-lagi mengingatkan saya pada sosok Gus Dur.
 
Entah, apa pentingnya?! Mungkin tidak penting bagi kebanyakan orang. Namun, semua itu tampaknya sangat penting bagi seseorang seperti Kiai Sutara. Terutama untuk menyapa kemanusiaan pada diri orang lain yang dijumpainya, baik di warung kopi, di pasar, maupun yang datang ke rumahnya.
 
Hal yang menarik dan tak bisa diabaikan dari esai-esai dalam buku ini adalah hubungan dan dialog antara Kiai Sutara dengan santri “dengkul” atau tokoh aku. Di sini, Taufiq Wr. Hidayat menghadirkan narasi-narasi agama dan kemanusiaan dalam bingkai cerita dan dialog yang tak lazim. Di luar kebiasaan, namun terasa akrab. Gaya bicara Kiai Sutara yang ceplas-ceplos serta ungkapan sarkastik, misalnya “santri guoblok!”, “raimu celeng!”, “endasmu atos!”, “dengkulmu ambleg!” dan sebagainya menjadi sesuatu yang khas dialamatkan pada tokoh aku. Begitu pula kebiasaan tidur dan mendengkur usai men-jlentreh-kan persoalan.
 
Perilaku Kiai Sutara yang tidak lazim, selain potensial, agaknya diarahkan untuk membangunkan daya kritis dan daya kemanusiaan melalui narasi-narasi yang dihadirkan. Juga sebagai satire bagi kalangan tokoh agama yang sok suci. Merasa paling benar bersama vonis takfiri kepada pihak lain yang berbeda. Sebuah fenomena keberagamaan tersendiri dewasa ini, sebagaimana digambarkan dalam ungkapan “akeh kang apal Qur’an hadise, seneng ngafirke marang liyane”— banyak yang hafal dalil Qur’an dan hadits, tapi suka mengkafirkan orang lain—. Demikian suara Gus Dur menjelang waktu adzan, kerap saya dengarkan dari speaker masjid dan mushala, melantunkan bagian Syi’ir Tanpo Waton.
 
Tidak dipungkiri, “merasa sok suci” adalah godaan terbesar dari kalangan tokoh agama. Godaan yang menjauhkan keberadaannya sebagai manusia. Yah, hanya manusia. Itulah gambaran yang agaknya ingin ditampilkan Taufiq Wr. Hidayat dari keberadaan Kiai Sutara dengan segala kualitasnya. Manusia yang merdeka dari segala belenggu nilai yang diberikan orang lain.
 
Sementara tokoh aku, si santri dengkul, hanya cengengesan bersama ungkapan “ampun, kiai!” di sana-sini. Tidak pernah mutung atas umpatan dan “perilaku kasar” gurunya. Tetap sowan dan menanyakan segala permasalahan tentang manusia. Barangkali, si tokoh aku menganggap semua itu adalah cara Kiai Sutara mendoakannya. Konon, ketika seorang kiai sedang memarahi santrinya, maka di situlah doa-doa dipanjatkan.
 
Melalui tokoh aku, Taufiq Wr. Hidayat tampaknya ingin memperlihatkan karakter yang perlu dimiliki seorang santri, yang manusia itu. Selain sikap tawadlu’, kondisi psikologis tidak gampang mutung, dan karakter yang tahan banting, mengakui kebodohan diri akan mendorong seseorang untuk terus mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan pada dirinya, baik intelektual, moral, maupun spiritual. Hal ini penting, terutama untuk ngaji dan ngopi, sebagaimana adagium santri yang popular, “sik gak ngaji yo ngopi”.
 
Bukan sekadar mencari ilmu, ngaji lebih mengarah pada upaya membuahkan ilmu melalui perilaku lahir dan batin dalam hidup sehari-hari. Sementara ngopi, menunjuk pada laku kultural untuk menjalin silaturrahmi serta proses solutif terhadap berbagai permasalahan, terutama dalam ngopeni—merawat dan membina—masyarakat, yang tak lain adalah kumpulan manusia. Karena itu, untuk bisa memanusiakan orang lain, seseorang harus tetap menjadi manusia.
 
Lantas, bagaimana menjadi manusia itu, Kiai?!
 
“Pertama, gak perlu sok suci ingin menjadi orang baik. Jadilah orang yang bisa menghargai dirimu sendiri, orang dekatmu, gurumu, dan sesama manusia. Kedua, gak perlu sok suci untuk tampak baik. Tapi jadilah manusia yang mengerti tanggungjawabnya sebagai manusia, yang konsisten pada pilihan hidupnya, yang memegang teguh komitmen kemanusiaannya sekecil apapun.
---(Dalil Kiai Sutara, hlm. 23) ---
 
Yah, manusia dan kemanusiaan, itulah yang menjadi muatan dari kumpulan esai dalam buku ini. Dari kesemuanya, dalil-dalil kemanusiaan dari ajaran agama dikemukakan oleh Taufiq Wr. Hidayat melalui tokoh Kiai Sutara sebagai jawaban— sekaligus wacana—atas berbagai persoalan keberagamaan masyarakat. Secara umum, hal tersebut ditengarai muncul dari kesenjangan antara idealitas ajaran agama dan realitas umat beragama. Juga permasalahan interpretasi yang acapkali melahirkan klaim kebenaran sendiri dan kesesatan di pihak lain.
 
Tapi, bukankah di muka bumi, kebenaran tidak lain adalah kemanusiaan itu sendiri?! Bukankah agama diperuntukkan bagi manusia dan visi ajarannya adalah kemanusiaan?! Hal ini diungkapkan al-Qur’an seperti pada ayat, alladzina yu’minuna bil ghaibi, wa yuqimunas shalata, wa mimma razaqnaahum yunfiqun. Atau ayat, alladzina amanu wa amilu shalihati, wa tawashau bil haqqi wa tawashau bis shabr. Dan banyak lagi.
 
Terkait hal tersebut, maka sungguh ajaran agama tidak statis. Tetapi menghendaki hidup dalam perilaku—lahir dan batin—seseorang yang mengaku beragama. Bukan sekadar slogan dan simbol, melainkan lebih merupakan proses diri dan keterlibatan atas historisitas kemanusiaan, sekecil apapun, bersama kesadaran dalam ruang transendensi.
 
Barangkali, inilah yang mengingatkan saya pada bangunan tajug, yang menjadi bagian puncak atap masjid di desa tempat tinggal. Keberadaannya seperti menegaskan bahwa kemanusiaan adalah proses dan jalan menuju Tuhan. Kemanusiaan yang mengingatkan saya pada beranda masjid, seperti mengisyaratkan bahwa kesalihan ritual belum sempurna tanpa kesalihan sosial. Beranda, yang tak lain adalah bagian masjid yang terbuka dan tak terhalang dinding, mengajarkan agar memperhatikan kondisi sekitar. Memiliki kepedulian dan empati atas kondisi masyarakat. Memang, ibadah ritual dan ketakwaan umumnya dikaitkan pada hubungan antara hamba dengan Tuhan. Namun, hal tersebut harus pula memancar pada hubungan di antara sesama manusia. Juga kepada makhluk-Nya yang lain.
 
Lepas dari semuanya, tulisan ini sekadar catatan pembacaan. Juga menjadi “salam-salim” saya kepada Taufiq Wr. Hidayat. Tentu, sangat jauh berbeda dengan esai-esai seri Kiai Sutara yang terkumpul dalam buku “Dalil Kiai Sutara” dan beberapa buku, seperti “Serat Kiai Sutara”, “Agama Para Bajingan”, dan “Kitab Iblis”, yang telah hadir sebelumnya.
***
 
Judul : Dalil Kiai Sutara
—sehimpun fiksi dan esai—
Penulis : Taufiq Wr. Hidayat --- Fiq ---
Penerbit : Pusat Studi Budaya Banyuwangi
Cetakan : Pertama, Juli 2020
ISBN : 978-602-53521-33
Ukuran : 14x21 cm, iii + 309 Halaman.
 
___________
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).

Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan. Blog pribadinya https://syauqisumbawi.blogspot.com/


Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito