Kamis, 05 Agustus 2021

Novel Orang-Orang Bertopeng (5)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
 
Teguh Winarsho AS
 
SIANG terik. Angin menerobos semak belukar. Meliuk di antara daun dan ranting. Hati-hati Fatma melangkah di jalan tanah setapak. Fatma memilih jalan ini agar bisa cepat sampai kampung Pegasing. Tapi jalan ini penuh resiko, jika tidak hati-hati Fatma bisa tergelincir masuk ke dalam jurang. Tubuhnya meluncur ke dalam jurang di sisi kiri jalan, melayang menghantam batu atau tersangkut pepohonan, nun di kedalaman jurang.
 
Tapi Fatma seperti sudah hafal lekuk liku terjal jalan. Kakinya melangkah ringan. Sejak remaja Fatma memang sudah sering melakukan perjalanan melintas kawasan itu. Bahkan kadang sehari bisa dua atau tiga kali. Tapi lima tahun sejak lulus SMU, Fatma jarang melakukannya lagi. Fatma lebih suka lewat jalan kampung yang meski jauh namun aman. Fatma tak mau ambil resiko. Tapi kali ini lain. Kabar yang disampaikan Izah pagi tadi, membuat Fatma tidak sabar ingin segera sampai Pegasing. Semula Abah bermaksud menemani Fatma, tapi Fatma menolak.
 
Belum terlihat perkampungan penduduk. Hanya pohon-pohon besar dan jurang menganga di kiri jalan. Fatma tahu perjalanan kurang lebih masih satu setengah kilo lagi mendaki bukit. Tapi sejauh ini Fatma tidak merasa lelah. Fatma hanya sedikit mengeluh, udara siang kelewat panas. Fatma terus melangkah hati-hati. Keringat berleleran di wajahnya. Dan, entah, tiba-tiba Fatma merasa sangat takut. Fatma ingat cerita Cut Sari, sepupunya, tiga hari lalu saat datang ke rumah. Kabarnya dua tahun belakangan ini jalan setapak itu sering dilewati gerombolan orang bertopeng untuk latihan perang-perangan. Menurut Cut Sari, gerombolan orang bertopeng itu tidak segan-segan membunuh atau memperkosa penduduk yang ditemui di jalan.
 
Fatma bergidik ngeri. Menajamkan penglihatan dan pendengaran. Fatma tidak mau lengah lalu disergap gerombolan orang bertopeng. Fatma tidak mau diculik, diperkosa, disiksa atau dibunuh. Tapi, bagaimana jika gerombolan orang bertopeng sudah menguntit dirinya selama perjalanan tadi? Ah, hutan ini begitu sepi. Apa pun bisa terjadi. Batin Fatma melangkah lebih hati-hati. Dalam hati Fatma terus berdoa agar selamat selama dalam perjalanan.
 
Ya, Allah, aku mohon kepada-Mu.
Engkau maha tahu segala niat jahat.
Engkau maha tahu segala dendam kesumat.
Bentengilah aku dengan kekuatan-Mu.
Seperti selalu Kau lakukan pada Muhammad.
Amin.
 
Tiba-tiba Fatma mendengar suara langkah kaki di belakang. Langkah kaki beberapa orang. Fatma kian takut melangkah lebih cepat. Tapi suara langkah kaki di belakang terdengar semakin keras seperti mengejar. Membuat nyali Fatma ciut. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Fatma ingin menoleh, melihat siapa sebenarnya yang sedang berjalan di belakang. Tapi Fatma tak memiliki keberanian untuk itu. Ah, benarkah mereka gerombolan orang bertopeng yang terkenal sadis itu? Atau, hanya penduduk kampung yang baru pulang dari ladang?
 
TIGA
 
PEREMPUAN tua itu, Hamidah, terbaring di atas ranjang. Wajahnya pucat berlinang airmata. Disekelilingnya beberapa perempuan berusaha menenangkan. Seseorang dengan tangan gesit terus memijit-mijit kaki Hamidah, sementara yang lain sibuk menggosok-gosokkan minyak angin atau sekadar mondar-mandir saja. Tapi usaha-usaha semacam itu ternyata tak membuahkan hasil. Butiran bening terus mengalir dari sudut mata Hamidah mengikuti lekuk keriput wajahnya. Sesekali nafasnya terlihat sengal, sesak.
 
Kampung Pegasing, di mana Hamidah tinggal belakangan ini memang terlihat rusuh. Hampir setiap malam selalu terdengar letusan senjata. Sesekali disertai lengking jerit dari dalam hutan. Rumah digedor, didobrak mulai menjadi hal biasa bagi warga. Karenanya begitu sore tiba warga memilih tinggal di rumah mengunci pintu dan jendela. Membuat malam yang sunyi kian terasa mencekam. Tapi, tidak semua warga tahu apa yang membuat keadaan kampung berubah menjadi begitu buruk, mengingatkan mereka pada peristiwa beberapa tahun silam ketika Keucik Ibrahim diseret sepanjang jalan kampung lalu digantung di pohon beringin.
 
Akankan kondisi seperti ini terus berlanjut? Sampai kapan? Tak ada warga Pegasing yang tahu.
 
Menyusul Hasan dan Salman, kini giliran Haji Marli, Khamdin dan Simar diculik gerobolan orang bertopeng dari rumahnya pada tengah malam buta ketika semua penghuni rumah terlelap tidur. Khusus Haji Marli, seorang pensiunan guru SD, peristiwa penculikan itu sempat disaksikan oleh istri dan dua anaknya yang tidak berkutik di bawah ancaman senjata. Mereka juga mengancam akan membakar rumah berikut isinya.
 
Dua hari kemudian warga menemukan mayat Haji Marli mengapung di tepi sungai dekat tumpukan batu dan pasir dengan kondisi tubuh sangat mengenaskan. Untung di saku celana terdapat kartu identitas, jika tidak, pastilah penduduk akan kesulitan mengidentifikasi. Orang-orang sangat sedih kehilangan Haji Marli yang selama ini banyak menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk kemajuan Pegasing. Tentu, Hamidah kawatir jika anaknya mengalami nasib serupa Haji Marli. Meski sampai saat ini Hamidah percaya anak semata wayangnya masih hidup.
 
Tapi bagaimana pun kekawatiran terus menguntit Hamidah. Jika saja suaminya masih hidup, tentu ia bisa berbagi duka. Berbagi cerita. Tapi suaminya sudah meninggal beberapa puluh tahun lalu. Kepada siapa lagi ia harus berbagi duka? Belum lama rasanya Hamidah berkumpul bersama anak semata wayangnya, setelah  lima belas tahun lebih pergi merantau. Kini Hamidah harus berpisah lagi. Perpisahan yang menyakitkan. Tak ada kabar, tak ada berita, tak ada salam yang datang padanya seperti dulu. Hari-hari Hamidah menjadi kelam. Suram. Hamidah tidak tahu siapa kelak yang akan menghidupinya. Siapa yang merawat jika dirinya jatuh sakit. Siapa yang mengubur jika mati. Padahal batuknya semakin hari semakin parah sesekali mengeluarkan darah dan lendir kental.
 
Mestinya Hamidah harus dibawa ke dokter atau rumah sakit. Tapi siapa yang bersedia mengantar? Kadang terlintas di benak Hamidah maut akan segera datang menjemput. Tapi Hamidah terus berdoa agar diberi umur panjang, paling tidak sampai ia bisa ketemu lagi dengan anak semata wayangnya. Hanya itu satu-satunya harapan Hamidah. Harapan sederhana yang terus ia latunkan dalam doa usai shalat lima waktu.
 
Beberapa perempuan tua dan muda datang silih berganti menjenguk  Hamidah. Mereka turut prihatin atas peristiwa yang menimpa Hasan, anak semata wayang Hamidah. Mereka terus berusaha menghibur Hamidah. Bilang bahwa Hasan pasti selamat. Bilang bahwa Hasan mungkin hanya menginap di rumah temannya. Bilang bahwa Hasan masih terlalu kecil untuk ditangkap gerombolan orang bertopeng. Bilang bahwa Hasan orang baik, alim, pendiam, karenanya tak mungkin disakiti orang.
 
Tapi begitulah, begitu sampai di luar, di teras depan, diam-diam mereka membicarakan kejadian-kejadian mengerikan yang baru terjadi di kampung. Kadang saking asyiknya sampai lupa pulang. Rumah Hamidah akhirnya menjadi semacam tempat mangkal para ibu-ibu. Segala macam informasi bisa didapat di situ. Entah hanya sekadar gosip atau benar-benar fakta.
 
"Sudahlah, Idah, bek mo, (tidak usah menangis). Kita berdoa saja semoga Hasan selamat dan segera pulang. Hasan anak baik tak mungkin dicelakai orang. Idah harus meyakinkan pada diri Idah sendiri bahwa Hasan baik-baik saja. Sehat-sehat saja. Jangan terlalu sedih," kata seseorang sambil memijit-mijit kaki Hamidah.
 
"Betul, Idah. Nanti sakit Idah malah semakin parah. Siapa tahu Hasan menginap di rumah temannya. Bukankah banyak teman Hasan di kota? Hasan belum lama pulang dari rantau, tentu dia merasa kesepian di sini dan ingin ketemu lagi dengan teman-temannya…." seseorang lain menyambung, pelan.
 
Hamidah hanya mengangguk-angguk, mengusap leleran air mata dipipinya. Wajahnya kian pucat tampak jauh lebih tua dari usia seharusnya.
 
"Ya, siapa tahu Hasan berada di sana, Idah. Dulu aku pernah dengar Hasan mau cari kerja lagi di kota. Katanya menganggur terlalu lama tidak enak.  Apakah Hasan tidak pernah bilang sama Idah?"
 
Hamidah terdiam beberapa sesaat seperti mengingat-ingat sesuatu, lalu menggelengkan kepala. "Tidak," suara Hamidah lirih. "Tapi, ketika Hasan pergi aku memang sedang tidak di rumah. Aku mencari kayu bakar di hutan. Sampai di rumah Hasan sudah tidak ada. Biasanya kalau pergi lama dia selalu meninggalkan pesan, tapi entah kenapa kali ini....."
 
"Nah, mungkin Hasan terburu-buru sehingga tidak sempat berpamitan pada Idah," sahut seseorang sambil membenahi gelungan rambutnya.
 
"Mungkin, mungkin....." lagi, Hamidah mengangguk-angguk. Berangsur-angsur tangisnya reda. Nafasnya kembali teratur.
 
Seseorang menyodorkan segelas air putih. Hamidah langsung menerima pemberian gelas itu dan menyruput sedikit.
 
Sejurus kemudian tiba-tiba terdengar ketukan pintu beberapakali. Para perempuan yang ada di dalam rumah terkejut saling berpandangan. Tak ada yang berani buka suara. Sinar ketakutan memancar dari sorot mata mereka. Tapi tidak dengan Hamidah. Karena Hamidah berharap yang mengetuk pintu adalah Hasan, anaknya.
 
"Siapa?" Hamidah bangkit dari ranjang menggelung rambutnya yang putih, kusut masai. Berjalan tertatih menghampiri pintu. Ibu-ibu yang ada di situ diam-diam saling merapat, berpegangan tangan.
 
Sepi. Tidak ada jawaban dari luar. Mungkin orang yang mengetuk pintu tidak mendengar suara Hamidah. Pintu terus diketuk. Semakin lama semakin bertambah keras membuat para Ibu yang ada di dalam rumah menahan nafas, takut.
 
"So di lua? Siapa di luar?" Hamidah mengulang pertanyaannya.
 
"Saya. Fatma…"  jawab suara dari luar melegakan orang-orang yang ada di dalam rumah itu.
 
"Do sidro menteng? Kamu sendiri saja, Fatma?" Suara Hamidah serak, batuk-batuk, membuka pintu.
 
Fatma mengangguk. Wajahnya berleleran keringat. “Aku dengar sudah dua hari Hasan belum pulang, apa betul, Ine? (Ibu)."
 
"Duduklah dulu. Nanti ceritanya."
 
Fatma menuruti kata-kata Hamidah, duduk di kursi kayu reot ruang tamu. Beberapa perempuan yang semula duduk di situ buru-buru menyingkir keluar. Fatma menyeka keringat di wajah dan seputar leher. Sebuah foto ukuran 5R milik Hasan terpampang di dinding ruang tamu bersebelahan dengan foto almarhum Ayah Hasan. Hasan terlihat gagah dan tampan dalam foto itu. Fatma menatap foto itu, lama, lama sekali. Tapi mendadak jantung Fatma berdebar kencang. Entah kenapa tiba-tiba Fatma merasa seperti sudah tidak akan pernah  bertemu lagi dengan Hasan. Garis-garis senyum dan juga sorot mata dalam foto itu, seolah mengabarkan perpisahan.
 
(bersambung)
***

http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-5/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito