Kamis, 30 Juni 2011

Serat-serat Makna dalam Cerpen-cerpen S.W. Teofani

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Sebelum menulis ini, ada ruh-ruh menawarkanku untuk melewati gelombangnya, sedenyar cahaya bertumpuk-tumpuk pelbagai warna fajar atau senjakala bertuah. Ruh suara itu kadang mengambang, menelisiki ceruk bumi rahasia, dikala naik setinggi derap selat Sunda. Berhamburan sumringah mengabarkan gugusan kilau tak terkira.

Aku mereka-reka di antara ombak yang berkejaran, berpelukan dalam hangat penciuman maut. Kehakikian kasih melingkupi jangkauan, serupa malam disepuh purnama, dikala siang dicahayai kemabukan kerja. Lantas bertubi-tubi datang sinyal tak kukenal bagai lukisan-lukisan asing namun teramat dekat dengan kepastian; sayatan pilu, keluhan tak luruh mengabadikan tembang-tembang kalimah pujian.

Sedikit kugeser letak bersila, ada sebentuk paku mencincang tubuh menancapi gunung Krakatau dengan nyala selalu menghamburkan kilatan api. Disusul rintikan gerimis turun membekukan ingatan, menggigilkan kekhusyukan, diruapi yang tak kekal bermutiara kesucian, melewati jari-jemari air langit membiru nan membentang.
***

Dalam cerpen-cerpennya, ada keyakinan meleburkan jiwa-raga. Perasaan semesta kepatuhan kepada nilai-nilai moyang menjaga dalam sikap menafaskan kata, dibumbuinya helahan nafas. Dan tiap titik ditekankan kausalitas tak terbantah; bayu lembut kadang bening padat, dibagi-bagikan seluruh tarikan nafas pembaca, realitas hari-hari diperas, dimasa membetot akar-akar jantung pemuda.

Tidakkah gelombang jiwa mengamuk, menumpaskan segenap tanjung karang kebisuan, dipukuli wewaktu syahdu. Pada gilirannya menempeli pohon kesejatian, menjelma getah yang kelak merekatkan ingatan. Pepundi lama dipunggah, tangis pantai jeritan batu bergema, di dalam relung-relung hati yang dahaga; kesunyian sujud melekat panjang di lantai marmer pendapa.

Aku tatap potongan untaian rambut kalimahnya bersimpan air mata yang pada bagian-bagiannya membuai makna. Ujaran hidup untuk bersungguh menempuh tapak langkah menuju gubuk pertapaan.

Kupandang dedaunan kehidupan penyapa, peputik kembang memberi kecupan, yang diantar angin pagi memerah. Batuan terinjak betapa santun menerima pengertian, kala mengupas lelapisan cangkang usia.

Hampir setiap mata menyapa, ada kedip takdim, bibir terkatup berdecak kagum. Entah, ia telah meloloskan berapa takdir hingga jiwanya merdeka. Setidaknya itu hukum kebebasan mencipta dari pengurbanan; yakni kalbu teduh akan tentram, kegusaran sebab dinaungi bayang-bayang buram kejahiliaan.
***

Bagi penyimak tak kenal lelah dipenuhi ubun-ubunya pelbagai titah, bagi pembaca pemalas cukup tersedia kilatan dentingan besi bertubi-tubi melelahkan. Antara itu, keterjagaan kantuk-kesadaran memilih kata.

Seperti seorang empu memilah bahan apa saja guna melengkapi mantranya. Karyanya seonggokan kayu jati sekokoh balada, hingga hikayat dilantunkan berabadi ke tepi-tepi cakrawala, di setiap ruang-waktu menujum berkah.

Entah berapa kali meyakinkan kata, ditempatkan di posisi semestinya, yang hampir ke derajat takdirnya. Umpama pahatan wirid memancar sekeliling pelosok sejati rasa; kebeningan tekad seagung memaklumati persendian karya.

Ketabahan telisik membuatnya mampu bertahan atas apa yang dibangun di setiap cerpennya mempunyai ruh menggumpal keras; udara tersusun nafas-nafas ketelatenan mengudar tanpa pamrih, hanya teruntuk sikap menundukkan jiwa angkuh.

Tepatnya menyantunkan para pembaca seperti tak disengaja. Lantaran kepastian bola matanya tertuju ruang hampa, yang disuguhkan tidak terdesir nalar sebelumnya, tak terfikirkan sketsa yang sudah-sudah.

Memang gagasannya tak selalu baru, tapi murni daya penceritaannya mengundang penasaran. Rupa takdir dinanti banyak orang di suatu negeri akan hari-hari besar, yang digapai ikhtiar menderas dari belakang.
***

Ia belum banyak dikenal, tetapi meski begitu ada harapan besar melebihi gelombang di pantai ujung pulau Sumatera. Jikalau sikap kewaspadaan dirawat, ingatannya tetap menujah bumi pertiwi, dan semangatnya serentetan ke pepulauan di Nusantara.

Syarat-syaraf cerpennya sangat lain dengan yang bertebaran di media massa. Entah keyakinan sekesumat bagaimana, dirinya menetapkan keteguhan demikian purna. Keinsyafanya seperti petapa di belantara kota, bebuah lampu bergelantung, kabel-kabel bergelayut setangkai kembang malam. Ia memasuki lorong sunyi, keadaban silam-semilam sedengungan purba, ditarik sepanjatan doa ibunda bagi anak-anaknya, di bencah perantauan akal budhi manusia.

Pancakan nafas karyanya merasuki takdir abadi. Mungkin mereka tak mengelak jikalau ia kusebut tengah disusupi auranya May Ziadah yang menanti Gibran diselumuti kabut misteri, atau ayunan langkah seanggun Rabi’ah Al Adawiyah. Atau pemberontakkan sepedas Nawal El Saadawi? Ahai, hanya takdir dirinya menjawab. Kelak di atas pancaran sekarang, yang lalu pondasinya mengencangkan setiap tekat, seulet tali-temali tambang pelabuhan.

Sebagian karyanya mengingatkan aku pada cerpen-cerpen karangan Mustofa Bisri, dan almarhum Zainal Arifin Thoha. Yang berangkat dari realitas hikmah oleh sumur abadi, pada ujaran-ujaran pekerti yang diyakini. Maka barangsiapa meneguknya memperoleh pengetahuan, sejumlah cidukan dari kisaran digeluti sehari-hari.

Seperti para ulama’ sufi mengudar hikayat sahabat-sahabatnya, atas pantulan cermin kebertemuan cahaya. Atau perasan intisari di bawah pengendapan bertumpuk memendarkan tafsir, yang berbenang merah halus tetapi besar gulungannya, sehingga tak melenceng sedari tahap tingkatan waktu, dan nilai yang dibangun.

Seakan tak dapat disangkal, ia menulis tak bertujuan menjadi pengarang, namun hasratnya menggerakkan kalbu pembaca semisal bayu menerbangkan dedaunan menggoyang lekat di pohonnya; bebatang, reranting, kekulit berpori-pori mencecap kehalusan budi bahasa. Umpama sap-sap gelombang nan halus tingkatannya, kekhusyukan pembaca menjadi penentu kepenuhan yang disimaknya.

La-Lamp-Lam Juni 2011

Kamis, 16 Juni 2011

MEMBACA NUREL JAVISSYARQI

Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/

Membicarakan kesusastraan sepertinya semua penulis puisi akan suka dan tertarik, nyaris tanpa embel-embel ngarep. Ngarep nama-namanya disebut dalam kupasan selentingan bidang sastra itu. Termasuk pula sahabat baruku Si Nurel ini, saya pikir beliau tak ada sedikitpun niat ngarep disebut-sebut namanya dari mulut kata Muhrain. "Si" yang saya maksud sebab saya merasa sok akrab saja, begitu.

Tulisan berupa sapaan belaka ini dengan maksud menuju pemikiran tentang apresiasi karya Nurel yang telah saya peroleh hasil kiriman hibah Saudara alias Sahabat baru kita ini, "kita" bermakna bahwa sahabat pembaca adalah sahabat saya, sahabat saya adalah sahabat kalian.

Meskipun sudah hampir seminggu memegang "Kitab Para Malaikat (Puisi Nurel) dan Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (Esai Kritik Nurel)" namun karena masih terus di jalanan menebas Medan, Banda Aceh dan Sabang (jelang akhir Mei dan awal Juni 2011) , buku ini belum berhasil saya tamatkan. Alias baru setengah halaman belaka. Jadi tak ada yang tuntas tentunya jika saudara pembaca menuntut saya menjawab isi keseluruhan buku tersebut yang berhasil terinsyafi.

Melangkah pada kebermaknaan kehadiran Nurel dalam kawasan pemikiran saya, sebagian dari cara Nurel menulis isi batin-pikirannya terhadap sastra secara umum, ada letupan tersendiri yang terasakan terutama dalam kehadiran sosok penyair di lingkup kesusastraan kita (baca Indonesia). Konsep rahmatan lil alamin sepertinya khatam kita baca lewat karya-karya Nurel. Pemahaman tentang dogma yang muncul dari kehadiran mantra ala Tardji, disusul ide "kemalaikatan" lewat "Kitab Para Malaikat"-nya Nurel tersendiri, lalu dengan cucuk hidung saya katakan bahwa kesusastraan memang sedang dan selalu butuh karya baru.

Persoalan ingin yang baru memang sudah menjangkiti dunia seni sastra sejak matinya penyair besar Chairil Anwar, apalagi disusul W.S. Rendra dan berdiangnya banyak penulis baru sastra Indonesia terutama bidang puisi yang berkutat dalam kawasan putaran roda di tempat. Mengapa saya katakan berotasi di tempat? Saudara pembaca sudah tahu, apakah ada yang baru dari dua nama tersebut, oh ya, ada Afrizal Malna, Seno Gumira A., Agus R. Sarjono, Dimas Arika Mihardja dll. yang konon bagi saya belumlah mencucuk hidung rasa seni sastra saya selaku penikmat mereka (murni subjektif belaka). Saya terus jadi ingat bahwa persoalan bangsa kita masih sama sejak ditinggalkan Rendra, persoalan salon sastra, penyair salon, pamflet darurat, kegelimpangan pembodohan dan berbagai kertas kerja yang repetitif belaka sejak angkatan 60-an termasuk nama Taufik Ismail yang akhir-akhir tahun lalu sering dapat kritik kehadirannya sekedar mendirikan perusahaan kesusastraannya belaka. Mengapa sebab demikian saya katakan belum ada yang baru di sastra puisi kita? saudara sudah tahu.

Lalu menyinggung kembali konsentrasi Nurel dalam essainya tentang Tardji, apa yang penting? Kenyataan lahirnya penyair ke dunia memang harus bersandar pada rahmatan lil alamin. Persoalannya apakah penyair itu sendiri telah seolah berupa rahmat bagi dirinya terlebih dahulu, apakah hadirnya diri dalam kawasan puisi (sastra lebih luas) mampu merubah buruk dirinya jadi baik yang diukurnya sendiri dengan insyaf. Lalu tafsir serupa bisa kita gurah lewat wahyu ilahi, "jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka". Apabilakah ucapan, tulisan, karya sastra mampu menghindarkan kita dari api berisi iblis laknatillah ini? Sepertinya kerja menyair tak sama bagai tukang sulap yang menipu dan kita sebut seni, macam menipunya koruptor namun tak pernah begitu menyeninya sehingga membengkalai keremajaan pembangunan manusia Indonesia.

Saya tak paham sastra, bukan saja karena belum lulus di fakultas sastra atau menjadi guru besar di bidang ini, namun seperti banyak ragam orang yang melalui jalan tempuh demi menikmati bahasa dan mata batin sastra, saya kira saya masih dahaga. Ketika orang ingin inovasi, dia akan selalu memerlukan modal untuk membeli apa yang diciptakan oleh penyair itu. Pepatah yang segar seperti "jadilah tangan di atas sebab lebih mulia dibanding tangan di bawah". Dengan begitu kekosongan identitas sastra puisi baru kita dapat dimungkinkan. Saya menulis banyak puisi sekedar percobaan seperti yang saya kutip dari omongan (komen fb) Dimas Arika Mihardja, belum lagi mendapatkan ceruk tempat karya itu menyaruk dan mengajak pejalan ramai mau sekedar melongok atau bahkan ikut masuk ke dalamnya dan berlama-lama. Namun pemikiran terus berjalan sebagaimana hidup, seperti yang saudaraku dengan jamak alami pula.

Bagaimana tanggapan sesungguhnya setelah dengan sangat sedikit mengenal sosok Nurel? Jawabannya: saya hanya penuh curiga, apa maunya orang ini di dunia sastra kita?, mengapa banyak bukunya baru saya dapat dua, di Aceh memang amat ketinggalan soal karya sastra baru, buku yang beredar di kantung-kantung sastra di Jawa juga kepulauan lain macamlah menunggu bara hanyut, itu sentilan saya dengan maksud mengatakan saya harus jemput bola demi tahu sejauh mana putaran roda sastra Indonesia itu beredar berpendar di kawasan Indonesia yang maha luas ini.

Nurel masih sangatlah baru yang tersebut di bibir ini, itu saya akui, puisi-puisinya panjang tak ketulungan namun semacam menemui angin laut yang sepoi dan kadang menyegarkan di pulau Sabang, keras dan penuh asin. Garam yang ditawasnya dalam setiap bab Kitab Malaikatnya itu berhasil membuat saya curiga, jangan-jangan ia (Nurel) lebih mirip filsuf dibandingkan penyair, sebab bagi saya itu amatlah beda, menjadi filsuf punya akar baca dan akar faham yang mumpuni, menjadi penyair hanya perlu aral dan pedang tinta juga sedikit gontok-gontokan dengan pihak pengelola taman budaya juga penerbit setempat plush membidani perawakan gondrong, energik, sangar dan terkadang malah memuakkan pemerintah akibat rewel menggelisahkan kekuasaan (itu sich penyair label alias tampil untuk proyek esek-esek sastra panggung, sastra bahenol kalau tak mau dibilang sastra nol). Beda tentunya dengan faham bagaimana sejatinya menjadi penyair yang dikupas meski belum habis oleh Nurel lewat karya essainya menggugat Tardji itu.

Lainnya belum dapat saya tawarkan pada kalian sidang pembaca coretan sore ini, 6 Juni 2011, sebab saya memang masih sangat sibuk bertanya, mengapa yang terbit tak pernah merasa redup dan mengapa yang redup belum lagi mampu membuka diri menuju putaran jaman kesusastraan yang makin menggoda di depan. Jangan ikut kalau takut, jangan marah kalau gerah, dan jangan seorang Nurel saja, misalkan kita masih mau menghirup nafas kesusastraan lebih gairah dan penting. Pentingkah masih sastra itu, puisi itu? Kita akan jawab bersama lewat terus berkarya. Salam takjim pada Nurel Javissyarqi. Meski saya tak pernah janji mau menulis namanya pada kenangan, sebab saya tak bisa melupakan sentilan-sentilan ala Javanya dalam dua bukunya belaka yang telah saya punya. Terima kasih Nurel, salam pula kepada segenap pembaca Muhrain. Selamat sore saya kirim lewat angin Jantho (Aceh Besar) Nanggroe Aceh Darussalam. Sebuah puisi penutup sebagai sapa rutin Muhrain buat segala. Salam Reusam Tanoh Rencong.

DI BALIK SEULAWAH
Muhammad Rain

kuumbar angin hijau gunung bukitan
menyapa awan dan langit tenang
nun setelah berangas tumbangnya pohonan
gundulnya nyentrik para pembalak

kukutuk harum gersang tanoh endatu
sejak perang hanya lahirkan kedai kopi
yang menanam mimpi kapan Aceh Jaya
dan karena darah lahir dari Rencong
mataku muncrat melancong ke dalam padang hampar

kukatakan matiku untuk Indonesia.

Jantho (Aceh Besar)- Indonesia, 6 Juni 2011.(Seulawah adalah gunung kebanggaan Aceh)
Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-rain/membaca-nurel-javissyarqi-sahabat-baruku-muhrain/136228399787524

Hakikat Bahasa, Mantra, dan Tanggung Jawab

(Tanggapan atas buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri)

Mahmud Jauhari Ali
http://sastra-indonesia.com/

Apakah yang terbayang di benak Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau apa?

Hari itu, di sebuah ruang belajar, saya pernah menyimak sebuah pertanyaan singkat, “Apakah bahasa itu?” Mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Mungkin juga tidak. Mengenai pertanyaan tersebut, banyak orang menjawabnya dengan kalimat sederhana, “Bahasa ialah alat komunikasi.” Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah bahasa itu memang alat komunikasi?

Sebelum kita masuk ke wilayah yang lebih jauh menyangkut hakikat bahasa, dan juga menanggapi buku karangan Nurel Javissyarqi yang judulnya saya tuliskan di atas itu, saya katakan terlebih dahulu, bahwa saya bukanlah seorang linguis atau pun sastrawan hebat. Dalam hal ini saya hanyalah seorang penulis yang ingin menuliskan apa yang saya ketahui saja.

Baiklah, kembali ke pertanyaan apakah bahasa, sekilas tidak salah jika bahasa diartikan sebagai alat komunikasi. Mengapa? Sebab, fungsi utama bahasa memanglah sebagai alat penyampai pesan dari pembicara kepada penyimak, atau dari penulis kepada pembaca. Namun, apakah argumen itu sudah kuat dalam kajian yang mendalam untuk menjadi landasan dalam pendefinisian bahasa?

Saya yakin semuanya akan sepakat bahwa fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, fungsi tidaklah sama dengan batasan atau definisi, bukan? Jadi, jika ditanya apa salah satu fungsi bahasa, jawabannya yang benar ialah alat komunikasi. Dengan demikian, “alat komunikasi” bukanlah definisi bahasa, melainkan salah satu fungsi bahasa saja.

Nah sebenarnya pertanyaan apakah bahasa ini menyangkut hakikat bahasa itu sendiri. Ketika kita mendengar kata “bahasa”, yang muncul di dalam otak kita ialah “kata”, “frasa”, “klausa”, “kalimat”, dan seterusnya. Kata dan lainnya itulah bahasa di tiap-tiap tatarannya. Secara mudah, baik kata maupun yang lainnya itu sebenarnya ialah lambang bunyi. Dan, lambang bunyi tersebut merupakan wadah makna yang menghubungkan antara lambang seperti kata dengan rujukannya. Misalnya, kata mata merupakan wadah makna yang berbunyi ‘indra di tubuh makhluk hidup untuk melihat’. Makna ini menghubungkan kata mata dengan rujukannya berupa benda bulat yang melekat di bagian wajah tubuh makhluk hidup untuk melihat.

Jadi, ketika kita mendengarkan orang mengucapkan, “Selamat pagi!”, berarti kita mendengarkan orang mengucapkan bahasa. Atau, saat ada seorang anak kecil mengucapkan kata “Enak.”, dia telah mengucapkan bahasa, yakni bahasa Indonesia.

Jika kita cermati dengan saksama,“Selamat pagi!” dan “Enak.”, semuanya memiliki aturan atau bersistem. Perhatikan saja, “Selamat pagi!” tidak diucapkan dengan pagi selamat dan “Enak.” tidak diucapkan kane, anek, neak, atau kena. Ini membuktikan bahwa bahasa itu bersistem dan sistem itu berlaku secara konvensional oleh suatu kelompok manusia atau masyarakat bahasa. Sebut saja salah satu kelompok manusia yang saya maksud itu ialah warga Indonesia. Saya, Anda, dan lainnya termasuk di dalam kelompok manusia itu yang sepakat secara konvensional atas bahasa Indonesia, baik kata dan lainnya.

Dengan demikian, kiranya sudah dapat kita tangkap apakah bahasa yang sejatinya merupakan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) dan secara konvensional digunakan untuk kepentingan manusia, seperti berkomunikasi, bekerja sama, dan membangun bangsa dalam suatu masyarakat bahasa.

Dalam kaitannya dengan masyarakat bahasa ini, dikenal istilah kreativitas linguistik. Contoh nyata dari kreativitas itu ialah, huruf-huruf latin yang jumlahnya tak sampai seratus buah, bisa dibuat kata, kalimat, paragraf, dan lainnya yang tak terhingga jumlahnya. Buku-buku berhuruf latin yang jumlahnya sangat banyak di dunia ini pun, sejatinya juga dibentuk dari huruf-huruf dengan jumlah yang tak terlalu banyak itu. Bayangkan saja, seorang penyair memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Ya, mantra yang memiliki makna dan maksud untuk ditujukan kepada roh dan lainnya.

Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutahkhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang digunakan pembuatnya untuk menghasilkan karya bermutu.

Nah, menghubungkan perihal bahasa di atas itu dengan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi (terbitan Pustaka Pujangga, Mei, 2011), menurut saya sangat menarik. Sejauh mana kemenarikan itu? Silakan ikuti bahasan saya berikut ini.

Kata-Kata harus Bebas dari Pengertian

Dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB, Nurel Javissyarqi terkesan langsung menghubungkannya dengan mantra. Hal ini sesuai dengan SCB dalam kata-katanya yang ingin mengembalikan kata kepada mantra. Menurut SCB, mantra tak bermakna sebagai bagian dari pemikiranya untuk melepaskan kata dari pengertian. Dan, pada buku itu terlihat jelas Nurel menolak penyataan SCB bahwa kata harus bebas dari pengertian tersebut.

Nurel beropini bahwa mantra itu sendiri mengandung makna agung untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dengan kata lain, mantra tanpa makna tidak akan mujarab. Lalu apakah persoalannya sekarang sudah tuntas sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab, muncul pertanyaan baru, apakah benar mantra tanpa makna seperti kata SCB? Ataukah memang memiliki makna seperti yang dikatakan Nurel?

Untuk menjawab dua pertanyaan pilihan itu tentu kita selayaknya kembali kepada apa sebenarnya hakikat bahasa. Kata, sesuai dengan ilmu linguistik yang saya paparkan di atas, merupakan wadah makna. Tentunya, makna, maksud, dan pengertian tidak bisa dilepaskan dari kata itu sendiri. Mengapa?

Sebab, kata tanpa makna, maksud, atau pengetian, menjadikan kata itu kosong. Serupa dengan kaleng bekas wadah kue kering yang sudah habis kita makan. Misalnya kata pintu, jika dilepaskan dari maknanya, kata itu tidak akan berfungsi apa-apa. Itu sama saja dengan wujud-wujud seperti lopi, meka, juha, dan lainnya yang tanpa makna dan tanpa fungsi apa-apa. Coba renungkan, apakah lopi, meka, juha bisa kita gunakan untuk meyampaikan pesan? Tidak bukan? Sebaliknya, jika makna, maksud, atau pengertian yang dilepaskan dari kata, semuanya itu akan kehilangan wadahnya. Dan, ujung-ujungnya akan dicari wadah atau kata lain untuk mewadahi makna yang dilepaskan dari kata awalnya.

Wadah makna itu sangat penting sebagai penamaan dalam komunikasi. Sebagai gambaran singkat, dulu orang belum bisa membuat komputer sehingga orang-orang tidak mengenal kata computer. Kemudian dengan kegigihan orang, terciptalah benda baru yang bisa digunakan untuk mengetik, mendesain gambar dan sebagainya. Untuk mewadahi atau menamai ciptaan baru manusia itu, dicarilah dan dipilihlah secara artbirter (mana suka) dengan nama computer. Pertanyaannya, apa jadinya jika kata dan makna dipisahkan satu sama lainnya?

Nah, selain kata, sebenarnya sesuatu di luar lingual atau nonverbal pun memiliki makna. Tidak percaya? Perhatikan ilustrasi berikut.

Siang itu Fajar membujuk Hena makan di warung sederhana di ujung kampus. Fajar sudah berusaha keras membuat pacarnya yang super elit itu mau mengikuti kehendaknya. Tapi sayang, Hena diam saja. Beberapa waktu Hena masih diam dan tak lama kemudian Fajar menyerah. Ya, dia berhenti membujuk pacar kesayangannya yang cantik itu. Mereka pun akhirnya makan siang seperti biasanya di rumah makan yang mewah dengan harga selangit.

Dari ilustrasi itu kita bisa mengetahui makna dari diamnya Hena, yakni ‘tidak mau makan di warung makan sederhana di ujung kampus mereka’. Dengan diam itu, Fajar menyerah dalam bujuk rayunya. Diam termasuk nonverbal, tapi memiliki makna. Apalagi dengan bahasa verbal? Tentu memiliki makna, bukan.

Melihat fakta emperis dan pembahasan di atas, jelaslah bahwa kata tidak bisa dilepaskan dari makna, maksud, dan pengertian. Dengan kata lain, kata yang merupakan lambang selalu akan menjadi wadah dari makna, maksud, dan pengertian yang menghubungkan dengan rujukannya, baik benda maupun konsep. Jika demikian, kata-kata dalam mantra pun sebenarnya memiliki makna. Perhatikanlah mantra berikut ini.

Bahasa Arab dan Banjar …………………….Bahasa Indonesia

Bismilahirrahmanirahim……………Dengan nama Allah Tuhan
…………………………………………….Yang Maha Pengasih
…………………………………………….lagi Maha Penyayang
Kecuali pandira ini bagarak………Kecuali bendera ini bergerak
Maka maling kawa bagarak………Maka pencuri bisa bergerak
Barakat La ilahaillah………………..Berkat tiada Tuhan malainkan Allah
Muhammadarasulullah……………..Muhammad adalah utusan Allah

Tak ada satu kata pun yang tak bermakna dalam mantra di atas bukan? Dan, pembuatnya mampu membuat mantra itu dengan ditunjang kompetensi bahasanya termasuk dalam hal makna dari kata-kata yang digunakannya itu. Kalau pun ada kata-kata yang hanya bunyi saja di dalam mantra, itu mengandung maksud tertentu yang dimengerti oleh si pembuatnya untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dan, pembuat mantra harus memiliki komptensi bahasa dulu baru bisa membuat mantra.

Intinya, antara kata dan makna tidak bisa dilepaskan. Dan, makna itu sangatlah penting. Karena itulah, ada ilmu semantik yang membahas soal makna dan wadahnya. Untuk kata-kata yang terkesan hanya bunyi tanpa makna dalam mantra, dikaji khusus dalam semantik maksud.

Kata Pertama adalah Mantra

Di bagian terdahulu dari tulisan ini sudah saya katakan bahwa dalam masyarakat bahasa ada istilah kreativitas linguistik. Seorang penyair misalnya, memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutakhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang dia gunakan untuk membuat karya bermutu.

Jadi, nenek moyang kita membuat mantra dengan berdasarkan kompetensi bahasa. Di sini jelas, sebelum membuat mantra, nenek moyang kita sudah mengenal kata dan mengetahui maknanya. Bisa dikatakan, sebelum mantra diciptakan, terlebih dahulu harus ada kata dengan kandungan maknanya. Atau dengan kata lain, kata dan makna lebih dahulu ada sebelum adanya mantra. Dengan demikian, tentunya tidak mungkin yang belakangan diciptakan—mantra—menjadi awal dari yang sebelumnya telah ada (kata dan makna).

Nah inilah yang dipersoalkan oleh Nurel dalam bukunya yang berkover warna dominan merah itu. Secara terang-terangan, Nurel menolak pernyataan SCB bahwa kata pertama ialah mantra. Saya pun secara objektif tidak sependapat dengan pernyataan SCB tersebut. Mengapa? Karena, sudah jelas bahwa mantra itu diciptakan setelah ada kata. Jadi, kata pertama bukanlah mantra. Kalau benar penyataan SCB itu bahwa kata pertama ialah mantra, lalu misalnya di dunia ini kata yang pertama ialah makan, apakah kata makan itu mantra? Tentunya kata makan bukanlah mantra. Melainkan, kata makan bisa menjadi kata untuk membuat mantra.

Penyair Tidak Bisa Dimintai Pertanggungjawabannya

Siapakah penyair itu?
Apakah dia wali Tuhan di bumi? Rasul yang membawa wahyu? Atau Tuhan itu sendiri?

Ada yang mengatakan bahwa penyair disebut juga sastrawan. Nah, kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’.

Batasan itu secara umum memasukkan penyair ke dalam golongan sastrawan. Dan, setinggi apapun penyair hingga dia dimasukkan dalam kaum sastrawan, tidak serta merta membuatnya bebas dari tanggung jawab. Penyair tetaplah manusia. Dia tak bisa menjelma malaikat atau lainnya. Semua manusia, termasuk penyair akan mempertanggungjawabkan segala amalnya. Jika salah, dia dihukum dan jika benar dia akan mendapatkan ganjaran yang baik. Jangankan kata dalam bentuk puisi tertulis atau diujarkan di atas panggung, bisikan hati penyair yang belum menjelma kata-kata dan perbuatan lainnya pun dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan kelak.

Dalam tataran manusia saja, perkataan siapa pun selalu menimbulkan efek. Bisa negatif, bisa pula perkataan kita berdampak positif bagi orang lain. Jika berdampak negatif, bukan hanya di akhirat kita mempertanggungjawabkannya, tetapi di dunia kita juga harus mempertanggungjawabkan perkataan itu. Bahkan, bisa jadi pertanggung jawabannya dengan kehilangan nyawa atau kematian.

Sehubungan dengan dunia puisi, SCB menyatakan penyair tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Dan, pernyataannya itu ditolak oleh Nurel Javvisyarqi. Menurut Nurel, penyair tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Saya pun secara objektif dan sesuai penjelasan di atas itu, menolak pernyataan SCB tersebut.

Berkaitan dengan efek, pernyataan SCB itu dapat menimbulkan kebebasan tingkat tinggi. Bayangkan saja, jika penyair tidak dimintai pertanggungjawabannya, tentu penyair akan sesukanya menggunakan kata. Kata-kata yang tak patut dikatakan semisal yang porno, kotor, dan lainnya pun akan menjadi halal dikatakan oleh penyair. Sebab, penyair tidak mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini kekebasan yang sangat tidak diharapkan. Apabila hal ini dikaitkan dengan Licentia peotica dalam sastra pun, kurang sejalan. Licentia poetica pun yang ideal memiliki batasan agar tidak melampaui batas kewajaran, termasuk memperhatikan aspek tanggung jawab dalam berkarya.

Penyair yang baik, selayaknya memperhatikan setiap kata yang digunakannya untuk membuat puisi sebelum dipublikasikan ke tengah masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan tafsiran-tafsiran yang tidak diharapkan.

Nah, ketiga hal di atas itulah yang menurut saya merupakan inti dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi, sang pengelana dari bencah Tanah Jawa itu. Dan, hanya inilah secuil tulisan yang dapat saya sampaikan. Sejatinya kebenaran hanya milik Tuhan dan jika ada yang tak sejalan dengan pemikiran saya di atas, itu hal wajar. Salam takzim dari saya di Tanah Borneo!

Kalimantan Selatan, 8 Juni 2011
Sumber: http://tulisanbaru-mahmud.blogspot.com/2011/06/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung.html

Kembalikan Bahasa pada Puisi

Yunit Permadi*
Seputar Indonesia, 1 Mei 2008

PUBLIK pernah dihentakkan oleh kredo puisi dari ”presiden”penyair Sutardji Calzoum Bachri. Kredo tersebut ditulisnya dalam kumpulan O Amuk Kapak. Baginya,penulisan puisi adalah mengembalikan kata pada mantra.

Kredo ini juga bukan hanya penolakan tentang kemapanan makna bahasa,melainkan juga bicara tentang esensi bahasa. Di dalam puisinya kita dapat menemukan kata yang bermain-main, merujuk ke berbagai arah, bahkan juga kadang tak merujuk apapun.

Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan kata dengan yang dirujuknya (penanda dan petanda) memang kerap kali tak bisa dihindarkan. Sebab, komunikasi dapat berjalan akibat adanya pengertian bersama mengenai sesuatu yang dirujuk oleh bahasa itu. Juga kerap kali pengembangan bahasa oleh moralitas tak terhindarkan. Ada pemilahan tegas antara mana bahasa yang baik dan mana yang tidak.

Namun, itu sebenarnya bukanlah esensi bahasa. Itu merupakan bahasa yang telah terkontaminasi berbagai hal,mulai dari budaya, politik, sampai moralitas. Di dalam bahasa,seakan sudah terdapat hal yang kotor, hal yang baik, dan yang buruk.

Pelimpahan makna langsung, referensi, dan moralitas kepada bahasa menjadikan bahasa tak lagi otonom pada dirinya, tak lagi mampu menggapai maknanya sendiri, melainkan selalu ditunggangi maknanya. Bahasa menjadi kerdil dan sempit. Hikmah yang bisa diambil dari praktik bahasa sehari-hari adalah bahwa bahasa merupakan language game.

Suatu permainan bahasa dalam konteksnya yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan bentuk dan ungkapan bahasa dalam berbagai budaya merepresentasikan itu. Dalam keberbedaan itu,bahasa sejatinya hanyalah permainan dan konsensus di dalam masyarakat dan budaya tertentu.

Makna bahasa di sini dimengerti sebagai hasil konsensus dan permainan dalam masyarakat tertentu. Makna dimengerti bukan sebagai sesuatu yang given dan stabil, melainkan sesuatu yang selalu bisa dinegosiasikan. Dengan itu, bahasa pada mulanya sesuatu yang dapat secara langsung dan penuh merepresentasikan realitas. Bagaimana sebenarnya hakikat bahasa? Tulisan ini berusaha untuk menjawab persoalan tersebut.

Bahasa Bukan Gambaran Realitas

Bicara mengenai apa sebenarnya bahasa tak pernah bisa lepas dari seorang filsuf asal Austria, Ludwig Wittgentsein. Dalam perkembangan pemikiran Ludwig Wittgenstein terdapat dua tahapan perkembangan pemikiran.Tahap perkembangan ini tidak saja bermakna periodik, tetapi juga terkait perubahan pandangan Wittgenstein mengenai bahasa itu sendiri.

Tahapan itu sering kali dinamai sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Perkembangan pemikiran tersebut demikian: pada awalnya Wittgenstein memandang bahasa sebagai picture of reality(gambaran realitas).Namun, di kemudian hari pandangan ini berubah. Dengan melihat pada realitas penggunaan bahasa sehari-hari masyarakat dalam setiap budaya, akhirnya Wittgensein menyadari bahwa bahasa sebenarnya adalah kegunaan (language as use).

Language as use berarti bahwa bahasa merupakan bentuk dari konsensus, sebagai alat untuk menampilkan realitas, bukan realitas itu sendiri. Berbagai bentuk kehidupan dalam banyak budaya menampilkan dan menegaskan hal tersebut. Bagaimana bahasa digunakan secara berbeda oleh berbagai anggota komunitas masyarakat.

Perubahan bahasa dari language as picture of reality ke language as use ini menegaskan bahwa sebuah kata, pada dirinya sendiri,tak pernah langsung dapat merujuk kepada objek atau benda di luar bahasa. Memakai istilah Jacques Derrida,dalam bahasa selalu terdapat di dalam dirinya ”perbedaan” dan ”penundaan”. Dalam bahasa selalu mengandung penundaan karena ia tak pernah bisa langsung merepresentasikan dan merujuk kepada sesuatu di luar bahasa.

Sekali lagi,bahasa yang digunakan sehari-hari pada awalnya bukanlah sesuatu yang telah mengandung dan merujuk makna. Karena itu, bahasa juga tak pernah bisa dibebani budaya, politik, dan moralitas. Pada dirinya sendiri, tidak ada kategori baik dan buruk dalam bahasa. Tidak ada sebuah kata yang mengandung keburukan, juga sebaliknya tidak ada sebuah kata yang mengandung kebaikan. Kebaikan dan keburukan dalam bahasa tak lain merupakan beban yang dilimpahkan oleh manusia terhadapnya.

Bahasa sebagai Puisi

Bentuk pengejawantahan bahasa yang paling murni sebenarnya ada dalam puisi. Dalam puisi, bahasa lepas dari berbagai beban-beban makna yang tadinya telah terdapat dan digunakan dalam kehidupan seharihari. Dalam puisi, penulis dan pembaca meletakkan bahasa dalam hakikatnya yang fundamental.

Kata-kata dalam puisi menemukan kebebasan dan otonominya karena ia tak terjerat makna konvensional bahasa. Kategori baik dan buruk juga lebur di dalam bahasa puisi.Tidak ada sebuah kata yang dinilai baik, juga tak ada kata yang dinilai buruk.Bahasa betul-betul menemukan hakikat ontologisnya.

Hakikat bahasa sebagai puisi juga ditegaskan misalnya oleh Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman.Dalam pandangannya, kebenaran hakikat bahasa sesungguhnya terdapat dalam puisi. Mengapa? Karena di dalam puisi, bahasa menemukan eksistensinya. Lebih jauh Heidegger menyatakan bahwa dimensi fundamental bahasa sebenarnya adalah ”diam”.

Ia menganggap bahwa bahasa verbal yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari bukan merupakan representasi realitas. Realitas sebenarnya tak pernah bisa direpresentasikan oleh bahasa secara utuh.Sebab,dalam bahasa verbal selalu ada reduksi dan distorsi. Dalam diam hakikat bahasa terjelma secara utuh.

Tidak ada distorsi, tidak ada reduksi, tidak ada beban makna, dan juga tidak ada tanggung jawab baik dan buruk. Itulah hakikat sebenarnya bahasa. Bahasa tidak dapat langsung merujuk kepada realitas. Beban makna baik dan buruk dalam bahasa bukanlah hakikat dari bahasa itu sendiri, melainkan makna yang dibebankan pada bahasa.

Referensi yang selalu dialamatkan dalam bahasa juga bukan merupakan sifat dari bahasa,melainkan bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan pada bahasa.Maka,benar apa yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, ”kembalikanlah kata pada mantra itu sendiri”.(*)

* Yunit Permadi, Peneliti Freedom Foundation, Jakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/kembalikan-bahasa-pada-puisi.html

Minggu, 12 Juni 2011

Sutardji Vs Nurel J

Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/

Jangankan dalam kehidupan dalam dunia karya tulis, segala sesuatu memang syarat dengan kontroversi, setuju dan tidak setuju merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi, pro dan kontra lazim terjadi yang mana apapun pendapat itu hendaknya dihargai agar dapat menjadi tambahan kekayaan ilmu pengetahuan dan wawasan agar dapat menjadi semakin baik, bukannya menjadi bahan perseteruan abadi.

Mengenal Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri

Judul: Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Penulis: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Terbit: Mei 2011
Tebal: 100 halaman
Harga: Rp. 19.000,-
Peresensi: Heri Listianto
http://tunaspustaka.blogspot.com/

Tidak asing lagi, nama Sutardji Calzoum Bachri di belantika kesusastraan Indonesia atas Kredo Puisinya. “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri”.

Kemunculan tekat sebagai pengamat, penikmat, pengkritik, dan juga sebagai pelaku sastra terus bermunculan dan benar-benar ditunjukkan Nurel Javissyarqi dalam web http://sastra-indonesia.com/ salah satunya adalah tanggapan untuk esai Sutardji Calzoum Bachri berjudul Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair orasi budayanya di dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat Republika, 9 September 2007.

Dalam tulisan itu Sutardji Calzoum Bachri menyatakan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi, yang dilandasi faham Ibnu Arabi mengenai kun fayakun, kemudian dikembangkan frasa-frasa berikut: “Peran penyair menjadi unik, karena sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dilanjutkan dengan keberanian Nurel Javissyarqi dalam mengamati eksistensi puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang lain dan kaitannya dengan beberapa ayat di dalam surat Asy Syu’ara. Nurel Javissyarqi berbicara panjang lebar mengamati mulai dari putih, hitam, coklat, riang ke remang.

Kemudian Nurel Javissyarqi mengungkap dengan dua esai Sutardji Calzoum Bachri sebagai lampiran yang menurutnya sudah cukup untuk mengidentifikasi anatominya di wilayah susastra yang mungusung “mantra” sebagai tradisi.

Kelebihan Sutardji Calzoum Bachri dalam buku ini dijelaskan bahwa, dalam ilmu kemantraan di bencah tanah Jawa ada istilah ajian panglimunan, berguna tidak untuk menyerang pun membentengi dari sergapan. Tepatnya berdaya mengaburkan pandangan musuh demi meloloskan jejak atau memberi kefahaman keliru seakan-akan di sinilah letak tanggung jawab Sutardji Calzoum Bachri.

Meskipun buku ini memiliki sub judul Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, tetapi tidak seluruh bagian dalam buku ini mengulas tentang gugatan-gugatan terhadap Sutardji Calzoum Bachri. Sebagian besar isi buku ini adalah pengalaman Nurel Javissyarqi dalam memahami dan mengamati kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri baik secara kultural maupun filosofis. Dari sinilah ia mengenal kekayaan ciri kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.

Semua itu diungkapkan Nurel Javissyarqi secara objektif, lugas, bahkan dengan sangat rinci. Inilah yang membuat buku ini tidak membosankan dan bahkan penting untuk dibaca.

_________________
*) Heri Listianto lahir 9 November 1989 di Surabaya, pendidikan: MI Islam Pucangro, MTs "Putra-Putri" Simo, MA Negeri Lamongan, kuliah di Unitomo Surabaya. Karya-karyanya pernah termuat di AKAR, Tabloit Telunjuk, Radar Bojonegoro, dst. Kumpulan puisi bersamanya: Mozaik Pinggir Jalan, Absurditas Rindu, Khianat Waktu (antologi penyair Jawa Timur), Jual Beli Bibir, Enjelai. Antologi Puisi tunggalnya Embun Pesisir Laut Utara. Anggota Forum Sastra Lamongan [FSL], Komunitas Mahasiswa Bahasa Unitomo [Komba Unitomo], dan Coretan Pena.

Jumat, 03 Juni 2011

MEMBACA DUNIA NUREL *

Marhalim Zaini **
http://sastra-indonesia.com/

“Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya.”

Demikian komentar saya via sms, beberapa waktu lalu saat menerima dan membaca sejumlah buku (berukuran) mungil yang dikirim oleh Nurel Javissyarqi. Buku-buku yang hemat saya lahir dari kegelisahan spiritualitas khas para pejalan sunyi, yang bergumam, berbisik atau terkadang menjerit dalam lengking panjang tak berujung. Ada dalam bentuk surat-surat, aforisma, syair, puisi, kisah, dan sejumlah bentuk yang tampaknya sedang membangun frasa nafasnya dalam lorong hidupnya sendiri. Dan saya kira, komentar saya di atas, juga kelak berlaku dalam pembacaan saya terhadap sebentuk buku lain yang juga ditulis oleh Nurel, berjudul Kajian Budaya Semi, ini.

Barangkali, di dunia hiruk, penuh lintasan peristiwa dan kolase waktu yang berselirat serupa jaman kini, tidak ada yang mustahil. Setiap yang lahir dari rahim pemikiran siapa pun akan selalu hadir sebagai segumpal wacana, dengan segala potensinya, berupaya keras untuk ikut bergabung dalam wilayah publik yang lebih luas, mencoba hidup berdampingan dengan sejumlah tubuh-tubuh wacana lain. Dalam konstelasi serupa itu, yang terjadi kemudian adalah kompetisi. Bukan sebuah kompetisi yang semata ditata oleh sebuah sistem produksi yang massif, akan tetapi juga dalam sebuah lingkungan terkecil, bahkan tersempit dari sisi yang paling tepi. Dan apakah sempat kita sadari bahwa rupanya masih demikian lengkap hidup kita ini dengan pernik-pernik kesadaran terkecil yang (mungkin) selama ini tidak tersentuh. Dan sosok Nurel (dalam sejumlah bukunya) adalah satu dari sekian pernik yang tidak tersentuh itu.

Sejak semula saya mengenal Nurel, saat saya masih di Yogyakarta dulu, saya selalu melihat ada jerih dari semangat yang sulit pecah saat terbanting. Berulang-ulang Nurel terhimpit dalam situasi payah, tidak membuatnya sayang pada segala benda dimilikinya untuk “dikorbankan” bagi penebus hasratnya menerbitkan sebuah buku dan menggiatkan sejumlah kegiatan sastra. Dan sampai kini, meski saling berjauhan, saya masih terus melihat Nurel “mengabdikan” dirinya dalam dunia tulis-menulis, justru dengan frekuensi lebih besar. Produktivitasnya tampak seperti sedang berlomba-lomba berkejaran dengan waktu. Meski awalnya saya katakan, bahwa Nurel tidak sedang ikut berkompetisi dalam sebuah sistem produksi massif, akan tetapi, kini tampak ia sedang bergerak menguji sejumlah kemungkinan untuk bisa menerobos sekat-sekat itu, dengan berkayuh di atas perahunya sendiri. Ini berat sekaligus ringan; Berat sebab sekat-sekat itu demikian kokoh dibangun oleh sejarah (tulis-menulis) yang permanen serta dihuni nama-nama besar. Dan ringan, karena ternyata Nurel memiliki jaringan komunitasnya sendiri, dengan tanpa mengikutsertakan beban historisnya.

Hal paling esensi yang dapat saya tangkap dari proses macam itu (terutama dalam diri Nurel) adalah sebuah hasrat untuk terus “memelihara” kejujuran, ketulusan, sekaligus “kebebasan” dalam berekspresi. Bahwa saat membaca “dunia Nurel” dalam (bisa dikatakan) seluruh karyanya, saya (atau kita) sebagai pembaca tidak akan bisa serta merta melepaskan diri dari konstruksi bahasa yang ditawarkan oleh Nurel. Tidak semata pada fiksi, namun juga non fiksi (seperti buku ini yang Nurel sebut sebagai semi ilmiah). Bahasa, tampaknya bagi Nurel, adalah media sangat kompromis dan demikian terbuka untuk diajak melakukan eksperimentasi, baik dalam wujudnya konvensional, maupun dalam hal membangun permaknaannya sendiri. Barangkali inilah yang saya lihat sebagai ada lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Maka, harus dimafhumi jika pembaca temukan sejumlah kata, frasa, bahkan kalimat yang terdengar aneh dan asing. Dari sini, justru dapat terlihat bahwa Nurel sedang membebaskan dirinya dari “beban” bahasa formal dan langsung melompat pada wilayah pemikiran-pemikiran yang tampak tidak terbendung untuk tumpah.

Selanjutnya, membaca pemikiran Nurel, benar-benar sedang terombang-ambing di atas laut yang berbalik arah debur ombaknya. Pada bagian pertama, Indonesia Merangkak Menuju Matahari, adalah awal dari proses panjang menelusuri teriakan-teriakan keras, sentakan pemberontakan (Nurel) yang ajaib. Ajaib dalam konteks ini adalah jelmaan-jelmaan pemikiran yang terkadang hadir membayang dan berseliweran. Ada emosi personal sedang bercakap-cakap dengan gelombang narasi besar peradaban dunia. Sebuah dunia yang kelak terpetak-petak dalam wilayah mata angin, terutama Barat dan Timur. Saya menangkap, bahwa Nurel sedang “berkubang” dengan sejumlah pertelingkahan dua arah mata angin itu sebagai sebuah sikap atau sebuah jawaban atas kecemasan-kecemasan kolektif yang dialami bangsa ini. Sisi spiritualitas kemudian dikedepankan sebagai wilayah masih perawan, yang masih menyimpan “rumah alternatif” bagi kembalinya segala persoalan.

Apa yang kemudian Nurel sebut sebagai “Kekuasaan Dan Kemenyan” di sub bab pertama, adalah simbolisasi diri dan refleksi atas kegemaran sebuah bangsa pada korupsi. Korupsi yang menjadi salah satu penyebab timpangnya realitas sosial kita, seolah telah mentradisi dan sekaligus menjadi representasi dari rentannya sistem birokrasi spiritual kita. Saya membaca kata-kata; pengangguran, peperangan, kegagalan, pembangunan, penjarahan dan tragedi pada sub pembahasan berikutnya, ialah buah upaya membeberkan problema yang kian membuat sebuah bangsa berhadapan dengan dirinya sendiri sebagai pribadi tanggung, penuh paradoks.

Sementara pada bagian ke dua, secara lebih mengkerucut, Nurel tampak sedang menelisik persoalan pada wilayah vertikal, wilayah transedensi, wilayah segala sesuatunya menemukan keberadaan diri yang sesungguhnya. Latar belakang Nurel sebagai seorang yang sempat dan selalu menyinggahi dunia pesantren, telah membawa kajiannya pada celah-celah cahaya bagi kegelapan sebuah dunia, dalam sebuah lingkaran bernama agama. Wacana tuhan berkembang dalam segala seluk-beluk pemikiran, menyinggung sisi kemanusiaan kita sebagai yang dilahirkan dalam sebuah lingkungan kebudayaan yang tak tunggal. Ada perbenturan, pergesekan yang bermuara pada pernyataan-pernyataan tentang paradigma “kebenaran.” Tokoh-tokoh seperti Nietzsche pun (yang mencuat dengan Kematian Tuhannya) kemudian acapkali menjadi sesosok “hantu” yang mengganggu.

Jika berpatokan pada judul buku ini (Kajian Budaya Semi,) maka inti dari perbincangannya tampak lebih fokus di bagian ketiga. Kebudayaan sebagai sosok intim dengan manusia terlihat sedang “bermesraan” dalam sebuah kesadaran individu si penulis. Meski pada pembahasan berikutnya, kebudayaan seolah sedang berselingkuh dengan perubahan-perubahan yang datang menggoda, lewat pakaiannya yang molek. Lalu peradaban bagi puncak sebuah kebudayaan dipertanyakan. Dicubit sensitivitasnya. Sekaligus diperbantahkan segala infra-strukturnya. Meski hemat saya (sebab kena virus, kelanjutan tulisan ini via sms); Hemat saya, hrs dicari korelasi yg cukup tegas jika kmdian (pada sub briktnya) wilayahnya meluas smpai pd soal kajian bhsa si penulis sndiri. Dan dicari konteks yg lbh tepat, tentu dalam kapasitas sbuah tema pmbhasan yg lbh spesifik.

(alinia baru). Saya kira, pd dua bab trakhr buku ini, Nurel justru sdg melmpat ke wilayah yg lain; Kecantikan & Mistis, Mahabbah, Syauq, Muwajjaha, yg lbh menunjam ke ruang2 personal kemanusiaan kita. Mgkn bagi Nurel, persoalan2 inilah yg ssngghnya (kembali ke via internet atau email); yang patut menjadi perhatian serius dalam rangka membangun sebuah peradaban. Apa yang tampak menjamur dalam banyak media dunia modern kita kini, adalah sebuah klise. Cinta hadir dalam tubuhnya yang compang-camping, dalam beragam pengertian, perlakuan terhadapnya. Terlepas bagaimana Nurel mengaitkan pembahasannya terhadap dunia kaum mistis, saya menangkap bahwa Nurel hendak mengarahkannya pada esensi. Pada sesuatu yang kini tampak tak tersentuh, terlupakan.

Dan inilah yang saya anggap sebagai hasrat untuk membangun dunianya sendiri. Lewat buku ini, kita sedang diajak mengembara ke dunia yang tumbuh diam-diam dalam ketidaksadaran kita. Sebuah dunia (yang mungkin) terasa chaos, tak terperhitungkan, tak terduga dan absurd. Kesadaran apapun yang kemudian tumbuh dari pembacaan itu, adalah hasil dari tangkapan pemahaman kita terhadap sebuah realitas. Jika kemudian ada kegamangan, ketidakteraturan, ketidakmenentuan, dan tumbuh sejumlah penyakit dalam diri kita, maka itulah virus. Virus yang sebenarnya telah tertanam jauh sebelum diri kita terlahir. Selamat masuk ke dunia Nurel.

**) Berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Pekan Baru.
*) Tulisan Marhalim Zaini di atas adalah lampiran di buku “Trilogi Kesadaran,” cetakan I, 2006, yang sebelumnya sebagai pengantar buku stensilan “Kajian Budaya Semi,” cetakan I, 2005, karya Nurel Javissyarqi, penerbit PuJa [PUstaka puJANgga].
Bacaan lain terkait: http://sastra-indonesia.com/2010/03/dunia-anomali-di-mata-mistikus/

Rabu, 01 Juni 2011

Sastra Singo Edan Meraung Gemontang

(Reportase, bedah “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono)
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Ada beberapa analis yang pernah mengatakan, perihal seluk-beluk kesusastraan Malang. Termasuk asumsi yang dikemukakan bahwa sastrawan Malang cenderung inklusif, tipikal, kaku dll. Asumtor itu menunjuk satu indikator yang menurut pengamatan mereka, sikap sastrawan Malang selama ini menutup diri dengan jaringan komunitas lain, egois, ber-megalomania atas kebesaran masa lalunya. Pendeknya berputar membangun kediriannya, pandangan mengenai kepribadiannya di hadapan dirinya sendiri.

Mungkin demikian kenyataannya. Sambatan serupa juga kita temukan di wilayah mana pun ketika aktivitas kesusastraan mengalami stagnan. Akan tetapi terlalu kerdil, jika sumbatan yang pada akhirnya berakibat kemampatan kesusastraan tersebut dipahami sebagai satu-satunya dikhotomi baku. Sedangkan situasi yang sebenarnya hanya kondisional, untuk merubah lebih sumringah, bukan karena pelakunya tidak mampu, melainkan tak mau.

Menilik lebih jeli perihal geliat sastra yang ada di Malang sekarang, tidaklah separah gambaran di atas. Komunitas Pelangi Sastra Malang yang dipandegani rekan Denny Mizhar, terbukti mampu meng-agen-da-kan kecipak kesusastraan yang rutin tiap bulan. Itu terhitung satu komunitas. Sedang dalam lingkup wilayah Malang, ada puluhan bahkan ratusan pegiat sastra dari berbagai jebolan kampus, baik yang bergerak di komunitas pun independent.

Bukti adanya geliat sastra di kota pendidikan ini terlihat pada tanggal 23 Januari 2011 pukul 9;00 pagi. Dimana Komunitas Pelangi Sastra mengadakan bedah kumpulan puisi “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono. Acara yang diadakan di Aula Perpustakaan pusat Kota Malang JL. Raya Ijen 30A itu mampu menarik perhatian pengunjung perpus yang setiap hari berjubel. Maklum bertepatan hari Minggu yang di sekitar kawasan itu digelar pasar dadakan; pasar Minggu pagi.

Sepanjang tergelarnya acara tampak lebih rampak dengan iringan alunan Swara Akustik garapan dua musisi sepuh yang masih bersemangat, mBah Antok dan Pak Abi. Denting dawai kedua misisi inilah yang menghantarkan Grace Forevah membacakan larik-larik puisi guratan Tengsoe. Sastra seperti menyatu dalam jiwanya. Power suaranya menunjang, membuat Grace mampu membacakan puisi tersebut lebih hidup.

Yang tak kalah mengesankankan ialah gadis sepantaran Grace, Maria Dini anak perempuan Tengsoe. Meski tak sepiawai Grace, pengunjung seperti merasakan jalinan kemesraan bersastra antara bapak dengan anaknya. Tampak mata Tengsoe berkerling kaca ketika anaknya membacakan puisi karyanya.

Setelah diulas lebih komprehensif oleh sastrawan muda Yusri Fajar yang telah menyelesaikan kuliahnya di Jerman dan kini mengajar di FIB Univ Brawijaya, buku “Salam Mempelai” berubah menjadi secawan anggur. Tak heran jika banyak pengunjung segera meneguk sejudul puisi untuk dibaca sebagai sela acara berlangsung. Sebut saja Nanang penyair Malang dkk, Alex dari Komunitas Rebo Sore Surabaya yang sengaja nimbrung pagi itu. Pun Ibu Faradina, selaku pecinta sastra yang berdomisili di Malang ini, turut kesemsem untuk membacakan secara spontan dengan lihainya. Sedang Bonari Nabonenar juga sempat menjenguk acara yang digagas kaum muda tersebut. Nurel Javissyarqi (penyair Lamongan) membaca puisi yang berjudul “Pengantin Pagi,” dan Denny Mizhar berhasil menuntaskan pembacaan puisi terpanjang dalam buku itu dengan judul “Lia dan Rambutnya.”

Menurut Yusri Fajar, penyair seusia Tengsoe Tjahjono masih terkesan optimis membangun reruntuhan sejarah Indonesia. Terbukti dari beberapa puisinya dipenuhi nuansa akulirik-romantis yang dituangkan secara hati-hati sebagai bentuk rekaman perjalanan merantaui ke berbagai wilayah di Nusantara. Padahal setiap penyair selalu dihadapkan tiga permasalahan mendasar selama hidupnya; politik, eksistensi dan metafisik. Sedang keprihatinan Tengsoe terhadap ketimpangan sosial, digambarkan dalam puisi “Rembang Dolly” yang digurat secara stereotype yang dinilai berhasil tak membuat PSK tersinggung.

Selain Denny Mizhar, geliat sastra di Malang juga bisa kita jumpai kegetolan mBak Ratna (Cerpenis kawakan) yang hingga kini rutin menumbuhkembangkan potensi berkesenian kawula muda. Sebagai konsekwensi seniman, yang meski pun tidak wajib hukumnya, mBak Ratna pada tanggal 23 Januari jam 7 malam, sibuk melangsungkan acara rutinan yang dikenal ‘Musik Arbanat’, ramuan aransemen dari beberapa biolis muda.

Predikat Malang sebagai kota pendidikan, otomatis disertai pembludakan berbagai jenis kampus, fakultas dengan segala macam perkuliahannya yang diamberi pembelajar sejagat berduyun-duyun dari seantero Tanah Air. Meski masyarakat Malang bercorak urbanisme; wilayah potensial untuk membangun imperium kesusastraan setara kota-kota megapolitan lain di Indonesia.

Malang, dengan psikologi kota yang dihuni penduduk rata-rata berintelektualitas tinggi, keberadaan sastra cukup berarti. Walau sastra hanya setara garam, yang dipandang remeh-temeh dengan disiplin ilmu hidup lainnya, ternyata menjadi bumbu penyedap kebuntuan, kegersangan, kepenatan jiwa seluruh kaum profesional ketika mentok pada titik kejenuhan. Seringkali sms atau facebook dari para dosen, mahasiswa non sastra, ”Cak! Ajari aku bersastra. Ampang rasanya keilmuanku tanpa disertai sastra.” Menggauli sastra berarti membiasakan diri berperilaku lembut, menjaga kearifan bersikap sosial, mengasah ketajaman intuisi, merangsang kepekaan perasaan, menyelami kedalaman jiwa, mengembangkan wawasan luas, bahkan menuju spiritualitas (Budaya Tanding Emha).

Keberadaan Pelangi Sastra Malang hanyalah Gogor (anak macan) mungil yang pada saatnya tumbuh besar sebagai Singa nan lantang berkoar. Kapan? Tak butuh waktu lama. Asal para pecintanya segera merapat rukun dan guyup. Diawali kebersediaan para singa sastra untuk bertengger di pelataran kampus. Kemudian berlompatan antar ubung-ubung kampus lain. Barulah segera ancang raungan ke delapan penjuru mata angin.

*) Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02. Desa Plosokerep, Sumobito, Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com

TAK ADA BAKAT, HANYA SEPERCIK DENDAM

Nurel Javissyarqi *
http://sastra-indonesia.com/

Jangan melihatku, sebab ketika kau mengedipkan mata. Kau sudah terbawa ke alamku,… kuburan.

Jika diri ini kusejajarkan dengan tokoh-tokoh semisal Pramoedya Ananta Toer, Yukio Mishima pun lainnya, dapatlah dibilang terlalu. Namun bolehlah kusebut sisi kesamaan yang menyebar ke sebagian orang, sebelum dan sesudah penyampaian kini terlayarkan.

Terus terang aku kurang mempercayai kekuatan bakat, ia sejenis efek situasi memerah, kondisional memanasi air di perapian atau sepyuran air ke udara menjelma pelangi. Terbentuknya reruang-waktu ketegangan dari gelisah, ketakutan serta harapan terpegang bara.

Sisi tertentu laksana agen penyalur memanfaatkan segenap lelapis kebutuhan demi kembangkan fitroh sambil menutupi kebocoran. Selanjutnya membentuk kesan berbakat ialah evolusi kemakmuran, dikala kesungguhan ditempa merasai perbuatan yang sebelumnya tak diinginkan.
***

Kebetulan, dulu orang tuaku lelaki berprofesi guru. Persisnya di bidang matematika, tepatnya aku pernah menemukan foto masa lalunya bersama beberapa guru tertanda penemu. Mungkin hanya kebenaran meringkas teori untuk kemudahan pemakaiannya. Foto tersebut usang kala diriku masih bocah.

Kondisi lain kutanggung, sebagai murid terbodoh baru bisa membaca-menulis mendekati kelas V ibtidaiyah. Resikonya tidak naik kelas, kerap diolok-olok, dipermalukan para guru serta kawan sebaya; “Masak anaknya guru goblok.” Itulah pukulan keras menyayat hatiku hingga terlempar ke jurang kelam kesunyian. Tiada hiburan selain pelajaran mewarnai, tapi yang punya keahlian menggambar tak dikatakan pandai. Maka nasib ketololan kubawah sampai kapan pun kusunggi di setiap tapak perjalanan.

Hantu cemooh menyumbat telinga membutakan mataku. Putus asa berjangkit; lari dari kampung halaman atau bunuh diri dan jenis kepicikan lain menemani. Ini awalkali pergulatanku mematahkan yang kerap menghardikku ke sudut gelap kamar, ke pematang pesawahan memandang hamparan hijau pepadian. Naluriku tumbuh dari kekuatan sisa-sisa rasa malu dan muak mendera.

Perihal menyenangkan saat menemukan kata-kata ini: “Si bodoh yang bisa membodohi orang pintar ialah keberhasilan terbesar.” Ini tipu daya siasat tempur dekat dengan kelicikan, namun jauh dari penjiplakan. Yakni membaca kecenderungan mereka lewat memberi titik tekan di atas taksiran rata-rata. Kesungguhan berlipat menyebarkan kemungkinan mencipta gagasan menjulang, lantas penerimaan menghadirkan sungkan dihadapannya bergeleng kepala. Tertipu.

Semua itu melalui uji coba berulang atas daya goda seancaman mental, menyelidiki tahap kegagalan pun jenjang keberhasilan. Menganalisa yang berkisaran menuju corak penentu perhitungan lanjut, misalkan sikap berpakaian menumbuhkan kesan. Di sana bisa diambil yang dimaui pula ditolak; persandiwaraan ini hadirkan nilai-nilai pemikiran demi topangan berikut. Tidakkah cahaya pengalaman dari kilatan kesadaran dilakoni dan ditancapkan, maka dendam kebodohan menjelma manis berolah sayang.
***

Hampir yang kulakoni oleh pantulan kerja orang-orang meremehkan, padahal dalam diriku tiada menyerupainya. Karena menyadari keterbatasan kutanggung, namun darinyalah aku berangkatkan segala menjawab sikapnya kepadaku.

Secara umum mereka berucap: “Kau ini siapa? Atau bentuk peniadaan lain.” Aku menerima tekanannya secara reflek teringat proses kreatifku mulai kanak hingga sewaktu kata-katanya memukulku. Dalam kondisi ini aku terdiam, kadang menjatuhkan air mata saja. Atas pribadiku tak menganggap entang pergaulan, tiba-tiba mereka meneror diriku seperti srigala kelaparan di malam gulita menyergap jiwa.

Peristiwa ketersinggungan karena salah penerimaan meluncur anggapan mengsle. Yang kusayangkan tak ada kesabaran. Tidakkah jiwa tertindas batin tergilas makbul doanya, mujarab langkahnya, kharismatik semangat juangnya. Serupa bangsa dipecundangi pemerintahan dholim kan sadar mencanangkan kerja sampai pangling diperbuatnya. Ialah burung terbang tak pedulikan bayangannya pula lemparan batu, ia seimbangkan hembusan bayu dan fitroh gravitasi yang disandang.
***

Efektif-efisien, dua kata mendarah daging dalam diriku. Kata-kata itu pernah meluncur dari orang tuaku, dulu memarahiku entah kala mengerjakan apa. Lalu dua kata itu selalu kuterapkan padanya jika menyuruhku melakukan sesuatu. Kalau tidak masuk kriteria, takkan kukerjakan sampai kapan pun. Padahal ruang keduanya sangat elastis pula berlainan cara menghadapinya. Begitulah teror membentuk coraknya, maka hukum kausalitas menjadi jawabanya.

Bentukan itu menyebar perluas kekuasaan, sehingga aku diharuskan menandingi jika ingin tetap bernafas dalam kemerdekaan. Idealitas, ukuran disepakati dan faham para tokoh menjadi bacaan wajib pun sembunyi. Terus kucari karakternya, aku tantang sebagai bahan dialog menerus.

Tak selamanya perihal kebenaran terdengung tiada kebocoran, wewujud kembaran yang bisa menjegal di tikungannya. Ruang perhatian, waktu merenung terfokus di depan paras pemikiran. Makanya garam kecurigaan patut ditaburkan sejauh debu menyusupi sela-sela. Pada gilirannya yang tak mereka fikir, kita sudah di sana. Minimal bayang-bayang kegelisahan senantiasa melampaui pandangan.

Musuh adalah pembodohan. Menutupi rahmat-Nya seperti sungai mandek tidak dialirkan, juga bentuk pembelokan, sekelembutan memanfaatkan terlena. Olehnya pembongkaran harus dan menancapi ulang niat, merekonstruksi yang lewat demi penjumlahan tepat. Kesuntukan ikhtiar baik diharuskan istirah di kamar hening, ke segala warna pun tindak-tanduk terucap, lalu ditariknya demi perolehan gemilang.

Menyenangkan belajar dari pembodohan mereka, pula merangkak. Usaha membutuhkan kurban, tapi apalah artinya, jikalau peroleh lelimpahan berfikir, malah timbul kecerobohan. Maka tak guna bangga, semua mengalir ke muara. Mendambai keindahan memperkaya wawasan tak melukai, dari perbedaan rahmat dengan roh kemerdekaan dinaungi berkah.
***

Hadirnya corak lain benturan faham di atas jalinan merekatkanku dengan musuh bebuyutan, semisal: “Mungkin mereka hanya menggoda, menguji dan semacamnya.” Pada jarak ini kian mawas hatiku: “Kenapa? Toh aku tak membuat daya singgung? Cekcok tidaklah bijak, kalau tiada penyelesaikan membangun.”

Kesempatan ini kupandang pelbagai kemungkinan: Kenapa terjadi? Lantas menarik benang perkiraan menyisiri rambut mengurai pelahan. Pada derajat tertentu mereka laksana guru mengajarkan. Jelas tak kuterima, aku cukup nikmati kegelisahan diri. Tidakkah pergerakan mereka telah ada segelombangan peradaban yang aku baca juga?

Aku curiga mereka berharap daya singgung demi gesekan kreatif, aku kira kejiwaan ini rendah. Oleh menggali pengetahuan pun ketersinggungan pasti mengucurkan mata air tersembunyi, lebih bening daripada kisaran di permukaan.

Serupa keanehan orang tuaku yang berbicara serius melalui perantara lewat guruku. Corak pikir berbeda, kaca mata lain mengamati sudut. Sang pengantar biasanya lunak, sedeburan ombak pelahan diikuti. Dipastikan menemui keinsafan tak melukai ikhtiar.

Perbedaan tempat-waktu seukuran pendewasaan pada kidungan naik-turun melodi hayati menjadi pendaran berguna, butiran manfaat. Kan berharga sampai waktunya, merasakan jalan tidak disangka atau pesona yang terlambat datangnya.

Peran perantara mendekati buku pengantar yang menjemukan. Kondisi terpaksa membaca untuk mengetahui sejauh gairah penulisnya mengolah dinaya hidup dipunyai sebagai suara perwakilan. Demikian kuhormati setiap tulisan, kegiatannya, watak berlainan secermin lain, arus tak selamanya mulus. Benturan ke batu-batu mewaktu, pukulan pembodohan kan menyadarkan posisi sebenarnya.

Ini bukan berhutang belas kasih. Alam semesta tersirat pula tersurat mewarnai bebayangannya, menjadi jejakan rasa menemui keheningan purna. Selepas menyimak tanda di atas bumi menafsirkan sebaik-baiknya, sekuat tirakat diraih kepada setiap jenjang yang dipunggah.

Atau kematangan takdir ditentukan gesekan masa. Tidak berguna mengelak, olehnya selalu menancapi pribadi lain dari suara lain atas kesetiaan menelisik, seperti sajak Octavio Paz Lozano:

TETANGGA JAUH

Semalam pohon abu
Nyaris bicara-
Tapi tak.

Lantas aku diingatkan larik terakhir puisiku dari Balada Jala Suta:

Lalu datanglah semboyan;
“akulah Jala Suta, memberontak
adalah siasatku menghormati nenek moyang.”

——–
Pengelana asal Lamongan, 12 Mei 2011.

JEJAK RAJA AIRLANGGA DI BHUMI LAMONGAN

Yok’s Slice Priyo
http://chandikolo.wordpress.com/

Tulisan ini sebuah ringkasan, dari rintisan penulis untuk menguraikan jejak-jejak kuno baik berupa prasasti dan juga situs-situs candi yang masih terpendam di bumi Lamongan. Semoga bisa memberikan manfaat bagi seluruh Masyarakat Lamongan khususnya dan semua pihak secara umum.

“Lamongan menyimpan data yang luar biasa mengenai Prabu Airlangga. Airlangga itu raja besar malah lebih besar dari Hayam Wuruk. Dari disertasi saya saja sudah 7 artikel saya buat tentang Airlangga, yang paling lengkap ingin saya sampaikan di Lamongan supaya orang Lamongan bisa bangga dengan leluhurnya”, Dr. Ninie Soesanti arkeolog UI.

Demikian ungkapan Dr. Ninie Soesanti seorang arkeolog UI yang pernah meneliti beberapa prasasti Airlangga di Lamongan. Ungkapan ini disampaikan melalui email saat saya berkomunikasi tentang transkrip beberapa prasasti Airlangga di Lamongan.

Dari sepintas ungkapan di atas dan didukung dengan fakta arkeologis dilapangan, maka judul tulisan diatas nampaknya tidak berlebihan. Lamongan memang menyimpan banyak data berkaitan dengan masa pemerintahan kerajaan Prabu Airlangga, terutama berupa tulisan diatas batu atau yang biasa disebut dengan prasasti batu. Dari data sementara yang terkumpul paling tidak terdapat 41 prasasti batu yang sebagian besar diperkirakan berasal dari zaman sebelum munculnya Kerajaan Majapahit, namun demikian belum pernah ditemukan adanya keterangan prasasti pada era singasari. Beberapa prasasti seperti prasasti pamwatan (Pamotan), prasasti Pasar Legi (Sendang Rejo, dulunya satu Desa), prasasti Puncakwangi, Prasasti Wotan (Slahar Wotan), dan lainnya jelas teridentifikasi sebagai prasasti-prasasti yang di keluarkan oleh Prabu Airlangga.

Disamping prasasti-prasasti yang tersebut diatas masih banyak jajaran prasasti lainnya yang belum teridentifikasi secara pasti mengenai tahun dikeluarkannya prasasti dan juga kandungan isi dari prasasti tersebut. Yang perlu disayangkan adalah akibat dari kurangnya perhatian berbagai pihak, banyak dari prasasti-prasasti tersebut dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena terkesan tidak ada kepedulian baik dari pihak yang berwenang maupun masyarakat secara umum. Kondisi ini menyebabkan banyak prasasti yang makin rusak bahkan kemudian banyak juga yang hilang dicuri, dirusak orang atau tengelam/terkubur.

Menurut hasil-hasil penelitian para arkeolog sebagian besar prasasti Airlangga banyak ditemukan disekitar Jombang dan Lamongan, membujur dari sekitar Ploso ditepian sungai Brantas, Sambeng, Ngimbang, Modo, dan Babat sekitar Bengawan Solo. Berdasar dari data faktual berupa prasasti tersebut maka tidak heran jika banyak ahli sejarah yang menyimpulkan bahwa pusat kekuasaan Raja Airlangga diperkirakan berada di sekitar Ngimbang. Jika pendapat ini benar maka bisa dipastikan bahwa Lamongan merupakan daerah yang penting semasa Pemerintahan Kerajaan Airlangga. Tidak dapat dinafikan pula bahwa wilayah Lamongan menjadi sentral dalam upaya mengungkap dan mempelajari sejarah kerajaan Airlangga.

Airlangga adalah penerus wangsa isana di jawa timur yang lolos dari bencana pralaya yang meluluh lantakkan istana Mataram kuno masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Peristiwa serangan mendadak yang dilancarkan oleh Raja Wurawari ini terjadi tepat pada saat pesta perkawinan antara Airlangga dan putri Raja Dharmawangsa Teguh sedang berlangsung. Serangan ini banyak menewaskan para pembesar Istana termasuk Raja Dharmawangsa Teguh juga meninggal dalam serangan tersebut dan dicandikan di Wwatan.

Airlangga, yang datang ke Mataram untuk dinikahkan dengan anak Dharmawangsa teguh, adalah anak dari Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa Teguh, dengan Udayana, seorang Raja dari wangsa Warmmadewa Bali. Saat pesta perkawinan berlangsung peristiwa pralaya terjadi ( 1016 M)[1] , Airlangga yang pada saat itu baru berumur 16 tahun mampu menyelamatkan diri dari pralaya, bersama seorang hambanya yang setia, Narottama. Airlangga menjalani kehidupan di hutan lereng gunung dan berkumpul dengan para pertapa dan pendeta. Kehidupan Airlangga dihutan bersama dengan pertapa dan pendeta nampaknya banyak memberikan pelajaran dalam perjalanannya kemudian saat menjadi Raja. Sejak inilah perjuangan Airlangga dimulai. Sebagai jelmaan dewa Wisnu (saksatiranwisnumurtti) Airlangga membangun tahta dari puing-puing kehancuran kerajaannya.

Setelah melewati masa persembunyian dengan kalangan pertapa, Airlangga didatangi oleh utusan para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana) yang menyampaikan permintaan supaya ia menjadi pemimpin di kerajaan yang istananya telah hancur tersebut. Tahun 1019 Airlangga dengan direstui para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana). Dia berhasil naik tahta dengan bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa dikukuhkan di Halu (ikanang halu kapratisthan sri maharaja) selanjutnya Airlangga membuat arca perwujudan leluhurnya yang telah dicandikan di Isanabajra (Sang lumah ring Isanabajra), penobatannya dikukuhkan pada sasalanchana abdi vadane (bulan lautan muka = 941 Saka/1019 M).

Periode awal pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan dan penaklukan negara-negara bawahan yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan kerajaan Dharmawangsa Teguh. Pada tahun 943 Saka (1021) Raja Airlangga telah memberi anugerah ‘sima’ kepada penduduk Desa Cane yang masuk wilayah tinghal pinghay, karena mereka terlah berjasa menjadi “benteng” disebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya dalam peperangan, agar sri maharaja memperoleh kemenangan.[2]

Prasasti Pucangan memberitakan bahwa antara tahun 1029 – 1037 Airlangga menaklukan Wuratan (1030 M) dengan rajanya bernama Wisnuprabhawa terkenal sangat kuat (atisayeng mahabala), pada tahun sama menyerang raja Panuda dari Wengker (pangharpharpan mwang haji wengker). Tahun 1032, haji Wura Wari yang memporandakan kraton Dharmmawangsa Teguh, menaklukan juga seorang ratu wanita (?) yang konon sangat gagah seperti raksasi. Berita ini khusus dimuat pada bagian berbahasa Sansekerta. Prasasti (tembaga) Terep (1032) menerangkan kraton Airlangga di Wwatan Mas diserang musuh (?) sehingga Airlangga harus menyingkir ke Patakan (ri kala sri maharaja kalataya sangke wwatan mas mara i patakan).

Setelah melewati berbagai peperangan, penaklukan, dan konsolidasi diawal hingga pertengahan masa pemerintahannya. Peringatan kemenangan kemudian dikukuhkan di dalam prasasti Turun Hyang A (1036) dan menganugerahkan penghargaan daerah sima kepada penduduk desa Turun Hyang karena jasa-jasanya dalam pembiayaan dan pengelolaan pertapaan Sriwijayasrama dan pertapaan-pertapaan lainnya di gunung Pugawat (matang ya siddhaken prajnanira madamel yasa patapaning pucangan) seperti disebut dalam prasasti Pucangan.

Patakan; Ibukota Sementara Dalam Pelarian Sang Raja

Periode antara tahun 951 saka (1029 M) sampai dengan tahun 959 saka (1037 M) adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Raja Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, dan selatan. Berita pada prasasti pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut.

Namun demikian diantara tahun-tahun tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh, kesuksesan dalam penaklukan wilayah sekitar ternyata juga diselingi dengan kekalahan bahkan pelarian. Peristiwa kekalahan yang dialami Airlangga, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan keratonnya di Wwtan Mas dan melarikan diri dari istananya menuju ke Desa Patakan, diterangkan dalam prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober 1032 M) “sri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”, namun siapa musuh yang menyerangnya tidak jelas disebutkan. Para ahli sejarah menduga bahwa yang melakukan serangan ini adalah Raja Wurawari, artinya Raja Wurawari mendahului penyerangan terhadap ibukota kerajaan Airlangga sebelum kemudian Airlangga membalas serangan tersebut dan menghancurkan kerajaan Wurawari.

Dalam prasasti terep dikatakan bahwa raja telah memberikan anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, adik raja sendiri, karena telah berjasa pada waktu Raja Airlangga harus menyingkir dari Wwatan Mas ke Desa Patakan. Di Desa Terep Rakai Pangkaja bersembunyi didalam suatu pertapaan, dan disitu ia menemukan arca Bhatari Durga. Maka ia berdo’a dan memohon kepada sang batari agar raja memperoleh kemenangan dalam peperangan. Ia berjanji jika permohonan itu terkabul ia akan mohon agar Desa Terep, tempat pertapaan itu, ditetapkan menjadi sima. Maka kini setelah raja dapat mengalahkan musuhnya itu, dan kembali bertahta diatas singgasana permata, Rakai Pangkaja Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala menghadap raja dan mengajukan permohonanya. Maka dikabulkanlah permohonan itu, yaitu ditetapkannya pertapaan tempat pemujaan betari sebagai daerah swatantra, termasuk sawahnya, kebunnya, dan sungainya, dan ditambah lagi dengan anugerah gelar halu. Maka selanjutnya ia bergelar Rake Halu Dyah Tumambong[3].

Peristiwa kekalahan dan pelarian raja Airlangga dari istana Wwatan Mas menuju desa Patakan terjadi pada tahun yang sama dengan penaklukan yang dilakukan Raja Airlangga terhadap Raja Wurawari. Jika perkirakan diatas benar, bahwa Raja Wurawari melakukan serangan terlebih dahulu dan berhasil memaksa Raja Airlangga untuk menyingkir ke Desa patakan. Maka dapat dipastikan bahwa serangan balik terhadap Raja Wurawari di persiapkan oleh Raja Airlangga dari istana sementara.

Berangkat dari istana sementara di Desa Patakan Raja dengan diiringi oleh rakryan Kanuruhan Mpu Narottama dan Rakryan Kuningan Mpu Niti berhasil menyerbu Raja Wurawari dari arah Magehan (Magetan?). serangan ini berhasil melumpuhkan pertahanan Raja Wurawari dan mengalahkannya, maka lenyaplah semua perusuh di tanah Jawa.

Keberadaan Desa Patakan sebagai pusat pemerintahan sementara juga dikuatkan dengan adanya Prasasti Sendangrejo Kecamatan Ngimbang (dulu bernama Desa Pasar Legi Kecamatan Sambeng) 965 Saka atau 1043 M, yang memuat tentang penghargaan/anugerah terhadap penduduk Desa Patakan, sayang prasasti ini rusak pada bagian sambandhanya sehingga tidak bisa terbaca secara jelas lagi. Sangat mungkin pemberian anugerah ini berhubungan dengan pertolongan dan darma bakti penduduk patakan terhadap Raja Airlangga pada saat melarikan diri ke desa tersebut.

Disamping keterangan dari Prasasti Terep dan Prasasti Sendangrejo, Prasasti Patakan sendiri juga memuat anugerah Raja kepada rakyat Desa Patakan. Patakan adalah suatu daerah yang pernah dijadikan sima karena punya kewajiban memelihara bangunan suci Sang Hyang Patahunan, sayang belum ada terjemahan yang cukup mengenai prasasti ini, isi prasasti sebetulnya lengkap tetapi prasasti pecah berantakan. JLA Brandes pernah membaca walaupun tidak lengkap. Prasasti tersebut sekarang ada di Museum Nasional dengan nomor D22.

Mengapa Airlangga memilih Desa Patakan sebagai tempat untuk melarikan diri dan memindahkan kekuasaanya untuk sementara?. Pemilihan Desa Patakan sebagai tempat bagi Raja Airlangga untuk melarikan diri sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan semata, namun merupakan sebuah perencanaan matang yang didasari oleh posisi strategis Desa Patakan yang berada di bagian puncak dari perbukitan gunung kendeng yang membujur kearah barat, disamping jaminan keamanan dan kesetiaan yang bakal diterima oleh Raja Airlangga dari penduduk Desa Patakan.

Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Raja Airlangga dinobatkan sebagai Raja dengan restu para pemuka agama dari tiga aliran yang berkembang pada saat itu. Artinya Raja Airlangga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan berbagai tokoh dan pemuka agama dari berbagai aliran tersebut. Di Desa Patakan, sebagaimana isi dari prasasti Patakan, tedapat bangunan peribadatan Sang Hyang Patahunan, yang berarti terdapat seorang pendeta yang sudah demikian dekat dengan Raja Airlangga yang dengan segenap daya dan pengikutnya tentu akan melindungi sang raja dari segala gangguan musuh. Jaminan keamanan ini sangatlah penting dalam situasi saat pelarian yang sangat beresiko jika saja sang Raja salah dalam memilih lokasi pelarian.

Tidak heran jika kemudian Raja Airlangga meneguhkan ulang status Sima bagi Desa Patakan untuk yang kedua kalinya dalam Prasasti Sendangrejo (1043 M) yang juga merupakan prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga sebelum kerajaan di belah menjadi dua bagian Jenggala dan Pangjalu.

Jejak mengenai tempat peribadatan atau candi di Desa Patakan ini masih terlihat hingga sekarang dan dalam keadaan yang memprihatinkan (penulis pernah mendatangi lokasi candi ini), sayangnya hingga sekarang belum ada perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dan juga belum ada penelitian dari kalangan Arkeolog. Namun jika melihat jejak-jejak yang ada pada lokasi disekitar bekas reruntuhan candi tersebut, masih ada situs-situs yang lain yang belum dapat penulis identifikasi bentuk bangunannya satu persatu, sangat mungkin keseluruhan dari bagian situs ini merupakan sebuah kompleks bangunan (petirtaan atau bahkan istana) yang bersanding dengan sebuah bangunan candi.

Pamotan; Kota Dahanapura Pangjalu Sebelum Kediri

Raja Airlangga (1016-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Setelah peristiwa pralaya yang menghancurkan istana Wwatan milik Dharmawangsa Teguh, Airlangga yang bersembunyi di hutan lereng gunung kembali merebut istana Wwatan, menurut prasasti Cane (1021 M)[4] Airlangga kemudian membangun istana Wwatan Mas. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Setelah airlangga berhasil menaklukan Raja Wurawari pada tahun 954 Saka (1032 M), rupanya Raja Airlangga tidak kembali lagi ke Istana Wwatan Mas, namun ia justru meninggalkan istana Wwatan Mas dan membangun istana/ibukota baru di Kahuripan. Berita ini termuat dalam prasasti Kamalagyan 1037 M, yang berbunyi “makateweka pandri sri maharaja makadatwan i kahuripan”.

Lalu sejak kapan airlangga memindahkan ibukota kerajaannya ke Dahana(pura)?. Nama Dahana(pura) termuat dalam uraian Serat Calon Arang sebagai ibukota kerajaan Airlangga, namun dalam uraian serat tersebut tidak disebutkan dimana letak kota Dahana(pura) juga tidak di Kediri ataupun di Lamongan.

Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam bagian atas prasasti Pamwatan (Pamotan) yang dikeluarkan Airlangga tahun 964 Saka atau tepatnya 19 Desember 1042 Masehi yang merupakan prasasti akhir dari pemerintahan Raja Airlangga. Hal ini tentu sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Dahana(pura). Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178). (bersambung)

[1] Prasasti pucangan

[2] OJO LVIII. Dalam prasasti ini juga disebutkan nama-nama penduduk desa yang mendapatkan anugerah sima itu, sampai mencapai jumlah….orang.

[3] SNI II, edisi 84 hal 180

[4] Brandes-Krom, OJO LVIII hlm,125; cri maharaja ri maniratna singhasana makadatwan ri Wwatan mas, dalam slamet mulyana tafsir sejarah negara kertagama hal 17. Lkis 2008.

Sumber: http://chandikolo.wordpress.com/2010/03/21/jejak-raja-airlangga-di-bhumi-lamongan/

Dewi Sri

Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Adegan 1

Musik gamelan dan rancak bambu
Para penari bergerak seperti ular, gerakannya lincah dan menggelombang. Gerakannya nampak indah. Dari tubuh tarian ular itu muncul perempuan cantik menari dengan tarian yang lebih indah, namun tetap seirama dengan kelompok penari lain. Perempuan cantik itu adalah Dewi Sri

Adegan 2

Beberapa menit kemudian, muncul Batara Guru dengan tariannya. Ia mengamati Dewi Sri yang masih menari.

Adegan 3

Kelompok penari ular sawah itu bergerak mengelilingi Dewi Sri, lalu pergi meninggalkannya.

Adegan 4

Dewi Sri terus menari sendiri. Dan mendekatlah batara guru. Ia bergerak menari menemani Dwi sri.
Musik berhenti.

1. Batara Guru : Bersama engkau aku menari Dewi, aku menemukan akar-akar kehidupan. Kehidupan itu bernafas sejuk, nafasnya diantara akar-akar tanah. Engkau adalah Maha Dewi. Para Dewa menaruh hati padamu. Kecantikanmu membuatku jatuh cinta Dewi
2. Dewi Sri : Batara Guru, saya telah berjanji pada ibu, saya turun dari Taman Sorga Loka dengan maksud menyampaikan amanat hidup.
3. Batara Guru : Sungguh, engkau adalah Maha Dewi tercantik..
4. Dewi Sri : maaf, Batara Guru. Saya harus pergi sekarang ke Buana Panca Tengah. Kedatanganku sangat dinanti. Kami tidak bisa membiarkan mereka tidak menemukan makanan.

Musik
Dewi Sri meninggalkan Batara Guru

Adegan 5

Orang-orang menari. Namun tariannya amat lemah. Mereka terlihat kelaparan.
Orang-orang : (menari dan menyanyi dengan tidak bertenaga)
Tiada daun, buah, dan biji yang perut menjadi kenyang
Duh, dewa-dewi di atas kahyangan
Lapar, lapar, lapar tidak tertahankan

Adegan 6

Dewi Sri turun, awalnya ia larut sedih, namun ia cepat sadar. Ia tidak boleh larut. Ia datang ke bumi dengan maksud membuat orang-orang mendapatkan makanan. Dwi Sri lalu menari dengan gerakan yang agak cepat dan indah. Orang-orang merespon Dwi Sri

5. Orang 1 : Nak, tarianmu cukup indah
6. Orang 2 : Engkau pasti dari Taman Sorga Loka
7. Orang 3 : Engkau adalah bidadari
8. Orang 4 : Saya yakin, bidadari itu membawa berkah
9. Orang 5 : membawa sesuatu yang bisa dimakan
10. Orang 6 : Dia adalah kehidupan dari kahyangan untuk kita semua

Dewi Sri tersenyum. Ia menari pelan. Tariannya menggambarkan orang yang sedang nampek (nebar benih padi), tandur (menanam padi), Ani-ani (memanen).

Orang-orang seperti dituntun untuk mengikuti gerakan Dewi Sri. Sesaat kemudian gerakan menjadi rancak dan cepat. Dwi Sri berhenti menari Ia nampak senang mengamati Orang-orang punya semangat hidup kembali. Melihat orang-orang bergembira menebar dan menanam padi, lalu memanennya dengan tarian.

11. Orang 1 : Sang Dewilah yang telah menjadikan tanah kita menjadi tetumbuhan yang bisa dimakan. Dia adalah Dewi Padi juga Dewi Kesuburan.
12. Orang 2 : Benih itu menjadi tumbuhan yang semilir
13. Orang 3 : Kita memiliki semangat hidup lagi
14. Orang 4 : Kita kembali seperti penganten
15. Orang 5 : Ya, kita laksana Raden Kamajaya yang sedang jatuh cinta pada Dewi kamaratih
16. Orang 6 : Dia adalah Dewi Sri, Dewi Kesuburan
17. Orang 1 :D alam jiwa Sang Dewi, kita menemukan akar-akar kehidupan. Akar-akar itu adalah dian. Akar-akar itu sehangat susu ibu.

Orang-orang menari dan menyanyi
“tanah kita adalah sorga
Tumbuh padi menjadi nasi
Dimakan pagi, siang dan malam hari”

Mereka terus bergembira sampai malam. Dan tertidur tenang. Malam hari muncul babi.

18. Orang 1 : Ayo bangun, bangun! Ada babi kecil, ada babi kecil! Babi itu merusak tanaman kita

Orang-orang serentak bangun dengan beriringan musik kentongan. Gerakannya menjadi tarian menangkap babi. Namun mereka kwalahan.

19. Orang 1 : kita harus meminta pertolongan Dewi Sri

Orang-orang membentuk formasi memanggil-manggil Dewi Sri.

20. Orang-orang : (memanggil dewi sri)

Sang Hyang Dewi, engkau adalah Dewi Kesuburan kami.
Ragamu adalah seperti raga kami
Hidupkanlah raga yang tanah ini dengan kesegaran buah dadamu.
Sucikanlah tanah yang kotor ini.
Usirlah hama-hama pemutus nadi hidup itu.
Usirlah bala-bala yang mengancam tanah dan sawah kami

Dwi sri kemudian tiba-tiba muncul di tengah orang-orang. Dwi sri bergerak menari dalam lingkaran orang-orang.

21. Dwi Sri : Janganlah engkau terus hidup dengan kebathilan.
22. Babi : Aku dihukum Sang Batara Guru
23. Dwi Sri : Karena engkau terus menerus hidup dalam kesombongan
24. Babi : Aku telah bersumpah Dewi, selama hidupku tidak akan puas bila tidak berbuat jahil pada makhluk apa saja.
25. Dwi Sri : Namun jangan pada tanaman padi.
26. Babi : Justru tetumbuhan padi adalah makanan kesukaanku.
27. Dwi Sri : Tetumbuhan itu bukan untukmu
28. Babi : Dwi Sri, Aku turun dari kahyangan ini dengan maksud agar aku leluasa melakukan apa saja. Aku tidak mau terikat pada peraturan dewa-dewa. Maka jangan larang aku itu memakan tanaman padi yang hijau dan subur itu
29. Dwi Sri : Padi itu aku yang membawa dari kahyangan, padi itu adalah raga dan jiwaku. Di sana terdapat kesegaran susu buah dadaku. Dan disanalah kesuburan bunga-bunga jiwaku
30. Babi : (tertawa) Aku tidak peduli dengan kata-kata sucimu.(Tertawa) Saya akan melakukan apa saja atas kehendak hasratku. (Tertawa). Minggirlah, jangan halangi aku untuk memakan tumbuhan itu.
31. Dwi Sri :Engkau yang harus pergi!

Dwi sri menjadi ular lalu bertarung dengan babi. Pertarungannya sangat sengit. Dan akhirnya babi kwalahan dan lari tungganglanggang.

32. Orang-Orang : terimakasih, Sang Hyang Dewi. Sujud sukur atas karunia pertolonganmu. Sujud sukur akan karunia kesuburan. Sang Hyang Dewi Sri, Dewi kesuburan petani.

Musik menghentak keras. Semua tokoh statis dengan formasi pemujaan terhadap Dewi Sri. Musik lamat-lamat menghilang sebagai pertanda pertunjukan selesai.

Tamat

Lamongan, 25 Mei 2010

Pendekar Sakti dari Lamongan

Peresensi: Akbar Ananda Speedgo
Judul:Pendekar Sendang Drajat “Memburu Negarakertagama”
Penulis: Viddy AD Daery
Terbit: Februari 2011
Penerbit: Metamind- Tiga Serangkai Group –Solo
ISBN:978-979-30 Ukuran: 20 cm Cover:soft cover
Halaman: 146 halaman + XXX Kategori:fiksi sejarah
http://oase.kompas.com/

Lamongan, siapa kini yang tidak mengenal kota atau daerah itu? Semenjak Bupati Masfuk menyulap daerah miskin dan minus serta langganan banjir itu menjadi kota indah gemerlapan dan bebas banjir (sampai terancam banjir lagi, namun justru karena kelemahan kabupaten-kabupaten tetangganya yang gagal mengendalikan banjir lalu meluberi Lamongan), kini Lamongan dan Bupati Masfuk menjadi bahan pembicaraan semua kalangan di seluruh Indonesia.

Apalagi setelah para pedagang soto Lamongan, pecel lele dan sea-food muncul di tenda-tenda kaki-lima seluruh jengkal tanah Indonesia, Lamongan menjadi cap dagang yang paten,bahkan pengusaha Cina non-Lamonganpun banyak yang mendirikan restoran besar dengan merek Soto Lamongan,termasuk yang terbakar ludes di Jakarta Barat baru-baru ini.

Nah,apakah Lamongan zaman “prasejarah” juga top dan seterkenal Lamongan masa kini? “Prasejarah—dalam tanda petik” di sini bukan berarti Lamongan zaman sebelum Masehi,namun Lamongan sebelum dicatat sejarah Indonesia yang notabene baru dibicarakan mulai di era Bupati Masfuk.Karena Lamongan sejak Bupati pertama sampai sebelum Masfuk, dianggap Lamongan yang tak perlu digubris,bahkan sempat menjadi daerah yang selalu dijadikan olok-olok oleh para pelawak ludruk di pentas tobong maupun di layar TVRI di tahun 80-an,sebagai daerah minus dimana “yen ketigo ora iso cewok, yen udan ora iso ndhodhok” yang maknanya ialah jika kemarau tidak bisa membersihkan najis, jika hujan tidak bisa duduk manis”..

ERA PENDEKAR

Nah, era Lamongan zaman pendekar silat dan zaman wali atau sunan (abad 16) inilah yang dijadikan setting elaborasi novel “Pendekar Sendang Drajat” (PSD) karya Viddy AD Daery—sastrawan Indonesia yang justru terkenal di Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand selatan daripada di negaranya sendiri.

Lamongan sendiri waktu itu,sebagai kota malah belum ada,dalam novel PSD seri pertama yaitu “Pesisir Utara Majapahit di abad 16 M” dikisahkan secara selintas bahwa beberapa kyai dari Laren,Karang Cangkring, Latukan, Duri, Ngambeg, Drajat dan sebagainya berkumpul di pesantren Badu Wanar Pucuk, untuk membahas pembentukan kota katumenggungan/ kadipaten Lamongan dari desa kecil Keranggan Lamong. Dan yang dicalonkan sebagai Tumenggung / Adipati adalah Raden Hadi atau Sunan Hadi yang masih kerabat Sunan Giri, sebagai panutan kekuasaan politik-keagamaan di Jawa Timur pada saat itu.

Nah,ketika Lamongan justru baru direncanakan pembangunannya, desa-desa yang kini dilupakan sejarah seperti Laren, Pringgoboyo, Karang Cangkring, Sendang Duwur, Drajat, Trenggulun, Centhini, Brumbun dan sebagainya dalam novel PSD diceritakan sudah menjadi kota ramai (untuk ukuran zaman dulu) karena mereka rata-rata berlokasi di tepi bengawan Solo atau laut Jawa (pantura ), dan karena itu menjadi desa/kota perdagangan yang banyak berinteraksi dengan para saudagar-pelayar dari pulau lain bahkan dari Negara lain seperti Yaman / Hadramaut, Persia, Gujarat, Malaka dan Cina.

Bahkan diceritakan beberapa oknum bangsa Eropa juga sudah mulai datang berlabuh dan tujuan mereka tidak hanya berdagang tapi juga memata-matai kekuatan politik kerajaan-kerajaan keci/pesantren di pantai utara Jawa, dan karena itu mereka lalu diperangi para pendekar silat garis keras yang dipimpin Pendekar Syamrozi dari Pesantren Trenggulun. Mungkinkah mereka adalah leluhur Amrozi?

Boleh jadi,novel PSD bermain dengan symbol-simbol,karena sebagai karya sastra,juga sangat mungkin bermuatan dakwah dan pencerahan seperti zaman “roman bertendens” di ranah kesusastraan Indonesia masa lalu.

Jasa besar novel PSD adalah menyingkap sejarah masa lalu Lamongan yang minim data dan amat jarang dibicarakan oleh sejarawan Indonesia,padahal kalau merujuk beberapa situs dan folklore Lamongan,ada banyak hal yang bisa disumbangkan ke khasanah sejarah nasional Indonesia,antara lain bahwa desa Modo adalah tempat kelahiran Mahapatih Gajah Mada. Juga Bre Parameswara atau Raja Pamotan (Lamongan zaman Majapahit) adalah raja yang lari ke Palembang lalu ke Singapura lalu mendirikan Kerajaan Malaka. Jadi bisa dikatakan bahwa Malaysia itu milik wong Lamongan.Yaitu Gajah Mada (penguasa Nusantara) dan Bre Pamotan (pembangun kerajaan Malaka).

Sedang PSD jilid atau seri 2 yang berjudul “Memburu Kitab Negarakertagama”, mengisahkan bahwa Pendekar Sendang Drajat kedatangan serombongan tamu dari Kerajaan Johor-Malaka yang sedang melarikan diri dari kisruh perang di negaranya.

Mereka berlayar ke Tanah Jawa untuk mempelajari “Kitab Desawarnana aliasNegarakertagama”. Dalam perjalanan mengantar para pendekar Melayu mencari Kitab Negarakertagama itulah, sepanjang perjalanan banyak ditemui rahasia-rahasia sejarah lokal Lamongan yang banyak diungkap oleh Viddy AD Daery yang kaya pengetahuan mengenai kisah-kisah lokal yang tentunya sangat jarang diketahui oleh peminat sejarah nasional yang menafikan folklor.

Padahal bagi sejarawan aliran Annales kelas dunia, kini sudah menyatakan bahwa peran folklore lokal tidak bisa diremehkan sebagai sumber sejarah yang valid.

Kinilah saatnya, di zaman reformasi ini, pikiran para ilmuwan sejarah juga harus direformasi. Folklor-folklor lokal sudah waktunya layak menjadi sumber sejarah yang terpercaya, tentunya setelah melalui uji penyaringan unusr-unsur mitos dan mistik-gaibnya dibersihkan terlebih dahulu. Toh unsur mitos dan gaib itu sebenarnya juga adalah kenyataan yang memang ada di Nusantara juga.

*) Sarjana Teknik Sipil ITS-penyuka novel sejarah, 6 Mei 2011

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito