Kamis, 20 Mei 2021

CERITA, PEMBIMBING DISERTASI, DAN KEBEKUAN NILAI JAWA

Djoko Saryono *
 
/1/
Bertahun-tahun kemudian baru kusadari, mengapa pesan, nasihat, nilai, dan ajaran moral atau malah kultural dan keagamaan disampaikan melalui cerita. Kekuatan cerita atau kisah begitu luar biasa dalam diri manusia dibandingkan dengan angka-angka statistik dan infografis indah menawan. Dibandingkan angka-angka statistik dan infografis indah menawan, sesungguhnya cerita (storytelling, narrative) yang baik lebih efektif memperkuat ingatan seseorang atau sekelompok orang. Di samping itu, juga lebih efektif menghunjamkan dan menyebarkan pengetahuan-pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge).
 
Temuan kajian Jennifer Aaker dari Stanford University menunjukkan, sebanyak 63 persen mahasiswa yang ditelitinya mampu mengingat cerita dengan baik; dan hanya 5 persen mahasiswa yang mampu mengingat angka-angka statistik. Pelbagai kajian perihal ingatan manusia juga menginformasikan bahwasanya fakta kritis, data cermat, dan analisis kuantitatif lebih mengunggah diri manusia, bahkan menggerakkan manusia bilamana disampaikan dengan cerita. “Manusia berpikir dan bermenung dalam cerita ketimbang dalam fakta, angka atau persamaan...,”cetus Yuval Noah Harari saat membuka buku 21 Lessons for the 21st Century (2018).
 
Tak mengherankan, terbilang sejak beribu tahun lampau, manusia digelari sebagai homo fabulans, sang makhluk bercerita. Cerita menjadi medium paling utama mengalihkan, menyebarkan, melesakkan (menghunjamkan), dan/atau mewariskan tradisi, kebudayaan atau peradaban di pelbagai bentangan dunia. Pesan-pesan, nilai-nilai, dan norma-norma moral sosial dan keagamaan diekspresikan dalam cerita. Tiap-tiap puak, suku, dan/atau bangsa di semua penjuru dunia merangkai dan mengungkai cerita untuk mewariskan dan menyebarkan pesan, nilai, dan ajaran budaya dan agama masing-masing. Demikian juga orang tua di mana pun cenderung mewariskan dan meneruskan nilai, ajaran, dan norma moral sosial kepada generasi berikutnya. Menurut kesan saya, orang tua dan pemimpin gemar bercerita kepada generasi berikutnya sebagai ahli waris. Orang tua dan pemimpin yang piawai bercerita bisa meneluh kita. Cerita mereka memiliki daya teluh luar biasa sehingga kita yang mendengarkan bisa terhanyut dalam keindahan cerita.
 
Berbilang lebih dua puluh lima tahun lalu, ketika kuliah doktoral, aku mendapat seorang pembimbing disertasi yang sangat gemar bercerita. Namanya Prof. Dr. Zuchridin Suryawinata, yang berpostur tegap jenjang dan tutur katanya lembut, jernih, dan tertata rapi. Setiap aku menghadap untuk bimbingan, dia lebih banyak bercerita daripada memberikan saran dan masukan akademis, misalnya menyarankan konsep atau teori tertentu. Ceritanya selalu mengalir lancar bagai arus air menuju muara – yang disesuaikan dengan konteks dan topik disertasi yang hendak aku tulis. Berhubung aku menulis disertasi tentang konstruksi nilai budaya Jawa dalam fiksi Indonesia, tak heran dia senantiasa bercerita yang bermuatan pesan, makna, dan nilai budaya Jawa. Biasanya ceritanya berandar pada pengalaman, penerimaan, dan pemikirannya tentang budaya Jawa. Salah satu ceritanya kuungkapkan berikut ini.
 
/2/
Kata sahibul hikayat, tersebutlah seorang anak bangsa -- anak bumiputra. Dulu, beberapa tahun lalu, pada waktu masih kecil, dia mengetahui dan melihat sebuah tempat yang khusus bagi orang Belanda. Di tempat itu ada sebuah tulisan. Dalam bahasa Belanda, dengan jelas tulisan itu berbunyi: Inlanders en honden verboden! – kaum bumiputra dilarang masuk! Anak-anak bumiputra pun kesal, jengkel, dan marah. Akan tetapi, mereka tidak berdaya dan berani memberontak.
 
Selama itu anak-anak bumiputra – terutama anak-anak Jawa dan wong cilik Jawa – dididik untuk selalu pasrah, sumarah, nrimo, nrimo ing pandum (serba pasrah, menerima, menerima bagian yang diberikan kepadanya) agar tidak memberontak. Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan nilai-nilai ini sangat intensif diberikan kepada orang Jawa. Timbullah pertanyaan di sini: apakah nilai-nilai ini memang sengaja dieksploatasi oleh Belanda supaya anak-anak bumiputra tidak memberontak kepadanya?; agar orang kecil, wong cilik, selalu pasrah dan menerima nasibnya begitu saja, tidak pernah berpikir dan berani memberontak kepada Belanda? Apakah nilai-nilai Jawa ini memang dibuat atau direkayasa sedemikian rupa oleh Belanda sehingga kaum bumiputra tidak perlu dan tidak bisa berpikir dan berbuat apa-apa untuk mengubah keberadaan, keadaan, dan kedudukannya?
 
Begitu intensifnya rekayasa nilai pasrah, sumarah, nrimo, nrimo ing pandum, dan sejenisnya oleh Belanda sehingga nilai-nilai tersebut melekat dan menyatu ke dalam nilai dan falsafah Jawa yang kemudian juga bergabung dengan keselarasan (harmoni) manusia Jawa. Perlahan-lahan, tapi pasti, hal tersebut kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai budaya Jawa. Sekarang kita selalu menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai Jawa yang sangat penting. Hal ini menyiratkan betapa manusia Jawa telah terjajah sedemikian lama, selama beratus-ratus tahun, oleh ideologi kolonial.
 
Pada waktu sudah dewasa, anak bangsa yang disebut pada paragraf awal di atas pergi ke negeri Belanda – negeri yang pernah menjajah bangsanya sekian lama. Di Belanda, dia melihat dan menyaksikan betapa sangat megah dan canggih teknologi Belanda. Di antaranya dia menyaksikan kota di bawah laut, menyaksikan bandar udara yang begitu megah dan canggih yang berada tujuh meter di bawah permukaan laut, menyaksikan bendungan kukuh dan besar yang panjangnya 42 km, membendung Noord zee. Si anak bangsa benar-benar terpukau dan kagum oleh kecanggihan teknologi dan organisasi yang telah berhasil dikembangkan Belanda tersebut.
 
Dia merenung, melihat kembali ke masa lalu, dan kemudian mempertanyakan: Dari manakah kekayaan yang sedemikian besar dan dana yang sedemikian melimpah didapatkan sehingga Belanda mampu membuat kota di bawah laut? Dari manakah kekayaan dan dana tersebut kalau bukan dari Indonesia? Tidakkah hal ini merupakan akibat para raja, pangeran, dan priyayi Jawa yang dibodohkan oleh Belanda dengan cara di-kepenak-an dan di-lela-lela atau ditimang-timang dan dinibobokan dengan kehidupan yang sangat mewah, berupa pemberian harta, tahta, wanita, dan perlindungan keku-asaan? Penimang-penimangan dan peninaboboan tersebut telah menjadikan para raja, pangeran, dan priyayi takut terhadap adanya perubahan, takut kehilangan kekuasaan dan kemewahan sosial ekonomis! Mereka sudah telanjur merasa enak dan aman hidup di bawah duli tuanku Belanda. Secara lugas atau terselubung, hal ini menjadikan mereka budak kekuasaan kolonialis.
 
Oleh karena itu, si anak bangsa tidak yakin bahwa orang Jawa memang pasrah, sumarah, nrimo, nrimo ing pandum, wani ngalah, dan sejenisnya semenjak dahulu. Hal ini hasil rekayasa kolonialis Belanda. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid I), Denys Lombard menyebut rekayasa nilai tersebut sebagai bagian dari teknik pembinaan masyarakat oleh kolonial Belanda agar masyarakat selalu patuh dan tunduk kepadanya. Selaras dengan hal ini, dalam State and Statecraft in Old Java, Soemarsaid Moertono menyebut rekayasa nilai tersebut sebagai perlengkapan magis-kultural untuk mempertahankan dan melang-gengkan kekuasaan. Jika memang demikian, berarti rekayasa nilai tersebut telah menjadi bagian dari ideologi kolonial. Ideologi kolonial seperti inilah yang telah menyebabkan tertanamnya secara kuat feodalisme ke dalam budaya Jawa.
 
Umar Kayam dalam novel Para Priyayi sudah memberikan gambaran bagaimana sebaiknya priyayi sejati. Menurut Kayam, priyayi sejati itu di samping memikirkan atasan atau penguasa juga mengabdi kepada rakyat kecil secara total. Melalui tokoh Sastrodarsono, dikatakan oleh Kayam bahwa warna semangat priyayi sejati "bukanlah terutama warna halus, luwes, elegan, dari filsafat rumit...". Warna semangat priyayi sejati adalah "pengabdian kepada masyarakat banyak... warna semangat kerakyatan." Ada dua hal yang perlu dicatat dari pernyataan ini. Pertama, dalam pandangan Kayam, nilai kepriyayian yang sesungguhnya adalah pengabdian kepada rakyat. Kedua, bila selama ini nilai kepriyayian lebih diartikan pengabdian total kepada penguasa atau kekuasaan, misalnya terlihat dalam pemberian upeti, asok glondong pangareng-areng, hal ini merupakan bentuk feodalisme yang sudah ditanamkan oleh kolonial Belanda.
 
Pertanyaannya, tidakkah kita khawatir, sekarang tumbuh neofeodalisme? Kekhawatiran ini cukup beralasan. Sekarang banyak pembesar dan pejabat lupa bahwa tugas mereka memberdayakan dan mengangkat wong cilik, mandat mereka melayani dan menyejahterakan orang kebanyakan atau orang kecil. Elite kekuasaan sekarang banyak yang lupa diri bahwa mereka banyak dikelilingi oleh orang-orang yang memang sengaja ikut arus utama (mainstream) yang hanya bertujuan untuk tetap menegakkan dan melanggengkan kekuasaan – demi keuntungan lingkaran kekuasaan mereka sendiri. Dalam keadaan seperti ini, tak ada lagi satunya kata dengan perbuatan. Kata dan perbuatan semakin terpisah jauh, tak dapat saling bertemu. Di samping itu, banyak pembesar dan pejabat yang bersikap seperti raja, priyayi, dan birokrat Jawa masa lalu. Mereka minta dimanjakan dengan bentuk keistimewaan dan kemewahan sosial ekonomi. Sebagaimana diketahui, pada zaman Belanda, inlander, orang kebanyakan cukup hidup dengan 1 benggol (2,5 sen) per hari, sedang priyayi hidup dengan 7,5 guldern per hari. Bandingkanlah, betapa lebardan besarnya kesenjangan ekonomi ini! Bukankah kesenjangan seperti ini juga terjadi sekarang –orang kecil kebanyakan kalang kabut mencari rezeki dan sesuap nasi, sementara para pembesar dan pejabat korupsi tidak kenal batas henti?
 
Apakah hal tersebut ada hubungannya dengan sistem huruf Jawa? Dalam sistem huruf Jawa, bila /ka/ di-taling, di-tarung, di-pepet, dan di-cerek tetap berbunyi, tetapi bila /ka/ di-pangku menjadi mati. Tidakkah para kolonialis Belanda belajar dari simbol-simbol ini untuk menguasai orang Jawa? Tidakkah para kolonialis Belanda sengaja me-mangku  atau memanjakan orang Jawa khususnya priyayi dengan berbagai keistimewaan dan kemewahan sosial ekonomi agar mereka mati? Tidakkah pembesar dan pejabat sekarang serupa priyayi masa lalu yang dicekoki keistimewaan dan kemewahan sosial ekonomi oleh para bandar mereka?
 
/3/
Mendengarkan cerita pembimbing yang mengalir lancar dan tertata rapi, aku takzim menyimaknya. Tak mengeluarkan kata, apalagi menyela dan kemudian bertanya. Aku bagaikan masuk labirin sihir cerita. Setelah sekian lama bercerita dan aku terhanyut-kesima tanpa kata, pembimbingku menghentikan cerita, lantas bertanya: Kira-kira cerita saya sudah dimasukkan apa belum dalam naskah? Kalau belum, coba dimasukkan ya; dan kalau sudah tolong dijabarkan lebih detail dengan bukti pendukung yang cermat. Setelah itu, dia biasa berujar, “Ya sudah, terus lanjutkan.”Aku mengangguk, lalu pamit pulang.
 
Begitulah pembimbingku membimbing lebih banyak dengan bercerita.
 
Selamat berlebaran sahabat semua. Hidup ini begitu indah – Indonesia kita pun sangat indah. Sayang kalau dilewatkan tanpa baku sapa, silaturahmi, dan cerita.
***

*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional. http://sastra-indonesia.com/2021/05/cerita-pembimbing-disertasi-dan-kebekuan-nilai-jawa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito