Jumat, 18 Juni 2021

Pluralisme dan Nasionalisme: Gus Dur dan Frans Seda

Ignas Kleden
majalah.tempointeraktif.com
 
LAHIR dan mati adalah peristiwa harian. Tapi kematian dua orang pada akhir 2009 mendapat perhatian khusus karena bertepatan dengan penutupan tahun, dan karena yang wafat adalah dua tokoh seperti Gus Dur dan Frans Seda. Gus Dur wafat pada 30 Desember pukul 18.45, dan Frans Seda menyusul sehari sesudahnya, pukul 05.00. Keduanya berpulang sebagai pribadi yang penting dan menarik, sebagai pemimpin yang meninggalkan jejak, baik pemimpin golongannya maupun pemimpin berkaliber nasional.
 
Gus Dur tumbuh sebagai tokoh civil society. Bergerak dari Pesantren Tebuireng sebagai pendidik, pemikir, dan penulis yang subur, ide-idenya tentang pesantren, kiai, serta peran Islam kemudian berkembang menjadi gagasan yang melampaui batas komunal ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem mayoritas-minoritas, pentingnya pluralisme, pemerintahan sipil dan kedudukan serta peran agama-agama dalam kehidupan dunia. Sebuah puncak penting kariernya dalam civil society adalah ketika dia berhasil menduduki pucuk pimpinan Nahdlatul Ulama untuk tiga periode selama 15 tahun, dan mencoba meng-embuskan berbagai ide pembaruan ke dalam organisasi ini. Kalau sekarang diributkan perhatian pemimpin na-sional terhadap kebudayaan dan kesenian, Gus Dur adalah pre-siden yang pernah menjadi Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.
 
Pergeserannya ke dunia politik dimulai dengan pembentukan Forum Demokrasi, pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa, pemberian akses dan kesempatan kepada kader-kader muda untuk tampil dalam politik, sebelum akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan relatif singkat, yang kemudian ber-akhir tanpa “happy ending”. Dalam masa demikian singkat dia sanggup memberikan kesempatan kepada kalangan sipil untuk menjadi pemeran utama politik nasional, dengan mendorong secara bertahap mundurnya ABRI dari keter-libatan sosial-politiknya. Perubahan itu, yang sempat dikhawa-tirkan akan membawa pergolakan, telah berlangsung -relatif da-mai, meskipun bukan tanpa persoalan. Gaya hidup dan gaya kepemimpinannya pun sedikit-banyak membuat kekuasaan menjadi sesuatu yang profan dan prosais, ser-ta dirontokkan auranya yang seakan-akan sakral dan -eso-terik.
 
Sampai tingkat tertentu, dia menunjukkan bahwa politik tidak harus diperlihatkan sebagai sofistikasi yang tidak dipahami orang banyak, dan tidak perlu dilaksanakan dengan gaya penuh citra agung dan mulia. Ucapannya yang menjadi pameo politik, “Gitu aja kok repot”, memperlihatkan keyakinannya bahwa politik melibatkan semua warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, dan karena itu harus bisa dipahami oleh sebanyak mungkin orang. Politics for everyone sebaik-baiknya dihayati dan diungkapkan melalui good common sense. Itu sebabnya, humor merupakan bagian yang utuh dari pergaulan sosial dan wacana politiknya, karena humor membuat politik dapat dipahami dengan cara yang jenaka seraya mengandung kecerdasan sekaligus populis.
 
Dalam sosiologi agama dikenal dua kecenderungan pe-nguasa dunia dan penguasa agama. Penguasa dunia dengan kekuasaan besar cenderung memperluas wilayah kekuasaannya ke bidang agama, dan terjebak dalam caesaropapisme. Sebaliknya, penguasa agama yang dipuja umatnya cenderung memperluas kekuasaannya ke bidang politik, dan jatuh ke dalam hierokrasi yang berpuncak pada teokrasi. Gus Dur adalah pemimpin agama dengan legitimasi tradisional yang kuat dari kakeknya sebagai pendiri NU. Dia kemudian memegang kekuasaan politik tertinggi di republik ini, dan memberikan contoh yang patut diingat, bahwa kekuasaan politik janganlah dicampurbaurkan dengan otoritas keagamaan, meskipun pada suatu saat kedua otoritas itu berada di satu tangan.
 
Sementara Gus Dur bergerak dari civil society ke politik kenegaraan, Frans Seda menempuh jalur sebaliknya. Perjumpaannya dengan Kasimo seusai studinya di Universitas Tilburg, Belanda, merupakan semacam Wahlverwandtschaft dalam pengertian Max Weber, yaitu bertemunya dua faktor yang saling menunjang, tanpa dapat dipastikan hubungan sebab-akibat relasi itu. Apakah intuisi politiknya menyebabkan Seda memilih Kasimo sebagai mentornya, atau Kasimolah yang memperkenalkan politik sebagai cakrawala dengan tantangan yang menggoda bagi seorang lulusan universitas yang siap bekerja? Seda bergabung dengan Partai Katolik Indonesia pada 1950-an yang dipimpin oleh Kasimo, kemudian menjadi ketuanya, masuk parlemen, kemudian ditunjuk Soekarno sebagai Menteri Perkebunan.
 
Sejak itu jabatan menteri demi jabatan menteri diembannya, juga setelah pemimpin nasional beralih dari Bung Karno ke Soeharto. Tentu saja hal ihwal negara dan bangsa bukan sesuatu yang baru buat dia, karena Seda telah terlibat dalam perjuangan bersenjata menentang Belanda selagi bersekolah di Muntilan, sebelum meneruskan pendidikan di HBS Surabaya. Lahir dan besar di pulau kecil, Flores, yang masuk buku sejarah karena Soekarno pernah dibuang ke sana, dan menjadi anggota kelompok Katolik yang merupakan minoritas, Seda selalu tampil mewakili kelompoknya dengan mengibarkan bendera Katolik dalam politik Indonesia tanpa bimbang dan tanpa kompleks rendah diri. Dia menghayati dan mewujudkan prinsip moral politik yang diajarkan Mgr. Soegijopranoto, Uskup Semarang, yang dikenal dekat dengan Bung Karno. Seorang Katolik Indonesia haruslah 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia.
 
Dengan asas itu dia menerobos ketertutupan kelompok-nya, bergaul dan bersahabat dengan tokoh dan umat agama lain. Setelah Soekarno jatuh dan pemerintahan diambil alih oleh Soeharto, umat Katolik harus menentukan orientasi, khususnya terhadap kelompok Islam yang dihadapi sebagai mayoritas. Tanpa ragu Seda mengatakan kepada kelompoknya bahwa umat Islam adalah teman seperjuang-an umat Katolik, sama seperti sikapnya terhadap kelompok agama lain.
 
Sebagai politikus, dia memberikan perhatian kepada penguatan civil society. Dia melibatkan diri dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dengan mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya pada Juni 1960. Dalam kalangan pendidikan tinggi Katolik, inilah satu-satunya universitas Katolik di Indonesia, dan mungkin salah satu dari sedikit universitas Katolik di dunia, yang didirikan dengan prakarsa yang seluruhnya berasal dari kalangan nonklerus. Universitas ini mencantumkan dengan jelas atribut “Katolik” dalam namanya karena, dalam keyakin-an Seda, sebagai seorang Katolik, I have nothing to lose and I have everything to gain, sebagaimana pernah dikatakannya kepada seorang penulis asing.
 
Dia juga menjadi perintis dengan peran yang menentukan berdirinya harian Kompas, pada 28 Juni 1965. Beberapa kali dia bercerita dengan jenaka kepada penulis tentang usul untuk mendirikan sebuah surat kabar Katolik yang disampaikannya kepada Jenderal Achmad Yani. Sang jenderal mengatakan akan mempertimbangkannya dengan syarat Seda dapat mengumpulkan 5.000 tanda tangan yang mendukung gagasan itu. Dengan caranya yang praktis, Seda mengerahkan 5.000 tanda tangan yang dikumpulkan dari para guru dan pegawai negeri sipil di Flores, dan di-serahkan ke Jakarta.
 
Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralis yang gigih membela hak-hak minoritas. Pada pemakamannya, wakil-wakil minoritas itu hadir dan memberikan penghormatan terakhir secara khusyuk. Sebagai pemimpin organisasi massa terbesar, dia bergerak lintas komunal, dan membuat tiap orang, juga dari golongan-golongan kecil, merasa at home di negeri ini. Pluralisme adalah cara seseorang dari kelompok besar menempatkan diri secara wajar di antara saudara-saudara lain dari kelompok kecil. Seda adalah pemimpin minoritas yang yakin bahwa seorang dari kelompok kecil dapat menjadi bagian sah dari bangsa ini karena sumbangan yang diberikan dalam perjuangan nasional. Maka nasionalisme adalah surat jaminan bahwa sebuah minoritas berhak mendapat tempat yang layak di tengah bangsa Indonesia yang besar.
 
Di tengah industri pencitraan yang berkembang melalui media, juga untuk berbagai kepentingan politik, perilaku dan kepribadian Gus Dur dan Frans Seda memberikan kontras yang tajam. Mereka tampil apa adanya, tidak berusaha memperlihatkan diri lebih unggul daripada yang sebenarnya, tapi dengan sikap percaya diri yang membuat orang lain akhirnya menerima mereka seperti apa adanya. Pada Gus Dur hal itu kadang kala menimbulkan kesulitan protokoler ketika dia menjadi presiden. Pada Seda, seba-gaimana dilukiskan oleh rekannya, Emil Salim, dia tak menyembunyikan diri sebagai anak desa yang berasal dari Flores, dan bahkan memperlihatkan kebanggaan tertentu dengan atribut itu.
 
Citra dapat menciptakan suatu simulakrum, kata para ahli post-modernis. Identitas seseorang dapat dikonstruksikan melalui berbagai teknik yang menggarap penampil-an, gerak-gerik, dan outfit. Tapi kehadiran dua tokoh itu di tengah kita memberikan pengalaman sebaliknya: bukan citra yang membuat seseorang menjadi pemimpin, tapi pemimpin sejati menciptakan citranya sendiri dan, kalau dapat, juga citra bangsa yang dipimpinnya.
 
11 Januari 2010

*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi. Dan biografi singkat Ignas Kleden dari majalahbasis.com: Dilahirkan di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Sempat bersekolah di sekolah calon pastor berkat lulus dengan predikat terbaik disekolah dasar. Namun keluar dari sekolah tersebut lantaran tidak bisa berkhotbah dengan baik. Ia Lalu memilih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982), dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995). Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. http://sastra-indonesia.com/2011/09/pluralisme-dan-nasionalisme-gus-dur-dan-frans-seda/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito