Jumat, 01 Januari 2021

Sastra Indonesia di Bali Sebelum dan Semasa Umbu Landu Paranggi *

I Nyoman Darma Putra **
 
Dalam eseinya ‘Puisi dari Bali’ di rubrik ‘Bentara’ Kompas, 1 September 2000, Sutardji Calzoum Bachri, menegaskan bahwa Bali telah memberikan kontribusi penting tidak saja pada dunia puisi tetapi juga prosa dan aktivitas sastra Indonesia lainnya. Pengakuan serupa juga bisa dilihat dalam bentuk yang lain yakni undangan buat penyair Bali untuk menghadiri forum sastra nasional dan internasional serta publikasi bersama.
 
Kontribusi Bali dalam sastra Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran penyair Umbu Landu Paranggi yang mengawal sastra di Bali lewat posisinya sebagai redaktur sastra Bali Post Minggu sejak 1979. Sebelum pindah ke Bali, Umbu menggerakan apresiasi sastra di Yogja, ketika menjadi redaktur mingguan Pelopor di kota ini. Di sini pula dia mendapat julukan ‘Presiden Malioboro’ atas kegemarannya menggelar apresiasi di pedestrian Jalan Malioboro.
 
Sebagai redaktur, Umbu aktif turun ke sekolah, ranggar sastra dan kampus-kampus untuk menggelar apresiasi sastra. Lewat ‘rubrik kontak’ di Bali Post, dia setia melakukan sensus atas penulis sebagai cara untuk memacu mereka berkarya.
 
Umbu gemar dunia sepakbola, maka sistem seleksi puisi atau proses penggodokan penyair yang diterapkan menggunakan istilah ‘kompetisi’ berjenjang dari pemula (Pos Remaja) ke dewasa (Pos Budaya). Agar penulis tahu prosesnya, tak ajrang Umbu menjelaskannya lewat rubrik kontak dan kegiatan apresiasi.
 
Dalam rentang waktu 30 tahun, kegiatan apresiasi sastra di Bali memang mengalami masa pasang surut, tetapi semangat menulis puisi yang ditularkan Umbu tetap kuat. Budayawan Emha Ainun Nadjib yang merasa berguru pada Umbu ketika Umbu di Yogja dengan bangga menyebutnya ‘ustadz Umbu’. Istilah yang sama juga kerap dipakai penyair Bali untuk perasaan yang sama yakni menghormati Umbu sebagai guru, sebagai institusi ‘akademi puisi’.
 
Tulisan ini adalah apresiasi atas pengabdian Umbu dalam membina sastra Indonesia dari Bali. Agar terhindar dari pengkultusan, tinjauan atas jasa Umbu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni sejarah sastra Indonesia di Bali.
 
Studi atas arsip-arsip media massa menunjukkan bahwa sastra Indonesia sudah mulai menggeliat di Bali sejak pertengahan 1920-an, dan terus dinamis sampai sekarang. Sejauh ini belum pernah ditemukan di Bali karya sastra yang bisa digolongkan sastra Indonesia sebelum tahun 1920-an. Ini berarti, masa awal sastra Indonesia di Bali kurang lebih bersamaan waktunya dengan tahun yang pernah ditawarkan A. Teeuw sebagai masa lahirnya sastra Indonesia.
 
Bertolak dari tahun 1920-an, periodisasi sastra Indonesia di Bali bisa dibagi ke dalam empat zaman, yaitu zaman kolonial, revolusi nasional, Orde Baru, dan reformasi. Pembagian ini lebih bersifat sosio-historis daripada estetik karena melakukannya dengan variabel yang belakangan bukannya tidak mungkin tetapi tidaklah mudah karena akan selalu diwarnai dengan spekulasi dan subjektivitas.
 
Zaman Kolonial
 
Geliat awal sastra Indonesia di Bali bisa disaksikan dengan munculnya puisi di majalah Surya Kanta dan kalawarta Bali Adnjana, keduanya terbit di Singaraja tahun 1920-an. Kontributornya datang dari Bali Utara, Selatan, bahkan juga Lombok, yang waktu itu masuk wilayah keresidenan pemerintah kolonial Belanda yang berkantor pusat di Singaraja (Bali Utara).
 
Surya Kanta terbit sebulan sekali dalam bentuk cetak (mungkin diproses di Surabaya) antara 1925-1927, dipimpin oleh K’tut Nasa, Nengah Metra, Nyoman Kajeng, dkk. Media ini banyak berisi artikel tentang kemajuan zaman dan protes-protes tentang arogansi kaum triwangsa. Berdasarkan isi dan orientasinya, para sarjana menyebutkan Surya Kanta sebagai suara kaum jaba.
 
Bali Adnjana terbit tiga kali sebulan tahun 1925-1931, dalam bentuk stensilan, di bawah pimpinan I Gusti Putu Tjakratenaja. Media ini dianggap sebagai terompet kaum triwangsa. Orientasi yang berbeda ini membuat kedua media yang terbit pada periode bersamaan ini terlibat dalam polemik perbedaan paham atas kasta.
 
Puisi yang muncul dalam kedua media ini umumnya berupa pantun atau syair, beberapa di antaranya ditulis dalam bentuk akrostik, artinya huruf pertama judul puisi diambil sebagai huruf awal bari-baris atau bait puisi. Surya Kanta pernah memuat naskah tonil anonim berjudul ‘Kesetiaan Perempuan’ yang bertema konflik kasta.
 
Belanda khawatir melihat polemik Surya Kanta dan Bali Adnjana dapat menganggu stabilitas sosial, maka keduanya ditekan sampai tutup alias mati. Faktor ekonomi juga banyak disebut sebagai alasan bubarnya kedua media massa itu.
 
Tahun 1930-an, muncul Djatajoe di bawah asuhan Panji Tisna dan kemudian Wayan Bhadra dan Nyoman Kajeng. Majalah bulanan yang terbit di Singaaja dalam format cetak ini bisa dianggap sebagai versi majalah Poedjangga Baroe-nya Bali. Penerbitnya adalah Bali Dharma Laksana, organisasi pemuda Bali yang berpendidikan sekolah kononial Belanda.
 
Djatajoe memuat artikel budaya, risalah rapat induk organisasi yang menerbitkannya, dan yang penting adalah cerpen dan puisi. Bentuk syair masih muncul, seperti ‘Syair Seruan Djatajoe’ karya I Gusti Ngurah Sidemen, yang isinya menyerukan agar kaum catur wangsa bersatu di Bali. Novel Mlancaran ka Sasak (Berwisata ke Sasak) karya Gde Srawana (nama pena Wayan Bhadra) dimuat bersambung di Djatajoe. Publikasi ini menambah jasa majalah ini dalam geliat sastra modern berbahasa Bali.
 
Yang pantas dicatat di Djatajoe adalah bahwa penulis wanita mulai memberi kontribusi dengan tema sajak mendorong wanita Bali meraih kemajuan, seperti ‘Oh, Putriku’ (1937) karya Wayan Sami dan ‘Seruan’ (1938) oleh Made Tjatri. Kaum wanita ini menulis sebagai aktivis, jauh dari tujuan menjadi penyair.
 
Zaman Revolusi Nasional
 
Era revolusi nasional biasanya digunakan untuk menyebutkan periode pertempuran merebut dan mempertahankan kemerdekaan 1945-1950. Mengingat semangat revolusioner terus dipompakan oleh Bung Karno sampai 1965, maka periode revolusi nasional bisa dikatakan terbentang dari 1945-1965. Dalam pembabakan sastra ini, zaman revolusi nasional berlaku dalam keseluruhan era regime Bung Karno alias Orde Lama.
 
Pada era ini, Singaraja tetap memainkan peran penting dalam pembinaan sastra Indonesia. Hal ini terlihat lewat majalah Bhakti yang terbit mulai 1952, pimpinan Putu Shanty, Wayan Bhadra, dan Nyoman Kajeng (mantan anggota redaktur Surya Kanta).
 
Publikasi sastra di Bhakti luar biasa semarak. Banyak puisi, cerpen, drama, juga ada esei budaya dan filsafat. Selain Putu Shanty, penulis yang muncul adalah Made Kirtya, Windhya Wirawan dan Tjok Rai Sudharta. Bhakti juga memuat polemik tentang apakah Chairil Anwar plagiat atau tidak. Puisi Rendra, Kirdjomuljo juga pernah dimuat di Bhakti menambah aroma nasional kehidupan sastra Indonesia di Bali. Sebaliknya, penulis Bali juga mulai mempublikasikan karyanya di majalah sastra budaya di Jawa seperti Mimbar Indonesia dan Siasat. Hubungan antara penulis Bali dengan Jawa, Jakarta, tercipta saat ini, lebih erat daripada pada era kolonial.
 
Bali Selatan mulai memainkan peranan perkembangan sastra nasional sejak terbitnya majalah Damai di Denpasar, di bawah pimpinan I Gusti Bagus Sugeriwa, seorang guru dan ahli bahasa dan sastra tradisional asal Bali Utara. Damai memuat banyak puisi dan juga cerpen yang kebanyakan ditulis oleh murid didikan IGB Sugeriwa di SLUA Saraswati, seperti Oka Diputhera.
 
Selain berjasa besar dalam sastra tradisional Bali, IGB Sugeriwa juga punya andil dalam sastra Indonesia. Tahun 1950-an, dia menjadi salah satu pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Nama lain dalam jajaran pengurus BMKN periode 1955-1956 adalah R Gaos Hardjosumantri, JE Tatengkeng, Achdiat K. Mihardja.
 
Selain Bhakti dan Damai, ada juga tabloid Harapan yang terbit di Singaraja tapi target pembacanya adalah masyarakat Bali dan Nusa Tenggara. Mingguan ini juga membuka rubrik sastra. Tabloid Harapan dan Damai membuat rubrik ‘kontak’, untuk menyapa pengirim naskah. Redakturnya aktif memotivasi penulis pemula untuk berkarya dan mendorong mereka menjadi sastrawan seperti halnya Pramudya Ananta Tur, Idrus, dan Mochthar Lubis.
 
Koran Suara Indonesia sudah terbit di Denpasar sejak 1948, didirikan oleh wartawan Bali yang sebelumnya, zaman Jepang, bekerja di surat kabar Bali Shimbun. Suara Indonesia adalah cikal-bakal Bali Post. Sulit membayangkan bagaimana rubrik sastra di Suara Indonesia pada awal-awal berdiri karena tidak ada arsipnya yang bisa diamati. Yang jelas dari sisa arsip tahun 1959 bisa diketahui Suara Indonesia memiliki rubrik sastra.
 
Tahun 1960-an, penyair-penyair seperti Gde Dharna dan Ketut Suwidja banyak menulis puisi di Suara Indonesia. Penyair lain adalah Yudha Paniek, Made Taro, Raka Santeri, IGB Arthanegara, Niniek Berata, Ngurah Parsua untuk menyensus beberapa nama. Mereka bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), berafiliasi dengan PNI, memuja Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
 
Tema sajak penyair zaman ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, mendengungkan semangat Manipol USDEK, revolusioner, dan anti-nekolim. Rubrik sastra pun diberi nama Banteng Muda, yang kelak berubah menjadi Taman Muda Remaja dan kemudian Pos Remaja. Komang Soka adalah salah satu pengurus PNI (Partai Nasional Indonesia) dan LKN yang sempat menjadi redaktur sastra Banteng Muda.
 
Lewat organisasi LKN, hubungan antara penulis dan seniman Bali terbina akrab dengan seniman luar Bali seperti Yogja. Rombongan LKN Jogya pimpinan Budi Satria datang ke Bali Desember 1964-Januari 1965 mementaskan dua drama di Singaraja, Tabanan, dan Denpasar, yang judulnya adalah ‘Api di Lembah Mati’ karya Singgih Hadi dan ‘Malam Pengantin di Bukit Kera’ karya Motinggo Busye. Drama ini juga dipentaskan di Jember dan Banyuwangi dalam perjalanan bolak-balik Yogja-Bali.
 
Pementeasan drama LKN Yogja mempengaruhi aktivitas teater di Bali. Buktinya, bulan Maret 1965 LKN Bali menggelar festival teater dengan menjadikan naskah Singgih Hadi dan Motinggo di atas sebagai naskah pilihan. Budi Satria mengamati festival ini. Kehidupan sastra dan teater di Bali tidak terisolasi tetapi berkaitan dengan Jawa.
 
Koneksitas sebagian penyair dan penulis Bali dengan koleganya dari berbagai penjuru di Indonesia terjadi karena Bali sering menjadi tuan rumah pertemuan sastra dan budaya. Lekra menggelar Konfernas di Bali tahun 1962. Pertamuan ini membuka jalur buat Putu Shanty dan Putu Oka berkenalan dengan penulis-penulis yang ikut Konfernas. Tahun 1963, Bali menjadi tuan rumah pertemuan pengarang Asia Afrika, yang ketua panitia pusatnya berada di tangan Pramudya Ananta Tur dan Sitor Situmorang.
 
Yang jelas, kegiatan sastra tingkat nasional saat itu membuat Bali bisa disebut sebagai, meminjam istilah Will Derks (2003), salah satu regional-centre sastra Indonesia.
 
Era Orde Baru
 
Dalam era Orde Baru, penyair-penyair yang muncul adalah mereka yang kemudian bergabung dengan Lesiba (Lembaga Seniman Indonesian Bali) pimpinan Drs. I Made Sukada, dosen Fakultas Sastra Unud. Kehidupan sastra terus berlanjut, diwarnai dengan lomba menulis puisi, deklamasi di radio, dan apresiasi.
 
Tahun 1976, Bali Post bekerja sama dengan Lesiba menyelenggarakan lomba menulis puisi dalam rangka peringatan hari wafatnya Chairil Anwar dan peringatan Pendidikan Nasional bulan Mei. Puisi pemenang dimuat di Bali Post. Koran ini menjadi pusat perkembangan sastra. Rubrik ‘kontak’ seperti di majalah Damai dan tabloid Harapan muncul di koran ini untuk merangsang penulis berkarya.
 
Tanggal 25 April 1976, apresiasi ‘besar’ berlangsung di aula SPGN Denpasar diprakarsai oleh Widminarko dan dari sana akhirnya dibentuk Sanggar Pos Remaja. Penulis muda yang aktif waktu itu adalah Adnyana Sudibia dan Gde Aryantha Soethama. Aryantha menulis puisi dan banyak cerpen. Kalau 2006 lalu Aryantha lewat cerpen-cerpennya dalam Mandi Api (Buku Kompas) mengukir sejarah meraih Khatulistiwa Literary Award, maka jawabannya karena kreativitasnya sudah tumbuh kokoh sejak 30 tahun sebelumnya.
 
Penyair muda Raka Kusuma mulai mengirim sajak tahun 1976 ke Bali Post. Namanya muncul di kontak dan mendapat komentar seperti ini: ‘Adik produktif sekali. Sajak-sajakmu masih dalam pertimbangan. Kalau yang ada masih bisa diperbaiki, perbaikilah’. Gaya kontak seperti ini sudah muncul di majalah Damai dan tabloid Harapan tahun 1950-an, dan kelihatan ampuh sekali untuk mendorong penulis berkreativitas.
 
Umbu mulai masuk Bali Post bulan Juni 1979, dan menulis catatan di rubrik Pos Remaja 8 Juli 1979 di bawah judul ‘Memanggil Remaja Kreatif’. Sejak itu, ‘rubrik kontak’ diaktifkan terus dan membuat banyak calon penulis senang melihat namanya disensus setiap minggu. Nama-nama seperti Gde Artawan, Nyoman Wirata, Windhu Sancaya, Ketut Yuliarsa Sastrawan, IB Dharma Palguna, Lilik Mulyadi, Erlina, dan Alit S Rini sering nongol dan berproses dari tingkat sajak ‘kompetisi’ dan sajak kelas ‘budaya’.
 
Umbu melanjutkan efektivitas rubrik ‘kontak’ dengan rajin ‘mendorong’ penulis muda agar terus berkarya. Umbu juga menggelorakan kegiatan apresiasi di Bali seperti yang dia kerjakan sewaktu menjadi redaktur mingguan Pelopor Yogja. Semarak apresiasi di Kota Gudeg saban malam di pedestrian Malioboro membuat Umbu mendapat predikat sebagai President Malioboro.
 
Untuk di Bali, apresiasi yang dipromosikan Umbu pertama kali berlangsung Minggu, 5 Agustus 1979, hampir dua bulan sejak dia berdinas di Bali Post. Apresiasi berlangsung di Art Centre. Menurut Catatan Pos Remaja-nya Umbu edisi 12 Agustus 1979, peserta yang hadir saat apresiasi pertama sekitar 15 orang, termasuk Abu Bakar dan Frans Nadjira, yang tak lama kemudiannya berangkat ke IOWA City untuk program kreativitas penyair internasional.
 
Usaha Tjok Raka Pemajun mengundang Sutardji ke Bali juga ikut menghangatkan dinamika sastra di Pulau Dewata. Tjok Raka, Gerson Poyk, Putu Arya Tirtawirya, dan Putu Setia adalah penulis yang rajin menyemarakkan geliat sastra di Bali, awal-awal Umbu mulai berdinas sebagai redaktur. Esei mereka dan apresiasi mingguan berkombinasi membangun kekuatan literer yang mendorong penulis muda berkreativitas.
 
Apresiasi berlanjut, tidak saja di Art Centre, tetapi juga di sekolah-sekolah di seluruh Bali. Umbu rajin datang ke Jembrana, Gianyar, Bangli, Karangasem, dan tentu saja Singaraja untuk menggelorakan apresiasi. Selain di sekolah, kampus dan sanggar-sanggar, kegiatan apresiasi sastra juga berlangsung di rumah-rumah seperti yang pernah saya ikuti di rumah Prof Dr dr Moerdowo, Made Sukada, Abu Bakar, dan rumah Boyke Karang. Raka Kusuma, Ida Bagus Adnjana, Syahruwardi Abbas, Adhy Riyadi, Nyoman Wirata adalah beberapa teman yang saya lihat rajin berapresiasi.
 
Peran Usadi Wiryatnaya dan Jean Cauteau dalam apresiasi sastra juga perlu dicatat. Mereka sering hadir dan memberikan pandangan-pandangan filsafat dan global tentang sastra yang berguna buat memperluas wawasan ‘mahasiswa akademi puisi’ model Umbu Landu Paranggi.
 
Dengan seleksi puisi sistem berjenjang, Umbu berhasil membuat penulis mudah yang kukuh untuk berjuang keras agar bisa lulus dari jenjang pemula (Pos Remaja) menjadi jenjang penyair (Pos Budaya). Dalam sebuah pengantar ‘Masih Seputar Kompetisi’(Bali Post, 5 Agustus 1979), Umbu menjelaskan konsepsi mengenai jenjang Pos Remaja dan Pos Budaya seperti ini: “Sudah pasti yang berhasil menjebol gawang Pos Remaja, berhak mendapat tempat baru di ruang Seni-Budaya (halaman 5), sajak-sajak mana sejajar dengan sajak-sajak dalam majalah Horison, Basis, Kesenian, Budaya Jaya. Para pengasuh juga berjanji pabila kau berhasil merobek gawang Pos kita yang tangguh kelak sajak-sajakmu akan dikirimkan ke majalah atau lembaran-lembaran kebudayaan yang tersebar di seluruh Indonesia.”.
 
Apa yang dikatakan itu memang dilaksanakan, buktinya Umbu meneruskan beberapa sajak penyair Bali ke tangan Abdul Hadi yang saat itu menjadi redaktur sastra koran Berita Buana. Dari sana, penyair Bali kian diperhitungkan di tingkat nasional dan senantiasa diundang dalam forum temu penyair di Taman Ismail Jakarta, sesuatu yang menjadi idaman para penyair daerah.
 
Sejumlah penyair Bali yang sempat diundang ke forum di TIM adalah Nyoman Wirata, Raka Kusuma, Adhy Riyadi, dan Made Suantha. Sebelum era Umbu, kesempatan seperti ini tidak pernah ada.
 
Hari berjalan terus dan nama-nama penulis muda terus bermunculan dari berbagai daerah, sanggar-sanggar juga aktif, salah satu yang maju di Denpasar adalah Sanggar Minum Kopi, tempat berkumpulnya penyair yang umumnya mulai menulis akhir 1980-an, dan memasuki masa produktif dan matang pertengahan 1990-an, seperti Warih Wisatsana, Tan Lio Ie, Fajar Arcana, Wayan Sunarta, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Riki Dhamparan Putra, Raudal Tanjung, Nuryana Asmaudi, dan Sindhu Putra.
 
Penyair-penyair itu tidak saja menulis puisi tetapi juga menjelajah cerita pendek sehingga tembus di Kompas, seperti Wayan Suardika, Cok Sawitri, Fajar Arcana, dan Wayan Sunarta, memperpanjang nama penulis Bali yang tembus sebelumnya seperti Aryantha Soethama.
 
Era Reformasi
 
Tidak ada kesepakatan tentang kapan era reformasi muncul. Era setelah Presiden Suharto jatuh sering disebut era reformasi atau pascareformasi. Ada juga yang menyebutkan bahwa sebagai gerakan era reformasi sudah dimulai sejak awal 1990-an, ketika demonstrasi mahasiswa berdenyut, sejak demo menentang lotere SDSB. Wujud nyata gerakan reformasi di Bali bisa dilihat saat demo besar-besar menentang megaproyek Bali Nirwana Resort (BNR) terjadi 1993/1994. Tahun ini bisa dianggap zaman reformasi untuk sastra Indonesia di Bali.
 
Periode reformasi sastra di Bali bisa dipancangkan mulai awal 1990-an, ketika penyair Bali mulai banyak menulis sajak protes tentang merosotnya landscape dan spiritualscape di Bali akibat pembangunan yang berlebih (lihat Bali Post, Minggu, 31 Mei 2009). Penyair Bali seperti Tan Lio ie, Wayan Arthawa, Landras Syaelendra mempublikasikan sajak-sajak ‘protesnya’ di majalah Horison tahun 1994. Umbu yang semula dikenal lebih menyukai sajak-sajak soliter (berurusan dengan sunyi jiwa), pada era ini membuka ‘gawang’ rubrik puisinya dengan memuat sajak-sajak solider (mengekspresikan kepedulian sosial).
 
Selain sajak-sajak protes atas ancaman hancurnya tata ruang dan tata spiritualitas Bali, dalam masa reformasi, halaman puisi Umbu juga banyak memuat sajak-sajak bertema ‘reformasi’ misalnya karya Alit S Rini yang mengangkat tema perjuangan politik Megawati, atau isu gender seperti terbaca dalam sajak Cok Sawitri dan Oka Rusmini.
 
Dalam bentuk dan konteks lain, isu kesetaraan gender ini mengingatkan apa yang ditulis penulis wanita Bali di Djatajoe tahun 1930-an. Bedanya, penulis wanita 1990-an ini memang sadar untuk menjadi penyair dan menjadikan sajak sebagai ekspresi kepedulian social.
 
Umbu dan Bali
 
Seperti terlihat dalam uraian di atas, kesemarakan sastra Indonesia di Bali bukanlah hal baru tetapi sudah mulai berbenih sejak zaman kolonial, dan meningkat tajam pada zaman revolusi nasional, Orde Baru, dan era reformasi. Sejak dulu hingga kini Bali adalah ladang subur sastra, tak hanya sastra daerah (Bali dan Jawa Kuna) tetapi juga sastra Indonesia. Umbu ikut memainkan peranan penting dalam dinamika sastra Indonesia di Bali, khususnya mulai 1979, era Orde Baru.
 
Yang pantas dicatat dari Umbu adalah kepiawaiannya mengelola rubrik sastra dan apresiasi di era militeristik Orde Baru tanpa pernah tersentuh ‘sensor’ atau ‘penggrebegan’. Walaupun dulu sesekali terdengar di antara kawan-kawan bahwa kegiatan apresiasi sastra Umbu diintai oleh intel, nyatanya tidak pernah terjadi pembubaran sehingga tujuan apresiasi untuk menyuburkan sastra di Bali bisa menggelinding.
 
Dedikasi Umbu telah membuat sabana sastra Balidwipa tumbuh subur ditandai panen penyair yang tidak pernah berhenti dalam tiga dekade, 1979-2009. Deretan nama penyair dan cerpenis Indonesia yang lahir dari Bali dan aktivitas sastra di Bali semakin mengokohkan Bali sebagai salah regional centre sastra Indonesia.
***
 
*)Tulisan ini disusun untuk memeriahkan Reuni Apresiasi Sastra 30 Tahun Umbu Landu Paranggi membina sastra di Bali, 1979-2009. Apresiasi berlangsung 16 Juni 2009 di Singaraja, disusul bulan-bulan berikutnya di kota-kota lain di Bali. Di Denpasar dilaksanakan di Gedung Ksirarnawa, Art Centre, awal Juli 2009, di sela-sela pelaksanaan Pesta Kesenian Bali.
 
**) Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Universitas Udayana. http://sastra-indonesia.com/2021/01/sastra-indonesia-di-bali-sebelum-dan-semasa-umbu-landu-paranggi/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito