Sabtu, 21 November 2020

PERSENTUHAN DENGAN TUHAN LEWAT SEMESTA

Maman S. Mahayana *
 
Dalam sejarah peradaban umat manusia, hubungan manusia dengan Tuhan selalu diwujudkan lewat berbagai cara; melalui berbagai saluran. Lihatlah masyarakat Yunani kuno yang melakukan pemujaan kepada para dewa melalui pementasan-pementasan drama; perhatikan pula gita puja (hymn; hymne) mereka yang mengagungkan para dewa lewat nyanyian-nyanyian pemujaan; simak pula seruan rohani (invocation) para pujangga yang mengawali karyanya dengan puja-puji dan penghormatan pada kesucian ilahi. Inilah gambaran, betapa hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan sesuatu yang Agung menjadi bagian penting dalam refleksi kreatifnya.
 
Dalam perjalanannya kemudian, pengagungan kepada kesucian ilahi, pemujaan kepada para dewa atau kepada apapun yang transenden, kerap kali diwujudkan melalui karya sastra (puisi). Ia dianggap paling mewakili refleksi transendensi. Maka, tidak perlu heran jika dari zaman ke zaman, sastra (puisi) acapkali merefleksikan situasi ritual macam itu. Bhagavad Gita (The Song of God) adalah contoh klasik pujian dan pengagungan kepada Tuhan diwujudkan dalam bentuk puisi.
 
Para penyair dunia, juga tidak ketinggalan menyampaikan refleksi religiusitasnya lewat cara-cara demikian. John Donne dan John Milton, dua penyair Inggris terkemuka, ditempatkan sebagai penyair metafisika lantaran karya-karyanya menyampaikan pesan-pesan ilahiah. Tentu kita masih dapat menderetkan penyair-penyair lain berikut karya-karyanya yang menggambarkan hal seperti itu.
 
Dalam dunia Islam, tradisi pengagungan ilahi lewat karya sastra (puisi) juga bukan hal yang baru. Ibn Arabi, Sadi Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Mohammad Iqbal, atau Fariduddin Attar –sekadar menyebut beberapa nama penting– niscaya bukan nama asing lagi dalam pembicaraan sastrawan Muslim (sastra sufi). Di Indonesia, Hamzah Fansuri –salah satu karya pentingnya, Syair Perahu– merupakan nama yang tak dapat dilewatkan dalam konteks pembicaraan ini.
 
Dalam sastra Indonesia modern, Amir Hamzah, juga merupakan tonggak penting yang karyanya dianggap bernafaskan sufistik. Belakangan, karya-karya seperti itu pernah begitu banyak bertebaran pertengahan tahun 1970-an. Apabila kini ada karya yang coba mengangkat persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, ia sama sekali bukan hal baru. Tema itu sudah merupakan tema universal. Persoalannya tinggal bagaimana cara penyair menyampaikan kegelisahan, kerinduan atau kecintaannya kepada Sang Khalik.
***
 
Syair-Syair Taman A’raaf karya Aspur Azhar (1999), secara tematis juga mencerminkan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan. Jika ia mengulang persoalan yang sama yang sudah menyejarah itu, masih perlukah karya ini diperbincangkan? Adakah sesuatu yang baru yang dikedepankan penyairnya, sehingga ia berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang bertema sejenis?
 
Karya apapun, tentu perlu diperbincangkan, sejauh ia membuka kemungkinan memberi kontribusi bagi pembacanya. Lebih jauh lagi, sejauh ia punya peluang untuk menjadi karya penting.
 
Syair-Syair Taman A’raaf, meski diakui, memang beda dengan sejumlah karya penyair seangkatannya. Ia juga secara bersahaja menggunakan judulnya dengan “syair” salah satu bentuk puisi lama yang justru kini sudah banyak ditinggalkan paa penyair modern. Bahkan, tidak sedikit pula di antara penyair kita dewasa ini, sama sekali tidak mengenal atau tidak mau mengenal syair. Dalam konteks ini, judul yang dipakai Aspur jelas hendak memberi tempat yang pantas bagi syair.
 
Mencermati isinya yang memuat 43 puisi, buku ini lebih dekat kepada bentuk puisi naratif. Bahwa kemudian Aspur menyebutnya syair, niscaya ia bukan hendak menafikan istilah puisi naratif, melainkan memberi penghormatan yang proporsional atas tradisi perpuisian kita. Satu sikap arif yang justru mendatangkan rasa hormat.
 
Jika dikatakan ia berbeda dengan penyair seangkatannya, justru dalam hal itulah, ia tampak menonjol.
 
Pertama, pilihan Aspur untuk mengangkat tema hubungan manusia dengan Tuhan memperlihatkan bahwa ia sama sekali tidak tergoda pada persoalan yang sedang melanda negeri ini. Tidak ada kritik sosial, masalah politik, atau refleksi evaluatif atas peristiwa-peristiwa kemanusiaan dewasa ini.
 
Kedua, pilihan Aspur pada tema itu, juga berbeda dengan tema sejenis yang pernah diangkat penyair seangkatannya. Periksa saja karya Tomon Haryowirosobo, Tuhan telah Hilang (1997) yang menggambarkan pencarian sosok manusia yang gelisah; dan kegelisahannya itu diwujudkan dalam bentuk kerinduannya untuk jumpa dengan Sang Khalik. Aspur justru bukan seorang pencari yang gelisah; ia juga tidak merindukan sebuah perjumpaan aku–Engkau yang paling banyak diejawantahkan karya-karya yang bernafas sufistik.
 
Ketiga, justru lantaran Aspur bukan sosok seorang pencari, pengagungannya kepada Sang Khalik, bukan lewat bahasa klise puja-puji, melainkan lewat fenomena alam.
 
Keempat, meski Aspur bukan seorang pencari, tidak berarti pula ia serta-merta menjadi seorang penemu. Akibatnya, nafas panteistik yang banyak dimunculkan para Penemu macam Al-Hallaj, Hamzah Fansuri, Sitti Jenar atau Amir Hamzah, sama sekali tidak tampak menonjol pada karya-karya Aspur.
 
Kelima, meskipun ada perbedaan-perbedaan sebagaimana yang dipaparkan di atas, ada pola yang tampaknya tidak dapat dihindarkan Aspur, yaitu keterikatannya pada tradisi dan pengaruh-pengaruh yang melatarbelakanginya. Tradisi syair sebagaimana yang tersurat dinyatakan dalam judul bukunya, tampak secara sadar dijadikan sebagai alat, meski kaidah syair sama sekali tidak digunakannya. Pengaruh-pengaruh para pujangga Islam, juga menjadi bagian penting dalam dirinya. Akibatnya, kita akan menemukan gaya Iqbal, Attar, atau Fansuri –untuk menyebut tiga nama yang tampak sangat kuat mempengaruhi diri Aspur– dalam Syair-Syair Taman A’raaf ini.
 
Mari kita periksa!
***
 
Dari ke-43 puisi dalam Syair-Syair Taman A’raaf ini, satu ciri yang menonjol adalah pengagungan ilahi atas fenomena alam. Jelasnya, semesta menjadi alat bagi Aspur untuk menyapa dan bersilaturahmi dengan Tuhan. Cara inilah yang hampir tidak pernah kita jumpai dalam karya penyair-panyair seangkatannya. Dalam hal ini, seperti telah disebutkan, Aspur bukan pencari yang gelisah. Ia telah menemukan Tuhannya dalam semesta. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat membatasi dirinya dalam ruang yang terbatas. Ia mengge-landang dalam semesta dari satu jazirah ke jazirah yang lain.
 
Puisi pertamanya berjudul “Di Puncak Menara Karang” penggelandangannya itu diisyaratkan lewat gambaran kemahakuasaan Tuhan: “Melalui kreasi kun fayakun/yang berangsur-angsur/Hidup bergerak menjalar/dari Rahim ke Rahim// Dari sana ia melihat hubungan subjek (aku liris) dengan objek (Tuhan) menjadi hubungan abdi-Tuan; hamba yang dhaif dan Al-Khalik yang mahakuasa. Demikian juga, ketika “Aku merasa seperti insan-insan terlempar/dari ketiadaan tak terpahamkan/ ia tetap menggelandang, bukan sebagai pencari, melainkan sebagai penemu yang belum pernah jumpa.
 
Posisinya yang menempati sosok penemu yang belum pernah jumpa inilah yang menjadikan aku liris terus menggelandang. Dalam konteks ini, Ana al-Haq, Al-Hallaj atau Hamba dan Tuhan tiada berbeda, Hamzah Fansuri, menjadi tidak relevan bagi Aspur. Jika Al-Hallaj atau Hamzah Fansuri menemukan Tuhannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Aspur menemukan Tuhannya dalam kebesaran kesemestaan. Dengan cara ini penggelandangan imajinatif Aspur menjadi lebih leluasa bergentayangan ke sana ke mari; ke Timur–Barat atau ke alam di dunia entah berantah.
 
Ciri lain yang juga menonjol pada antologi Syair-Syair Taman A’raaf adalah pe-nerjemahan makna iqra (pengetahuan) secara luas. Pemanfaatan majas allegori (kiasan) atau personifikasi terasa cukup kaya. Meski kiasan semacam itu –dalam konteks pembicaraan hubungan manusia dengan Tuhan– banyak disampaikan Hamzah Fansuri (“Syair Perahu” yang mengkiaskan manusia dan Tuhan), Aspur justru memanfaatkannya untuk menerjemah-kan pentingnya ilmu pengetahuan (:ilmu Tuhan). Pernyataan simbolisasi pengetahuan sebagai lembing, merupakan salah sau contoh yang banyak diangkat dalam antologi ini. Dengan demikian, meski ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu, secara kreatif banyak simbol dan kiasan yang diangkat Aspur, terasa segar.
 
Posisi Aspur yang bukan pencari yang gelisah, dan bukan juga penemu penyatuan aku-Engkau –manunggaling kawula Gusti–, melainkan penemu lewat fenomena semesta memberi peluang yang begitu luas untuk menggelandangkan imajinasinya secara liar, namun dengan tetap menjaga jarak hubungan aku–Engkau. Fenomena semesta menjadi sekadar alat untuk menjumpai pemikiran lain, pengetahuan lain, dan tokoh-tokoh manapun tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Muhammad Iqbal dalam Javid Namah atau Fariduddin Attar dalam Musyawarah Burung, agaknya sangat mepengaruhi penjelajahan imajinasi Aspur. Maka dialog dengan Abduh, Iqbal, Attar, Gibran, atau dengan apapun, menjadi sarana yang memungkinkan penjelajahan imajinasi itu mempunyai cantelan. Lewat cara demikian, berba-gai hal dipersoalankan, diperdebatkan, dan dikontemplasikan sebagai bagian dari penemuan Tuhan lewat semesta.
 
Sesungguhnya banyak hal yang tidak dapat disederhanakan lewat apresiasi seperti ini. Pemahaman atas antologi Syair-Syair Taman A’raaf memerlukan banyak referensi: Quran, filsafat Islam dan para penyair sufi. Yang menjadikan antologi ini kaya, justru lantaran acuan-acuan itu bukan sekadar tempelan; bukan sekadar pernyataan verbal, melainkan sebagai bagian integral dari penjelajahan imajinasi penyairnya. Mengingat dewasa ini hampir tidak ada penyair seangkatannya yang mengangkat tema macam itu, maka hadirnya antologi Syair-Syair Taman A’raaf tidak hanya penting dalam pemerkayaan khazanah peta perpuisian Indonesia, tetapi juga –menurut hemat saya– menjulang sendiri di antara karya-karya penyair seangkatannya.
 
Di tengah hingar-bingar tema sosial-politik, pilihan Aspur pada tema hubungan manusia–semesta–Tuhan, jelas merupakan langkah yang serius. Dan ia telah melangkahkan kakinya dengan meyakinkan. Sungguh, Aspur tampil dengan memberi banyak pengharapan Jika saja ia terus menekuni pilihannya ini, kita tinggal menunggu sebuah monumen lahir dari tangannya.
***
 
(msm/12/10/1999)

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).  http://sastra-indonesia.com/2010/08/persentuhan-dengan-tuhan-lewat-semesta/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito