Minggu, 11 Juli 2010

KAJIAN SEBAB ATAS SUBYEK

Nurel Javissyarqi*
http://sastrarevolusioner.blogspot.com/


Dalam menelaah konstruksi budaya, baik identitas-identitas personal maupun kolektif, teori kritis, teori budaya, lebih beralih dari menggunakan kata “diri” (self) menjadi menggunakan istilah “Subyek” (subject). Hal ini di karenakan kata “diri” secara tradisional memunculkan ide tentang identitas sebagai sebuah kepemilikan pribadi, sebuah gagasan mengenai individu sebagai unit dan otonom. “Subyek” lebih mendua atau ambigu. Subyek bersifat pasif maupun aktif. (Dani Cavallaro, 2001).

Saya bertanya-tanya tentang “subyek” kata Cavallaro, yang mengatakan subyek bersifat pasif maupun aktif. Pertanyaan saya: apakah yang berkedudukan sebagai subyek bersifat pasif? Apakah bisa dikatakan subyek, jika tidak memiliki identitas predikat atau turunan?

Atau, apakah dapat dikatakan “diri” sebagai wujud “ambisi” dan “subyek” penjelmaan dari “bayangan.” Sebab ambisi serta bayangan, keduanya sama-sama ngelangut pada ketidak menentuan. Pula keduanya berhenti di pojok kelelahan, keletihan fatamurgana, walau senyatanya berangkat dari kesadaran berlebih, semacam rindu atau daya cemburu. Keberlebihan inilah hingga orang-orang menilai sebagai subyek maupun diri (self).

Contoh: “Diri wanita itu membekukan hatinya.” Apakah kalimah barusan cukup dimaknakan pasif, sedangkan yang menggerakkan hal lain itu aksi yang menampilkan reaksi. Kemiripannya terletak pada contoh lain: “Para demonstran itu tutup mulut.”

Lalu saya bertanya: apakah tidak sama antara para demonstran dengan diri wanita tersebut? Atau saudara membandingkan antara kuantitas daripada diri yang beraksi tersebut?

Untuk sampai pada kemungkinan sebenarnya, kudunya saudara tidak menjatuhkan persoalan begitu mudah tercerahkan dengan argumen yang meski menjanjikan kebenaran. Karenanya, berhati-hatilah menerima pendapat, dan ingat pendapat yang sedang dikeluarkan bagi pendapatan, atau jarak mata pancar kehadiranmu yang subyek atau diri.

Sebab setiap lipatan persoalan, penulisnya tentu mengharap yang diimpikan untuk jalannya pemikiran, dapat pula sebagai hal bertolaknya akal yang tidak sesuai dengan maksud musim serta cuaca rindu dalam persoalan diri.

Olehnya, daya tuntut kuat menanggung sakit berketabahan ialah jiwa-jiwa patut diteruskan, sebab setiap pergulatan dan pergolakan adalah nilai bertebaran, jika sabar memungutinya bagi suatu kepemilikan.

Pertama

Dalam pada itu berbalik muka pertama. Biasanya saudara terdorong atas pencarian awal atau landasan penelitian. Bisa terjadi memaknai penyebab karena berangkat dari suatu yang tersebabkan bagi pijakan. Padahal belum tentu anggapan sebab benar-benar “sebab” adanya. Maka bisa dinilai, saudara seringkali mengambil makna “sebab” berawal dari keyakinan, maka fakta yang “ada” keimanan sebagai penyebab yang akan terjadi.

Sebelum sampai pada kebenaran yang dilalaikan sejak awal. Inilah peringatan saya yang saudara anggap fakta kebenaran penyebab, bukan berangkat dari faktual adanya, karena menaruh keyakinan demi pijakan kajian.

Maka penelitian saudara menjadikan kesangsiang saya yang selalu berkesegaran melimpah. Saya melihat kadang saudara menujum penelitian, contoh duluan mana ayam dan telur? Dengan didorong semangat penelitian, cepat-cepat menentukan keyakinan bahwa “A” atau “B” penyebabnya.

Manfaat kajian ini, saudara bisa berpijak di batuan mitos tanpa merasa sangsi, sebab mitologi itu anak turun keimanan. Boleh jadi logika kemarin yang berlaku atau tidak berjalan sama sekali, sebab telah mendapati jawaban sebelum penelitian. Keterangan ini sengaja saya perbalikkan agar lewat akrobatik, cepat keluar dari keraguan menggapai apa yang seharusnya tertempati sebagai pijakan.

Saya bertanya: Apakah sebab itu? Saya harap saudara tidak kedodoran menerapkan keyakinan, sehingga tidak saya tinggalkan. (Ini pertanyaan sederhana tapi membekas, menggemparkan jika menerima kedalaman yang tidak memiliki pandangan sebelah mata).

Prosesi saya andalkan di sini: penyebab ialah suatu ketunggalan, namun memiliki beberapa sebutan. Di mana sebab itu sesuatu yang memiliki tenaga, dan bukan bertenaga. Makna bertenaga tidak dari pekerjaan makan, tapi secara hakikat kodrati, niscaya benar memiliki hasrat. Karena “sebab” itu kebesaran ego atau gairah berlimpah.

Di sini berangkat dari perasaan subyektifitas murni. Tragedi sebab-akibat pernah di bahas Nietzsche, namun dengan melenyapkan suatu tanggung jawab, dikarenakan meninggikan subyekyifitas ego dengan menghilangkan fungsi tuhan.

Kali ini saya menuntut jawaban dengan memasuki perihal sesungguhnya. Ini jarak penulis yang tidak menerima formula tersebut. Dia percaya akan kebenaran tunggal dirinya. Meski itu suatu amat membanggakan diri yang kembara.

Kalau penulis singgung kepribadiannya, Nietzsche seolah bercermin pada dirinya dan menjadi benar jika cermin mengenal asal mana fungsinya. Maka kesadaran akan cahaya itu keniscayaan, sedang dirinya seolah tidak menghiraukan cahaya dengan sangat percahaya diri, bahwa dia mampu memantulkan segala di depan kajiannya.

Kefatalan terjadi, ketidak adanya penjelasan gamblang, letak pijakan yang memuaskan untuk lapangan menjanjikan damai. Tapi bukan berarti saya menghalalkan sesuatu dari kesepian.

Ada yang mengatakan kesepian wanita, akibat kesendiriannya. Namun jika sadar kesepian, hal tersebut berubah menjadi penyebab segala sesuatu berharga. Ini sebagai penciuman awal, jika sudi berhadap bersama melahap hidangan di meja.

Saudara bertanya: apakah tidak benar perputaran dunia itu putaran sebab akibat, berkesinambung sampai kini. Jawab: boleh mengikuti cara itu, tapi harus disadari bahwa penyebab awal kali manusia itu kesadaran akan fitroh.

Lalu saudara bertanya: Tetapi, kesadaran selalu berubah-ubah menurut kekuasaan masa dari kanak-kanak, dewasa hingga kematangan pemikirannya, maka perubahan kesadaran berarti perubahan sebab yang bisa sebagai akibat kesadaran sebelumnya.

Saya jawab: bagaimana pun perubahan diri yang namanya sebab, tetap berangkat dari kesadaran benar, bukan didasarkan tujuan kajian kesementaraan demi harapan, keharusan pijakan penelitian sementara atas impian dan harapan semata.

Saudara mencari pertanyaan: Bagaimana mengartikan kesadaran itu sebab. Cobalah lihat kasus ketika lapar. Yang tampil ialah kesadaran makan, dari sini makan berarti akibat dari rasa lapar. Ini saya anggap kasus begitu fatal dan termasuk dekaden.

Kemerosotan perlu ditilik. Atas kesadaran menempati subyek sebagai obyek atau sebaliknya, karena saudara sangsi dengan cukup mempercayai bagi suatu pijakan. Atau saudara menyudutkan saya dengan mengambil keyakinan yang ditampilkan sebagai tujuan penelitian.

Kasus semacam ini, tujuan penelitian menghasilkan ketuk palu bagi subyek atau penyebab yang saudara pilih sebagai keyakinan. Kesangsian saya, sebelum saudara meneliti telah mengambil sikap, seperti: Saya kudu berangkat dari garis “A” menuju garis “B.” Ini dekadensi, sebab hasil penelitian itu wujud ramalan yang terharapkan sebelum terjadinyan proses penelitian.

Jadi saudara mengikuti jalan teryakini demi mendapati yang teridam atau telah ternujum sebelumnya. Maka kefatalan ini, menyamakan keyakinan dengan nujum. Dalam kasus saya kembangkan: “Ciptakanlah sebab.” Dengan apa? Di atas telah disinggung. Sebab berdasarkan kesadaran total kepenuhan melimpah, rasa sakit bukan dibikin atau dikondisionalkan.

Atau saya beranggapan, pengulangan kerja bukan akibat dari kebodohan awal masa puncak kepenuhan yang tidak mau bersahabat. Tapi proses itu sebab yang menghasilkan akibat (?). Di sini langsung saya tekankan: kematian ialah akibat segalanya. Maka buah karya patut dinilai, jika dianggap telah ditinggalkan. Maka pengulangan yang menghasilkan kemerosotan, sama halnya bunuh diri.

Kajian daripada akibat ialah dekaden. Seperti pengulangan ataupun pendektean sejarah yang diulas tanpa menghasilkan sejarah. Atau tuntunan yang tidak menciptakan tuntutan. Inilah kemandekan fatal, ketakutan membuai, memproses sebagai kesadaran awal dari penyebab kemate’ngan.

Tinjauan kasus: hukum saklek akan memotong dirinya sendiri atau kebijakan bukan suatu kebijakan di lain tempat, ketika keyakinan satu dengan lainnya berbeda. Untuk menggabungkan diagram ini, kita cukup menggunakan catatan nilai, dari muatan yang ada. Hingga pemaknaannya menjelma universal.

Kedua

Yang memiliki keimanan percaya: tuhan adalah Penyabab segala sebab. Kita dihadirkan ke belahan dunia bukan lantaran tuhan mengusir Adam karena makan buah khuldi semata. Tapi di sini agar menjadi penyebab yang Rahmatan lil Alamin.

Penyebab bukan hasil kesakitan, tapi fitalitas tinggi yang tidak dari kesembuhan lantaran benci. Kita berasal dari alam kandungan demi mengatur bumi. Pengatur ialah penyebab, bisa ditarik kesimpulan, selama manusia masih hidup, dia sebagai subyek atau penyebab.

Kasus yang terjadi, sering orang merasakan kesengsaraan dunia karena kerapkali menganggap dirinya obyek, penderita atau akibat, semisal memiliki dosa turunan. Manusia lahir dalam keadaan fitri, untuk menjaga kefitrian tersebut, dengan selalu berkesadaran, bahwa manusia diemban demi kemaslahatan alam.

Karena itu tuhan menagguhkan catatan amal, meski setelah kita tiada. Sebab Dia Maha Bijak, tidak menutup kemungkinan bermaknanya kehidupan ialah proses dari subyektifitas keyakinan diri. Yang ternilai baik-buruknya, tentu kita memiliki cermin nurani.

Nurani bukan wujud kebakuan pasif atas tampang, sebab manipulasi bisa dihadirkan cahaya remang kegamangan yang menjerat langkah sampai jatuh. Nurani itu cermin yang patut dipergunakan, ketika lupa makna hakikat subyektifitas. Wajah diri yang diutus menjadi penyebab di alam dunia.

Dari pertama saya telah menyinggung kedatangan subyek itu ego, gairah berlimpah. Ego gairah berlimpah, sesungguhnya bukan subyek, tapi sekedar pintu memasukkan kesadaran. Kenapa tidak saya katakan lebih dulu di muka? karna saya ingin saudara duduk terlebih dulu pada persoalan, agar niscaya benar nantinya.

Bukan kebenaran perasaan atau keyakinan atas tujuan penelitian. Yang dicacat bagi kesombongan bukan atas tampilan ego, tapi ego yang sampai mengganggap dirinya sebagai penyebab awal. Yang diharapkan kehidupan kita sebagai rahmat lil alamain: agar dalam mengembangkan ego atau proses gairah berlebih tidak lupa, berasal dari kerahasiaan pemilik perbendaharaan tersebunyi, Allah SWT.

Kesimpulannya, kepatuhan kita bukanlah dinamakan akibat, tetapi kepatuhan sebab dari sang Penyebab. Di sini bukan berarti manusia anak tuhan, tapi yang dipercayai mengatur urusan dunia, dan tidak melampaui batas ketentuan-Nya.

Segala proses itu subyek atau penyebab. Kepatuhan kita sebagai subyek dari sang Maha Subyek. Dan akibat yang kita yakini ialah sandungan setan, demi mengutuk sebuah takdir yang sejatinya membahagiakan, jika sadar kehidupan itu penyebab.

Penutup

Bagian ini saya artikan putih menyehatkan seperti air susu dalam gelas kristal. Saya awali makna “rasa bersalah.” Rasa bersalah itu dari kemerosotan, tokoh dekadensi moral sekaligus guru mengajarkan keterpurukan, kelangutan, keputusasaan, prinsipnya pembodohan.

Rasa bersalah sebagaimana akibat atau menyetujui timbulnya akibat. Menurut saya terlalu dini keputusannya kalau disebut akibat. Yang pandangan umum bilang akibat, pandangan saya mengatakan suatu tangga kenaikan sebab, atau tangan panjang dari sebab niatan semula.

Jiwa penyebab selalu muda bergairah. Memang penyebab mengalami kelelahan tapi bukan diartikan akibat dari penyebab berlebihan. Tetapi demi penelitian lanjut, hal telah terjadi sebagai bahan penajaman proses, penguatan bukti bahwa penyebab itu puncak dari tuntutan.

Di sini memasuki gerbang yang kanan-kirinya tiada ilalang kesangsian. Bagimana pun, pencahayaan sempurna akan menghasilkan warna pelangi di lensa mata jeli. Ini terbukti walau tiada pancuran air menghadirkannya secara kongkrit pandangan umum, atau manusia bisa menyaksikan.

Proses sampai ke tahap kesimpulan ini, berasal energi cahaya. Sebagai misal, jika tanpa cahaya tidak mungkin mendapati diri terlihat di cermin. Inilah bukti cahaya bukan perwujudan dari ego atau gairah berlebih, tapi cahaya itu salah satu simbul Maha Penyebab.

Maka benar kiranya kalbu ibarat cermin berfungsi jika mendapati cahaya. Bagaimana pun beningnya kajian nalar, namun jika tidak mendapati cahaya hidayah, yang tampak hanya batu berhala keyakinan di kegelapan. Sebab itu cermin mestinya bergantung cahaya, jika ingin manfaat keberadaan dirinya demi yang lain.

Benar kiranya cermin memantulkan cahaya. Maka sebagaimana manusia itu subyek atau penyebab dari Maha Penyebab. Atau penyebab manusia akan menjadi penyebab yang rahmatan lil alamin, jika mendapati Maha Penyebab. Hingga penyebab insaniah sanggup memantulkan pensifatan Sang Penyebab Cahaya.

Ukuran cermin lebar-kecilnya tergantung kelapangan menerima cahaya. Semakin menganggap seluruh yang berproses penyebab, bertambah tertampunglah cahaya Sang Penyebab. Namun tidak harus dikatakan, sifat Cahaya itu serupa cahaya di cermin dan mendapati terangnya. Sebab hakikat pendapatan cahaya pada cermin sendiri, semacam daya berkah amanah pun hidayah.

Semakin dapat menjaga posisi cermin menghadap ketepatan datangnya Cahaya, bertambah komplitlah Cahaya masuk dalam diri dan menerangi atau berproses, usaha menerangi sekitar (rahmatan lil alamin). Bisa diartikan ibadah itu usaha cermin berhadap Cahaya, usaha subyek menghadap Subyek Tertinggi yang tak berupa cermin, namun Cahaya, dan merupakan berkah dari Sang Maha Cahaya.

Bertambah teranglah manusia itu menyampai Cahaya, sebab hatinya berupa kaca cermin. Dan keburamannya adalah rasa bersalah, yang menyatakan sebab sebagai akibat. Di tinjau dari sini, prinsip tuhan beranak, anak itu mewarisi dosa orang tua, dan reingkarnasi ialah kesalahan cukup fatal, seperti perasaan bersalah. Saudara tentu bertanya; Bagaimana hukum alam atau sunahtullah serupa penimpahan adzab dunia. Kembali di atas, rasa bersalah atau pengakibatan menuju pengakibatan akhir.

Jika menganggap kesengsaraan dunia ialah adzab atau sangsi sebelum sangsi sesungguhnya. Maka dapat ditarik manfaat, yang ditimpakan sebagai peringatan. Peringatan itu penajaman Cahaya ke diri atau yang membersihkan cermin buram, digetarkan dengan kedatangan Cahaya ketiba-tibaan. Sama kedudukannya adzab dunia dan keputusan sementara dari-Nya. Atau keputusan penuh, tapi bukan akhir. Keputusan adzab ialah tangga kenaikan kelas dari kelas bernama insan penyebab. Atau penyebab kedua (insan atau cermin) yang mendapati Cahaya.

Ringkasan: yang diberi kesempatan bertaubat bukan adzab tapi nikmat kesadaran. Adzab dapat berarti datangnya kiamat kecil (mati), yang sedang (bencana di timpakan kaum Nabi Nuh AS dan kiamat kehidupan). Tahap selanjutnya cinta. Ia menurut konsep ini adalah titik tengah antara subyek ke obyek, titik tengah antara makna penyebab dengan makna akibat, titik tengah antara niatan proses yang berproses dengan hasil akhir bernama akibat. Di sini jelas yang menentukan arah fokus cermin kita hadapkan ke mana, setelah mendapati Cahaya pada cermin diri.

Dapat diartikan cinta ialah bahasa lain ujian atau tangga penentu yang nantinya ke atas lurus atau ke atas menyamping. Tentunya tidak ingin menuruni tangga sebelum mencapai puncak dari proses perjalanan hayati. Sebab meskipun turun sebab takut ujian, tentu mengulang pekerjaan kemarin, hanya semakin menemukan kegelapan karena membelakangi Cahaya di depan-atas.

Kenapa saya katakan cinta sangat menentukan kelanjutan proses penyebab atau proses kehidupan subyek. Sebab ketika berada di titik koordinat, kita jelas mendapati karakter diri sebenarnya atau dengan titik seimbang, cermin diri sanggup merasakan getaran kesungguhan dari sang maha Penyebab Cahaya Ilahi: Apakah kita gemetar atau semakin asyik oleh kesejukan Cahaya. Sebelum sampai ke suatu akhir bernama akibat (mati, timbangan pahala).

Saya rasa sudah jelas paparan ini, proses kehidupan insan adalah penyebab dari Maha Sebab, yang mana hasil akhir (kematian, tamat riwayatnya karya, refisian akhir) ialah hasil proses berlanjut sebelum datangnya keputusan akhir kematian. Maka penderitaan dari proses bukan akibat, tapi tangga penyebab demi penyebab kelanjutan, sampai menemukan cinta dan kematian.

Akhirnya semoga yang tersampaikan tidak menjadi sesuatu yang menimbulkan tidak pedulinya Penyebab mencahayai penyebab (dunia, insan, kita). Namun mendapati kepercayaan selaras ridho-Nya. Tidak menemukan keruwetan penyelidikan dalam menentukn pijakan, semoga menjadi rahmatan lil alamin…

“Dialah yang telah membuatmu menjadi wakil di atas bumi dan telah mengangkat terajad kalian sebagian di atas yang lain guna menguji kalian dengan sesuatu yang telah diberikan kepada kalian,….” (QS.6:165).

*) 1 dan 3 Muharrom 1426 H, (Suro 1938,10 dan 12 Feb 2005).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito