I Nyoman Darma Putra **
Dalam eseinya ‘Puisi dari Bali’ di rubrik ‘Bentara’ Kompas, 1 September 2000, Sutardji Calzoum Bachri, menegaskan bahwa Bali telah memberikan kontribusi penting tidak saja pada dunia puisi tetapi juga prosa dan aktivitas sastra Indonesia lainnya. Pengakuan serupa juga bisa dilihat dalam bentuk yang lain yakni undangan buat penyair Bali untuk menghadiri forum sastra nasional dan internasional serta publikasi bersama.
Kontribusi Bali dalam sastra Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran penyair Umbu Landu Paranggi yang mengawal sastra di Bali lewat posisinya sebagai redaktur sastra Bali Post Minggu sejak 1979. Sebelum pindah ke Bali, Umbu menggerakan apresiasi sastra di Yogja, ketika menjadi redaktur mingguan Pelopor di kota ini. Di sini pula dia mendapat julukan ‘Presiden Malioboro’ atas kegemarannya menggelar apresiasi di pedestrian Jalan Malioboro.
Sebagai redaktur, Umbu aktif turun ke sekolah, ranggar sastra dan kampus-kampus untuk menggelar apresiasi sastra. Lewat ‘rubrik kontak’ di Bali Post, dia setia melakukan sensus atas penulis sebagai cara untuk memacu mereka berkarya.
Umbu gemar dunia sepakbola, maka sistem seleksi puisi atau proses penggodokan penyair yang diterapkan menggunakan istilah ‘kompetisi’ berjenjang dari pemula (Pos Remaja) ke dewasa (Pos Budaya). Agar penulis tahu prosesnya, tak ajrang Umbu menjelaskannya lewat rubrik kontak dan kegiatan apresiasi.
Dalam rentang waktu 30 tahun, kegiatan apresiasi sastra di Bali memang mengalami masa pasang surut, tetapi semangat menulis puisi yang ditularkan Umbu tetap kuat. Budayawan Emha Ainun Nadjib yang merasa berguru pada Umbu ketika Umbu di Yogja dengan bangga menyebutnya ‘ustadz Umbu’. Istilah yang sama juga kerap dipakai penyair Bali untuk perasaan yang sama yakni menghormati Umbu sebagai guru, sebagai institusi ‘akademi puisi’.
Tulisan ini adalah apresiasi atas pengabdian Umbu dalam membina sastra Indonesia dari Bali. Agar terhindar dari pengkultusan, tinjauan atas jasa Umbu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni sejarah sastra Indonesia di Bali.
Studi atas arsip-arsip media massa menunjukkan bahwa sastra Indonesia sudah mulai menggeliat di Bali sejak pertengahan 1920-an, dan terus dinamis sampai sekarang. Sejauh ini belum pernah ditemukan di Bali karya sastra yang bisa digolongkan sastra Indonesia sebelum tahun 1920-an. Ini berarti, masa awal sastra Indonesia di Bali kurang lebih bersamaan waktunya dengan tahun yang pernah ditawarkan A. Teeuw sebagai masa lahirnya sastra Indonesia.
Bertolak dari tahun 1920-an, periodisasi sastra Indonesia di Bali bisa dibagi ke dalam empat zaman, yaitu zaman kolonial, revolusi nasional, Orde Baru, dan reformasi. Pembagian ini lebih bersifat sosio-historis daripada estetik karena melakukannya dengan variabel yang belakangan bukannya tidak mungkin tetapi tidaklah mudah karena akan selalu diwarnai dengan spekulasi dan subjektivitas.
Zaman Kolonial
Geliat awal sastra Indonesia di Bali bisa disaksikan dengan munculnya puisi di majalah Surya Kanta dan kalawarta Bali Adnjana, keduanya terbit di Singaraja tahun 1920-an. Kontributornya datang dari Bali Utara, Selatan, bahkan juga Lombok, yang waktu itu masuk wilayah keresidenan pemerintah kolonial Belanda yang berkantor pusat di Singaraja (Bali Utara).
Surya Kanta terbit sebulan sekali dalam bentuk cetak (mungkin diproses di Surabaya) antara 1925-1927, dipimpin oleh K’tut Nasa, Nengah Metra, Nyoman Kajeng, dkk. Media ini banyak berisi artikel tentang kemajuan zaman dan protes-protes tentang arogansi kaum triwangsa. Berdasarkan isi dan orientasinya, para sarjana menyebutkan Surya Kanta sebagai suara kaum jaba.
Bali Adnjana terbit tiga kali sebulan tahun 1925-1931, dalam bentuk stensilan, di bawah pimpinan I Gusti Putu Tjakratenaja. Media ini dianggap sebagai terompet kaum triwangsa. Orientasi yang berbeda ini membuat kedua media yang terbit pada periode bersamaan ini terlibat dalam polemik perbedaan paham atas kasta.
Puisi yang muncul dalam kedua media ini umumnya berupa pantun atau syair, beberapa di antaranya ditulis dalam bentuk akrostik, artinya huruf pertama judul puisi diambil sebagai huruf awal bari-baris atau bait puisi. Surya Kanta pernah memuat naskah tonil anonim berjudul ‘Kesetiaan Perempuan’ yang bertema konflik kasta.
Belanda khawatir melihat polemik Surya Kanta dan Bali Adnjana dapat menganggu stabilitas sosial, maka keduanya ditekan sampai tutup alias mati. Faktor ekonomi juga banyak disebut sebagai alasan bubarnya kedua media massa itu.
Tahun 1930-an, muncul Djatajoe di bawah asuhan Panji Tisna dan kemudian Wayan Bhadra dan Nyoman Kajeng. Majalah bulanan yang terbit di Singaaja dalam format cetak ini bisa dianggap sebagai versi majalah Poedjangga Baroe-nya Bali. Penerbitnya adalah Bali Dharma Laksana, organisasi pemuda Bali yang berpendidikan sekolah kononial Belanda.
Djatajoe memuat artikel budaya, risalah rapat induk organisasi yang menerbitkannya, dan yang penting adalah cerpen dan puisi. Bentuk syair masih muncul, seperti ‘Syair Seruan Djatajoe’ karya I Gusti Ngurah Sidemen, yang isinya menyerukan agar kaum catur wangsa bersatu di Bali. Novel Mlancaran ka Sasak (Berwisata ke Sasak) karya Gde Srawana (nama pena Wayan Bhadra) dimuat bersambung di Djatajoe. Publikasi ini menambah jasa majalah ini dalam geliat sastra modern berbahasa Bali.
Yang pantas dicatat di Djatajoe adalah bahwa penulis wanita mulai memberi kontribusi dengan tema sajak mendorong wanita Bali meraih kemajuan, seperti ‘Oh, Putriku’ (1937) karya Wayan Sami dan ‘Seruan’ (1938) oleh Made Tjatri. Kaum wanita ini menulis sebagai aktivis, jauh dari tujuan menjadi penyair.
Zaman Revolusi Nasional
Era revolusi nasional biasanya digunakan untuk menyebutkan periode pertempuran merebut dan mempertahankan kemerdekaan 1945-1950. Mengingat semangat revolusioner terus dipompakan oleh Bung Karno sampai 1965, maka periode revolusi nasional bisa dikatakan terbentang dari 1945-1965. Dalam pembabakan sastra ini, zaman revolusi nasional berlaku dalam keseluruhan era regime Bung Karno alias Orde Lama.
Pada era ini, Singaraja tetap memainkan peran penting dalam pembinaan sastra Indonesia. Hal ini terlihat lewat majalah Bhakti yang terbit mulai 1952, pimpinan Putu Shanty, Wayan Bhadra, dan Nyoman Kajeng (mantan anggota redaktur Surya Kanta).
Publikasi sastra di Bhakti luar biasa semarak. Banyak puisi, cerpen, drama, juga ada esei budaya dan filsafat. Selain Putu Shanty, penulis yang muncul adalah Made Kirtya, Windhya Wirawan dan Tjok Rai Sudharta. Bhakti juga memuat polemik tentang apakah Chairil Anwar plagiat atau tidak. Puisi Rendra, Kirdjomuljo juga pernah dimuat di Bhakti menambah aroma nasional kehidupan sastra Indonesia di Bali. Sebaliknya, penulis Bali juga mulai mempublikasikan karyanya di majalah sastra budaya di Jawa seperti Mimbar Indonesia dan Siasat. Hubungan antara penulis Bali dengan Jawa, Jakarta, tercipta saat ini, lebih erat daripada pada era kolonial.
Bali Selatan mulai memainkan peranan perkembangan sastra nasional sejak terbitnya majalah Damai di Denpasar, di bawah pimpinan I Gusti Bagus Sugeriwa, seorang guru dan ahli bahasa dan sastra tradisional asal Bali Utara. Damai memuat banyak puisi dan juga cerpen yang kebanyakan ditulis oleh murid didikan IGB Sugeriwa di SLUA Saraswati, seperti Oka Diputhera.
Selain berjasa besar dalam sastra tradisional Bali, IGB Sugeriwa juga punya andil dalam sastra Indonesia. Tahun 1950-an, dia menjadi salah satu pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Nama lain dalam jajaran pengurus BMKN periode 1955-1956 adalah R Gaos Hardjosumantri, JE Tatengkeng, Achdiat K. Mihardja.
Selain Bhakti dan Damai, ada juga tabloid Harapan yang terbit di Singaraja tapi target pembacanya adalah masyarakat Bali dan Nusa Tenggara. Mingguan ini juga membuka rubrik sastra. Tabloid Harapan dan Damai membuat rubrik ‘kontak’, untuk menyapa pengirim naskah. Redakturnya aktif memotivasi penulis pemula untuk berkarya dan mendorong mereka menjadi sastrawan seperti halnya Pramudya Ananta Tur, Idrus, dan Mochthar Lubis.
Koran Suara Indonesia sudah terbit di Denpasar sejak 1948, didirikan oleh wartawan Bali yang sebelumnya, zaman Jepang, bekerja di surat kabar Bali Shimbun. Suara Indonesia adalah cikal-bakal Bali Post. Sulit membayangkan bagaimana rubrik sastra di Suara Indonesia pada awal-awal berdiri karena tidak ada arsipnya yang bisa diamati. Yang jelas dari sisa arsip tahun 1959 bisa diketahui Suara Indonesia memiliki rubrik sastra.
Tahun 1960-an, penyair-penyair seperti Gde Dharna dan Ketut Suwidja banyak menulis puisi di Suara Indonesia. Penyair lain adalah Yudha Paniek, Made Taro, Raka Santeri, IGB Arthanegara, Niniek Berata, Ngurah Parsua untuk menyensus beberapa nama. Mereka bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), berafiliasi dengan PNI, memuja Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Tema sajak penyair zaman ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, mendengungkan semangat Manipol USDEK, revolusioner, dan anti-nekolim. Rubrik sastra pun diberi nama Banteng Muda, yang kelak berubah menjadi Taman Muda Remaja dan kemudian Pos Remaja. Komang Soka adalah salah satu pengurus PNI (Partai Nasional Indonesia) dan LKN yang sempat menjadi redaktur sastra Banteng Muda.
Lewat organisasi LKN, hubungan antara penulis dan seniman Bali terbina akrab dengan seniman luar Bali seperti Yogja. Rombongan LKN Jogya pimpinan Budi Satria datang ke Bali Desember 1964-Januari 1965 mementaskan dua drama di Singaraja, Tabanan, dan Denpasar, yang judulnya adalah ‘Api di Lembah Mati’ karya Singgih Hadi dan ‘Malam Pengantin di Bukit Kera’ karya Motinggo Busye. Drama ini juga dipentaskan di Jember dan Banyuwangi dalam perjalanan bolak-balik Yogja-Bali.
Pementeasan drama LKN Yogja mempengaruhi aktivitas teater di Bali. Buktinya, bulan Maret 1965 LKN Bali menggelar festival teater dengan menjadikan naskah Singgih Hadi dan Motinggo di atas sebagai naskah pilihan. Budi Satria mengamati festival ini. Kehidupan sastra dan teater di Bali tidak terisolasi tetapi berkaitan dengan Jawa.
Koneksitas sebagian penyair dan penulis Bali dengan koleganya dari berbagai penjuru di Indonesia terjadi karena Bali sering menjadi tuan rumah pertemuan sastra dan budaya. Lekra menggelar Konfernas di Bali tahun 1962. Pertamuan ini membuka jalur buat Putu Shanty dan Putu Oka berkenalan dengan penulis-penulis yang ikut Konfernas. Tahun 1963, Bali menjadi tuan rumah pertemuan pengarang Asia Afrika, yang ketua panitia pusatnya berada di tangan Pramudya Ananta Tur dan Sitor Situmorang.
Yang jelas, kegiatan sastra tingkat nasional saat itu membuat Bali bisa disebut sebagai, meminjam istilah Will Derks (2003), salah satu regional-centre sastra Indonesia.
Era Orde Baru
Dalam era Orde Baru, penyair-penyair yang muncul adalah mereka yang kemudian bergabung dengan Lesiba (Lembaga Seniman Indonesian Bali) pimpinan Drs. I Made Sukada, dosen Fakultas Sastra Unud. Kehidupan sastra terus berlanjut, diwarnai dengan lomba menulis puisi, deklamasi di radio, dan apresiasi.
Tahun 1976, Bali Post bekerja sama dengan Lesiba menyelenggarakan lomba menulis puisi dalam rangka peringatan hari wafatnya Chairil Anwar dan peringatan Pendidikan Nasional bulan Mei. Puisi pemenang dimuat di Bali Post. Koran ini menjadi pusat perkembangan sastra. Rubrik ‘kontak’ seperti di majalah Damai dan tabloid Harapan muncul di koran ini untuk merangsang penulis berkarya.
Tanggal 25 April 1976, apresiasi ‘besar’ berlangsung di aula SPGN Denpasar diprakarsai oleh Widminarko dan dari sana akhirnya dibentuk Sanggar Pos Remaja. Penulis muda yang aktif waktu itu adalah Adnyana Sudibia dan Gde Aryantha Soethama. Aryantha menulis puisi dan banyak cerpen. Kalau 2006 lalu Aryantha lewat cerpen-cerpennya dalam Mandi Api (Buku Kompas) mengukir sejarah meraih Khatulistiwa Literary Award, maka jawabannya karena kreativitasnya sudah tumbuh kokoh sejak 30 tahun sebelumnya.
Penyair muda Raka Kusuma mulai mengirim sajak tahun 1976 ke Bali Post. Namanya muncul di kontak dan mendapat komentar seperti ini: ‘Adik produktif sekali. Sajak-sajakmu masih dalam pertimbangan. Kalau yang ada masih bisa diperbaiki, perbaikilah’. Gaya kontak seperti ini sudah muncul di majalah Damai dan tabloid Harapan tahun 1950-an, dan kelihatan ampuh sekali untuk mendorong penulis berkreativitas.
Umbu mulai masuk Bali Post bulan Juni 1979, dan menulis catatan di rubrik Pos Remaja 8 Juli 1979 di bawah judul ‘Memanggil Remaja Kreatif’. Sejak itu, ‘rubrik kontak’ diaktifkan terus dan membuat banyak calon penulis senang melihat namanya disensus setiap minggu. Nama-nama seperti Gde Artawan, Nyoman Wirata, Windhu Sancaya, Ketut Yuliarsa Sastrawan, IB Dharma Palguna, Lilik Mulyadi, Erlina, dan Alit S Rini sering nongol dan berproses dari tingkat sajak ‘kompetisi’ dan sajak kelas ‘budaya’.
Umbu melanjutkan efektivitas rubrik ‘kontak’ dengan rajin ‘mendorong’ penulis muda agar terus berkarya. Umbu juga menggelorakan kegiatan apresiasi di Bali seperti yang dia kerjakan sewaktu menjadi redaktur mingguan Pelopor Yogja. Semarak apresiasi di Kota Gudeg saban malam di pedestrian Malioboro membuat Umbu mendapat predikat sebagai President Malioboro.
Untuk di Bali, apresiasi yang dipromosikan Umbu pertama kali berlangsung Minggu, 5 Agustus 1979, hampir dua bulan sejak dia berdinas di Bali Post. Apresiasi berlangsung di Art Centre. Menurut Catatan Pos Remaja-nya Umbu edisi 12 Agustus 1979, peserta yang hadir saat apresiasi pertama sekitar 15 orang, termasuk Abu Bakar dan Frans Nadjira, yang tak lama kemudiannya berangkat ke IOWA City untuk program kreativitas penyair internasional.
Usaha Tjok Raka Pemajun mengundang Sutardji ke Bali juga ikut menghangatkan dinamika sastra di Pulau Dewata. Tjok Raka, Gerson Poyk, Putu Arya Tirtawirya, dan Putu Setia adalah penulis yang rajin menyemarakkan geliat sastra di Bali, awal-awal Umbu mulai berdinas sebagai redaktur. Esei mereka dan apresiasi mingguan berkombinasi membangun kekuatan literer yang mendorong penulis muda berkreativitas.
Apresiasi berlanjut, tidak saja di Art Centre, tetapi juga di sekolah-sekolah di seluruh Bali. Umbu rajin datang ke Jembrana, Gianyar, Bangli, Karangasem, dan tentu saja Singaraja untuk menggelorakan apresiasi. Selain di sekolah, kampus dan sanggar-sanggar, kegiatan apresiasi sastra juga berlangsung di rumah-rumah seperti yang pernah saya ikuti di rumah Prof Dr dr Moerdowo, Made Sukada, Abu Bakar, dan rumah Boyke Karang. Raka Kusuma, Ida Bagus Adnjana, Syahruwardi Abbas, Adhy Riyadi, Nyoman Wirata adalah beberapa teman yang saya lihat rajin berapresiasi.
Peran Usadi Wiryatnaya dan Jean Cauteau dalam apresiasi sastra juga perlu dicatat. Mereka sering hadir dan memberikan pandangan-pandangan filsafat dan global tentang sastra yang berguna buat memperluas wawasan ‘mahasiswa akademi puisi’ model Umbu Landu Paranggi.
Dengan seleksi puisi sistem berjenjang, Umbu berhasil membuat penulis mudah yang kukuh untuk berjuang keras agar bisa lulus dari jenjang pemula (Pos Remaja) menjadi jenjang penyair (Pos Budaya). Dalam sebuah pengantar ‘Masih Seputar Kompetisi’(Bali Post, 5 Agustus 1979), Umbu menjelaskan konsepsi mengenai jenjang Pos Remaja dan Pos Budaya seperti ini: “Sudah pasti yang berhasil menjebol gawang Pos Remaja, berhak mendapat tempat baru di ruang Seni-Budaya (halaman 5), sajak-sajak mana sejajar dengan sajak-sajak dalam majalah Horison, Basis, Kesenian, Budaya Jaya. Para pengasuh juga berjanji pabila kau berhasil merobek gawang Pos kita yang tangguh kelak sajak-sajakmu akan dikirimkan ke majalah atau lembaran-lembaran kebudayaan yang tersebar di seluruh Indonesia.”.
Apa yang dikatakan itu memang dilaksanakan, buktinya Umbu meneruskan beberapa sajak penyair Bali ke tangan Abdul Hadi yang saat itu menjadi redaktur sastra koran Berita Buana. Dari sana, penyair Bali kian diperhitungkan di tingkat nasional dan senantiasa diundang dalam forum temu penyair di Taman Ismail Jakarta, sesuatu yang menjadi idaman para penyair daerah.
Sejumlah penyair Bali yang sempat diundang ke forum di TIM adalah Nyoman Wirata, Raka Kusuma, Adhy Riyadi, dan Made Suantha. Sebelum era Umbu, kesempatan seperti ini tidak pernah ada.
Hari berjalan terus dan nama-nama penulis muda terus bermunculan dari berbagai daerah, sanggar-sanggar juga aktif, salah satu yang maju di Denpasar adalah Sanggar Minum Kopi, tempat berkumpulnya penyair yang umumnya mulai menulis akhir 1980-an, dan memasuki masa produktif dan matang pertengahan 1990-an, seperti Warih Wisatsana, Tan Lio Ie, Fajar Arcana, Wayan Sunarta, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Riki Dhamparan Putra, Raudal Tanjung, Nuryana Asmaudi, dan Sindhu Putra.
Penyair-penyair itu tidak saja menulis puisi tetapi juga menjelajah cerita pendek sehingga tembus di Kompas, seperti Wayan Suardika, Cok Sawitri, Fajar Arcana, dan Wayan Sunarta, memperpanjang nama penulis Bali yang tembus sebelumnya seperti Aryantha Soethama.
Era Reformasi
Tidak ada kesepakatan tentang kapan era reformasi muncul. Era setelah Presiden Suharto jatuh sering disebut era reformasi atau pascareformasi. Ada juga yang menyebutkan bahwa sebagai gerakan era reformasi sudah dimulai sejak awal 1990-an, ketika demonstrasi mahasiswa berdenyut, sejak demo menentang lotere SDSB. Wujud nyata gerakan reformasi di Bali bisa dilihat saat demo besar-besar menentang megaproyek Bali Nirwana Resort (BNR) terjadi 1993/1994. Tahun ini bisa dianggap zaman reformasi untuk sastra Indonesia di Bali.
Periode reformasi sastra di Bali bisa dipancangkan mulai awal 1990-an, ketika penyair Bali mulai banyak menulis sajak protes tentang merosotnya landscape dan spiritualscape di Bali akibat pembangunan yang berlebih (lihat Bali Post, Minggu, 31 Mei 2009). Penyair Bali seperti Tan Lio ie, Wayan Arthawa, Landras Syaelendra mempublikasikan sajak-sajak ‘protesnya’ di majalah Horison tahun 1994. Umbu yang semula dikenal lebih menyukai sajak-sajak soliter (berurusan dengan sunyi jiwa), pada era ini membuka ‘gawang’ rubrik puisinya dengan memuat sajak-sajak solider (mengekspresikan kepedulian sosial).
Selain sajak-sajak protes atas ancaman hancurnya tata ruang dan tata spiritualitas Bali, dalam masa reformasi, halaman puisi Umbu juga banyak memuat sajak-sajak bertema ‘reformasi’ misalnya karya Alit S Rini yang mengangkat tema perjuangan politik Megawati, atau isu gender seperti terbaca dalam sajak Cok Sawitri dan Oka Rusmini.
Dalam bentuk dan konteks lain, isu kesetaraan gender ini mengingatkan apa yang ditulis penulis wanita Bali di Djatajoe tahun 1930-an. Bedanya, penulis wanita 1990-an ini memang sadar untuk menjadi penyair dan menjadikan sajak sebagai ekspresi kepedulian social.
Umbu dan Bali
Seperti terlihat dalam uraian di atas, kesemarakan sastra Indonesia di Bali bukanlah hal baru tetapi sudah mulai berbenih sejak zaman kolonial, dan meningkat tajam pada zaman revolusi nasional, Orde Baru, dan era reformasi. Sejak dulu hingga kini Bali adalah ladang subur sastra, tak hanya sastra daerah (Bali dan Jawa Kuna) tetapi juga sastra Indonesia. Umbu ikut memainkan peranan penting dalam dinamika sastra Indonesia di Bali, khususnya mulai 1979, era Orde Baru.
Yang pantas dicatat dari Umbu adalah kepiawaiannya mengelola rubrik sastra dan apresiasi di era militeristik Orde Baru tanpa pernah tersentuh ‘sensor’ atau ‘penggrebegan’. Walaupun dulu sesekali terdengar di antara kawan-kawan bahwa kegiatan apresiasi sastra Umbu diintai oleh intel, nyatanya tidak pernah terjadi pembubaran sehingga tujuan apresiasi untuk menyuburkan sastra di Bali bisa menggelinding.
Dedikasi Umbu telah membuat sabana sastra Balidwipa tumbuh subur ditandai panen penyair yang tidak pernah berhenti dalam tiga dekade, 1979-2009. Deretan nama penyair dan cerpenis Indonesia yang lahir dari Bali dan aktivitas sastra di Bali semakin mengokohkan Bali sebagai salah regional centre sastra Indonesia.
***
*)Tulisan ini disusun untuk memeriahkan Reuni Apresiasi Sastra 30 Tahun Umbu Landu Paranggi membina sastra di Bali, 1979-2009. Apresiasi berlangsung 16 Juni 2009 di Singaraja, disusul bulan-bulan berikutnya di kota-kota lain di Bali. Di Denpasar dilaksanakan di Gedung Ksirarnawa, Art Centre, awal Juli 2009, di sela-sela pelaksanaan Pesta Kesenian Bali.
**) Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Universitas Udayana. http://sastra-indonesia.com/2021/01/sastra-indonesia-di-bali-sebelum-dan-semasa-umbu-landu-paranggi/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar