Peresensi: Ali Audah*)
The Day the Leader was Killed
Penulis: Najib Mahfuz
Penerjemah: Malak Mashem
Penerbit: Anchor Books, New York, 2000
http://majalah.tempointeraktif.com/
“My pride wounded and my heart broken, I wander aimlessly about like a stray dog. The heat does away with the pleasures of walking. CafĂ© Riche is a refuge from the pain of loneliness. …This is a temple where offerings are made to the late hero, who has become a symbol of lost hope, hope for the poor and the alienated…” (Dari “Elwan Fawwaz Muhtashimi” dalam The Day the Leader was Killed)
Di sebuah subuh, ketika Muhtashimi bangun tidur, yang pertama dilakukan adalah berdoa. Setelah itu ia berwudu dan melaksanakan salat subuh. Ia bersyukur, dalam usia setua itu masih bermanfaat. “Aku sudah tua, tapi sehat. Alhamdulillah.” Tiga zaman pernah dirangkumnya berturut-turut. Selintas lalu, ia melompati beberapa kekuasaan politik: Masa Raja Fuad I sampai zaman revolusi.
Ketika Hanaa, menantunya, memberitahukan sarapan sudah disiapkan, tak lupa ia bersyukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang diberikan kepadanya. Mereka hanya makan kacang dan falafel, makanan murahan serupa. Tetapi, bagi Muhtashimi, dua macam makanan ini lebih penting daripada Terusan Suez. Ia mengenang masa lalu_sebagai ciri orang lanjut usia_zaman telur, keju, pastrami, dan selai sudah berlalu. Itu terjadi sebelum masa Infitah_masa desentralisasi dan diversifikasi ekonomi_zaman kebijakan pintu terbuka ekonomi Anwar Sadat.
Inilah novel Mahfuz yang terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh penerbit Anchor Original baru saja beredar di Jakarta dengan judul The Day the Leader was Killed (diterjemahkan dari bahasa Arab dengan judul Yaum qutila al-za-”im).
Sesungguhnya, teknik penulisan novel yang tebalnya sekitar 100 halaman ini tidak baru dan sudah sering dilakukan oleh sastrawan terkemuka sebelumnya, seperti J.D. Salinger. Teknik Mahfuz kali ini adalah dengan menggunakan nama tokoh-tokoh pelaku sebagai judul tiap bab. Bab satu, misalnya, berjudul Muhtashimi Zayed, bab dua berjudul Elwaan Fawwaz Muhtashimi, sedangkan bab tiga adalah Randa Sulayman Mubarak. Pada bab-bab berikutnya, nama ini berulang bergantian, sesuai dengan jalan cerita. Muhtashimi Zayed adalah sang kakek, sedangkan Elwan Muhtashimi cucu lelaki Muhtashimi. Randa adalah gadis tetangga teman sekolah Elwan yang jelita dan berpendirian teguh. Pada tiap bab mereka dibiarkan berkisah sebagai “aku” yang mengutarakan pengalamannya, cita-cita, pandangannya tentang peristiwa dan kehidupannya. Di dunia sastra Indonesia, kita juga mengenal teknik penulisan semacam ini, yang dilakukan oleh Umar Kayam dalam novel Para Priyayi.
Dari bab-bab itu, kita kemudian mempelajari bagaimana keluarga itu rajin meriung sambil berdiskusi. Suatu saat mereka berbincang dan kita paham betapa penghasilan mereka—anak dan menantu—uang pensiunnya, ditambah gaji Elwan, yang digabung semua, masih jauh dari mencukupi. Mereka tinggal di sebuah flat tua, kecil, dan sangat sederhana, menghadap ke Sungai Nil, di tengah gedung-gedung yang menjulang tinggi yang dihuni oleh para keluarga kaya.
Mereka bertetangga dengan Sulayman Mubarak, yang juga sudah tua dan sakit-sakitan, bersama istri dan anaknya, Randa, yang menempati flat setingkat di atasnya. Cucu Muhtashimi berteman dengan Randa sampai mereka lulus sekolah menengah dan bekerja di kantor Anwar Allam. Keduanya sudah dipadu dalam cinta kasih. Setelah mendapat persetujuan kedua keluarga, pertunangan mereka diumumkan. Tetapi setelah berlangsung 11 tahun, mereka belum juga dapat segera melaksanakan pernikahan. Akibat kebijakan Infitah, keluarga Muhtashimi dan keluarga Sulayman mengalami kesulitan ekonomi. Anwar Allam, atasan yang sudah berumur 50 tahun tapi masih bujangan, tinggal dengan adiknya, Gulstan, seorang janda kaya. Dengan cerdik, Anwar menjodohkan Elwan dengan Gulstan karena dia sendiri berminat kepada Randa. Anwar adalah lelaki yang hanya memiliki satu ukuran dalam hidup: uang. Randa, yang melihat sikap Elwan berangsur dingin kepadanya akibat tipu muslihat Anwar, mengira cinta Elwan sudah berpindah kepada Gulstan. Randa terjebak ke perangkap Anwar, yang kemudian melamar resmi kepada orang tuanya. Hidup Randa berakhir tragis. Tipu muslihat Anwar berhasil menghancurkan kehidupan Elwan dan Randa. Akhirnya, Anwar tewas di tangan Elwan.
Melalui renungan pendek Muhtashimi, pembaca lalu mendapatkan sebuah akhir cerita. “…Setelah menjalani hukuman, Elwan akan lebih matang menghadapi tantangan hidup…. Kurasa, ia tidak akan bertemu aku lagi. Tetapi ia akan melihat kamarku yang sudah kosong dan akan menempatinya, akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya…. Mungkinkah aku masih dapat hidup lebih lama?…”
Membaca novel ini, pelbagai kesan dan pertanyaan bisa timbul. Perjalanan awal novel ini cukup menarik: Muhtashimi, yang berusia lanjut, sehat, dan bijaksana, mengungkapkan kenangan masa-masa lalu sembari mengungkapkan kekaguman pada pemimpin Mesir karismatik, Saad Zaghlul. Sementara itu, Mahfuz mendeskripsikan bagaimana keluarga itu menyelenggarakan diskusi serta kebebasan berbicara dan berpendapat antara orang tua, anak, dan cucu, sekalipun mengenai kehidupan pribadi dan dalam menentukan masa depan mereka. Berpindah ke keluarga Sulayman, dalam suasana yang sedikit berbeda tapi juga cukup simpatik, akan memperlihatkan suatu hasil kerja yang berbobot, seperti kebanyakan karya Najib Mahfuz. Dari suasana awal dalam kedua keluarga itu, terutama kenangan Muhtashimi, tertanamlah sebuah keyakinan bahwa selanjutnya kita akan melihat sebuah roman sejarah revolusi dan peristiwa politik di Mesir yang lebih menarik. Hal ini bahkan terasa selintas ketika ketegangan semakin memuncak pada saat upacara kenegaraan. Sosok penonton TV dan mendengarkan berita-berita radio digambarkan sibuk menyimak pengumuman tentang terbunuhnya seorang pemimpin (namanya tak disebutkan, tapi indikasinya tentu kepada Presiden Anwar Sadat).
Hampir bersamaan dengan itu, kelanjutan langkah demi langkah segera berubah. Peristiwa tergambar seolah tak pernah terjadi sesuatu, padahal dalam kenyataan sebenarnya ada kejadian besar luar biasa dalam sejarah bangsa itu. Suasana itu tak sejalan dengan dugaan karena hampir semua tokoh dan suasana dipaksa hanyut ke dalam soal intrik-intrik cinta yang sangat sederhana dan terkesan klise.
Sampai akhir cerita, ternyata sang pengarang tak sepatah kata pun menyebut soal politik dan revolusi. Sebagai sastrawan pertama dan satu-satunya—saat itu—dalam dunia Arab yang telah menerima hadiah Nobel Sastra pada 1988, tentu kita mengharap Najib Mahfuz akan menghasilkan karya yang lebih berbobot, paling tidak seimbang dengan karya sebelumnya. Novel ini terbit pertama kali dalam bahasa Arab pada 1985, tiga tahun sebelum ia menerima hadiah Nobel, dan tiga tahun setelah Presiden Mesir Anwar Sadat terbunuh. Tentunya ia menulis novel ini paling kurang umurnya sudah di atas 70 tahun jika kita hubungkan dengan kematian Sadat pada 1981.
Sekadar perbandingan, Andre Gide menulis novel Theseus ketika usianya sudah di atas 70 tahun. Orang menilai karya ini lebih memperlihatkan kematangan dibandingkan dengan karya-karya sebelumnya, kendati panjangnya tak sampai 100 halaman. Begitu juga Leo Tolstoi dalam Resurrection, novel tebal terakhir yang ditulisnya dalam usia 71 tahun. Sedangkan kematangan serupa tidak terpancar dalam novel The Day the Leader was Killed karya Mahfuz.
Karya Najib cukup banyak—hampir 40 buah—salah satunya yang terkemuka adalah Zuqaq al-Midaq (1947). Persoalan yang diolah hampir ada kesamaannya dalam hal pertentangan kemanusiaan yang dihadapkan kepada masalah kehidupan materi dan masalah kerohanian di kalangan masyarakat golongan menengah dan bawah. Tetapi cerita ini diakhiri dengan optimisme masa depan dan keimanan yang kuat yang tecermin melalui sosok Sayid Ridwan Husaini, sang tokoh agama yang ingin mengangkat masyarakat bangsanya di lorong Midaq yang melambangkan tanah airnya, Mesir.
Menurut saya, novel ini jauh lebih bermakna dan memiliki misi yang jelas. Novel Al-Qahirah al-Jadidah, yang menggambarkan kehidupan partai dan suburnya kolusi dalam pemerintahan, melalui antara lain pandangan berbagai mahasiswa. Makmun Ridwan yang saleh, taat, dan simpatik, berhaluan Islam nasionalis sosialis; Ali Taha teman sekampus, dan lawannya—kendati mengakui kejujuran Makmun—hanyut dalam filsafat materialisme Hegel. Semua karyanya ini memperlihatkan kepedulian Najib terhadap drama bangsa dan tanah airnya.
BEBERAPA dekade belakangan, perkembangan sastra modern Arab cenderung memilih tema persoalan gender dan bahasa. Tentu saja ini tak terlepas dari pengaruh kebudayaan Barat, yang dimulai pada masa Muhammad Ali (1769-1849), dengan usaha penerjemahan karya sastra Barat secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab.
Sementara itu, pada tahun 1970-an, nama yang lebih sering disebut sebagai calon untuk hadiah Nobel Sastra adalah Taha Husain, Taufiq al-Hakim, dan Muhammad Husain Kamil; inilah nama besar di dunia sastra Arab modern yang dianggap guru oleh Najib Mahfuz. Ternyata, pada 1988, justu nama Najib Mahfuz yang disebut oleh Akademi Swedia sebagai penerima hadiah Nobel Sastra.
Jauh sebelum itu, tentu saja ia sudah memiliki reputasi dunia dan dipandang sebagai sastrawan produktif yang sangat dihargai. Beberapa novel dan kumpulan cerpennya telah mengalami puluhan kali cetak ulang dan mendapat hadiah sastra dari lembaga pemerintah dan swasta. Perkembangan bahasa, yang dalam sastra Arab banyak menentukan, dengan sendirinya juga mengalami perubahan, yaitu dari gaya tradisional dengan kecenderungan kalimat yang berpanjang-panjang dan berbunga-bunga; pengaruh pleonasme dengan penggunakan kosakata klasik, serta tradisi menyelipkan syair-syair dan peribahasa, yang mulai berubah gaya sejalan dengan zaman, serba singkat, serba cepat. Perkembangan bahasa dalam sastra Arab modern yang lebih mencolok ialah digunakannya bahasa percakapan dalam dialog, sekalipun dalam deskripsi tetap menggunakan bahasa baku.
Kecenderungan ini memiliki pembela, juga banyak penentangnya. Najib Mahfuz adalah salah seorang yang kukuh mempertahankan penggunaan bahasa baku. Jika kita membaca novel-novelnya—dalam bahasa Arab tentunya—akan terlihat betapa Mahfuz adalah seorang penulis yang sangat cermat dalam menggunakan bahasa. Di dunia Arab ia dikenal sebagai pengarang yang sangat mencintai bahasanya, menulis dengan gayanya yang indah dan lancar, dengan gramatika yang terpelihara baik. Dalam novel dan cerpennya ia menghindari penggunaan bahasa percakapan (vernacularism), sekalipun dalam dialog antarwarga desa.
Selain keindahan bahasa, kekuatan Najib Mahfuz yang cukup menonjol adalah tinjauan analitisnya yang dalam dan menarik dalam melukiskan watak, sifat, sosok, dan gerak-gerik para pelakunya. Ini sudah terlihat dari novel-novelnya yang ditulis sejak usianya masih belia. Ia mampu memadu teknik penulisan Barat dengan tradisi Arabnya yang kental.
Menurut Faruk Mawasi (1992)—penyair dan kritikus sastra Arab modern —hampir tak ada studi sastra yang begitu besar tentang seorang sastrawan Arab yang dapat menandingi studi Najib Mahfuz. Novel dan cerpennya banyak menjadi sasaran studi. Tak kurang dari 30 buku tentang Najib Mahfuz yang sudah terbit, termasuk beberapa tesis akademik, di samping ribuan tulisan yang tersebar di majalah sastra dan dalam berbagai bahasa.
Lahir di Kairo pada 1911, Mahfuz memperoleh gelar kesarjanaannya dalam filsafat dari Universitas Kairo. Ia banyak membaca karya sastra juga dari bahasa Inggris dan Prancis-Chekov, Dostojevski, Proust, atau Galsworthy, Thomas Mann, atau Kafka. Najib Mahfuz memulai sastranya dengan penulisan cerita-cerita pendek sejak tahun 1930-an, dan sudah menerbitkan kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Hams al-Junun pada 1938. Dalam pengakuannya mula-mula ia menulis cerpen karena terpengaruh oleh dua penulis cerpen terkemuka, Mahmud Taimur dan Ibrahim Mazini, serta terjemahan-terjemahan oleh Muhammad Sibai. Banyak karyanya yang mula-mula berlatar belakang sejarah Mesir lama, setelah ia membaca Anatole France. Pengaruh ini kemudian juga memantul dalam tiga novel sejarahnya. Tetapi, dalam karya-karyanya yang kemudian, ia lebih akrab dengan kekinian. Ia sering membidik kehidupan orang bawahan atau menengah dengan pelaku orang-orang sederhana. Triloginya yang terkenal Bainal Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan As-Sukkariyah, yang berkisah tentang keluarga Mesir kelas menengah di sela-sela perubahan sejarah sosial yang mencatat berbagai masalah sejarah Mesir modern dalam tiga generasi. Dari 40 novel dan kumpulan cerpennya yang sudah terbit dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, pembaca Indonesia sudah mengenal novel Zuqaq al-Midaq (Lorong Midaq) dan beberapa cerpennya yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Dan melalui berbagai bahasa, terlihat untaian Mahfuz adalah serangkaian cahaya yang dikirim melalui panggung sastra dunia.
*) Sastrawan dan penerjemah novel “Lorong Midaq” karya Najib Mahfuz
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar