Selasa, 05 Oktober 2010

Cahaya Mahfuz di Panggung Sastra Dunia

Peresensi: Ali Audah*)
The Day the Leader was Killed
Penulis: Najib Mahfuz
Penerjemah: Malak Mashem
Penerbit: Anchor Books, New York, 2000
http://majalah.tempointeraktif.com/

“My pride wounded and my heart broken, I wander aimlessly about like a stray dog. The heat does away with the pleasures of walking. CafĂ© Riche is a refuge from the pain of loneliness. …This is a temple where offerings are made to the late hero, who has become a symbol of lost hope, hope for the poor and the alienated…” (Dari “Elwan Fawwaz Muhtashimi” dalam The Day the Leader was Killed)

Di sebuah subuh, ketika Muhtashimi bangun tidur, yang pertama dilakukan adalah berdoa. Setelah itu ia berwudu dan melaksanakan salat subuh. Ia bersyukur, dalam usia setua itu masih bermanfaat. “Aku sudah tua, tapi sehat. Alhamdulillah.” Tiga zaman pernah dirangkumnya berturut-turut. Selintas lalu, ia melompati beberapa kekuasaan politik: Masa Raja Fuad I sampai zaman revolusi.

Ketika Hanaa, menantunya, memberitahukan sarapan sudah disiapkan, tak lupa ia bersyukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang diberikan kepadanya. Mereka hanya makan kacang dan falafel, makanan murahan serupa. Tetapi, bagi Muhtashimi, dua macam makanan ini lebih penting daripada Terusan Suez. Ia mengenang masa lalu_sebagai ciri orang lanjut usia_zaman telur, keju, pastrami, dan selai sudah berlalu. Itu terjadi sebelum masa Infitah_masa desentralisasi dan diversifikasi ekonomi_zaman kebijakan pintu terbuka ekonomi Anwar Sadat.

Inilah novel Mahfuz yang terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh penerbit Anchor Original baru saja beredar di Jakarta dengan judul The Day the Leader was Killed (diterjemahkan dari bahasa Arab dengan judul Yaum qutila al-za-”im).

Sesungguhnya, teknik penulisan novel yang tebalnya sekitar 100 halaman ini tidak baru dan sudah sering dilakukan oleh sastrawan terkemuka sebelumnya, seperti J.D. Salinger. Teknik Mahfuz kali ini adalah dengan menggunakan nama tokoh-tokoh pelaku sebagai judul tiap bab. Bab satu, misalnya, berjudul Muhtashimi Zayed, bab dua berjudul Elwaan Fawwaz Muhtashimi, sedangkan bab tiga adalah Randa Sulayman Mubarak. Pada bab-bab berikutnya, nama ini berulang bergantian, sesuai dengan jalan cerita. Muhtashimi Zayed adalah sang kakek, sedangkan Elwan Muhtashimi cucu lelaki Muhtashimi. Randa adalah gadis tetangga teman sekolah Elwan yang jelita dan berpendirian teguh. Pada tiap bab mereka dibiarkan berkisah sebagai “aku” yang mengutarakan pengalamannya, cita-cita, pandangannya tentang peristiwa dan kehidupannya. Di dunia sastra Indonesia, kita juga mengenal teknik penulisan semacam ini, yang dilakukan oleh Umar Kayam dalam novel Para Priyayi.

Dari bab-bab itu, kita kemudian mempelajari bagaimana keluarga itu rajin meriung sambil berdiskusi. Suatu saat mereka berbincang dan kita paham betapa penghasilan mereka—anak dan menantu—uang pensiunnya, ditambah gaji Elwan, yang digabung semua, masih jauh dari mencukupi. Mereka tinggal di sebuah flat tua, kecil, dan sangat sederhana, menghadap ke Sungai Nil, di tengah gedung-gedung yang menjulang tinggi yang dihuni oleh para keluarga kaya.

Mereka bertetangga dengan Sulayman Mubarak, yang juga sudah tua dan sakit-sakitan, bersama istri dan anaknya, Randa, yang menempati flat setingkat di atasnya. Cucu Muhtashimi berteman dengan Randa sampai mereka lulus sekolah menengah dan bekerja di kantor Anwar Allam. Keduanya sudah dipadu dalam cinta kasih. Setelah mendapat persetujuan kedua keluarga, pertunangan mereka diumumkan. Tetapi setelah berlangsung 11 tahun, mereka belum juga dapat segera melaksanakan pernikahan. Akibat kebijakan Infitah, keluarga Muhtashimi dan keluarga Sulayman mengalami kesulitan ekonomi. Anwar Allam, atasan yang sudah berumur 50 tahun tapi masih bujangan, tinggal dengan adiknya, Gulstan, seorang janda kaya. Dengan cerdik, Anwar menjodohkan Elwan dengan Gulstan karena dia sendiri berminat kepada Randa. Anwar adalah lelaki yang hanya memiliki satu ukuran dalam hidup: uang. Randa, yang melihat sikap Elwan berangsur dingin kepadanya akibat tipu muslihat Anwar, mengira cinta Elwan sudah berpindah kepada Gulstan. Randa terjebak ke perangkap Anwar, yang kemudian melamar resmi kepada orang tuanya. Hidup Randa berakhir tragis. Tipu muslihat Anwar berhasil menghancurkan kehidupan Elwan dan Randa. Akhirnya, Anwar tewas di tangan Elwan.

Melalui renungan pendek Muhtashimi, pembaca lalu mendapatkan sebuah akhir cerita. “…Setelah menjalani hukuman, Elwan akan lebih matang menghadapi tantangan hidup…. Kurasa, ia tidak akan bertemu aku lagi. Tetapi ia akan melihat kamarku yang sudah kosong dan akan menempatinya, akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya…. Mungkinkah aku masih dapat hidup lebih lama?…”

Membaca novel ini, pelbagai kesan dan pertanyaan bisa timbul. Perjalanan awal novel ini cukup menarik: Muhtashimi, yang berusia lanjut, sehat, dan bijaksana, mengungkapkan kenangan masa-masa lalu sembari mengungkapkan kekaguman pada pemimpin Mesir karismatik, Saad Zaghlul. Sementara itu, Mahfuz mendeskripsikan bagaimana keluarga itu menyelenggarakan diskusi serta kebebasan berbicara dan berpendapat antara orang tua, anak, dan cucu, sekalipun mengenai kehidupan pribadi dan dalam menentukan masa depan mereka. Berpindah ke keluarga Sulayman, dalam suasana yang sedikit berbeda tapi juga cukup simpatik, akan memperlihatkan suatu hasil kerja yang berbobot, seperti kebanyakan karya Najib Mahfuz. Dari suasana awal dalam kedua keluarga itu, terutama kenangan Muhtashimi, tertanamlah sebuah keyakinan bahwa selanjutnya kita akan melihat sebuah roman sejarah revolusi dan peristiwa politik di Mesir yang lebih menarik. Hal ini bahkan terasa selintas ketika ketegangan semakin memuncak pada saat upacara kenegaraan. Sosok penonton TV dan mendengarkan berita-berita radio digambarkan sibuk menyimak pengumuman tentang terbunuhnya seorang pemimpin (namanya tak disebutkan, tapi indikasinya tentu kepada Presiden Anwar Sadat).

Hampir bersamaan dengan itu, kelanjutan langkah demi langkah segera berubah. Peristiwa tergambar seolah tak pernah terjadi sesuatu, padahal dalam kenyataan sebenarnya ada kejadian besar luar biasa dalam sejarah bangsa itu. Suasana itu tak sejalan dengan dugaan karena hampir semua tokoh dan suasana dipaksa hanyut ke dalam soal intrik-intrik cinta yang sangat sederhana dan terkesan klise.

Sampai akhir cerita, ternyata sang pengarang tak sepatah kata pun menyebut soal politik dan revolusi. Sebagai sastrawan pertama dan satu-satunya—saat itu—dalam dunia Arab yang telah menerima hadiah Nobel Sastra pada 1988, tentu kita mengharap Najib Mahfuz akan menghasilkan karya yang lebih berbobot, paling tidak seimbang dengan karya sebelumnya. Novel ini terbit pertama kali dalam bahasa Arab pada 1985, tiga tahun sebelum ia menerima hadiah Nobel, dan tiga tahun setelah Presiden Mesir Anwar Sadat terbunuh. Tentunya ia menulis novel ini paling kurang umurnya sudah di atas 70 tahun jika kita hubungkan dengan kematian Sadat pada 1981.

Sekadar perbandingan, Andre Gide menulis novel Theseus ketika usianya sudah di atas 70 tahun. Orang menilai karya ini lebih memperlihatkan kematangan dibandingkan dengan karya-karya sebelumnya, kendati panjangnya tak sampai 100 halaman. Begitu juga Leo Tolstoi dalam Resurrection, novel tebal terakhir yang ditulisnya dalam usia 71 tahun. Sedangkan kematangan serupa tidak terpancar dalam novel The Day the Leader was Killed karya Mahfuz.

Karya Najib cukup banyak—hampir 40 buah—salah satunya yang terkemuka adalah Zuqaq al-Midaq (1947). Persoalan yang diolah hampir ada kesamaannya dalam hal pertentangan kemanusiaan yang dihadapkan kepada masalah kehidupan materi dan masalah kerohanian di kalangan masyarakat golongan menengah dan bawah. Tetapi cerita ini diakhiri dengan optimisme masa depan dan keimanan yang kuat yang tecermin melalui sosok Sayid Ridwan Husaini, sang tokoh agama yang ingin mengangkat masyarakat bangsanya di lorong Midaq yang melambangkan tanah airnya, Mesir.

Menurut saya, novel ini jauh lebih bermakna dan memiliki misi yang jelas. Novel Al-Qahirah al-Jadidah, yang menggambarkan kehidupan partai dan suburnya kolusi dalam pemerintahan, melalui antara lain pandangan berbagai mahasiswa. Makmun Ridwan yang saleh, taat, dan simpatik, berhaluan Islam nasionalis sosialis; Ali Taha teman sekampus, dan lawannya—kendati mengakui kejujuran Makmun—hanyut dalam filsafat materialisme Hegel. Semua karyanya ini memperlihatkan kepedulian Najib terhadap drama bangsa dan tanah airnya.

BEBERAPA dekade belakangan, perkembangan sastra modern Arab cenderung memilih tema persoalan gender dan bahasa. Tentu saja ini tak terlepas dari pengaruh kebudayaan Barat, yang dimulai pada masa Muhammad Ali (1769-1849), dengan usaha penerjemahan karya sastra Barat secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab.

Sementara itu, pada tahun 1970-an, nama yang lebih sering disebut sebagai calon untuk hadiah Nobel Sastra adalah Taha Husain, Taufiq al-Hakim, dan Muhammad Husain Kamil; inilah nama besar di dunia sastra Arab modern yang dianggap guru oleh Najib Mahfuz. Ternyata, pada 1988, justu nama Najib Mahfuz yang disebut oleh Akademi Swedia sebagai penerima hadiah Nobel Sastra.

Jauh sebelum itu, tentu saja ia sudah memiliki reputasi dunia dan dipandang sebagai sastrawan produktif yang sangat dihargai. Beberapa novel dan kumpulan cerpennya telah mengalami puluhan kali cetak ulang dan mendapat hadiah sastra dari lembaga pemerintah dan swasta. Perkembangan bahasa, yang dalam sastra Arab banyak menentukan, dengan sendirinya juga mengalami perubahan, yaitu dari gaya tradisional dengan kecenderungan kalimat yang berpanjang-panjang dan berbunga-bunga; pengaruh pleonasme dengan penggunakan kosakata klasik, serta tradisi menyelipkan syair-syair dan peribahasa, yang mulai berubah gaya sejalan dengan zaman, serba singkat, serba cepat. Perkembangan bahasa dalam sastra Arab modern yang lebih mencolok ialah digunakannya bahasa percakapan dalam dialog, sekalipun dalam deskripsi tetap menggunakan bahasa baku.

Kecenderungan ini memiliki pembela, juga banyak penentangnya. Najib Mahfuz adalah salah seorang yang kukuh mempertahankan penggunaan bahasa baku. Jika kita membaca novel-novelnya—dalam bahasa Arab tentunya—akan terlihat betapa Mahfuz adalah seorang penulis yang sangat cermat dalam menggunakan bahasa. Di dunia Arab ia dikenal sebagai pengarang yang sangat mencintai bahasanya, menulis dengan gayanya yang indah dan lancar, dengan gramatika yang terpelihara baik. Dalam novel dan cerpennya ia menghindari penggunaan bahasa percakapan (vernacularism), sekalipun dalam dialog antarwarga desa.

Selain keindahan bahasa, kekuatan Najib Mahfuz yang cukup menonjol adalah tinjauan analitisnya yang dalam dan menarik dalam melukiskan watak, sifat, sosok, dan gerak-gerik para pelakunya. Ini sudah terlihat dari novel-novelnya yang ditulis sejak usianya masih belia. Ia mampu memadu teknik penulisan Barat dengan tradisi Arabnya yang kental.

Menurut Faruk Mawasi (1992)—penyair dan kritikus sastra Arab modern —hampir tak ada studi sastra yang begitu besar tentang seorang sastrawan Arab yang dapat menandingi studi Najib Mahfuz. Novel dan cerpennya banyak menjadi sasaran studi. Tak kurang dari 30 buku tentang Najib Mahfuz yang sudah terbit, termasuk beberapa tesis akademik, di samping ribuan tulisan yang tersebar di majalah sastra dan dalam berbagai bahasa.

Lahir di Kairo pada 1911, Mahfuz memperoleh gelar kesarjanaannya dalam filsafat dari Universitas Kairo. Ia banyak membaca karya sastra juga dari bahasa Inggris dan Prancis-Chekov, Dostojevski, Proust, atau Galsworthy, Thomas Mann, atau Kafka. Najib Mahfuz memulai sastranya dengan penulisan cerita-cerita pendek sejak tahun 1930-an, dan sudah menerbitkan kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Hams al-Junun pada 1938. Dalam pengakuannya mula-mula ia menulis cerpen karena terpengaruh oleh dua penulis cerpen terkemuka, Mahmud Taimur dan Ibrahim Mazini, serta terjemahan-terjemahan oleh Muhammad Sibai. Banyak karyanya yang mula-mula berlatar belakang sejarah Mesir lama, setelah ia membaca Anatole France. Pengaruh ini kemudian juga memantul dalam tiga novel sejarahnya. Tetapi, dalam karya-karyanya yang kemudian, ia lebih akrab dengan kekinian. Ia sering membidik kehidupan orang bawahan atau menengah dengan pelaku orang-orang sederhana. Triloginya yang terkenal Bainal Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan As-Sukkariyah, yang berkisah tentang keluarga Mesir kelas menengah di sela-sela perubahan sejarah sosial yang mencatat berbagai masalah sejarah Mesir modern dalam tiga generasi. Dari 40 novel dan kumpulan cerpennya yang sudah terbit dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, pembaca Indonesia sudah mengenal novel Zuqaq al-Midaq (Lorong Midaq) dan beberapa cerpennya yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Dan melalui berbagai bahasa, terlihat untaian Mahfuz adalah serangkaian cahaya yang dikirim melalui panggung sastra dunia.

*) Sastrawan dan penerjemah novel “Lorong Midaq” karya Najib Mahfuz

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito