Yok’s Slice Priyo
http://chandikolo.wordpress.com/
Tulisan ini sebuah ringkasan, dari rintisan penulis untuk menguraikan jejak-jejak kuno baik berupa prasasti dan juga situs-situs candi yang masih terpendam di bumi Lamongan. Semoga bisa memberikan manfaat bagi seluruh Masyarakat Lamongan khususnya dan semua pihak secara umum.
“Lamongan menyimpan data yang luar biasa mengenai Prabu Airlangga. Airlangga itu raja besar malah lebih besar dari Hayam Wuruk. Dari disertasi saya saja sudah 7 artikel saya buat tentang Airlangga, yang paling lengkap ingin saya sampaikan di Lamongan supaya orang Lamongan bisa bangga dengan leluhurnya”, Dr. Ninie Soesanti arkeolog UI.
Demikian ungkapan Dr. Ninie Soesanti seorang arkeolog UI yang pernah meneliti beberapa prasasti Airlangga di Lamongan. Ungkapan ini disampaikan melalui email saat saya berkomunikasi tentang transkrip beberapa prasasti Airlangga di Lamongan.
Dari sepintas ungkapan di atas dan didukung dengan fakta arkeologis dilapangan, maka judul tulisan diatas nampaknya tidak berlebihan. Lamongan memang menyimpan banyak data berkaitan dengan masa pemerintahan kerajaan Prabu Airlangga, terutama berupa tulisan diatas batu atau yang biasa disebut dengan prasasti batu. Dari data sementara yang terkumpul paling tidak terdapat 41 prasasti batu yang sebagian besar diperkirakan berasal dari zaman sebelum munculnya Kerajaan Majapahit, namun demikian belum pernah ditemukan adanya keterangan prasasti pada era singasari. Beberapa prasasti seperti prasasti pamwatan (Pamotan), prasasti Pasar Legi (Sendang Rejo, dulunya satu Desa), prasasti Puncakwangi, Prasasti Wotan (Slahar Wotan), dan lainnya jelas teridentifikasi sebagai prasasti-prasasti yang di keluarkan oleh Prabu Airlangga.
Disamping prasasti-prasasti yang tersebut diatas masih banyak jajaran prasasti lainnya yang belum teridentifikasi secara pasti mengenai tahun dikeluarkannya prasasti dan juga kandungan isi dari prasasti tersebut. Yang perlu disayangkan adalah akibat dari kurangnya perhatian berbagai pihak, banyak dari prasasti-prasasti tersebut dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena terkesan tidak ada kepedulian baik dari pihak yang berwenang maupun masyarakat secara umum. Kondisi ini menyebabkan banyak prasasti yang makin rusak bahkan kemudian banyak juga yang hilang dicuri, dirusak orang atau tengelam/terkubur.
Menurut hasil-hasil penelitian para arkeolog sebagian besar prasasti Airlangga banyak ditemukan disekitar Jombang dan Lamongan, membujur dari sekitar Ploso ditepian sungai Brantas, Sambeng, Ngimbang, Modo, dan Babat sekitar Bengawan Solo. Berdasar dari data faktual berupa prasasti tersebut maka tidak heran jika banyak ahli sejarah yang menyimpulkan bahwa pusat kekuasaan Raja Airlangga diperkirakan berada di sekitar Ngimbang. Jika pendapat ini benar maka bisa dipastikan bahwa Lamongan merupakan daerah yang penting semasa Pemerintahan Kerajaan Airlangga. Tidak dapat dinafikan pula bahwa wilayah Lamongan menjadi sentral dalam upaya mengungkap dan mempelajari sejarah kerajaan Airlangga.
Airlangga adalah penerus wangsa isana di jawa timur yang lolos dari bencana pralaya yang meluluh lantakkan istana Mataram kuno masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Peristiwa serangan mendadak yang dilancarkan oleh Raja Wurawari ini terjadi tepat pada saat pesta perkawinan antara Airlangga dan putri Raja Dharmawangsa Teguh sedang berlangsung. Serangan ini banyak menewaskan para pembesar Istana termasuk Raja Dharmawangsa Teguh juga meninggal dalam serangan tersebut dan dicandikan di Wwatan.
Airlangga, yang datang ke Mataram untuk dinikahkan dengan anak Dharmawangsa teguh, adalah anak dari Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa Teguh, dengan Udayana, seorang Raja dari wangsa Warmmadewa Bali. Saat pesta perkawinan berlangsung peristiwa pralaya terjadi ( 1016 M)[1] , Airlangga yang pada saat itu baru berumur 16 tahun mampu menyelamatkan diri dari pralaya, bersama seorang hambanya yang setia, Narottama. Airlangga menjalani kehidupan di hutan lereng gunung dan berkumpul dengan para pertapa dan pendeta. Kehidupan Airlangga dihutan bersama dengan pertapa dan pendeta nampaknya banyak memberikan pelajaran dalam perjalanannya kemudian saat menjadi Raja. Sejak inilah perjuangan Airlangga dimulai. Sebagai jelmaan dewa Wisnu (saksatiranwisnumurtti) Airlangga membangun tahta dari puing-puing kehancuran kerajaannya.
Setelah melewati masa persembunyian dengan kalangan pertapa, Airlangga didatangi oleh utusan para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana) yang menyampaikan permintaan supaya ia menjadi pemimpin di kerajaan yang istananya telah hancur tersebut. Tahun 1019 Airlangga dengan direstui para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana). Dia berhasil naik tahta dengan bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa dikukuhkan di Halu (ikanang halu kapratisthan sri maharaja) selanjutnya Airlangga membuat arca perwujudan leluhurnya yang telah dicandikan di Isanabajra (Sang lumah ring Isanabajra), penobatannya dikukuhkan pada sasalanchana abdi vadane (bulan lautan muka = 941 Saka/1019 M).
Periode awal pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan dan penaklukan negara-negara bawahan yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan kerajaan Dharmawangsa Teguh. Pada tahun 943 Saka (1021) Raja Airlangga telah memberi anugerah ‘sima’ kepada penduduk Desa Cane yang masuk wilayah tinghal pinghay, karena mereka terlah berjasa menjadi “benteng” disebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya dalam peperangan, agar sri maharaja memperoleh kemenangan.[2]
Prasasti Pucangan memberitakan bahwa antara tahun 1029 – 1037 Airlangga menaklukan Wuratan (1030 M) dengan rajanya bernama Wisnuprabhawa terkenal sangat kuat (atisayeng mahabala), pada tahun sama menyerang raja Panuda dari Wengker (pangharpharpan mwang haji wengker). Tahun 1032, haji Wura Wari yang memporandakan kraton Dharmmawangsa Teguh, menaklukan juga seorang ratu wanita (?) yang konon sangat gagah seperti raksasi. Berita ini khusus dimuat pada bagian berbahasa Sansekerta. Prasasti (tembaga) Terep (1032) menerangkan kraton Airlangga di Wwatan Mas diserang musuh (?) sehingga Airlangga harus menyingkir ke Patakan (ri kala sri maharaja kalataya sangke wwatan mas mara i patakan).
Setelah melewati berbagai peperangan, penaklukan, dan konsolidasi diawal hingga pertengahan masa pemerintahannya. Peringatan kemenangan kemudian dikukuhkan di dalam prasasti Turun Hyang A (1036) dan menganugerahkan penghargaan daerah sima kepada penduduk desa Turun Hyang karena jasa-jasanya dalam pembiayaan dan pengelolaan pertapaan Sriwijayasrama dan pertapaan-pertapaan lainnya di gunung Pugawat (matang ya siddhaken prajnanira madamel yasa patapaning pucangan) seperti disebut dalam prasasti Pucangan.
Patakan; Ibukota Sementara Dalam Pelarian Sang Raja
Periode antara tahun 951 saka (1029 M) sampai dengan tahun 959 saka (1037 M) adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Raja Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, dan selatan. Berita pada prasasti pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut.
Namun demikian diantara tahun-tahun tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh, kesuksesan dalam penaklukan wilayah sekitar ternyata juga diselingi dengan kekalahan bahkan pelarian. Peristiwa kekalahan yang dialami Airlangga, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan keratonnya di Wwtan Mas dan melarikan diri dari istananya menuju ke Desa Patakan, diterangkan dalam prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober 1032 M) “sri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”, namun siapa musuh yang menyerangnya tidak jelas disebutkan. Para ahli sejarah menduga bahwa yang melakukan serangan ini adalah Raja Wurawari, artinya Raja Wurawari mendahului penyerangan terhadap ibukota kerajaan Airlangga sebelum kemudian Airlangga membalas serangan tersebut dan menghancurkan kerajaan Wurawari.
Dalam prasasti terep dikatakan bahwa raja telah memberikan anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, adik raja sendiri, karena telah berjasa pada waktu Raja Airlangga harus menyingkir dari Wwatan Mas ke Desa Patakan. Di Desa Terep Rakai Pangkaja bersembunyi didalam suatu pertapaan, dan disitu ia menemukan arca Bhatari Durga. Maka ia berdo’a dan memohon kepada sang batari agar raja memperoleh kemenangan dalam peperangan. Ia berjanji jika permohonan itu terkabul ia akan mohon agar Desa Terep, tempat pertapaan itu, ditetapkan menjadi sima. Maka kini setelah raja dapat mengalahkan musuhnya itu, dan kembali bertahta diatas singgasana permata, Rakai Pangkaja Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala menghadap raja dan mengajukan permohonanya. Maka dikabulkanlah permohonan itu, yaitu ditetapkannya pertapaan tempat pemujaan betari sebagai daerah swatantra, termasuk sawahnya, kebunnya, dan sungainya, dan ditambah lagi dengan anugerah gelar halu. Maka selanjutnya ia bergelar Rake Halu Dyah Tumambong[3].
Peristiwa kekalahan dan pelarian raja Airlangga dari istana Wwatan Mas menuju desa Patakan terjadi pada tahun yang sama dengan penaklukan yang dilakukan Raja Airlangga terhadap Raja Wurawari. Jika perkirakan diatas benar, bahwa Raja Wurawari melakukan serangan terlebih dahulu dan berhasil memaksa Raja Airlangga untuk menyingkir ke Desa patakan. Maka dapat dipastikan bahwa serangan balik terhadap Raja Wurawari di persiapkan oleh Raja Airlangga dari istana sementara.
Berangkat dari istana sementara di Desa Patakan Raja dengan diiringi oleh rakryan Kanuruhan Mpu Narottama dan Rakryan Kuningan Mpu Niti berhasil menyerbu Raja Wurawari dari arah Magehan (Magetan?). serangan ini berhasil melumpuhkan pertahanan Raja Wurawari dan mengalahkannya, maka lenyaplah semua perusuh di tanah Jawa.
Keberadaan Desa Patakan sebagai pusat pemerintahan sementara juga dikuatkan dengan adanya Prasasti Sendangrejo Kecamatan Ngimbang (dulu bernama Desa Pasar Legi Kecamatan Sambeng) 965 Saka atau 1043 M, yang memuat tentang penghargaan/anugerah terhadap penduduk Desa Patakan, sayang prasasti ini rusak pada bagian sambandhanya sehingga tidak bisa terbaca secara jelas lagi. Sangat mungkin pemberian anugerah ini berhubungan dengan pertolongan dan darma bakti penduduk patakan terhadap Raja Airlangga pada saat melarikan diri ke desa tersebut.
Disamping keterangan dari Prasasti Terep dan Prasasti Sendangrejo, Prasasti Patakan sendiri juga memuat anugerah Raja kepada rakyat Desa Patakan. Patakan adalah suatu daerah yang pernah dijadikan sima karena punya kewajiban memelihara bangunan suci Sang Hyang Patahunan, sayang belum ada terjemahan yang cukup mengenai prasasti ini, isi prasasti sebetulnya lengkap tetapi prasasti pecah berantakan. JLA Brandes pernah membaca walaupun tidak lengkap. Prasasti tersebut sekarang ada di Museum Nasional dengan nomor D22.
Mengapa Airlangga memilih Desa Patakan sebagai tempat untuk melarikan diri dan memindahkan kekuasaanya untuk sementara?. Pemilihan Desa Patakan sebagai tempat bagi Raja Airlangga untuk melarikan diri sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan semata, namun merupakan sebuah perencanaan matang yang didasari oleh posisi strategis Desa Patakan yang berada di bagian puncak dari perbukitan gunung kendeng yang membujur kearah barat, disamping jaminan keamanan dan kesetiaan yang bakal diterima oleh Raja Airlangga dari penduduk Desa Patakan.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Raja Airlangga dinobatkan sebagai Raja dengan restu para pemuka agama dari tiga aliran yang berkembang pada saat itu. Artinya Raja Airlangga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan berbagai tokoh dan pemuka agama dari berbagai aliran tersebut. Di Desa Patakan, sebagaimana isi dari prasasti Patakan, tedapat bangunan peribadatan Sang Hyang Patahunan, yang berarti terdapat seorang pendeta yang sudah demikian dekat dengan Raja Airlangga yang dengan segenap daya dan pengikutnya tentu akan melindungi sang raja dari segala gangguan musuh. Jaminan keamanan ini sangatlah penting dalam situasi saat pelarian yang sangat beresiko jika saja sang Raja salah dalam memilih lokasi pelarian.
Tidak heran jika kemudian Raja Airlangga meneguhkan ulang status Sima bagi Desa Patakan untuk yang kedua kalinya dalam Prasasti Sendangrejo (1043 M) yang juga merupakan prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga sebelum kerajaan di belah menjadi dua bagian Jenggala dan Pangjalu.
Jejak mengenai tempat peribadatan atau candi di Desa Patakan ini masih terlihat hingga sekarang dan dalam keadaan yang memprihatinkan (penulis pernah mendatangi lokasi candi ini), sayangnya hingga sekarang belum ada perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dan juga belum ada penelitian dari kalangan Arkeolog. Namun jika melihat jejak-jejak yang ada pada lokasi disekitar bekas reruntuhan candi tersebut, masih ada situs-situs yang lain yang belum dapat penulis identifikasi bentuk bangunannya satu persatu, sangat mungkin keseluruhan dari bagian situs ini merupakan sebuah kompleks bangunan (petirtaan atau bahkan istana) yang bersanding dengan sebuah bangunan candi.
Pamotan; Kota Dahanapura Pangjalu Sebelum Kediri
Raja Airlangga (1016-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Setelah peristiwa pralaya yang menghancurkan istana Wwatan milik Dharmawangsa Teguh, Airlangga yang bersembunyi di hutan lereng gunung kembali merebut istana Wwatan, menurut prasasti Cane (1021 M)[4] Airlangga kemudian membangun istana Wwatan Mas. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Setelah airlangga berhasil menaklukan Raja Wurawari pada tahun 954 Saka (1032 M), rupanya Raja Airlangga tidak kembali lagi ke Istana Wwatan Mas, namun ia justru meninggalkan istana Wwatan Mas dan membangun istana/ibukota baru di Kahuripan. Berita ini termuat dalam prasasti Kamalagyan 1037 M, yang berbunyi “makateweka pandri sri maharaja makadatwan i kahuripan”.
Lalu sejak kapan airlangga memindahkan ibukota kerajaannya ke Dahana(pura)?. Nama Dahana(pura) termuat dalam uraian Serat Calon Arang sebagai ibukota kerajaan Airlangga, namun dalam uraian serat tersebut tidak disebutkan dimana letak kota Dahana(pura) juga tidak di Kediri ataupun di Lamongan.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam bagian atas prasasti Pamwatan (Pamotan) yang dikeluarkan Airlangga tahun 964 Saka atau tepatnya 19 Desember 1042 Masehi yang merupakan prasasti akhir dari pemerintahan Raja Airlangga. Hal ini tentu sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Dahana(pura). Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178). (bersambung)
[1] Prasasti pucangan
[2] OJO LVIII. Dalam prasasti ini juga disebutkan nama-nama penduduk desa yang mendapatkan anugerah sima itu, sampai mencapai jumlah….orang.
[3] SNI II, edisi 84 hal 180
[4] Brandes-Krom, OJO LVIII hlm,125; cri maharaja ri maniratna singhasana makadatwan ri Wwatan mas, dalam slamet mulyana tafsir sejarah negara kertagama hal 17. Lkis 2008.
Sumber: http://chandikolo.wordpress.com/2010/03/21/jejak-raja-airlangga-di-bhumi-lamongan/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar