Metrotvnews.com, 22 Maret 2015
Gelaran Leipzig Book Fair meninggalkan kesan unik bagi dunia kepenulisan tanah air. Rupanya, tulisan fiksi berlatar peristiwa September 1965 di Indonesia menarik perhatian publik Jerman. Gejala demikian terlihat sejak gerai Indonesia di Balai 4 Gerai B 501 Leipziger Messe diramaikan berbagai mata acara pada hari pertama pelaksanaan pameran.
Dimulai sejak Selasa pagi pekan lalu, delegasi Indonesia di Leipzig Book Fairmenampilkan diskusi dengan berbagai tema. Pembicaraan pertama bertopik kehidupan seorang penari pada era teror orde baru (The Dancer: A Woman’s Life in a Time of Terror).
Ahmad Tohari didapuk sebagai pembicara utama karena memang dari novelnya lah diskursus tersebut berasal. Ia adalah penulis kelahiran Banyumas yang pada 1982 merilis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Novel itu mulanya adalah cerita bersambung yang dimuat di Koran Kompas.
Berselang tiga dan empat tahun berikutnya, dua judul lain sebagai lanjutan novel pertama dirilis. “Lintang Kemukus Dini Hari” (1985) dan “Jentera Bianglala” (1986) membulatkan kisah bertokoh utama Srintil itu jadi sebuah trilogi. Pada tahun 2009, trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” kemudian difilmkan dengan judul “Sang Penari”. Cuplikan film itu juga ditampilkan di hadapan publik pameran buku yang disebut-sebut terbesar kedua di Jerman tersebut.
“Jadi saya sadar ketika menulis novel ini, saya akan berhadapan dengan penguasa. Ini sudah saya sadari sebelumnya, dan itu benar-benar terjadi. Tapi saya yakin bahwa saya harus bersaksi, bahwa telah terjadi hal yang buruk, dan harus ditulis supaya tidak terjadi lagi hal seperti itu,” kata Ahmad mengurai kisah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Sabine Muller.
Sesekali, pemaparan muncul dari barisan kursi hadirin. Dalam sebuah kesempatan, seorang wanita berambut pirang berkisah tentang kawannya yang seorang Indonesia. Adalah Gergana Swillens, seorang ahli ilmu hayat yang lama tinggal di Bulgaria dan kini menetap di Jerman. Sekitar tahun 1960-an, ia pernah mengenal seorang mahasiswa asal Indonesia yang tak kembali ke negaranya karena adanya prahara komunisme. Sang mahasiswa pun menetap di Bulgaria dan menikahi gadis setempat serta menghabiskan hidup di negeri timur Eropa itu.
Perbincangan di gerai Indonesia juga menghadirkan Laksmi Pamuntjak. Penulis “Amba” itu tampil khusus membahas kebebasan berekspresi di Indonesia sehari sebelum Leipzig Book Fair berakhir. Laksmi juga hadir dalam konferensi pers berbahasa inggris di awal penyelenggaraan Leipzig Book Fair yang baru pertama kali diikuti Indonesia. Dalam konferensi pers bertema “Indonesia: 17.000 Island of Imagination” itu, Laksmi juga menyisipkan informasi mengenai latar belakang di balik pembuatan novel “Amba” yang semula ditulis dalam bahasa Inggris dan bertajuk “The Question of Red”.
“Semakin banyak kisah 1965 yang diangkat, makin baik. Soalnya, semakin jauh kita beranjak dari tragedi berdarah yang terjadi separuh abad yang lampau itu, orang akan semakin tidak tahu, tidak peduli atau bahkan berpikir bahwa pembantaian yang disponsori oleh negara itu sah-sah saja,” ujar penulis kelahiran Jakarta lebih dari 40 tahun lalu itu.
Laksmi juga mengutip sebuah survei yang dirilis pada 2009 oleh harian The Jakarta Globe. Menurut jajak pendapat tersebut, lebih dari separuh responden yang merupakan mahasiswa universitas di Jakarta, tak mengetahui gegar politik tahun 1965.
“Apa yang terjadi pada tahun 1965 dan pada tahun-tahun berikutnya adalah salah satu pembantaian kaum komunis yang terbesar sepanjang abad ke-20. Novel, yang sebagaimana medium-medium kreatif lainnya, salah satu kekuatannya adalah menafsirkan ulang peristiwa sejarah dan memberi suara kepada manusia-manusia yang menjadi korban sejarah, bisa membantu meningkatkan kesadaran kita untuk tidak mengulangi apa yang telah lewat, baik di negeri kita sendiri maupun dunia internasional,” tutup salah satu pendiri toko buku Aksara itu.
Pengungkapan yang dilakukan Laksmi, ternyata membuat penerbit Ullstein tertarik untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman dan mendistribusikannya di negara yang dipimpin kanselir Angela Merkel itu. Mulai bulan September nanti, “Amba” akan beredar di Jerman dengan judul “ALLE FARBEN ROT”.
Juru bicara penerbit Ullstein, Christine Heinrich memprediksi, Laksmi Pamuntjak akan menjadi bintang dalam gelaran Frankfurt Book Fair pada musim gugur mendatang, yakni, Oktober 2015. Gelagat ke arah sana mulai terlihat ketika diLeipzig Book Fair, media-media Jerman bertubi-tubi mewawancarai Laksmi tentang bukunya yang akan segera terbit di sana.
Ketertarikan penerbit Ullstein terhadap novel “Amba” dan literatur Indonesia bermula dari undangan yang dikirim kedutaan besar Indonesia kepada unsur-unsur penerbitan literatur di Jerman. Kala itu, seorang professor menceritakan tentang sejarah literasi Indonesia yang berlangsung sejak lama. Hal itu menarik perhatian penerbit Ullstein untuk kemudian menerbitkan salah satu buah karya dunia sastra Indonesia.
Ekspos Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair juga mendorong popularitas sastra nusantara di dunia kepenulisan internasional. Dengan demikian, kehadiran Indonesia di pameran literasi terbesar di dunia yang dihelat 14-18 Oktober mendatang adalah sebuah kesempatan emas. Melalui Frankfurt Book Fair, karya literasi penulis Indonesia akan mendapat kesempatan untuk diterjemahkan ke berbagai bahasa, dibeli hak cetak ulangnya, dan dijual di banyak negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar