Sutejo
Ponorogo Pos
Pada tengah Juni 2008,
saya sempat ngobrol bersama Abdul Hadi sebelum menjadi pembicara dalam
rangkaian diskusi hantaran pengukuhan guru besarnya. Abdul Hadi sendiri adalah
pelopor sastra profetik –yang sampai sekarang—tetap konsisten dengan pilihan
pengucapan dan corak kekaryaannya. Pada acara diskusi di Universitas Paramadina
Jakarta itu saya menyebutnya nabi, karena secara filosofis kepenyairan di Yunani
adalah “proses kenabian”. Penyair adalah nabi kehidupan karena menyuarakan
ruh-ruh kenabian. Budi Darma menyebutnya dengan rhapsodist: orang yang
bergagasan cemerlang dan berbahasa secara cermerlang pula.
Lelaki profetik itu
pernah mengikuti International Writing Iowa tahun 1973-74 dan lulus Ph.D. dari
Universiti Sains Malasyia dengan disertasi Estetika Sastra Sufistik: Kajian
Hermeneutik terhadap Karya-Karya Syaikh Hamzah Fansuri (1995). Pada 1978 dia
mendapat hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta; 1979 memperoleh
Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia; 1985 memperoleh Hadiah Sastra ASEAN
(Sea Write Award) dari pemerintah Thailand; buku esainya Kembali ke Akar
Kembali ke Sumber (1999) memperoleh Hadiah Buku Terbaik 2000 dari Yayasan Buku
Utama; dan 2003 mendapat Hadiah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di Kuala
Lumpur.
Beberapa poin berikut
adalah hasil refleksi dan pembacaan atas pengalaman kreatifnya, baik itu
langsung maupun tidak. Sebuah cermin yang dapat ditatap maknanya dalam menapaki
dunia kepenulisan: (a) dia banyak memperoleh ide saat membaca al-Qur’an, (b)
dia banyak mengamati realita sosial hingga muncul refleksi profetiknya, (c)
aura liris-profetik karya-karya adalah pilihan pengucapan yang konsisten, (d)
corak multikulturalisme sebagai ladang kreatif, (e) gerakan profetik dengan
mengembalikan makna karya sastra sebagai gerakan kembali ke sumber, dan (f)
pengalaman pembacaannya atas teks-teks sastra sufi tampaknya memengaruhinya
untuk berkarya.
Menulis bagi Pada awal
1980-an, Abdul Hadi (ingat saya) adalah sastrawan yang memopulerkan sastra
profetik. Sekaligus merupakan pilihan pengucapannya sebagai penyair. Sebuah
upaya untuk kembali ke akar kehidupan, dan kembali ke sumber dalam bahasa
Danarto. Bukankah “kesufian” adalah kodrat umat manusia dalam graduasi yang
berbeda? Orang Jawa, menyebutnya agama agemining ati, karena itu, bersastra
(yang profetik) tentunya merupakan salah satu “pakaian kehidupan” itu sendiri.
Sastra profetik sendiri adalah semacam “genre” atau aliran sastra yang
memandang bahwa karya sastra memiliki muara moralitas tersembunyi, yang alir
profetiknya semacam oase transendental untuk mengobati kehausan dalam
kehidupan. Dalam konteks sastra profetik ini, sebagian orang akan menyebutnya
dengan sastra sufistik atau sastra transendental.
Dalam konteks mutakhir
muncul gairah sastra Islami dengan puncak Ayat-Ayat Cinta sebagai puncak
pentasbihannya, akan menjadi jembatan (transisi apresiasi) menuju pergulatan
optimal atas keberadaan sastra profetik yang diusungnya. Sebab, sastra profetik
seringkali menggunakan simbol-simbol estetik (bahasa metafora) –yang tentunya—
tidak sama manakala kita berhadapan dengan teks Ayat-Ayat Cinta.
Sementara itu, di
bangku-bangku sekolah kita temukan nyaris guru-guru sastra tak beranjak dari
problem masa lampaunya: jengah di padang estetika sastra dan gundah di tengah
sawah pembelajaran yang berubah. Problem guru sastra adalah problem “orang tua”
yang tak jelas nasabnya, tak jelas pula pola asuhnya. Guru sastra adalah produk
kognifikasi estetika sastra, karena pembelajaran sastra bukanlah pergulatan
tetapi verbalisme informasi estetik. Belum lagi, dalam praksisnya, guru
seringkali tidak berani beranjak dari dunia lamanya. Sastra terpandang sebagai
si anak liar, anak belantara yang tak jelas buminya. Padahal, dalam sejarah
negara berbudaya, sastra merupakan pintu masuk bagi warga yang berbudaya.
Negara macam Inggris, Jerman, Jepang, Cina, Amerika, Perancis adalah
contoh-contoh itu. Belum lagi Yunani sebagai bangsa sumber ilmu adalah muara
estetika sastra pula.
Dalam konteks membumikan
sastra profetik (paradigma kesenian Abdul Hadi ini), sebagai penulis pemula
misalnya, kita penting untuk mengenali, menghayati dan –barangkali—menjadi
corak ini sebagai pola diikuti dengan pengucapan yang matang. Makna di balik
pilihan demikian adalah makna pesan tersembunyi yang digerakkan teks sastra.
Dunia sastra dengan sendirinya adalah jembatan budaya di satu sisi dan di sisi
lain merupakan jembatan layang untuk menanamkan berbagai kepentingan. Gagap
sosiologis masyarakat kita, dengan demikian, merupakan bagian dari kegagalan
pembelajaran sastra secara tidak langsung.
Sebab, realitas sosial
dalam pandangan sosiologi sastra merupakan sebab musabab lahirnya sebuah karya
sastra (puisi). Ignas Kleden, berpandangan bahwa hubungan kausalitas itu
sedemikian kuatnya sehingga teks sastra tidak lain adalah refleksi
(superstruktur) dari struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan
karyanya. Georg Lukacs dalam Ignas Kleden, mengungkapkan bahwa fungsi
refleksi-imaji karya sastra dapat berperanan sebagai pantulan kembali dari
situasi masyarakatnya (Wiederspiegelung), baik menjadi semacam salinan atau
kopi (Abbild) suatu struktur sosial, maupun menjadi tiruan atau mimesis
(Nachahmung) masyarakat. Refleksi ini dengan sendirinya, bukan sekadar
reproduksi suatu realitas sosial menurut berbagai kesan yang masuk dari luar ke
dalam persepsi tetapi juga mengandung respons dan reaksi aktif terhadap impresi
tersebut. Dan, Abdul Hadi dalam berbagai pergulatan sosial dalam menapaki
perjalanan ruangnya macam Rotterdam, London, Hamburg, Zurich, Baghdad, Teheran,
Istambul, Tokyo, Seoul, Kyoto, Taiwan, Dacca, Bangkok, Manila, New Delhi,
Singapura, dan Kuala Lumpur; telah meletakkan bingkai multikultural itu dengan
profetik sebagai sumbunya.
Dalam konteks historis
sosiologi Melayu, maka keberadaan sastra profetik (sufistik) ini tidak sulit
ditemukan. Hamzah Fansuri, misalnya, sebagai simbol sastra Melayu yang paling
populer, ternyata memiliki hubungan dalam konteks abad 20-an. Bahkan, tentunya
sampai sekarang hal itu dapat ditelusuri dalam berbagai karya, baik puisi
maupun fiksi. Akar sosiologis tentang genre ini tentunya sudah mendarah daging.
Bagi Abdul Hadi, kegetolannya dalam sastra Melayu memang semacam pilihan untuk
(a) mengabadikan histori perjalanan sastra yang sebenarnya sudah tua, dan (b)
membumikan cara dan teori sastra yang berbeda dengan kecenderungan sastra
Indonesia yang beroreantasi Barat.
Abdul Hadi, seperti apa
yang dipesankan Sutardji Calzaum Bahri, “Dul, jadilah dirimu sendiri. Bukan antek
Barat.” Dan, memang Abdul Hadi telah merentas karakter teori dan teks sastra
dengan pola sendiri. Termasuk pola penafsiran hermeneutik dengan metode ta’wil
yang ditawarkannya. Hal itu dilakukan, barangkali karena konteks sosilogis yang
mengalirinya adalah muara multikultural yang –sesungguhnya sudah realita yang
menarik—untuk ditarik pada makna yang komprehensif. Sebab, baginya kehidupan
itu tidak dapat dipilah-pilah sebagaimana realita sekarang.
***
Ketika pengalaman
keislaman menguat yang ditandai dengan maraknya buku-buku Islami, pilihan corak
sastra profetik (dalam realita multikultural) sangatlah menarik. Sewindu
terakhir persoalan spiritualitas menguat seiring dengan rumitnya persoalan
hidup yang semakin merebak, baik persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum,
psikologi, pendidikan, dan agama. Bahkan, agama seringkali dinilai bukan
sebagai sumber kedamaian tetapi muara persoalan. Berbagai bentuk kekerasan di
Indonesia, misalnya, seringkali disebabkan oleh persoalan agama ini. Dalam
konteks inilah, maka spiritualitas –sungguh—menjadi oase di padang gurun
kekeringan jiwa. Spirit yang merujuk pada semangat kebaikan, menggerakkan, dan
menemukan. Bukan membedakan. Puisi, misalnya, sebagaimana pilihan tema Abdul
Hadi dapat menjadi contoh dalam gerakan sastra profetik itu.
Sejak 2000 bermunculan
konsep-konsep spiritualitas bersifat interdisipliner: spiritual quation-nya Ian
Marshal dan Ranah Johar, ESQ Ary Ginandjar, SEFT (Spiritual Emotional Freedom
Technique) Ahmad Faiz Zainuddin, dan masih banyak lagi. Ada buku lain,
Spiritual Reading, yang mengisahkan bagaimana secara historis umat Islam
sesungguhnya telah membumikan baca tulis sehingga dalam perjalanan peradaban
abad 4 sampai awal belasan. Meskipun konsep spiritual beragam maknanya, tetapi
yang hakiki spiritual mengarah pada makna spirit kebaikan yang universal.
Banyak orang yang tidak beragama tetapi mereka memiliki spiritualitas yang
tinggi. Untuk komunitas masyarakat macam Tengger, Baduy, Bisu, dan Samin adalah
contoh konkrit yang memancarkan spiritualitas itu. Prinsip perikehidupan Samin
(sebenarnya mereka menamakan dirinya Sedulur Sikep) tentang kebaikan, misalnya,
mereka memformulasikan secara sederhana: kesamaan antara rembug karo
kasunyatan.
Dalam konteks penguatan
spiritualitas profetik ini, maka sungguh menarik mendiskusikan sastra profetik
itu dalam banyak ragam. Yang pertama-tama, jika kita ingin menulis jenis karya
yang profetik maka, penting untuk belajar pada sastrawan macam Danarto, Abdul
Hadi WM, Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid
Jabbar, Kuntowijoyo, dan sebagainya di ruang-ruang kelas. Paling tidak,
sastrawan ini, dinilai kuat dan kental nilai sufistiknya dalam kecenderungan
karyanya.
Jika kita menjatuhkan
pilihan pada pengucapan lirik bertema profetik maka hal berikut menarik untuk
dipikirkan: (a) perlunya kita memiliki penguasaan atas simbol bahasa, (b)
penguasaan simbol budaya, dan (c) penguasaan simbol estetika sastra.
Masalahnya, bahasa, budaya, dan estetika yang bagaimana? Yang bersifat
profetik. Artinya, filosofi dan gerak sifat kenabian yang alir di dalamnya.
Secara sosial, Abdul
Hadi, sejak kecil memang sudah bergulat dengan teks-teks bersifat sufisme.
Abdul Hadi sejak muda sudah bergulat dengan puisi. Subijantoro Atmosuwito,
menuliskan Abdul Hadi sebagai born as a poet. Sejak kecil ia sudah bergulat
dengan puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lainnya. Dia juga banyak
bergulat dengan pemikiran dan karya sastra sufi Timur Tengah dan Melayu
menjadikan Abdul Hadi pelopor di garis sastra profetik ini. Dalam bahasa
Subijantoro, Abdul Hadi adalah penyair yang sangat prolifik, menjurus pada
penemuan pribadi, dan mungkin calon tokoh terkuat dalam sejarah sastra
mendatang (ingat, ini dituliskan Subijantoro sekitar 1989).
Tidak heran, jika
kemudian kepenulisan Abdul Hadi dipandang memiliki posisi penting. Paling tidak
hal itu disebabkan oleh: (a) sebagai salah satu penyair putera Madura yang
representatif, (b) dia dipandang mampu mempertahankan perpuisian liris di jejak
pendahulunya macam Amir Hamzah, Chairil, dan Sitor Situmorang, dan (c) ada
eksperimentasi yang dilakukannya untuk mengrinstalisasi pengertian falsafi
(profetik atau sufistik, penulis). Dengan begitu, maka penelusuran falsafi
dalam konteks sastra profetik menarik untuk mengaitkannya dalam lingkup
religiustias latar dan pergulatannya.
Larik-larik puisi berikut
menggambarkan bagaimana pembacaan nilai-nilai kesufian menjadi bingkai
kepenyairannya.
Ruh meratap dan bersedih,
sayang
menggetar dalam permainan
api
maha dahsyat ini
Ruh tiada tidur,
mengembara dengan sayapnya
kudus dan putih
Hutan-hutan hangus
terbakar
Ruh terbang dan minum
arak
Dikoyak-koyak keinginan
Ruh meratap dan bersedih,
sayang
Dari puisi Ruh.
Dalam pengakuannya
kompleksitas hidup di dunia ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Sehingga, fenomena
hidup hakikatnya merupakan kaitan yang bersifat makro dan saling terkait. Dan,
pucak penggeraknya adalah ruh profetik itu. Dalam memberikan pengantar
terjemahan Matsnawi, Abdul Hadi mengungkapkan bahwa para sufi (termasuk penyair
profetik), lebih dan sering tergerak oleh apa yang disebut mahabbah dan ‘isyq
(cinta yang berlipat ganda sehingga menimbulkan energi kreatif untuk
menjelmakan sesuatu sebagai bukti cinta yang mendalam).
Seorang penyair sufistik,
dengan demikian, berkarya merupakan perwujudan dari ‘isyq itu sendiri. Tidak
heran, ruh ‘isyq ini alir dalam segala wajah, bentuk, dan wujud. Meminjam
pemahaman ini, maka menafsirkan larik-larik: /Ruh meratap dan bersedih, sayang/
menggetar dalam permainan api/ maha dahsyat ini/ Ruh tiada tidur, mengembara
dengan sayapnya/ kudus dan putih// Hutan-hutan hangus terbakar/ Ruh terbang dan
minum arak/ Dikoyak-koyak keinginan/ Ruh meratap dan bersedih, sayang//
Ruh dalam konteks
bait-bait itu, tentunya mengingatkan akan apa yang diungkapkan Abdul Hadi bahwa
penyair –karena cintanya pada Tuhan– (karena Alam misalnya juga ayat dan
perwujudan Tuhan itu sendiri) sebagai representasi ruh (idealisme kesucian
hati) yang pasti tergerak oleh kepincangan realitas. Frase “permainan api”, “maha
dahsyat” dan larik “Hutan-hutan hangus terbakar” dan “Dikoyak-koyak keinginan”
menggambarkan keserakahan manusia ketika tidak bersahabat dengan hutan. Frase
permainan api tentu misalnya, mengingatkan tentang beragam kemungkinan: (a)
hutan yang sengaja dibakar untuk kepentingan perusahaan tertentu, dan (b)
kelalaian manusia dalam mengelola hutan karena kemarau sehingga terbakar.
Kesadaran kudus (ruh),
kesadaran untuk menahan diri, misalnya, dalam larik-larik itu direpresentasikan
dengan diksi “ruh” secara berulang. Beragam makna tentang ruh, tentu, menjadi
estetika tersendiri dalam pemahaman atas sebuah puisi. Yang terpenting,
misalnya, bagi seorang guru bagaimana menyampaikan pesan religius akan penting
perwujudan cinta terhadap alam.
Sebagai perbandingan,
Hamid Jabbar yang juga mengalami pergulatan sosiologis Islami tampak demikian
menonjol pula nuansa sufisme di dalam karya-karyanya. Secara sosiologis dia
diasuh oleh iklim sosial yang kental dengan aroma kultural, kaya dengan
khazanah budaya, seni tradisi, dan lingkungan yang relijius. Puisi-puisi Hamid
Jabbar dengan sendirinya merupakan refleksi dari kehidupan yang dialaminya.
“…Lalu kenangan saya di surau,” begitu ungkap Hamid Jabbar, “di pengajian yang
disampaikan ayah saya, mengingatkan kepada kisah Nabi Ibrahim, yaitu ke sesaat
sebelum dilemparkannya Nabi Ibrahim ke dalam api unggun…. Ketika itu, saya
ingat pula bahwa ada perintah Allah dalam Al-Qur’an, secara tersurat
mengingatkan bahwa apa pun yang engkau perlukan, mintalah selalu kepada Allah.”
Dalam pandangan Horace,
dulce (indah) dan utile (bermanfaat) , maka puisi-puisi Abdul Hadi, tidak saja
sebuah keindahan puisi tetapi juga menawarkan manfaat relijius. Sebab, ragam
tema puisi Hamid Jabbar mengimajikan dunia yang oleh Heidegger disebutnya dengan
Yang Empat-Lipat (Geviert), yang satu diantaranya adalah “tuhan-tuhan”.
Tuhan-tuhan ini hanya dimungkinkan muncul di dalam dimensi (hadirat) ketuhanan,
dan hadirat ketuhanan dimungkinkan hanya di dalam dimensi yang Suci (the Holy),
dan hanya dari kebenaran Ada-lah esensi dari yang-Suci dapat dipikirkan.
Barangkali, sufistikisasi puisi Hamid Jabbar tak kalah dengan sastrawan macam
Fariduddin Attar, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rummi, Rabiah Al-Adawiyah yang
oleh Maman S. Mahayana dinilai berhasil mengemas pesan agama (relijius) ini ke
dalam estetika sastra.
***
Dalam menulis sastra
profetik, karena itu, barangkali penting dipahami penyairnya sendiri mengasah
pengalaman profetiknya. Abdul Hadi dalam banyak karyanya, tampaklah bagaimana
relijiusitas (sence of religi), dalam wujudnya, mencakup pengakuan kebesaran
Tuhan (God’s glory), perasaan dosa (guilt feeling), dan perasaan takut
kepada-Nya (fear to God). Rasa takut, pengakuan atas kebesaran Tuhan, dan rasa
berdosa demikian, misalnya, dapat dijadikan pintu kepenulisan. Bagaimana dengan
Anda? Jangan alergi, sebab religius itu sesungguhnya bukanlah label-label
keislaman tetapi lebih dari itu hakikatnya sesuatu yang merupakan entitas dari
ruh kesejatian hidup yang tunggal.
Dua puisi Abdul Hadi WM
berikut, dapat dijadikan cermin bagaimana inspirasi pengalaman pribadi dan
pergulatan atas kemakrifatan hidup menjadi pilar kepenulisannya. Puisi pertama,
jelas-jelas terinspirasi oleh kalam Tuhan dalam surah Qaf:6 yang berbunyi:
“Tuhan lebih dekat (pada manusia) dibanding urat lehermu sendiri”. Juga pada
Al-Baqarah:115: “Ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Tuhan.” Dalam
berbagai tema dan setting sastra, dua ayat ini tentunya mengingatkan bahwa
tangan-tangan dan mata Tuhan demikian memenuhi. Sebuah ruh gerak religi agar
senantiasa ingat, waspada, dan “menyatu” dalam kerlingnya. Puncak dari puisi
pertama misalnya, dalam gelap Tuhan sekalipun, nyala (metaforik: makna,
petunjuk, hikmah) dapat dipetik. Frase “lampu padammu” barangkali metafora dari
hukuman, kebuntuan hidup, kesusahan, dan lain sebagainya.
Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padammu
1976
(dalam Rachmad Djoko
Pradopo, 1991:27)
Pengalaman multikultural
Abdul Hadi memang menggerakkan dalam kepenyairannya. Hal itu, pernah
dibincangkan bersama penulis pada sebuah kala di Universitas Paramadina.
Baginya, pengalaman kultural adalah sebuah kekayaan yang luar biasa. Dan puisi
Meditasi III sesungguhnya merupakan endapan atas pengalaman sosialnya ketika
menemukan realita sosial keagamaan yang penuh klaim akan keabsahan Tuhan
masing-masing. Hal ini tampak secara filosofis dalam puisi itu. Puncaknya,
bahkan Abdul Hadi menyentil di dalam tubuh manusia (sebagai pengalaman
sufistik) merupakan rumah semayam Tuhan.
Meditasi III
Akupun sudah letih naik
turun candi, keluar masuk gereja
dan mesjid. Tuhan makin
sempit rasa kebangsaannya.
“Musa, Musa!” akulah
Tuhan orang Israel!” teriaknya.
Di mesjid, di rumah
sucinya yang lain ia berkata pula:
“Akulah hadiah seluruh
dunia, tapi sinarku memancar di Arab.”
Aku termenung. Apa
kekurangan orang Jawa?
Kunyanyikan Bach dalam
tembang kinanti dan kupulas Budha
jadi seorang dukun
Madura.
Aku menemu sinar di mata
kakekku yang sudah mati.
Bila hari menahun dan
kota jadi benua, aku akan bikin negeri
di sebuah flat karena aku
pun adalah rumah-Nya.
Dikutip dari Bani
Sudardi, 2003:147.
Puncak puisi ini,
sesungguhnya mengingatkan satu pertanyaan penting: “Mengapa umat sering
memperebutkan Tuhan?” Sampai-sampai, suatu kali, penulis temukan semacam
“protes kecil” penulis buku yang mengungkapkan oratoris begini: “Tuhan,
sebenarnya agamamu apa?” Sebuah oase permenungan, ketika dalam puisi itu, Tuhan
seakan diperebutkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Sementara, di ujung
puisi itu, penyair mengingatkan “setiap tempat” adalah rumah-Nya. Sebuah puncak
kesadaran trasenden yang menarik untuk ditanamkan, terutama di dalam konteks
berbangsa yang multikulturalisme.
Dalam kasus puisi-puisi
pengalaman sufistik lainnya macam Hamid Jabbar, misalnya, (yang terkumpul dalam
Indonesiaku), beberapa puisi profetik tampak pada: Hidup dalam Maut (hal. 218),
Pergi ke Hilang Waktu (hal. 219), Sehilang-hilangnya (hal. 220), Berkubur dalam
Dengkur? (hal. 221), Ke Puncak Diam (hal. 226), 1 Jam Menjelang Kau Pulang
(hal. 227), Mata, Mata Tunggal yang Selalu Memandang (hal. 227), Suluh Padam
(hal. 227), Terbiar Belajar Mati (hal. 228), Kakiku Rumah Berjalan (hal. 228),
Sampit (hal. 229), Kemerdekaan (hal. 229), Kota & Kampung Hidup-Matimu
(hal. 230-231), dan Reguk Hampa Muntahkan Luka (hal. 232).
Puisi-puisi itu
ditulisnya dalam keadaan belum usai, karena ditemukan di HP-nya pada saat dia
mencapai “puncak profetiknya”. Ia menyatu dengan Tuhannya dalam tamasya
baca-batinnya di Dies Natalis Universitas Islam Negeri, 29 Mei 2004 (empat
tahun lalu). Diam (suwung), meminjam tradisi Hindu adalah saat relijius yang
disebut dalam bahasa Sansekerta-nya sebagai sunyata, yang berarti “kekosongan”
–yang dalam pemaknaan Goenawan Mohammad— ia sinonim dengan pengertian ”realitas
yang lebih mulia”. Kondisi ini terpancarkan dalam puisinya berjudul Ke Puncak
Diam berikut.
Ke Puncak Diam
setiap langkah adalah
darah
derap gairah merambah
punah
nadi-nadi di bumi tubuh
ruh ini
jalan pendakian sunyi tak
henti
nuju puncak segala
mungkin
yang entahlah tetap
mungkin
melagukan segala nyanyi
lagu rindu peneruka abadi
yang bersipongang
ngngngngggg
dari lengang ke lengang
ngngg
biar muaranya tetaplah
punah
tapi alangkah indah
alangkah
setiap langkah adalah
darah
mengucap kejadian pasrah
yang bersipongang
ngngngngggg
dari lengang ke lengang
ngngg
ke dalam jeram hati
terdalam
alirkan salam ke puncak
diam
Bantimurung, 30 Agustus
2003
Sebagai bahan permenungan
kita, dapat diilustrasikan sebagai berikut. “Bunda Teresa bersahabat dengan
diam”, begitulah tulis Goenawan Mohammad. “Hening” (diam, penulis) memang
sebuah pengakuan tentang Tuhan sebagai yang tak terungkapkan dalam bahasa
–sebab Ia senantiasa misteri yang kekal–. Secara metaforik, karena itu, judul
“Ke Puncak Diam” adalah kematian. Ini sekaligus mengimajikan perjalanan penyair
ke puncak kepenyairannya. Larik-larik /setiap langkah adalah darah/ derap
gairah merambah punah//. Diksi darah bisa bermakna hidup tetapi dalam konteks
itu berarti kematian karena diikuti dengan ungkapan “merambah punah”. Apalagi,
bait ke-2, diimajikan penyair dengan gambaran umum kodrat perjalanan hidup
manusia sebagai “jalan pendakian sunyi tak henti”. Hidup hanyalah perjalanan
menuju mati. Hal itu, semakin magis karena aliterasi /h/ dalam larik itu
–secara teoritik—mengimajikan kepedihan dan kedukaan.
Bait ke-3, diimajikan
sebagai perjalanan menuju puncak dalam setting waktu berkemungkinan. Bukankah
kedatangan (ketibaan) di puncak diam rahasia Tuhan?: /nuju puncak segala
mungkin/ yang entahlah tetap mungkin//. Ini dipertegas dengan bait ke-4:
/melagukan segala nyanyi/ lagu rindu peneruka abadi//. Idiom “segala sunyi” dan
lagu rindu peneruka abadi mengimajikan kematian yang baik adalah kerinduan
setiap makhluk. Sedangkan, “segala sunyi” sendiri menyaran pada hakikat segala
realita hidup yang tidakberarti. Sebuah kesadaran –yang tidak saja “kesunyian
ontologis”, tetapi juga “kesunyian antropologis”– pinjam istilah Arif B.
Prasetyo.
Bait ke-5 menggambarkan
kelengangan yang secara semantik sebangun dengan kecenderungan kata yang sering
dipakai Hamid Jabbar, semisal sunyi, sepi, pasrah, diam, tidur, dan pergi.
Lengang, karena itu, secara metaforis adalah sebuah jalan hening menuju
kepasrahan. Tampak bagaimana intensifnya penyair menggambarkan asal kematian
(diksi muara) tetap tidak berarti (diksi punah) yang diikuti dengan diksi
“alangkah” dua kali, menggambarkan begitu indah langkah “menuju pasrah”.
Kutipan bait ke-7 berikut menggambarkannya: /setiap langkah adalah darah/
mengucap kejadian pasrah// yang diikuti penggambaran setting suasana lengang
pada bait ke-8. Puncak perjalanan kematian itu seperti tergambar dalam bait
terakhir:
ke dalam jeram hati
terdalam
alirkan salam ke puncak
diam
Ungkapan “jeram hati”
menggambarkan telah terjadi personifikasi yang intensif, bahwa hati bergerak
deras menuju kedalaman batin yang mengantarkan keselamatan (salam) ke puncak
diam (kematian). Sebab, jeram secara leksikal bermakna aliran air yang deras dan
menurun. Hati diasosiasikan bak aliran deras menuju kedalaman sebelum merangkak
kembali ke puncak diam. Idiomatik “puncak diam”, hakikatnya, metaforis dari
segala perjalanan hidup manusia. Demikianlah, memang, dalam perjalanan
thariqah, hening (dzikir) dengan diam merupakan puncak menyatunya hamba dengan
sang Khaliq.
Begitulah, kepenulisan
Abdul Hadi tergerakkan oleh kekuatan Makrokosmos yang subtil. Pergulatannya
dalam merengkuh ide saat membaca al-Qur’an begitu tampak. Pergumulannya dengan
realitas sosial menuntunnya pada bilik refleksi yang profetik. Pengucapan
liris-profetik adalah cermin konsistennya kekaryaannya sepanjang sejarah. Dalam
banyak kasus puisinya, corak multikulturalisme tampak sebagai ladang kreatif
yang membingkai. Puncaknya, kepenulisannya dalam bingkai profetik telah
mengembalikan makna berkarya sebagai gerakan kembali ke sumber. Sebuah
pengalaman kesufian yang tampaknya memengaruhinya dalam gerak dan pandangan
estetiknya.
***
Walhasil, apa yang dapat
dipelajari dari kepenyairan Abdul Hadi WM bagi kepenulisan Anda? Pertama, bahwa
berkarya hakikatnya adalah belajar membaca totalitas kehidupan yang estetik.
Menulis, karena itu, ekspresi totalitas itu sehingga keutuhan diri menjadi
mimpi. Hidup bukanlah potongan atau pisahan atas komponen struktur hidup tetapi
gelayut kelindan dalam suprastruktur yang tersruktur. Pandangan makrokosmos
dalam hukum keterkaitan begitu menggerakkannya dalam karya-karyanya.
Kemanunggalan dengan alam misalnya, adalah realitas total yang tidak
terpisahkan dari eksistensi manusia itu sendiri. Di sinilah maka substansi
mahabah atau ‘isyq yang diistilahkan Abdul Hadi. Sebuah gelora cinta yang
meluap hingga rambah dalam gerak dan karya.
Kedua, pergulatan sufisme
kepenulisannya alir dari pengalaman hidup dan penyatuan diri dalam bingkai
multikulturaisme. Kesejatian sufisme dalam berkarya bukanlah label dan simbol
agama tertentu. Tetapi, alir ke ruh puncak yang bersifat transendental tetapi
berwujud dalam beraragam realita yang mengemuka. Kepenulisan Abdul Hadi adalah
potret wihdatul wujud dalam segala rupa. Kemanunggalan sifat yang menyaran pada
hakikat kejadian adalah kodrat tuhan. Dalam bahasa Abu Bakar, dia pernah
berpesan bahwa tak pernah Abu Bakar dalam melihat realita kecuali Tuhan ada di
sana. Dalam karya penulisan yang kita ciptakan, karena itu, menarik
menghadirkan ruh sufisme ini sebagai bentuk penghambaan abadi. Menghati.
Pengalaman kepenulisan
Abdul Hadi ini tampaknya berkaitan erat dengan hal pertama. Ajaran kebaikan
universal alir dalam segala sisi dan segi kebudayaan. Semacam postmodernisme
barangkali. Riak Tuhani mau tidak mau menjadi gerak karya-karya Abdul Hadi.
Pada dimensi ini, maka hal terpenting tentunya mengingatkan kita pada
penyadaran Hyang Tunggal dalam segala realita. Puisi Meditasi merupakan contoh
terpenting di samping Tuhan, Kita Begitu Dekat. Dalam ajaran sufisme dikenal
bahwa Tuhan alir dalam urat nadi manusia. Di sisi lain Tuhan juga
dimetaforikkan berada pikiran manusia itu sendiri.
Ketiga, estetika karya
kepenulisan hakikatnya adalah kesadaran filosofis sebagai fundasinya. Dengan
demikian apa pun karya kita akan menajamkan tentang jargon sastra untuk
masyarakat, sastra dalam kepentingan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan
secara makro. Bukan ajaran klaim-klaim tertutup atas kebenaran estetis tetapi
inklusivisme teks yang memberikan ruang kemungkinan dan mengail makna secara
tersembunyi.
Keempat, pemahaman atas
sumber ilmu, Qur’an dan Hadis, merupakan kemutlakan dalam alur penciptakan teks
sufistik-profetik. Bagaimana mungkin alirkan sufisme yang profetik tanpa
memahami sumbernya? Sebuah oratoris komunikasi yang menyadarkan kita bahwa
kekekalan makna adalah otoritas Hyang Maha Tunggal. Komunikasi yang dibangun
adalah komunikasi hening, suwung, sepi, yang bersifat transendental-dialogis.
Kebiasaan membaca Qur’an,
karena itu, banyak menginspirasi berbagai karyanya. Bagi Abdul Hadi, Qur’an
merupakan sumber segala keilmuan, termasuk karya sastra. Di sinilah, maka
menarik menjadikannya bilik renung dalam berkarya. Sebuah sumber yang tentunya
tak kan pernah kering. Dalam konteks ini, Abdul Hadi pernah mengungkapkan
pentingnya kembali ke akar dan kembali pula pada sumber. Bukankah Qur’an dan
Hadis adalah sumber segala sumber? Akar segala akar kehidupan?
Kelima, dalam berkarya
Abdul Hadi ternyata banyak diilhami pula dalam perjalanannya. Perjalanannya ke
berbagai negara dan pergulatannya dengan berbagai lapisan senantiasa
memantikkan inspirasi religius dalam berkarya. Sebuah tamasya kepenulisan yang
bersifat ruhani. Sebuah alir perjalanan yang menarik ditiru dan pada titik
penting menggerakkan untuk mengabadikannya. Ujungnya, di satu sisi senantiasa
akan menjadi cermin merenungkan eksistensi kemanusiaan dan pada sisi lain akan
memancarkan cahaya terang bagi penulis muda.
Bagaimana dengan Anda? Menepis
sangka atas ketidak membuminya puisi-puisi Abdul Hadi sebagaimana kritik Sukron
Kamil adalah kecerobohan pandangan karena tidak mengaitkan filosofi
transendental dalam kemajemukan kultur yang ada.
***
__________________________
Tulisan ini diolah dari
makalah presentasi penulis dalam acara diksusi Tapak Budaya Paramadina
Pengukuhan Guru Besar Abdul Hadi WM di Universitas Paramadina, Jakarta tanggal
9 Juni 2008.
Ignas Kleden, Sastra
Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esay-Esay Sastra dan Budaya, Jakarta: Freedom
Institute dan Grafiti (2004), hal. 9
Ibid.
Lihat, Abdul Hadi WM,
Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik,
Jakarta: Pustaka Firdaus (1999), hal. 4
Subijantoro Atmosuwito,
Perihal Sastra dan Religiusitas Sastra, Bandung: Sinar Baru (1989), hal. 42.
Ibid.
Ibid. hal. 42-43.
Abdul Hadi WM , “Pesan
Profetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rummi” pengantar buku Matsnawi,
Yogjakarta: Bentang (2006). Hal. vi.
Taufik Ismail, “Jalan
Berliku-liku Tanah Airku, Penuh Rambu-rambu Indonesiaku” sebagai “Kata
Pengantar” dalam Indonesiaku. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Menengah Depdiknas (2005), hal. x
Hamid Jabbar, “Proses
Kreatif Saya” dalam Horison edisi Maret, XXXVIII/3/2004, Kakilangit, hal. 13.
Budi Darma, “Esai adalah
Sebuah Jendela Terbuka” dalam Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera, Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional-Rosda (2005), hal.xi
Haidar Bagir, “Sekumpulan
Tulisan dengan Banyak Sekali ‘Barangkali’”, pengantar dalam Catatan Pinggir 6,
Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO (2006), hal.xxi (bagian catatan kaki).
Ibid.
Maman S. Mahayana,
“Dakwah Agama dalam Sastra” dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Oreantasi
Kritik Jakarta: Bening Publising, (2005), hal. 170
Y.B.Mangunwijaya, Sastra
dan Religiositas, Yogjakarta: Kanisius (1988). hal. 11
Lihat Goenawan Mohammad,
“Diam” dalam Catatan Pinggir 5, Jakarta: Grafiti (2002), hal. 405
Goenawan Mohammad, Ibid.
Arief B. Prasetyo,
“Semalam di Malaya: Tentang Anatomi Sunyi dalam Simfoni Perjalanan Suhaimi Haji
Muhammad” dalam Dendy Sugono dan Budi Darma (Ed), Jendela Terbuka: Antologi
Esri Mastera, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan
Rosdakarya Bandung (2005). Hal. 32. Esay ini memperbincangkan fenomena “sunyi”
yang demikian dominan dipergunakan penyair Malasyia. Semacam “alam sunyi” yang
menyaran pada kesenantiasaan hidup yang terbelah dalam konflik antara apa yang
wujud di luar batin dan yang mewujud di dalam batin.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar