Nurel Javissyarqi*
http://sastrarevolusioner.blogspot.com/
Dalam menelaah konstruksi budaya, baik identitas-identitas personal maupun kolektif, teori kritis, teori budaya, lebih beralih dari menggunakan kata “diri” (self) menjadi menggunakan istilah “Subyek” (subject). Hal ini di karenakan kata “diri” secara tradisional memunculkan ide tentang identitas sebagai sebuah kepemilikan pribadi, sebuah gagasan mengenai individu sebagai unit dan otonom. “Subyek” lebih mendua atau ambigu. Subyek bersifat pasif maupun aktif. (Dani Cavallaro, 2001).
Saya bertanya-tanya tentang “subyek” kata Cavallaro, yang mengatakan subyek bersifat pasif maupun aktif. Pertanyaan saya: apakah yang berkedudukan sebagai subyek bersifat pasif? Apakah bisa dikatakan subyek, jika tidak memiliki identitas predikat atau turunan?
Atau, apakah dapat dikatakan “diri” sebagai wujud “ambisi” dan “subyek” penjelmaan dari “bayangan.” Sebab ambisi serta bayangan, keduanya sama-sama ngelangut pada ketidak menentuan. Pula keduanya berhenti di pojok kelelahan, keletihan fatamurgana, walau senyatanya berangkat dari kesadaran berlebih, semacam rindu atau daya cemburu. Keberlebihan inilah hingga orang-orang menilai sebagai subyek maupun diri (self).
Contoh: “Diri wanita itu membekukan hatinya.” Apakah kalimah barusan cukup dimaknakan pasif, sedangkan yang menggerakkan hal lain itu aksi yang menampilkan reaksi. Kemiripannya terletak pada contoh lain: “Para demonstran itu tutup mulut.”
Lalu saya bertanya: apakah tidak sama antara para demonstran dengan diri wanita tersebut? Atau saudara membandingkan antara kuantitas daripada diri yang beraksi tersebut?
Untuk sampai pada kemungkinan sebenarnya, kudunya saudara tidak menjatuhkan persoalan begitu mudah tercerahkan dengan argumen yang meski menjanjikan kebenaran. Karenanya, berhati-hatilah menerima pendapat, dan ingat pendapat yang sedang dikeluarkan bagi pendapatan, atau jarak mata pancar kehadiranmu yang subyek atau diri.
Sebab setiap lipatan persoalan, penulisnya tentu mengharap yang diimpikan untuk jalannya pemikiran, dapat pula sebagai hal bertolaknya akal yang tidak sesuai dengan maksud musim serta cuaca rindu dalam persoalan diri.
Olehnya, daya tuntut kuat menanggung sakit berketabahan ialah jiwa-jiwa patut diteruskan, sebab setiap pergulatan dan pergolakan adalah nilai bertebaran, jika sabar memungutinya bagi suatu kepemilikan.
Pertama
Dalam pada itu berbalik muka pertama. Biasanya saudara terdorong atas pencarian awal atau landasan penelitian. Bisa terjadi memaknai penyebab karena berangkat dari suatu yang tersebabkan bagi pijakan. Padahal belum tentu anggapan sebab benar-benar “sebab” adanya. Maka bisa dinilai, saudara seringkali mengambil makna “sebab” berawal dari keyakinan, maka fakta yang “ada” keimanan sebagai penyebab yang akan terjadi.
Sebelum sampai pada kebenaran yang dilalaikan sejak awal. Inilah peringatan saya yang saudara anggap fakta kebenaran penyebab, bukan berangkat dari faktual adanya, karena menaruh keyakinan demi pijakan kajian.
Maka penelitian saudara menjadikan kesangsiang saya yang selalu berkesegaran melimpah. Saya melihat kadang saudara menujum penelitian, contoh duluan mana ayam dan telur? Dengan didorong semangat penelitian, cepat-cepat menentukan keyakinan bahwa “A” atau “B” penyebabnya.
Manfaat kajian ini, saudara bisa berpijak di batuan mitos tanpa merasa sangsi, sebab mitologi itu anak turun keimanan. Boleh jadi logika kemarin yang berlaku atau tidak berjalan sama sekali, sebab telah mendapati jawaban sebelum penelitian. Keterangan ini sengaja saya perbalikkan agar lewat akrobatik, cepat keluar dari keraguan menggapai apa yang seharusnya tertempati sebagai pijakan.
Saya bertanya: Apakah sebab itu? Saya harap saudara tidak kedodoran menerapkan keyakinan, sehingga tidak saya tinggalkan. (Ini pertanyaan sederhana tapi membekas, menggemparkan jika menerima kedalaman yang tidak memiliki pandangan sebelah mata).
Prosesi saya andalkan di sini: penyebab ialah suatu ketunggalan, namun memiliki beberapa sebutan. Di mana sebab itu sesuatu yang memiliki tenaga, dan bukan bertenaga. Makna bertenaga tidak dari pekerjaan makan, tapi secara hakikat kodrati, niscaya benar memiliki hasrat. Karena “sebab” itu kebesaran ego atau gairah berlimpah.
Di sini berangkat dari perasaan subyektifitas murni. Tragedi sebab-akibat pernah di bahas Nietzsche, namun dengan melenyapkan suatu tanggung jawab, dikarenakan meninggikan subyekyifitas ego dengan menghilangkan fungsi tuhan.
Kali ini saya menuntut jawaban dengan memasuki perihal sesungguhnya. Ini jarak penulis yang tidak menerima formula tersebut. Dia percaya akan kebenaran tunggal dirinya. Meski itu suatu amat membanggakan diri yang kembara.
Kalau penulis singgung kepribadiannya, Nietzsche seolah bercermin pada dirinya dan menjadi benar jika cermin mengenal asal mana fungsinya. Maka kesadaran akan cahaya itu keniscayaan, sedang dirinya seolah tidak menghiraukan cahaya dengan sangat percahaya diri, bahwa dia mampu memantulkan segala di depan kajiannya.
Kefatalan terjadi, ketidak adanya penjelasan gamblang, letak pijakan yang memuaskan untuk lapangan menjanjikan damai. Tapi bukan berarti saya menghalalkan sesuatu dari kesepian.
Ada yang mengatakan kesepian wanita, akibat kesendiriannya. Namun jika sadar kesepian, hal tersebut berubah menjadi penyebab segala sesuatu berharga. Ini sebagai penciuman awal, jika sudi berhadap bersama melahap hidangan di meja.
Saudara bertanya: apakah tidak benar perputaran dunia itu putaran sebab akibat, berkesinambung sampai kini. Jawab: boleh mengikuti cara itu, tapi harus disadari bahwa penyebab awal kali manusia itu kesadaran akan fitroh.
Lalu saudara bertanya: Tetapi, kesadaran selalu berubah-ubah menurut kekuasaan masa dari kanak-kanak, dewasa hingga kematangan pemikirannya, maka perubahan kesadaran berarti perubahan sebab yang bisa sebagai akibat kesadaran sebelumnya.
Saya jawab: bagaimana pun perubahan diri yang namanya sebab, tetap berangkat dari kesadaran benar, bukan didasarkan tujuan kajian kesementaraan demi harapan, keharusan pijakan penelitian sementara atas impian dan harapan semata.
Saudara mencari pertanyaan: Bagaimana mengartikan kesadaran itu sebab. Cobalah lihat kasus ketika lapar. Yang tampil ialah kesadaran makan, dari sini makan berarti akibat dari rasa lapar. Ini saya anggap kasus begitu fatal dan termasuk dekaden.
Kemerosotan perlu ditilik. Atas kesadaran menempati subyek sebagai obyek atau sebaliknya, karena saudara sangsi dengan cukup mempercayai bagi suatu pijakan. Atau saudara menyudutkan saya dengan mengambil keyakinan yang ditampilkan sebagai tujuan penelitian.
Kasus semacam ini, tujuan penelitian menghasilkan ketuk palu bagi subyek atau penyebab yang saudara pilih sebagai keyakinan. Kesangsian saya, sebelum saudara meneliti telah mengambil sikap, seperti: Saya kudu berangkat dari garis “A” menuju garis “B.” Ini dekadensi, sebab hasil penelitian itu wujud ramalan yang terharapkan sebelum terjadinyan proses penelitian.
Jadi saudara mengikuti jalan teryakini demi mendapati yang teridam atau telah ternujum sebelumnya. Maka kefatalan ini, menyamakan keyakinan dengan nujum. Dalam kasus saya kembangkan: “Ciptakanlah sebab.” Dengan apa? Di atas telah disinggung. Sebab berdasarkan kesadaran total kepenuhan melimpah, rasa sakit bukan dibikin atau dikondisionalkan.
Atau saya beranggapan, pengulangan kerja bukan akibat dari kebodohan awal masa puncak kepenuhan yang tidak mau bersahabat. Tapi proses itu sebab yang menghasilkan akibat (?). Di sini langsung saya tekankan: kematian ialah akibat segalanya. Maka buah karya patut dinilai, jika dianggap telah ditinggalkan. Maka pengulangan yang menghasilkan kemerosotan, sama halnya bunuh diri.
Kajian daripada akibat ialah dekaden. Seperti pengulangan ataupun pendektean sejarah yang diulas tanpa menghasilkan sejarah. Atau tuntunan yang tidak menciptakan tuntutan. Inilah kemandekan fatal, ketakutan membuai, memproses sebagai kesadaran awal dari penyebab kemate’ngan.
Tinjauan kasus: hukum saklek akan memotong dirinya sendiri atau kebijakan bukan suatu kebijakan di lain tempat, ketika keyakinan satu dengan lainnya berbeda. Untuk menggabungkan diagram ini, kita cukup menggunakan catatan nilai, dari muatan yang ada. Hingga pemaknaannya menjelma universal.
Kedua
Yang memiliki keimanan percaya: tuhan adalah Penyabab segala sebab. Kita dihadirkan ke belahan dunia bukan lantaran tuhan mengusir Adam karena makan buah khuldi semata. Tapi di sini agar menjadi penyebab yang Rahmatan lil Alamin.
Penyebab bukan hasil kesakitan, tapi fitalitas tinggi yang tidak dari kesembuhan lantaran benci. Kita berasal dari alam kandungan demi mengatur bumi. Pengatur ialah penyebab, bisa ditarik kesimpulan, selama manusia masih hidup, dia sebagai subyek atau penyebab.
Kasus yang terjadi, sering orang merasakan kesengsaraan dunia karena kerapkali menganggap dirinya obyek, penderita atau akibat, semisal memiliki dosa turunan. Manusia lahir dalam keadaan fitri, untuk menjaga kefitrian tersebut, dengan selalu berkesadaran, bahwa manusia diemban demi kemaslahatan alam.
Karena itu tuhan menagguhkan catatan amal, meski setelah kita tiada. Sebab Dia Maha Bijak, tidak menutup kemungkinan bermaknanya kehidupan ialah proses dari subyektifitas keyakinan diri. Yang ternilai baik-buruknya, tentu kita memiliki cermin nurani.
Nurani bukan wujud kebakuan pasif atas tampang, sebab manipulasi bisa dihadirkan cahaya remang kegamangan yang menjerat langkah sampai jatuh. Nurani itu cermin yang patut dipergunakan, ketika lupa makna hakikat subyektifitas. Wajah diri yang diutus menjadi penyebab di alam dunia.
Dari pertama saya telah menyinggung kedatangan subyek itu ego, gairah berlimpah. Ego gairah berlimpah, sesungguhnya bukan subyek, tapi sekedar pintu memasukkan kesadaran. Kenapa tidak saya katakan lebih dulu di muka? karna saya ingin saudara duduk terlebih dulu pada persoalan, agar niscaya benar nantinya.
Bukan kebenaran perasaan atau keyakinan atas tujuan penelitian. Yang dicacat bagi kesombongan bukan atas tampilan ego, tapi ego yang sampai mengganggap dirinya sebagai penyebab awal. Yang diharapkan kehidupan kita sebagai rahmat lil alamain: agar dalam mengembangkan ego atau proses gairah berlebih tidak lupa, berasal dari kerahasiaan pemilik perbendaharaan tersebunyi, Allah SWT.
Kesimpulannya, kepatuhan kita bukanlah dinamakan akibat, tetapi kepatuhan sebab dari sang Penyebab. Di sini bukan berarti manusia anak tuhan, tapi yang dipercayai mengatur urusan dunia, dan tidak melampaui batas ketentuan-Nya.
Segala proses itu subyek atau penyebab. Kepatuhan kita sebagai subyek dari sang Maha Subyek. Dan akibat yang kita yakini ialah sandungan setan, demi mengutuk sebuah takdir yang sejatinya membahagiakan, jika sadar kehidupan itu penyebab.
Penutup
Bagian ini saya artikan putih menyehatkan seperti air susu dalam gelas kristal. Saya awali makna “rasa bersalah.” Rasa bersalah itu dari kemerosotan, tokoh dekadensi moral sekaligus guru mengajarkan keterpurukan, kelangutan, keputusasaan, prinsipnya pembodohan.
Rasa bersalah sebagaimana akibat atau menyetujui timbulnya akibat. Menurut saya terlalu dini keputusannya kalau disebut akibat. Yang pandangan umum bilang akibat, pandangan saya mengatakan suatu tangga kenaikan sebab, atau tangan panjang dari sebab niatan semula.
Jiwa penyebab selalu muda bergairah. Memang penyebab mengalami kelelahan tapi bukan diartikan akibat dari penyebab berlebihan. Tetapi demi penelitian lanjut, hal telah terjadi sebagai bahan penajaman proses, penguatan bukti bahwa penyebab itu puncak dari tuntutan.
Di sini memasuki gerbang yang kanan-kirinya tiada ilalang kesangsian. Bagimana pun, pencahayaan sempurna akan menghasilkan warna pelangi di lensa mata jeli. Ini terbukti walau tiada pancuran air menghadirkannya secara kongkrit pandangan umum, atau manusia bisa menyaksikan.
Proses sampai ke tahap kesimpulan ini, berasal energi cahaya. Sebagai misal, jika tanpa cahaya tidak mungkin mendapati diri terlihat di cermin. Inilah bukti cahaya bukan perwujudan dari ego atau gairah berlebih, tapi cahaya itu salah satu simbul Maha Penyebab.
Maka benar kiranya kalbu ibarat cermin berfungsi jika mendapati cahaya. Bagaimana pun beningnya kajian nalar, namun jika tidak mendapati cahaya hidayah, yang tampak hanya batu berhala keyakinan di kegelapan. Sebab itu cermin mestinya bergantung cahaya, jika ingin manfaat keberadaan dirinya demi yang lain.
Benar kiranya cermin memantulkan cahaya. Maka sebagaimana manusia itu subyek atau penyebab dari Maha Penyebab. Atau penyebab manusia akan menjadi penyebab yang rahmatan lil alamin, jika mendapati Maha Penyebab. Hingga penyebab insaniah sanggup memantulkan pensifatan Sang Penyebab Cahaya.
Ukuran cermin lebar-kecilnya tergantung kelapangan menerima cahaya. Semakin menganggap seluruh yang berproses penyebab, bertambah tertampunglah cahaya Sang Penyebab. Namun tidak harus dikatakan, sifat Cahaya itu serupa cahaya di cermin dan mendapati terangnya. Sebab hakikat pendapatan cahaya pada cermin sendiri, semacam daya berkah amanah pun hidayah.
Semakin dapat menjaga posisi cermin menghadap ketepatan datangnya Cahaya, bertambah komplitlah Cahaya masuk dalam diri dan menerangi atau berproses, usaha menerangi sekitar (rahmatan lil alamin). Bisa diartikan ibadah itu usaha cermin berhadap Cahaya, usaha subyek menghadap Subyek Tertinggi yang tak berupa cermin, namun Cahaya, dan merupakan berkah dari Sang Maha Cahaya.
Bertambah teranglah manusia itu menyampai Cahaya, sebab hatinya berupa kaca cermin. Dan keburamannya adalah rasa bersalah, yang menyatakan sebab sebagai akibat. Di tinjau dari sini, prinsip tuhan beranak, anak itu mewarisi dosa orang tua, dan reingkarnasi ialah kesalahan cukup fatal, seperti perasaan bersalah. Saudara tentu bertanya; Bagaimana hukum alam atau sunahtullah serupa penimpahan adzab dunia. Kembali di atas, rasa bersalah atau pengakibatan menuju pengakibatan akhir.
Jika menganggap kesengsaraan dunia ialah adzab atau sangsi sebelum sangsi sesungguhnya. Maka dapat ditarik manfaat, yang ditimpakan sebagai peringatan. Peringatan itu penajaman Cahaya ke diri atau yang membersihkan cermin buram, digetarkan dengan kedatangan Cahaya ketiba-tibaan. Sama kedudukannya adzab dunia dan keputusan sementara dari-Nya. Atau keputusan penuh, tapi bukan akhir. Keputusan adzab ialah tangga kenaikan kelas dari kelas bernama insan penyebab. Atau penyebab kedua (insan atau cermin) yang mendapati Cahaya.
Ringkasan: yang diberi kesempatan bertaubat bukan adzab tapi nikmat kesadaran. Adzab dapat berarti datangnya kiamat kecil (mati), yang sedang (bencana di timpakan kaum Nabi Nuh AS dan kiamat kehidupan). Tahap selanjutnya cinta. Ia menurut konsep ini adalah titik tengah antara subyek ke obyek, titik tengah antara makna penyebab dengan makna akibat, titik tengah antara niatan proses yang berproses dengan hasil akhir bernama akibat. Di sini jelas yang menentukan arah fokus cermin kita hadapkan ke mana, setelah mendapati Cahaya pada cermin diri.
Dapat diartikan cinta ialah bahasa lain ujian atau tangga penentu yang nantinya ke atas lurus atau ke atas menyamping. Tentunya tidak ingin menuruni tangga sebelum mencapai puncak dari proses perjalanan hayati. Sebab meskipun turun sebab takut ujian, tentu mengulang pekerjaan kemarin, hanya semakin menemukan kegelapan karena membelakangi Cahaya di depan-atas.
Kenapa saya katakan cinta sangat menentukan kelanjutan proses penyebab atau proses kehidupan subyek. Sebab ketika berada di titik koordinat, kita jelas mendapati karakter diri sebenarnya atau dengan titik seimbang, cermin diri sanggup merasakan getaran kesungguhan dari sang maha Penyebab Cahaya Ilahi: Apakah kita gemetar atau semakin asyik oleh kesejukan Cahaya. Sebelum sampai ke suatu akhir bernama akibat (mati, timbangan pahala).
Saya rasa sudah jelas paparan ini, proses kehidupan insan adalah penyebab dari Maha Sebab, yang mana hasil akhir (kematian, tamat riwayatnya karya, refisian akhir) ialah hasil proses berlanjut sebelum datangnya keputusan akhir kematian. Maka penderitaan dari proses bukan akibat, tapi tangga penyebab demi penyebab kelanjutan, sampai menemukan cinta dan kematian.
Akhirnya semoga yang tersampaikan tidak menjadi sesuatu yang menimbulkan tidak pedulinya Penyebab mencahayai penyebab (dunia, insan, kita). Namun mendapati kepercayaan selaras ridho-Nya. Tidak menemukan keruwetan penyelidikan dalam menentukn pijakan, semoga menjadi rahmatan lil alamin…
“Dialah yang telah membuatmu menjadi wakil di atas bumi dan telah mengangkat terajad kalian sebagian di atas yang lain guna menguji kalian dengan sesuatu yang telah diberikan kepada kalian,….” (QS.6:165).
*) 1 dan 3 Muharrom 1426 H, (Suro 1938,10 dan 12 Feb 2005).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar