Rabu, 16 Juni 2021

Wacana tentang Wacana: Menilai Kembali Penilaian

Ignas Kleden *
 
ISTILAH “wacana” telah menjadi demikian populer saat ini di kalangan terpelajar dan penulis Indonesia, kira-kira sama seperti istilah “demokrasi” di kalangan politik. Seperti biasa, begitu istilah atau konsep itu menyebar luas, setiap orang yang memakai konsep tersebut cenderung merasa konsep itu telah dipergunakan dengan jelas, tanpa perlu menjelaskan apa yang di-maksudkannya.
 
Saya sendiri beranggapan menjadi populernya sebuah konsep atau istilah tidak dengan sendirinya berarti konsep tersebut telah jelas untuk semua pemakainya. Saya sendiri lebih suka memilih sikap berhati-hati: bila sebuah jenis kecap menjadi populer sebagai kecap nomor satu maka kita berwajib meninjaunya dengan kritis karena hal itu menyangkut kesehatan orang banyak.
 
Tulisan Afrizal Malna Menara Epistemologi Tanpa Telinga (Kompas, 31/8/97) adalah contoh soal yang baik tentang apakah memang konsep wacana telah digunakan dengan dukungan sebuah praktek wacana yang memadai. Pertanyaan yang diajukan dalam artikel itu adalah: bila sebuah wacana adalah sistem tertutup, bagaimana sebuah teori teks (sebagai suatu sistem wacana) dapat dipakai untuk menilai sebuah cerpen (sebagai sistem wacana lainnya)? Bukankah kedua wacana itu tertutup satu terhadap yang lainnya?
 
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan sebuah uraian, karena hanya dengan menyebut “terbuka” atau “tertutup” soalnya ti-dak akan pernah menjadi jelas, sekurang-kurangnya bagi Afrizal Malna. Bila seorang pengarang seperti Afrizal menuliskan sebuah cerpen atau sebuah sajak, saya tidak akan datang kepadanya dengan teori hermeneutik dan menganjurkan agar dia coba memperhatikan teori tersebut dalam menu-liskan cerpen atau sajaknya. Mengapa? Hal itu tak banyak gunanya dan mungkin sekali merugikan. Bila dia menu-liskan cerpennya atau sajaknya dengan setiap kali merujuk kepada teori hermeneutik, maka cerpen atau sajak yang dihasilkannya akan kehilangan unsur terpenting dalam sebuah karya kreatif yaitu spontanitas, orisinalitas dan otentisitas.
 
Dalam hal itu kedua wacana tersebut (yaitu penulisan cerpen/sajak dan teori hermeneutik) adalah dua sistem tertutup. Jadi dalam kedudukan wacana sebagai the field of cultural production (untuk memakai istilah Pierre Bourdieu) sebuah karya sastra akan mempunyai dinamikanya sendiri dengan aturan-aturan dan otonomi berbeda dari sistem produksi dalam teori ilmu-ilmu sastra misalnya. Bahkan sebagai suatu sistem produksi, puisi pun akan mempunyai aturan yang cukup berlainan dengan penulisan prosa. Untuk memakai istilah Afrizal, dalam penulisan sebuah cerpen setiap pengarangnya menganut dan menerapkan semacam “politik pemaknaan” tertentu, dan orang luar bukan saja tidak boleh, tetapi juga tidak berguna memaksakan suatu politik pemaknaan lain yang tidak dihayati pengarang bersangkutan.
 
Tetapi setelah proses produksi berlangsung apa yang terjadi? Yang muncul adalah sebuah produk: sebuah cerpen, sebuah sajak, sebuah novel. Setelah produk-produk itu diumumkan dalam sebuah media umum (buku, majalah, atau TV), maka, untuk mengikuti Bourdieu, produk tersebut sudah memasuki pasaran budaya, sudah memasuki symbolic market. Setiap konsumen yang berminat akan memeriksa apa yang hendak dibelinya, sama seperti bila dia akan membeli sepasang sepatu baru atau sepatu bekas. Dia harus melakukan penilaian, bila dia tidak mau menyesal di kemudian hari karena telah membeli sepatu yang solnya hanya direkat dengan lem kertas. Jadi bila wacana sebagai the field of cultural production adalah sistem tertutup (sekalipun dia terbuka terhadap pengaruh-pengaruh di sekitarnya) maka wacana sebagai pasar simbolik, sebagai cultural exchange adalah sesuatu yang terbuka, bahkan harus terbuka. Tanpa keterbukaan itu tukar-menu-kar kebudayaan terhenti, wacana dalam artian ini akan tamat riwayatnya, dan perkembangan kebudayaan akan berakhir.
***
 
AFRIZAL membedakan dua pengertian yang tidak dijelaskan perbedaannya: pembahas dan penilai. Bila saya menghadapi sebuah cerpen, apakah saya hanya boleh membahasnya dan tidak boleh menilainya? Ini merupakan sebuah pemikiran yang tidak jelas dasarnya dan absurd dalam konsekuensinya. Anggapan itu mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri karena melarang orang melakukan penilaian sudah merupakan suatu larangan dan penilaian tersendiri. Jadi sementara Afrizal melarang orang melakukan penilaian, dia sendiri sudah melakukan penilaian tersebut lebih dahulu dengan mengemukakan penilaian bahwa penilaian tak boleh dilakukan. Jadi Afrizal melarang apa yang dilakukannya atau menolak apa yang sedang dipraktekkannya. Proposisi bahwa suatu karya sastra tidak boleh dinilai bukanlah suatu proposisi mengenai kenyataan (suatu statement of fact) tetapi suatu pernyataan normatif, suatu penilaian, suatu value judgement.
 
Namun demikian, bukan saja anggapan tersebut tidak ada dasarnya tetapi juga mustahil dilakukan dalam praktek. Bagaimana saya bisa membahas sebuah cerpen bila saya tidak boleh menilai apakah cerpen tersebut bermakna atau omong kosong belaka? Apakah saya sebagai pembaca harus percaya begitu saja bahwa setiap cerpen yang disodorkan kepada saya pastilah mengandung suatu politik pemaknaan dan saya sebagai pembaca hanya diperbolehkan menemukan politik pemaknaan tersebut dan tidak boleh menilai apakah memang benar-benar ada politik pemaknaan seperti itu, dan kalaupun ada apakah hal itu diterapkan dengan berhasil? Bila saya tidak boleh menilai bukankah telah terjadi pemaksaan pemaknaan secara sempurna terhadap diri saya?
 
Saya menduga, keberatan Afrizal didasarkan pada semacam asumsi bahwa bila seorang pembaca melakukan penilaian, dia juga melakukan semacam pemaksaan pemaknaan terhadap sebuah karya. Pertanyaannya lalu: untuk apa sebuah karya sastra dihadirkan ke muka bumi? Apakah hanya untuk ditonton dan dikagumi? Ketakutan bahwa terjadi pemaksaan pemaknaan terhadap sebuah karya sastra tidak ada dasarnya, karena suatu penilaian akan diimbangi penilaian lain dalam suatu kontes dan kompetisi pemaknaan oleh pembaca lainnya. Karya itu dibuka kepada contest of meaning dan contest of interpretation yang akan mencegah monopoli pemaknaan, atau pemaksaan interpretasi. Hanya dengan cara itu sebuah karya sastra memberikan pengaruhnya pada dunia kebudayaan yang lebih luas.
 
Yang sangat mengherankan adalah penilaian seperti itu tidak diperbolehkan Afrizal kepada pembaca, tetapi diperbolehkan dengan leluasa untuk dirinya. Dengan leluasa dia menilai saya adalah seorang epistemolog yang “patuh” tanpa dia tahu bersikap patuh dan bersikap ketat dalam teori adalah dua hal yang bukan saja berbeda tetapi juga bertentangan. Seorang yang patuh kepada teorinya adalah seorang yang dogmatis. Seorang yang ketat dengan teorinya akan menghadapi teorinya dengan sangat kritis. Dia juga leluasa saja menilai cerpen Budi Darma mempunyai “identifikasi yang sangat jelas” atau penilaian saya tentang cerpen Bre Redana “justru mengesankan seakan-akan cerpen itu memang telah selesai hanya pada tingkat tertentu dari pembahasan Ignas”. Bukankah semua hal tersebut merupakan penilaian dalam artinya yang sempurna? Dari mana dia mendapat kesan uraian saya merupakan kata akhir dalam menilai cerpen tersebut? Uraian saya adalah sebuah penilaian berdasarkan kriteria tertentu, tetapi tidak ada hak kepada saya dan kepada siapa pun untuk tidak mengizinkan penilaian lain.
 
Di sinilah sekali lagi, dengan berat hati, saya ingin menunjukkan bahwa pengakuan secara verbal belum menunjukkan apa yang terjadi dalam praktek. Dengan mudah Afrizal mengatakan dia menerapkan oportunisme epistemologis secara positif. Apa gerangan yang positif dalam sikapnya untuk melarang penilaian yang dilakukan orang lain, tetapi leluasa membebaskan dirinya untuk melakukan penilaian terhadap karya orang lain? Yang betul-betul terjadi adalah dia bermain dengan dua perkataan yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama. Begitu dia melakukan penilaian, dia menyebutnya pembahasan, dan kalau orang lain melakukan penilaian, dia akan memprotes dan mengatakan hal tersebut tak boleh dilakukan (suatu strategi tautologi yang murahan). Ini dilakukan supaya penilaian hanya dibolehkan sejauh dia menilai karya orang lain, tetapi tidak dibolehkan bila orang lain mencoba menilai karya dia. Ataukah mungkin menilai dalam pengertian Afrizal berarti mengemukakan semua hal-hal yang baik-baik saja dan mendiamkan apa yang kita rasakan sebagai jelek? Bila ini yang terjadi maka inilah contoh praktek oportunisme epistemologis dalam artinya yang lengkap.
***
 
AFRIZAL juga menyesalkan saya telah keluar dari teori dan melakukan penilaian. Saya sulit memahami penyesalan tersebut, atau untuk memakai kata-kata Afrizal, sulit melihat logika penilaian tersebut. Sebuah teori selalu berupa teori tentang, teori mengenai, teori perihal. Teori astronomi adalah teori tentang bintang, planet dan galaksi, teori sosiologi adalah teori tentang struktur dan kelompok sosial, teori antropologi adalah teori tentang kebudayaan, dan teori teks adalah teori tentang teks.
 
Saya hanya bisa menjalankan teori bila saya menerapkannya pada bidang yang menjadi sasarannya. Bila saya hanya berkhotbah tentang teori teks tanpa pernah menerapkannya, teori itu tidak pernah fungsional, tidak pernah operasional, tidak pernah didayagunakan, dan tidak berguna.
 
Teori bukanlah ornamentik, semacam anting-anting atau dasi kupu-kupu yang bisa dipakai untuk menghiasi tulisan atau omongan. Teori adalah kerangka berpikir, semacam alat untuk bekerja secara konseptual. Dan saya hanya bisa bekerja bila dua syarat terpenuhi. Pertama, bila ada peralatannya yaitu teori, dan kedua, kalau ada bahan yang dikerjakan yaitu teks cerpen Afrizal. Jadi penerapan teori akan mengharuskan seorang keluar dengan peralatannya untuk melihat apakah bahan yang dihadapinya dapat dikerjakan dengan peralatan yang ada. Bila hal itu terjadi sama sekali bukan terjadi suatu ta-brakan wacana, tetapi yang terjadi adalah suatu kerja intelektual dalam arti paling sederhana, suatu wacana.
 
Bila penerapan sebuah teori selalu dianggap pemaksaan makna, maka seluruh ilmu pengetahuan akan terhenti, karena teori antropologi akan dianggap pemaksaan terhadap kebudayaan, teori sosiologi dianggap pemaksaan terhadap masyarakat, teori teologi, lebih parah lagi, karena dianggap pemaksaan terhadap kebenaran agama, atau teori psikologi dianggap pemaksaan terhadap psikhe manusia. Risiko pemaksaan sebetulnya tidak terletak pada penerapan sebuah teori, tetapi pada tidak diterapkannya sebuah atau beberapa teori tandingan. Dengan demikian risiko pemaksaan makna oleh seorang pembaca seperti saya bisa muncul bukan karena saya menerapkan sebuah teori teks, tetapi bila pembaca lain tidak memberikan penilaian mereka yang mungkin saja lebih baik dari penilaian saya.
 
Dalam arti itu saya menghargai usaha Afrizal memberikan tafsiran tandingan terhadap cerpen Bre Redana dan cerpen Budi Darma. Saya sangat bersedia berdiskusi mengenai materi ini pada kesempatan lain, karena menurut saya perbedaan tafsiran ini adalah hal yang sehat, tetapi dalam konteks polemik ini kurang mendesak dibandingkan dengan prinsip-prinsip kritik sastra yang dianut Afrizal, yang hampir tak masuk akal.
 
*) Ignas Kleden, Sosiolog, tinggal di Jakarta.

http://sastra-indonesia.com/2018/01/wacana-tentang-wacana-menilai-kembali-penilaian/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito