Sabtu, 17 Juli 2021

Sepasang Wayang

Arman A.Z.
lampungpost.com
 
ADAKAH yang lebih membahagiakan bagi lelaki uzur macam kalian selain memberi napas pada nostalgi? Kalian seperti menemukan peti harta karun saat menoleh ke belakang. Ah, memang getir menjalani sisa hidup sebagai sampah yang disisakan masa lalu untuk masa kini.
 
Tjin Siong, tentu kau tahu kotamu tengah bersolek menjelang Imlek, bukan? Mengapa mengurung diri dalam kamar pengap apak ketika orang-orang berwajah bungah? Buka jendela dan tataplah langit cerah di luar sana. Dengar kesiur angin kencang merontokkan daun-daun tua, mewartakan tahun baru sudah di depan mata.
 
Pergilah ke pusat kota. Di depan mal atau deret pertokoan, barangkali semarak lampion dan kibar spanduk merah nyala bertuliskan selamat tahun baru itu bisa sedikit mengobati dukamu. Lalu kau melenggang pulang sambil membayangkan sang naga berkenan datang menyambangimu. Kala bocah, kau acap terpukau dengan cerita naga yang menyambangi rumah-rumah, memberi berkah pada penghuninya. Itulah yang kau butuhkan saat ini, Tjin Siong.
 
Petang kemarin kau tak duduk di teras seperti biasa. Sia-sia belaka Narto datang. Selain ingin mengajakmu ngobrol mengiris waktu, dia menjinjing rantang berisi nasi, sayur pare, dan pepes teri untukmu. Tak kau lihat raut mukanya saat berdiri di depan pagar setinggi pinggang yang dikunci rapat. Kehilangan terpancar lewat matanya saat melihat kursi rotan lapuk yang biasa kau duduki kosong melompong. Jakunnya berkedut menelan liur kecut. Dia mendesah panjang sebelum balik kanan, menyeret langkah pulang dengan hati diganduli sedih.
 
Sesungguhnya telingamu menangkap seret langkah dan batuk Narto, namun kau enggan membuka pintu. Kau berharap dia tak menyadari bahwa kau ada dalam rumah, duduk mengurung diri dalam kamar berlampu remang. Tanpa isak tertahan, kau biarkan air bening itu menetes dari sudut matamu, bergulir perlahan di pipi keriputmu, jatuh ke celana pendek hitam kusam yang nyaris tiap hari kau kenakan. Kau hanya berdesis dalam hati, semoga dia mengerti, ada waktunya kau ingin sendiri.
***
 
Ayo bertaruh, Tjin Siong. Tentu kau ingin kembali ke masa silam ketimbang sendirian menyulam perca kenangan Imlek masa kecilmu. Dahulu, rumahmu dipenuhi pernak-pernik Imlek. Lampion bundar merah nyala, mercon, kue keranjang, dan kembang kecil merah muda perlambang tahun baru. Bersama adik-adikmu menonton barongsai dan opera kera sakti di lapangan dekat klenteng yang tengah bersolek menyambut Imlek. Kalian berlomba mengumpulkan angpau paling banyak. Tiba di rumah, kau sudah ditunggu makanan yang disiapkan ibumu. Aneka buah berderet di meja: jeruk mandarin, pir, manisan plum, buah naga, atau kiambwee. Tapi kau paling suka puih tao bumbu tauco kiriman popomu. Aroma sedapnya yang meliuk dibawa angin bisa menggeliatkan cacing-cacing dalam perutmu.
 
Tapi itu masa lalu. Sejak orang tuamu mangkat, rumah warisan dijual, biduk rumah tanggamu karam, hingga terperosok ke liang kemiskinan, kau memutuskan pergi jauh. Menyepi ke kota kecil itu. Bertahun-tahun tinggal di bedeng petak di pinggiran kota.
 
Tataplah dirimu di cermin. Kini kau hanya lelaki delapan puluhan sebatang kara dengan tubuh ringkih digerus waktu. Helai-helai rambut perakmu kerap berserak di bantal dan lantai.
 
Apa yang masih bisa kau banggakan untuk Imlek kali ini, Tjin Siong? Tak ada lampion bundar. Tak ada amplop angpau. Tak ada pohon plastik bunga mei hwa. Tak ada hio dan peralatan sembahyang lainnya. Tak ada uang di saku untuk memindahkan semua itu ke dalam rumahmu.
***
 
Kau lelaki yang pantang menjilat ludah sendiri, Tjin Siong. Tak pernah kau sesali sumpah serapah yang kau muntahkan di muka adik-adikmu sekian tahun silam. Bagimu, mereka burung yang lupa sarang setelah piawai terbang. Setelah orang tua meninggal, sebagai lelaki sulung kau jadi tulang punggung keluarga. Terlampau banyak yang kau perjuangkan demi membesarkan adik-adikmu. Namun, setelah roda hidup membuat mereka sukses dan kau jatuh pailit, mereka membalasmu dengan tuba.
 
Entah di mana tangan mereka ketika lumpur kemiskinan mengisapmu perlahan-lahan. Entah di mana suara mereka ketika kau dicampakkan istri yang menuduhmu mandul. Entah sesibuk apa mereka hingga tak sempat membesuk kala kau sakit. Entah di mana mereka sembunyikan dompet ketika kau tak punya uang untuk membeli sebungkus nasi.
 
Kau telah paham, orang lain bisa jadi saudara, sementara saudara sendiri justru mirip orang asing. Dengan suara parau menahan emosi, pernah kau sindir mereka bahwa Narto-lah yang lebih layak jadi saudaramu. Narto, lelaki sebaya mantan pemilik wayang orang yang tinggal tak jauh dari bedengmu, yang bertahan menjalani sisa hidup bersama istri dan anak-anaknya. Perasaan senasib sebagai orang-orang kalah yang menyatukan kalian.
 
Saat kau disengat stroke, Narto dan anak-anaknya lintang pukang menolongmu. Mencarter becak, membopong tubuh kakumu ke sinse kenalanmu. Istrinya menyeduhkan ramuan tumbuhan, serangga, dan rendaman arak. O, tentu kau kini telah fasih menakar mana lebih pahit; ramuan obat atau nasibmu.
 
Ketika kerusuhan satu dekade silam, kalian tercekat menyaksikan serigala-serigala berwujud manusia dalam kotak 14 inci itu. Mata rabun kalian seperti melihat sepasang tanduk mencuat di kepala orang-orang yang menjarah apa saja dan bara di mata orang-orang yang membakar apa saja. Glodok dan Mangga Besar, pecinan tertua di Jakarta yang sejak zaman kompeni jadi kawasan pemukiman dan perdagangan, musnah jadi arang.
 
Keluarga Narto yang cemas kerusuhan menjalar ke kota itu, memaksamu mengungsi ke rumah mereka. Beberapa hari kemudian kau dapat kabar, adik-adik dan familimu telah terbang menyelamatkan diri ke luar negeri, sementara beberapa keponakanmu jadi korban perkosaan. Kau cuma bisa menangis dalam hati kala itu.
***
 
Tjin Siong, Narto, betapa getir menjalani sisa umur sebagai bekas dalang. Dalam ingatan kalian tersimpan segunung cerita tentang sudut-sudut kota yang pernah kalian singgahi ketika menggelar pertunjukan wayang potehi dan wayang orang. Pernahkah terlintas di benak kalian, jika sedang bernostalgia, kalian bak sepasang mayat yang bangkit dari kubur? Dengan mata berbinar dan abai pada napas yang tersengal, cerita meluap tak terbendung dari mulut kalian, hingga orang-orang yang jenuh mendengar menyingkir perlahan. Macam tak ada yang lebih menarik dari masa silam; begitu rutuk mereka seraya meninggalkan kalian.
 
Menyesalkah kau jadi dalang potehi, Tjin Siong? Dulu kau selalu kebanjiran order. Jika ada acara keagamaan di klenteng, kau bisa mentas sebulan penuh. Sering pula kau ditanggap di luar kota. Tapi yang diingat tetangga-tetanggamu kini hanyalah rona wajahmu yang mirip kepiting rebus kala mengutuk masa silam. Kau kehilangan segalanya sejak potehimu dilarang tampil. Kau gulung tikar. Pensiun sebagai dalang.
 
Dan kau, Narto, apa yang kau raih setelah separuh lebih hidupmu mengurus kelompok wayang orang warisan bapakmu? Zaman berubah, Pak Tua. Seperti Tjin Siong, wayang orangmu pun telah lama mati. Membusung dadamu ketika rombongan wayangmu pentas dari satu daerah ke daerah lain. Pertunjukanmu selalu padat penonton. Senyummu semringah melihat orang-orang berdesakan demi mendapatkan karcis di loket. Tapi semenjak televisi masuk ke rumah-rumah, semenjak wayang dan ketoprak tayang di televisi, penontonmu wayang orangmu kian surut.
 
Tentulah mereka memilih nonton gratis. Meski tiket kau jual murah, tak lebih dari sebungkus rokok, toh pertunjukanmu tetap sepi. Acap kalian terpaksa iuran menutupi sewa gedung pertunjukan. Kau sempat ngotot bertahan meski wayang orangmu di tubir bangkrut. Cincin, gelang, dan kalung emas simpanan istrimu yang jadi tumbal menutup tekor, tak tergantikan hingga kini.
***
 
Imlek dua tahun silamlah pentas terakhirmu, Tjin Siong. Kau bagai musafir dahaga menemukan setangkup air di jantung gurun ketika seseorang menanggapmu untuk menggelar wayang potehi di pasar malam. Ada redup nyala lilin dalam hatimu kala itu. Dibantu Narto, kalian rangkai panggung potehi dari tripleks yang di cat merah. Atapnya seng karatan, bagian depan serupa bingkai untuk memainkan wayang, sisi-sisinya dilapisi kain merah, dan di sisi kiri ada pintu kecil untuk kalian keluar masuk.
 
Dalam kotak itu kau mulai pertunjukan. Narto jadi cantrikmu malam itu. Dialognya bahasa Indonesia, suluknya tetap bahasa China. Kau pilih lakon Sin Jin Kuy, sebuah kisah kepahlawanan. Justru kau yang kalah telak malam itu. Suaramu raib ditelan dentam house music dan dangdut yang disetel keras-keras. Suaramu tak bisa menyaingi teriakan para pedagang kaki lima dadakan. Segelintir penonton yang sempat berhenti untuk menonton kalian, entah berdiri atau duduk di trotoar, bubar satu per satu karena tak mendengar apa yang kau ucapkan. Kepala batu atau mengelak dari rasa malu, kau berkeras melanjutkan pertunjukan sampai usai. Sudah dibayar, jangan sampai ceritanya putus di tengah jalan, dalihmu sengau. Narto menatapmu dengan hati digores sembilu.
 
Ah, Tjin Siong, Narto, kesetiaan itu menyakitkan. Puluhan tahun jadi dalang wayang potehi, puluhan tahun mengurus wayang orang, kini kalian tak ubah sampah masa lalu yang disisakan untuk masa kini. Jika kalian mati dalam derita dan kesepian, pada siapa kalian wariskan peralatan wayang itu?
***
 
Tjin Siong, Narto, mengapa kalian masih terpekur di trotoar simpang jalan bekas pasar malam dua tahun silam? Angin malam tak baik untuk kalian yang kerap mengeluhkan rematik. Pulanglah. Malam kian larut. Rebahkan tubuh di ranjang dan tarik selimut. Jangan bermimpi ada sisa tempat buat kalian dalam sejarah kota ini; kota yang telah lama meninggalkan dan melupakan kalian.
 
Ah, rupanya tak ada yang lebih berharga bagi sepasang lelaki uzur malang macam kalian selain menghidupkan nostalgi yang sudah mati. Lihatlah, di bawah tatap muram tembok-tembok tua penuh lumut, di bawah sorot sinis lampu-lampu kota tanpa cahaya bulan, berdua saja kalian semarakkan panggung kenangan yang telah lama sunyi. Entah siapa menjadi dalang, entah siapa menjelma wayang.
***

http://sastra-indonesia.com/2011/02/sepasang-wayang/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito