Zehan Zareez
"Kualitas 'isi' seseorang bisa diselami lewat
jalur sederhana. Misal: polanya dalam menulis sesuatu. Entah diukur dari
struktur pilihan kata yang dipakai, penerapan huruf besar kecil, kejelasan
maksud kata perkata, prakalimat, jadi, atau dlsb, sebelum nantinya lanjut
konsen pada arah peninjauan substansi dan gaya "unsur" yang ditulis
secara menyeluruh. Mengingat, orang-orang bergizi (siapapun itu) secara tidak
langsung adalah mereka yang pada dasarnya telah selesai di tangga estetika
dalam menulis".
***
Jika menurutmu
benar, lanjutkan membacanya hingga paragraf akhir. Tapi jika kamu tidak
sepakat, alias statement diatas keliru, saya sarankan berhenti sampai sini saja
membacanya, daripada buang-buang waktu.
Baik. Jadi poin kasarnya begini. Jika ada temanmu yang menulis
tentang suatu topik; entah politikkah, agamakah, sosialkah, infotainmentkah,
pendidikankah, mediskah, atau dll -- mohon jangan terburu-buru memberikan
penilaian atau ekspektasi terhadapnya yang bersifat ejakulatif. Pantau saja
dulu, amati! Kenali lebih dalam karakter tulisannya dan temukan bidang lingkup
kehidupannya. Semampumu. Itu dulu. Jika perlu, kamu bisa melakukan 'stalking'
mengenai tulisan-tulisan yang ditulis sebelumnya. Aktifitas menyenangkan yang
demikian tentu bisa memperkuat hipotesamu terhadapnya sebelum memberikan
kesimpulan, nanti. Selanjutnya, pengamatanmu, analisamu, hingga prediksimu yang
semampunya tadi jangan dibuang sembarangan. Jadikan senjata untuk menemanimu
berenang di lautan multi-dimensi. Kapan waktu nanti, mungkin kamu butuh
pelampung, butuh perahu, butuh dayung atau bisa jadi butuh membuat lautan baru.
Mungkin saja. Kan tidak semua ombak bisa dijadikan sarapan yang menyehatkan.
Beres atau tidaknya tulisan merupakan bonsai dari
kepribadian penulisnya. Poin ini penting dan sepertinya harus kita sepakati
bersama. Kita kembali fokus ke temanmu yang menulis tentang apapun tadi.
Katakan dia telah menulis sesuatu. Sedalam apa pun tujuan materi tulisan yang
ingin disampaikan, namun jika kamu menjumpai ke'FATAL'an dalam hasrat
menulisnya, maka sebenarnya kemewahan materi 'yang coba diangkatnya' tersebut
sebenarnya adalah sebuah upaya eksploitas yang hanya memiliki nilai
"seolah-olah". Alias, sebatas agar tampak 'iya', dianggap ekspert dan
atau bla bla bla. Dalam istilah fikih, kalimat itu batal fungsi. Dan sebab yang
membatalkannya tak lain adalah apa yang ditulis tidak relevan dengan daya gizi
yang sebenarnya dimiliki. Ngambang .
Napas kita hari ini adalah media. Semakin susah rasanya
menghirup udara tanpa subsidi unlimited kuota. Wajar jika potret selular
dianggap sebagai panggung yang horniable untuk dijadikan sajadah. Kita belum
se-zuhud para ulama sepuh yang benar-benar mampu menganggap kehidupan dunia ini
klise. Zona kita ini serampangan loh. Rute jalan-jalan kita juga sama. Suka
pergi ke pasar-pasar yang tak jual jajan. Daya konsumtif kita juga satu irama;
mengarahnya pada popularitas, hedonism, eksistensi dan sosialita. Walhasil,
benar. Media adalah panggung paling akbar untuk dijadikan tebar-tebar pesona.
Klik?
Maksud kesimpulan saya begini, pada akhirnya hal
terpenting sebelum kamu meyakini bibit bebet bobot seseorang (baik yang kamu
kenal maupun tidak) adalah bagaimana upayamu sendiri dalam mencerdaskan dirimu.
Gizi seseorang akan mampu menarik magnet gizi yang lain -- yang setara kadarnya
pula; tentunya (tak peduli kenal ataupun tidak sebelumnya). Sesama petani gizi
akan menemukan ladangnya. Tidak perlu khawatir. Memang, wacana-wacana keropos
akan tetap terus berkibar mendominasi lalu lintas beranda media. Tapi jangan
ciut. Jika kamu meyakini gizi akan ketemu gizi, maka kertas lungset pun akan
ketemu dengan kertas lungset lainnya. Wacana-wacana keropos itu punya nasab
lini perbudakan sendiri, yang tentu se-kapasitas dengan wacana yang
disembahnya. Itulah mengapa ilmu bisa disebut sebagai perhiasan bagi pemiliknya
(ta'allam; fa innal 'ilma zainun li ahlihi # ...) - ta'limul muta'allim.
Kenapa saya menganggap penting melanjutkan menulis takwil
dari statement paragraf awal tulisan ini? Karena begini-loh. Negeri ini
nyatanya sudah lumayan kedodoran dan lumpuh hanya gegara merebaknya
kalimat-kalimat siluman. Ini bahaya, lantaran efek biusnya tembus ke saluran
otak yang alur lajunya turun langsung ke saraf dengkul. Tidak sedikit
akademisi-akademisi, aktifis-aktifis, praktisi, pegiat-pegiat forum, kawula
muda dsb, yang mereka secara laduni ter-ilhami nyali baja, lantas dengan
beraninya melayang, jumawa, pakai atribut, bendera -- tampil menjajakan eksistensi
dengan cara menjual wacana-wacana langit yang jauh dari isi. Sekalinya kenal
dengan orang besar, langsung dijadikan Tuan baru, agar selanjutnya ia-lah yang
di-tuan-kan oleh zurriyah dari lini perbudakan yang telah dibangunnya. Kasihan,
padahal jiwa aslinya sebenarnya penganut madzhab tiktok loh. Duh! Jauh banget
kan?
Saya sih membacanya ini sebagai dampak dari panjangnya
angan-angan, yang bermula dari terlalu rajinnya seseorang dalam menyertifikasi
dirinya sendiri sebagai pribadi yang kredibel di bidang yang menurutnya lumayan
'nyahwati'. Istilahnya, Fikih tanpa tasawwuf itu pincang, dan
Tasawwuf tanpa fikih, njomplang. Seperti itulah...
20 Mei 2020

Tidak ada komentar:
Posting Komentar