Minggu, 31 Oktober 2010

Sajak Di Bawah Bayang-Bayang Rezim Tiran

Judul Buku : 50% Indonesia Merdeka; kumpulan puisi Heri Latief
Penulis : Heri Latief
Penerbit : Ultimus dan Lembaga Sastra Pembebasan
Terbitan I : Agustus 2008
Tebal Buku : xxii + 86
Peresensi : Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Latar belakang penindasan rezim tiran yang tak kunjung padam di bangsa Indonesia. Kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat, kapitalime tak surut-surut mengeksploitasi sumber daya-sumber daya bumi pertiwi akhirnya membuat rakyat tak berdaya, serta masih banyak lagi problematika yang sedang diderita bangsa Indonesia. Dari persoalan-persoalan tersebut kesadaran Heri Latief terpicu untuk menuangkan suara berontaknya dalam sajak-sajak yang terhimpun dalam buku 50% Merdeka, diterbitkan oleh Ultimus Bandung, Agustus 2008. Suara-suara perih yang dirasakan anak bangsa yang sebagian terwakilkan oleh Heri Latief, nampak jelas sekali dalam sajak-sajak yang ditulisnya.

Hal tersebut mengingatkan saya pada penyair Wiji Thukul yang sampai saat ini masih tidak diketahui keberadaanya. Akibat pergolakan dan perlawan rezim orde baru hingga tumbang yang melahirkan orde reformasi. Wiji Thukul hilang bersama 12 aktivis pro demokrasi lainnya saat itu. Sajak yang masih mengema sampai sekarang yang ditulis oleh wiji Thukul “hanya ada satu kata: Lawan!”. Perlawanan terhadap penindasan tidak akan pernah padam dari orang-orang yang memiliki kesadaran politik kritis. Bahwa ada penindasan yang dilakukan oleh penguasa dengan sewenang-wenang, entah itu penuasa politik, penguasa modal, penguasa wacana, penguasa agama.

Dalam pengantar buku 50 % Merdeka tersebut Eep Saefulloh Fatah mengatakan, bahwa banyak kegagalan orang dalam mengenal Heri Latief karena hanya sekedar menimbang gaya penulisan sajaknya tetapi alpa dalam membaca pesan-pesan tegas yang disampaikannya. Selain itu Eep juga mengutarakan perihal kepenyairan Heri Latief adalah penyair yang memihak hal tersebut didapatkan dari pembacaan atas sikap Heri Latief yang menegaskan pemihakan. Senada dengan Asahan Aidit seorang filolog dalam pengantar setelah Eep mengatakan, puisi-puisi Heri Latief adalah puisi hujatan, dakwaan, gugatan terhadap musuh-musuh rakyat. Yakni yang mebuat rakyat terhimpit, terbodohi, tertindas, akhirnya rakyat tak berdaya. Itulah yang dibela dalam sajak Heri Latief. Mari kita lihat, sebuah ajakan untuk menaikan kesadaran perlawan dalam sajak Heri Latief yang berjudul 50% Merdeka: ….. sedang di bawah banyak urusan penting/korban bencana alam mengigil kedinginan/rakyat perlu kepastian hukum dan keadilan/bukan pameran dukungan terhadap bekas tiran//ayo! mari kita bersama/menganyang keraguan/kita belum merdeka 100% bung!//sirajatega masih berkuasa/maka derita itu dobel bencana (hal.18)

Sangat nampak sekali dengan tegas tanpa mengunakan metafor bahwa sajak di atas mengajak untuk bersikap, karena kemerdekaan belum sepenuhnya didapat atau istilahnya, masih ada penjajahan walaupun di suasana kemerdekaan. Penjajahan itu bukan seperti jaman kolonialisme dahulu, penjahan dilakukan oleh anak bangsa sendiri pada rakyatnya. Penjajah tersebut diwakili oleh penguasa, dapat ditelisik pada ketidak pedulian penguasa pada penderitaan rakyat dengan politiknya tanpa nilai. Padahal sejatinya politik itu adalah mulia untuk mencapai kekuasaan dan kekuasaan untuk mensejahterahkan rakyat kata sosiolog klasik Ibnu Khaldun.

Hari Latif dalam sajak-sajaknya mengajak kita untuk sadar sejarah, bahwa ada kekelaman sejarah di bangsa Indonesia yakni peristiwa G3OS, dapat kita lihat dalam sajak yang berjudul 42 Tahun G30S: …. sejarah kita adalah penindasan/sekalipun dalam ruang mimpi/bermuara pada satu nama/:G30S//adalah kode buat jutaan korban/yang ditindas sampai hari ini/harga nyawa orang indonesia/murah meriah seperti obral besar! (hal.27). Kealpaan pada peristiwa yang menelan jutaan anak bangsa seakan tengelam begitu saja. Seperti kasus-kasus pelanggaran ham yang sampai kini hanya menjadi slogan penguasa dan tak pernah tuntas terjawab. Kasus tanjung priok, penghilangan orang, semanggi, pembunuhan munir, lumpur lapindo, dan lainnya masih memutar-mutar dalam benak luka bangsa Indonesia.

Selain itu, neoliberalisme juga memenjarahkan bangsa ini. Dengan agen-agennya hingga kita seakan mengiyakan satu sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Agen neoliberalismen salah satunya adalah IMF dan Bank Dunia, dalam hal ini juga menjadi persoalan yang di tulis oleh Heri Latif dalam sajaknya yang berjudul Pameran Penindasan: teruslah menetek pada IMF-bank dunia/jangan berzikir atas nama kemiskinan/ jadilah pengemis bermentalitas budak/jagoan ilmu korupsi kampiun dunia tipsani//tak pernah berani mencoba ilmu berdikari/riwayatmu tak seindah zamrud katulistiwa/hancur-lebur dirajah gerombolan maling berdasi (hal.49). Dalam sajak ini mengisyaratkan apa yang pernah dikatakan di ungkap oleh Revrisond Baswir, tentang Mafia Berkeley yakni pejabat atau pemikir yang memihak pada ekonomi neoliberal bukan pada ekonomi kerakyatan. Hingga rakyat menjadi kehilangan keberdayaannya, padahal memberdayakan rakyat untuk mengambil hak-haknya dan berekonomi adalah harus dilakukan oleh pemerintah bukan sebaliknya membela orang asing dan menghisap rakyat kecil.

Itulah suara-suara kritis sajak Heri Latif, tetapi menurut saya ada perbedaan dengan sajak-sajak Wiji Thukul yang kritis. Perbedaannya terletak pada keterlibatan secara langsung dengan rakyat. Saya hanya mengamati pada riwayat biografi Heri Latif dan biografi Whiji Thukul. Jika Wiji Thukul terlibat pada pergolakan 1998, tetapi itu tak nampak pada keterlibatan Hari Latief. Nampaknya Heri Latief ketika menulis sajak, diungkap dari daya bayang dan empati pada rakyat tertindas, sedangkan Wiji Thukul terlibat dan merasakan penindasan itu sendiri hingga dia melawannya dan hilang. Hal tersebut saya telisik dari sajak yang dibuatnya kebanyakn di Belanda tempatnya berada kini. Tetapi bukan soal antara terlibat atau tidak yang menjadi soal adalah pesan atas kesadaran kritis melihat persoalan bangsa ini menjadi lebih penting. Melawan segala penindasan hingga manusia-manusia Indonesia menjadi bebas dan menikmati kemerdekaan 100%.

Sabtu, 30 Oktober 2010

JALAN MULUT ORANG SAMIN

http://majalah.tempointeraktif.com/

KABUT melayang-layang rendah menyelimuti dusun. Tipis, putih, bagaikan tabir transparan. Rumah, kebun, dan pepohonan hanya tampak samar-samar. Lelapnya malam, kini menggeliat bangun. Tercium bau pagi, sudah. Bunyi jangkrik, yang semalaman menggelitik telinga, mulai menyurut, entah ke mana. Sebagai gantinya, kokok ayam bersahut-sahutan. Tekukur dan gagak, adu keras suara di pucuk-pucuk kelapa. Lalu terdengar lenguh lembu, dan bunyi kelinting manakala lembu-lembu itu digiring ke sawah.

Muncul pula iring-iringan wanita menggendong bakul, tanpa suara. Hanya suara gesekan kain mereka menjadi musik pagi mengiringi langkah menuju pasar. Seorang bocah jongkok njedodot di muka pintu, mengusir kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Dan asap pun mengepul-ngepul di atap-atap rumah, muncul dari sela-sela genting, pertanda para wanita mulai sibuk menlerang air menanak nasi.

Tak berbeda dengan suasana pagi di desa-desa Jawa umumnya, demikianlah dusun ini. Ya, bentuk rumahnya, ya, kebunnya, bahkan juga setiap langkah gerak penduduk dan bahasa mereka. Baru kemudian, ketika seorang muda kira-kira belum 30 tahun memperkenalkan diri, terasa bahwa desa ini menyimpan kekhasannya sendiri. "Tepangaken, kulo jeneng lanang pengaran Sampan. "

Sampan, itulah namanya. Orang Jawa umumnya pasti akan langsung menyebut nama bila memperkenalkan diri, tanpa usah menyebut "jeneng lanang" (artinya, nama laki-laki) dan "pengaran" (sebutan). Tapi demikianlah lazimnya warga Jepang (awas, ini bukan Jepang yang beribu kota Tokyo), Desa Margomulyo, Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, ini memperkenalkan diri.
* * *

Jepang di Kabupaten Bojonegoro memang berbeda dengan pedukuhan lain. Bukan karena tanahnya yang kering keputih-putihan. Bukan pula karena penduduknya yang - relatif - miskin. Bukan pula karena dusun ini terletak di tengah hutan jati. Namun, di dusun terpencil - 4 km dari ruas jalan Ngawi-Cepu, di ujung barat Provinsi Jawa Timur yang dihuni 120 keluarga itulah hidup keluarga-keluarga yang oleh orang luar disebut orang Samin. Dan itu bukan sekadar sebutan.

"Orang Samin" punya konotasi khusus bagi orang di luar lingkungan ini. Mereka dianggap berlagak bodoh, malas, dan berpikiran sempit. Sejumlah lelucon bak kisah Si Kabayan dari Tanah Sunda, atau Nasruddin Hoja dari Timur Tengah, seputar orang-orang Samin pun tumbuh berkembang. Tersebutlah misalnya, seorang pergi ke pasar, dan ditanya temannya: "Dari mana?" "Dari belakang." "Mau ke mana?" "Mau ke depan," jawabnya pula.

Atau, seorang bapak menyuruh anaknya pergi ke sawah, katanya, "Tunggui padimu." Si anak tanpa banyak cakap langsung pergi ke sawah dan duduk di dangau. Puluhan burung pipit, yang menyerbu malai padi yang mulai bernas, dibiarkannya saja. Melihat itu, seorang yang lewat lalu menegur, "Mengapa burung yang makan padimu itu tak kauusir?" Dengan tenang, tanpa rasa salah, anak tadi menjawab, "Saya hanya disuruh untuk menunggu padi, bukan mengusir burung."

Cerita-cerita lucu macam itu sudah pasti lebih berkembang di lingkungan dunia olok-olok, daripada dalam kenyataan sehari-hari. Walaupun sesekali orang Samin bisa juga berlagak bodoh, atau bersilat lidah dengan logika khas mereka, untuk mempertahankan sikap yang mereka yakini benarnya - terutama di masa-masa silam.

Puluhan ilmuwan dan penulis yang telah melakukan studi tentang masyarakat Samin umumnya membantah keras anggapan bahwa masyarakat Samin bodoh, malas, polos, dan lucu. Para peneliti malah menghubungkan sikap orang Samin dengan nilai kepahlawanan, yakni dalam upaya menentang penjajahan Belanda.

Kendati begitu, anggapan umum terhadap orang-orang Samin belum banyak berubah. Bahkan sikap atau tingkah laku konyol orang-orang yang bukan Samin sering disebut sebagai nyamin, seperti orang Samin. Meski masyarakat Samin sudah semakin berubah dari nilai dan warna asli warisan yang mereka terima hampir seabad lampau, di sela-sela hutan jati.
* * *

Bukan untuk dijadikan bahan tertawaan, bila sekelompok masyarakat mengambil sikap tertentu, dan yang kemudian, kebetulan, kelompok itu disebut orang Samin. Kiai Samin Surosentiko - sang pembuat sejarah dan pemulanya - sendiri pun pasti tidak membayangkan demikian.

Sewaktu dulu ia dengan tidak bosan-bosannya mengajarkan keyakinan hidupnya kepada para kerabat dan handai tolan yang sudi mendengarkannya - di rumahnya di Plosokediren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah Surosentiko tidak main-main. Dan orang - tak cuma anggota masyarakat Samin - tetap mengingat siapa dia.

Arsip Belanda menyebut Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859. Menurut Hardjo Kardi - pemuka masyarakat Samin di Dusun Jepang - nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar, anak Raden Surowijoyo. Gelar Raden di depan nama memastikan Samin adalah keturunan ningrat. "Tapi kami belum tahu asal-usulnya lebih lanjut," kata Hardjo, dalam bahasa Jawa halus.

Ada yang menyebut, Raden Kohar keturunan Pangeran Kusumaningayu, konon, salah seorang bupati Sumoroto dulu. Persoalan mengapa keluarga bangsawan itu lantas memencilkan diri dari lingkungan lazimnya, dan bergabung di tengah kemiskinan masyarakat umum di seputar hutan jati, hingga kini belum bisa diungkapkan.

Pada usia 30 tahun, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajaran saminismenya. Konon, ia melakukan itu setelah berulang kali bertapa di berbagai gua dan menemukan kitab Kalimosodo. Nama "Kalimosodo" memang dikeramatkan oleh banyak orang Jawa, dan dalam kisah pewayangan itulah nama ajian milik Pandawa. Sementara itu, ada yang menafsirkan dari sudut Islam, "Kalimosodo" berasal dari kata kalimat syahadat.

Dari Randublatung, ajaran Samin berkembang ke berbagai daerah. Di desa-desa Bapangan, Mendenrejo--Medan, Klopoduwur--Banjarrejo, Tanduran Kedung Tuban, Jejeruk-Blora dan banyak desa lain penganut saminisme tumbuh berkembang.

Ketertarikan orang-orang untuk mendengarkan fatwa Samin Surosentiko, semula tak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah kolonial. Gerakan tersebut memang tampak tak berbeda dengan berkembangnya ajaran kebatinan lainnya. Tapi, pada 1905 keadaan berubah. "Para pengikut Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum desanya, menolak memberikan sumbangan kepada lumbung desa," tulis P. Widiyanto, yang pernah melakukan riset, dan menuliskannya di majalah Prisma, Agustus 1983.

Status pajak, bagi orang Samin, lalu berubah bentuk dari kewajiban menjadi sukarela. Sedang Samin Surosentiko malah berhenti membayar pajak sama sekali. Konflik orang Samin dengan Belanda mulai pecah. Samin Surosentiko ditangkap, pada 1907. Ia dituduh hendak memberontak,. "Mbah Surosentiko diselong," kata Hardjo Kardi. Maksudnya, dibuang keluar Jawa (selongberasal dari kata Sailan, salah satu tempat pembuangan di masa Hindia Belanda).

Tujuh tahun kemudian, Samin Surosentiko meninggal di Sawahlunto. Upaya mengucilkan Surosentiko, ternyata, tak menyebabkan saminisme susut. Justru, sebaliknya, saminisme malah berkobar, di Kabupaten Pati, Rembang, Bojonegoro, Ngawi, dan terutama di Kabupaten Blora. Ini menjadikan masyarakat penganutnya kian eksklusif. Mereka membangkang terhadap aturan Belanda - suatu perlawanan tanpa senjata.

Ketidakmauan membayar pajak dan mengibarkan bendera, ditambah kebanggaan menonjolkan ciri kesaminan (berbaju hitam dengan kumis melintang), menyebar di berbagai kalangan orang Samin. Ketidakpatuhan pada aparat desa di masa lalu itu, oleh Hardjo Kardi, disebut sebagai upaya melawan Belanda. "Tapi kita 'kan kalah kekuatan. Mereka memang geram kepada Belanda, kepada petugas kehutanan yang digaji Belanda untuk menguasai hutan-hutan jati, juga kepada londo ireng (Belanda Hitam). Yang tersebut belakangan itu adalah orang-orang pribumi yang menjadi aparat desa, jadi kaki tangan Belanda.

Menurut cerita orang-orang tua, kerja londo ireng hanya merampas harta penduduk: padi, sapi, kayu, bahkan rumah. Mengapa mereka tak mengadakan perlawanan? Orang Samin berpikir realistis: tidak mungkin. Sikap terbaik saat itu adalah diam. Namun, beberapa nama tidak bisa diam untuk tidak menyebarkan ajaran Samin yang memusuhi penguasa waktu itu. Nama-nama seperti Wongsorejo, Engkrek, Surokidin, atau Karsijah beserta para pengikut lainnya, adalah nama-nama langganan yang dicurigai Belanda. Beberapa di antaranya lantas di-selong pula.

Yang kemudian tak jelas adalah mengapa masyarakat Samin yang semula digambarkan banyak penulis berkesan heroik, gagah, dan membanggakan tersebut lantas berkonotasi lucu, mbodoni (bodoh atau berlagak bodoh), dan malas. Keeksklusifannya - mereka relatif terpencil dan terisolasi dari masyarakat lainnya - mungkin yang menyebabkannya.

Bentuk perlawanan tanpa senjata yang dilakukan orang Samin terkadang memang menggelikan, tapi tak jarang mengundang kekaguman dan rasa hormat. Misalnya ini: Alkisah, seorang Samin - petani, tentu - didatangi petugas desa untuk memungut pajak. Si Samin, sesuai dengan keyakinannya, merasa tidak perlu membayar pajak pada desa yang merupakan perpanjangan tangan Belanda.

Maka, ia pun bertanya, "Pajak apa yang harus saya bayar?" Pemungut pajak menjawab, "Pajak untuk sewa tanah yang kaugarap itu." Tanpa banyak berkata lagi, petani tadi segera menggali tanah, lalu memasukkan uang ke lubang, dan menutupinya dengan tanah lagi. Ketika ditanya mengapa mengubur uang, ia menjawab bahwa dirinya baru membayar sewa tanah yang dipakainya. "Tanah 'kan milik bumi, jadi saya harus membayar sewa tanah ini pada bumi," ujarnya tenang.

Dengan cara itu - tanpa mengadakan perlawanan secara fisik dan pernyataan menentang - petani tersebut bisa memperlihatkan sikapnya bahwa ia memang tak mau membayar pajak. Cara lain yang lebih nyamin untuk menolak pajak ditunjukkan oleh Mbah Leles - yang umurnya "kalau tujuh puluh tahun saja, ya, lebih" - di Desa Jejeruk, Blora. "Wong, kok, dijaluki pajeg. Kowe rak nduwe jejeg, aku nduwe jejeg, lan kabeh wong yo nduwe jejeg dewe-dewe. Yo, ora oleh yen jejegku mbok jaluk. (Orang kok dimintai pajak. Kamu 'kan punya tegak, aku punya tegak dan semua orang punya tegak. Ya, tidak boleh kalau tegakku kamu minta).

Retorika yang menyandarkan pada kesamaan bunyi kata, pajeg yang berarti pajak dengan kata jejegyang berarti tegak, mestinya disengaja, untuk memutarbalikkan logika, mencari alasan yang kedengarannya logis. Menghadapi kata-kata yang maknanya tak jelas benar, si pemungut pajak biasanya lalu pergi, daripada berdebat dengan bingung.
* * *

Keterpencilan, sikap hidup yang eksklusif, dan gesekan terus-menerus dengan pemerintah kolonial menjadikan saminisme - bila boleh dikatakan demikian - kian menggumpal dan mengeras. Mereka, masa itu, makin berbeda dengan masyarakat sekitarnya. Menjodohkan anak di masa lalu tak perlu dibawa ke hadapan naib atau dicatatkan pada pemerintah. Bila laki-laki dan perempuan telah sama-sama suka, mereka boleh mengadakan hubungan seks. Setelah itu, si lelaki baru mengatakan kepada orangtuanya bahwa ia siap kawin.

Cara mengawinkannya cukup hanya mengantarkan mempelai ke rumah tokoh panutan orang Samin setempat, atau ke kepala desa. Pihak laki-laki membawa pisang setangkep (dua sisir), pinang sirih, dan kelapa. Bila kepala desa marah lantaran melihat pengantin perempuan telah hamil, mereka tidak ambil peduli dengan kemarahan itu. Apa pun tanggapan lurah, atau tokoh masyarakat setempat, bila "upacara menghadap" ini sudah dijalankan, perkawinan dianggap sah. Dan itu berarti mereka bisa mengadakan pesta adang akeh (menanak nasi banyak-banyak), mengumpulkan sanak saudara.

Kebersamaan orang Samin pun bisa mengherankan masyarakat sekitarnya, karena sikap tersebut ditafsirkan begitu jauh. Di Desa Klopoduwur, misalnya, Bandelan Amaruddin - koresponden TEMPO di Kudus - memperoleh cerita lama tentang tradisi pinjam istri. Sebelum tahun 1950-an, adalah biasa seorang Samin "meminjam" istri sesama Samin.

Adat tak tertulis membolehkan orang lain mendatangi seorang istri, bila suaminya lagi pergi. Selama lelaki yang datang itu menancapkan sepotong anak bambu di depan rumah tempat kencannya, suami wanita tersebut akan membiarkan saja istrinya "dipinjam". Hingga tahun 1960-an ciri-ciri kesaminan masih terasa kental. Susanto Pudjomartono (sekarang wartawan TEMPO) pada tahun-tahun itu pernah mengadakan survei di kalangan orang Samin di daerah Pati.

Ia menuturkan, kadar kebersamaan orang Samin masih tinggi. "Mereka bisa dikatakan tak mengenal pemilikan pribadi," tuturnya. Bila salah seorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar padahal ia tak punya apa pun, tanpa ragu ia bisa pergi ke rumah tetangganya dan berkata, "Sedulur, aku melu nganggo klambimu (Saudara, aku ikut memakai bajumu)", atau bahkan "Aku melu nganggo dluwang itunganmu (aku ikut memakai uangmu)". Bila tetangganya memang mempunyai barang yang hendak dipakainya itu, tanpa keberatan sama sekali akan meluluskannya. Kalau, suatu waktu, ganti dia yang memerlukannya, ia tidak akan menagih kepada si pemakai yang dulu. Melainkan, dia akan melunganggo milik Samin yang lain.

Tak ada soal utang-piutang di sini: siapa berutang kepada siapa, siapa harus membayar utang kepada siapa. Sikap khas ini - masih cerita Susanto - sering dipakai untuk memlonco para hakim atau jaksa yang baru bertugas di daerah Pati. Bila orang Samin disidangkan di pengadilan - apalagi kalau bukan perkara pencurian kayu jati - hakim yang belum berpengalaman akan kerepotan menghadapi orang Samin. Ketika hakim bertanya, "sopo jenengmu? (siapa namamu?)", mereka pasti menjawab, "lanang" - (laki-laki)". Mereka baru akan mengatakan namanya bila ditanya "Sopo pengaranmu? - (sebutanmu)".

Begitu vonis dijatuhkan, mereka pun akan protes keras bila dinyatakan bersalah mencuri kayu jati, dan dihukum tujuh hari, misalnya. Sebab, menurut mereka, hutan jati milik bersama, dan karenanya kayunya boleh dinikmati siapa pun yang memerlukan. Mengambil kayu jati yang dikuasai Perhutani bukan mencuri. Tetapi mereka akan dengan rela tinggal di penjara sepanjang waktu yang dinyatakan vonis, bila disebut bahwa dirinya di penjara itu diundang bergotong royong.

Di masa lalu, bahasa orang Samin pun khas. Tulisan disebut rengkong - merupakan akronim dari ireng bengkong (hitam bengkok). Menulis diistilahkan nggambar rengkong. Sedangkan nulis itu sendiri dalam bahasa Samin bisa berarti bersanggama. Untuk menyebut uang, mereka memakai istilah itung-itungan,. "Saya sudah tidak tahu lagi bahasa khas leluhur. Waktu Kakek masih hidup pun, sulit memahami ucapannya," kata Setu, 45 tahun, sopir Colt asal Mendenrejo.
* * *

Sebutan Samin oleh orang luar besar kemungkinan diambil dari nama Samin Surosentiko (atau Surontiko), perumus ajaran itu. Mereka sendiri tak pernah menyebut diri dan kelompoknya sebagai orang Samin. "Yang membedakan 'kan Anda sendiri," kata Hardjo Kardi, setengah ketus, ketika seorang wartawan tanpa basa-basi bertanya ada berapa orang Samin di desanya.

Untuk menyatakan dirinya, mereka lebih senang menyebut sebagai orang sikep sebagian ahli mengartikan kata itu sebagai orang-orang yang bersikap, menurut yang lain sikep berarti sanggama. Toh, umumnya mereka tak menolak disebut sebagai orang Samin - memang, bagaimana mencegah orangorang menyebut mereka demikian? Dan entah karena sulit menolak itu, lalu muncul semacam pengrasionalisasian: "Samin 'kan berarti sami-sami", lalu adayang menambahkan, "sami-sami amin". Rasa sami-sami, sama-sama atau kebersamaan, memang merupakan ajaran terpokok yang dianut orang Samin.

"Kabeh wong iku sedulur," - (semua orang adalah saudara) - ujar Hardjo Kardi. Karena konsep bersaudara itulah lantas keterbukaan, tradisi saling pinjam dan saling memakai barang - yang di masa lalu, seperti sudah diceritakan, termasuk pinjam istri - berkembang. Rasa bersama ini pula mendorong kebiasaan gotong royong dan saling bantu yang jauh lebih kuat dibandingkan masyarakat desa sekitarnya. Malah, untuk pembicaraan antara mereka - dan di masa lalu juga terhadap orang luar - hanya dipergunakan bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa kasar, tanpa mau menggunakan kromo inggil, bahasa jawa halus, yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi.

Misalnya antara anak muda dan orang tua, atau buruh dan majikannya. Mungkin karena hal itu pula, Samin Surosentiko tidak mau menggunakan gelar kebangsawanannya: Raden Kohar. Ia membuang gelarnya, bahkan mengganti namanya dengan nama yang lazim di masyarakat tersebut. Dan cara memanggil orang lain juga mencerminkan kebersamaan itu. Untuk orang yang usianya kira-kira sebaya, mereka lebih suka memanggil dengan sedulur (berarti saudara), daripada menyebut nama yang bersangkutan.

Rasa sederajat, rasa bersaudara, dan nilai-nilai saminisme lain agaknya, memang lebih berakar pada nilai yang diyakini Samin Surosentiko seorang, daripada hasil pemikiran bersama sejumlah masyarakat. Sejak malam Kamis Legi, 7 Februari 1889 - yang tercatat dan dituliskan kembali oleh R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo pada majalah Optimis Agustus 1983 Samin Surontiko aktif berceramah di berbagai lapangan desa.

Pada 1901, misalnya, pada malam Senin Pahing 11 Juli, ia berdiri di tengah massa di lapangan penggembalaan Desa Kasiman diterangi nyala ratusan obor. Ia berbicara tentang ketenangan diri: perlunya mengendalikan diri, perlunya menjenguk batin, hingga perlunya ketenangan menghadapi setiap cobaan yang diterima makhluk dari Khaliknya.

Ki Samin pula yang menyebarkan nilai-nilai Jawa pada masyarakat pedesaan Blora. Yakni, pada nilai yang mengagungkan Pandawa dan malah menganggap mereka keturunan tokoh-tokoh wayang yang aslinya dari India itu. Ki Samin sangat mengagumi Puntadewa, si sulung Pandawa, yang dikenal paling jujur dalam dunia pewayangan, sebagai idolanya.

Ia pun membanggakan kebesaran Majapahit, dan pada nilai yang mendekati konsep wihdatul wujud - yang orang Jawa menyebutkannya dengan manunggalingkawulo-gusti (menyatunya di ri makhluk dengan Tuhan). Ini bisa dibilang sinkretisme antara ajaran Islam, Hindu, Budha, dan animisme. Itulah nilai yang diwariskan pada orang Samin sekarang.

Menurut Suryanto Sastroatmodjo, penulis itu, sebenarnya Ki Samin meninggalkan beberapa ajaran tertulis, meski dalam jumlah sangat sedikit. Namun, sebagian besar masyarakat Samin meyakini tak ada ajaran tertulis yang ditinggalkan Embah Surontiko. Hardjo Kardi, yang kini merasa sebagai satu-satunya pewaris utama nilai-nilai kesaminan, pun tidak tahu itu. Padahal, ia adalah anak Surokamidin, sesepuh masyarakat Samin di Dusun Jepang.

Konon, Surokamidin-lah pewaris dan satu-satunya orang yang paling lengkap menerima ajaran dari Surokidin, lantaran ia bertahun-tahun ikut keluarga Surokidin. Sedangkan Surokidin adalah murid, dan sekaligus menantu, Surosentiko. Kini, yang masih bisa digali dari Hardjo Kardi adalah nilai nilai universal, yang juga merupakan ajaran semua agama. Misalnya saja, agar setiap manusia selalu lung-tinulung, tolong-menolong, kapan pun, di mana pun, tanpa diminta, tanpa membedakan status sosial ataupun usia.

Dalam masyarakat juga harus tertanam rasa gilir-gumanti. Yakni, bila kali ini kita dibantu orang lain, maka ketika orang lain perlu, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan pun kita wajib ganti membantu. Sesungguhnya, saminisme - di luar keanehan dan kelucuannya - tak beda dengan nilai-nilai Jawa pada umumnya. "Ojo drengki, srei, dahwen, kemeren, riyo marang sapodo-podo dan kudu roso tunggal." Hendaklah tanpa hati dengki - begitu artinya jangan pula iri. Namun, harus membangun kebersamaan antar manusia.

Selain ini, Hardjo Kardi - yang selalu tegak bila duduk dan menatap lawan bicaranya - masih lancarmemberiberbagai fatwa lain. "Kalau kita baik, akan banyak kawan, dan kalau kita nakal, akan banyak musuh." Yang sangat prinsip dari ajaran saminisme adalah menjaga bicara. "Rembuge sing ngati-ati (berhati-hatilah bila bicara)." Ketidakhati-hatian menjaga ucapan disebutnya bisa membawa ke permusuhan. Hendaklah berkata terus terang, apa adanya dan jujur. Jangan hendaknya bicara dipakai untuk menyakiti hati orang. Ketidakmampuan menjaga ucapan bisa menyebabkan seseorang dianggap tidak mampu menjalankan 'lelakone embah'.

Penempatan posisi bicara, atau lisan, yang tinggi dalam hidup orang Samin, menjadikan satu warna tersendiri. Mereka lalu tidak membutuhkan basa-basi. Sedangkan untuk menilai keinginan orang lain, tak seperti orang-orang Jawa pada umumnya, orang Samin lebih mendasarkan pada ucapan formal. Bukan pada apa-apa yang tersirat. Karena itulah maka seorang kawan bilang bila Mushashi si jawara Jepang itu memilih "jalan pedang" sebagai falsafah hidupnya, maka orang-orang Samin memilih "jalan mulut".

Kebersamaan di masyarakat Samin tumbuh sangat kuat. Tidak boleh seseorang mengambil untung dari kerugian orang lain. Pantang mereka memperdaya diri sendiri dengan cara menindas orang lain. Mencuri, sudah pasti, tak akan pernah dilakukannya. Menemukan barang orang yang tak diketahui pemiliknya, mereka juga tidak akan menghakinya.

Mbah Djojo, yang selalu mengenakan ikat kepala, selalu ingat salah satu petuah Mbah Surokamidin almarhum. "Yen kulak barang seripis, dolen saksuku. Kalau membeli barang seharga serupiah, juallah setengah rupiah." Untuk bisa menjalani ajaran samin - yang sebenarnya juga merupakan nilai universal itu - kata Hardjo Kardi, tak mudah.

Setiap orang baru bisa menjaga dirinya sendiri dari berbagai ketidakbenaran, bila mampu mengendalikan delapan unsur bersaudara yang ada dalam dirinya. Yakni empat unsur yang dilambangkan dengan warna. Merah mewakili nafsu putih lambang sifat dasar kuning adalah unsur pengatur kelakuan serta hitam yang mewakili sifat senang. Ditambah empat lainnya yang merupakan indria. Yakni paningal, panggondo, pangroso dan pangrungon, - penglihatan, penciuman, perasa, dan pendengaran.

Secara menyeluruh nilai-nilai Samin dinyatakan sebagai ajaran agama. Yakni Agomo Adam, yang memiliki berbagai macam arti yang simpang siur dan sulit dipahami degan logika yang lazim. Terkadang Agomo Adam diartikan sebagai sesuatu yang permulaan, kadang sebagai sikap lisan. Istilah Nabi Adam dan Wali Adam oleh orang-orang Samin dipisahkan pula, untuk menyebut perbedaan jenis kelamin.

Lalu tentang surga dan neraka? Mereka - yang masih mendekap erat paham kesaminan - akan cenderung menggeleng, tersenyum lalu berkata perlahan, "Kalau kau mengatakan surga itu ada,... ya benar surga itu ada. Di lisanmu itu. Kalau kau mengatakan tidak, ya tidak ada." Karenanya, orang seperti Hardjo Kardi akan tegas berkata bahwa hidup akan berakhir pada saat mati. "Sudah bebas," katanya, yakin.

Keharusan agar manusia berbuat baik di dunia ini, baginya, ya hanya untuk kebaikan manusia pada saat hidup. Bukan untuk akhirat. Namun, paham hidup akan berakhir pada saat mati ini pun tak disetujui oleh beberapa orang Samin lainnya. Mbah Leles, warga Desa Jejeruk, Blora, yang selalu riang dan memiara kumis panjang terpelintir, ternyata, meyakini adanya inkarnasi. Kalau hidup seseorang baik, maka nyawanya kelak akan berada pada jasad manusia yang lebih baik. Kalau buruk, bukan tidak mungkin akan menjadi babi atau anjing.
* * *

Tapi waktu berjalan, detik berlalu. Samin sudah berubah, dan akan terus berubah. Sudah tak ada lagi yang dengan gagahnya berpidato di tengah lapang pada malam hari macam Ki Surosentiko. Tak ada pula yang dengan ikhlas dan bangga menembus dingin malam berbekal obor, terdorong mendengarkan petuah-petuah kesaminan. Sudah tak ada lagi tokoh yang bisa mengajarkan saminisme. Bila ada, ajarannya pun tak lagi komplet. Bisa dibilang, masyarakat Samin sudah kepaten obor, - putus hubungan dengan nenek moyangnya - kecuali di Dusun Jepang dengan Hardjo Kardi-nya.

Dan semua ini tak mereka sesali. "Zaman sudah berubah, Belanda sudah pergi," kata Hardjo Kardi. Masa sekarang adalah jalan yang oleh orang-orang Samin dulu memang diharapkan datangnya. Zaman yang dulu mereka sebut tinggi jowo tunggu rakyat. Masa negara berpemerintahan sendiri, zaman merdeka . Suatu masa pembangkangan membayar pajak dan ketidaksediaan mengibarkan bendera, menurut Hardjo Kardi, harus diakhiri. Beberapa pergeseran terjadi, bukan hanya menyangkut ada atau tiada reinkarnasi setelah mati.

Cara pengajaran nilai kesaminan pun berubah. Surosentiko dengan aktif mengumpulkan massa agar dia bisa berbicara, tapi Surokamidin hanya memberi petuah kepada orang yang datang kepadanya. Dan Hardjo Kardi baru berbicara tentang ajaran samin bila ditanya hal itu. Mengapa tak khusus mengumpulkan orang untuk bisa diceramahi? "Itu 'kan sama saja membikin gerombolan," ujar Hardjo Kardi.

Dulu orang-orang Samin berupaya agar nilai kesaminan bisa didengar sebanyak mungkin orang, tapi kini setelah merdeka - saminisme hanya untuk diketahui dan dijalankan oleh mereka yang mau dan suka saja. Pemahaman akan perlunya tirakat dan kesaktian pun telah berubah. Ki Surasentiko gemar bertapa berhari-hari, sedangkan orang-orang Samin di Dusun Jepang akan memilih untuk berkata, "Kami ini orang tani. Bila berpuasa, tentu kami tak kuat mencangkul." Bila orang-orang Samin dulu banyak yang mengagungkan kedigdayaan, kesaktian, kini mereka pun merasa tak perlu.

Pak Bangrek di Klopoduwur, misalnya. Di masa belum merdeka, dia ditokohkan karena kesaktiannya, di antaranya ia bisa terbang. "Saya pernah diajak terbang di atas daerah Jepon dengan mata tertutup," kata Reso, yang mengaku berumur 90 tahun. Bagi orang Samin di Dusun Jepang - terutama bagi Hardjo Kardi - kehebatan macam itu tidak perlu lagi.

Kesaktian, kedigdayaan, ketidakmempanan kulit oleh senjata dinilai hanya akan membuat diri sendiri cenderung takabur dan pamer pada orang lain. Pendapat ini tentu tidak disepakati oleh orang-orang Samin di daerah Blora, yang umumnya masih tertarik pada ilmu kanuragan, dan masih biasa menjalankan puasa mutih atau puasa Seloso Kliwon.

Terlepas dari perbedaan pendapat antara orang Samin itu, warna-warna setempat memang belum hilang. Setelah merdeka pun gesekan orang Samin dan dunia luarnya masih terjadi. Hingga tahun 1950-an masih banyak orang Samin yang menolak membayar pajak. Hal ini memaksa para aparat desa berpikir keras mengatasinya tanpa konflik.

Di Desa Baturejo, Sukolilo, Kabupaten Pati, misalnya. Menurut penelitian Masato Fukushima dari Departemen Antropologi Universitas Tokyo, pada tahun 1983-1985, di desa itu Lurah Patmolujeng berhasil menanamkan rasa jowo podo jowo sedulur untuk merangkul orang Samin setempat. Sedang untuk menarik pajak, mereka menggunakan istilah njaluk sokongan (minta sumbangan), yang ternyata bisa diterima oleh orang Samin.

Di Desa Jejeruk -- Blora, cara yang sama juga ditempuh Lurah Salam. "Kalau kita mengatakan menagih pajak, mereka akan menolak. Tapi kalau kita mengatakan njaluk sokongan, mereka akan memberi," tutur Salam. Walau, pemberian itu biasanya sedikit, dan orang Samin tersebut umumnya mengiringi pemberian itu dengan ucapan, "Karena kamu minta, ya saya beri, tapi jumlahnya ya seikhlas saya."

Tentu, besar "sokongan" itu masih di bawah nilai pajak yang harus mereka bayar. Karena itu, Pak Salam dua-tiga hari berikutnya akan datang lagi njaluk sokongan lagi. Demikian berulang-ulang hingga jumlahnya terpenuhi. Di Dusun Jepang, Hardjo Kardi juga pernah menggunakan retorika gaya Samin untuk mempertahankan diri.

Dulu, ia dituduh mencuri kayu jati yang kemudian dipakainya untuk membangun rumah. Ketika petugas hendak menyita rumah itu, Hardjo Kardi mengatakan: boleh saja, asal petugas itu juga mau memberikan rumah itu kepada Hardjo Kardi. Sewaktu petugas mengatakan bahwa rumah itu harus dirobohkan, dan hal tersebut adalah tugas negara, dia pun menjawab, "Kalau memang ada tugas negara untuk merobohkan rumah, saya dan orang-orang sedesa akan membantunya. Tapi syaratnya, semua rumah harus roboh, termasuk rumah Presiden." Maka, pulanglah petugas itu dengan sia-sia.

Surokamidin di tahun 1964 malah pernah melangkah lebih jauh. Ketika lima orang warga desanya ditahan polisi lantaran - lagi-lagi - soal kayu jati, ia dengan bersarung, berjas hitam, mengenakan ikat kepala dan membiarkan kumisnya memanjang terpilin datang ke kantor polisi. Dimintanya lima orang tadi - yang disebutnya tidak bersalah - untuk dibebaskan. Polisi menolak. Merasa diabaikan, Surokamidin lalu berangkat ke Jakarta menghadap Presiden Soekarno, sekadar untuk bertanya: salah atau benar lima orang tadi.

Bung Karno menerima Surokamidin selama seminggu dan, konon, menjawab dengan kata "benar". Legalah Surokamidin, dan ia pun lalu pulang dengan membawa puluhan gambar Bung Karno (juga gambar banteng) yang kemudian disebarkannya di rumah-rumah penduduk Jepang. Sayangnya, ciri saminisme masih juga punya konotasi dengan keterbelakangan, dengan kemiskinan.

Penelitian Masato juga mengungkapkan itu. Misalnya yang menyangkut pandangan mereka tentang sekolah. Banyak di antara saudara kita Samin itu yang menolak menyekolahkan anaknya. Dan ini bukan karena mereka punya pandangan sendiri terhadap sekolah. Tapi, "Sekolahe wong sikep kuwi gebyah macul thok. " Sekolah buat orang Samin itu, ya, hanya mencangkul.

Masih menurut Masato, orang-orang Samin yang dianggap telah berpikiran maju oleh masyarakat luar Samin oleh kerabatnya sendiri sering dituding sebagai penipu pintar. Alasannya, mereka berbicara sudah tidak sesuai dengan cara orang Samin, dan mau diperintah oleh aparat pemerintahan.

Beberapa ciri saminisme yang menurut penilaian umum positif juga masih terasa hidup di daerah perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah. Semangat gotong royong, kejujuran, dan keterusterangan, misalnya. Hingga kini untuk mengerjakan sawah, mereka masih memakai sistem sambatan. Hari ini mereka bergotong royong bekerja di sawah si Suro, besok di sawah Merto, dan berikutnya giliran sawah Kirjo. Si pemilik sawah tak perlu mengupah mereka. Cukup dengan menyediakan makan - tradisi yang makin sulit ditemui di pedesaan lain.

Di kalangan anak-anak Samin yang bersekolah, sikap polos dan berterus terang juga terwarisi. Bila ada kegiatan di rumah atau di sawah, mereka akan meninggalkan sekolah, seperti juga terjadi di banyak desa lainnya. Bedanya, anak-anak keluarga Samin tidak membolos atau minta izin. Mereka akan berterus terang kepada guru bahwa hari itu bukan giliran sekolah, tapi giliran ke sawah.

Adapun ihwal perubahan dalam masyarakat Samin, bisa diceritakan oleh Sugito, purnawirawan peltu di Purwosari, Kudus. Di sekitar tahun 1948, tutur Sugito, yang bukan warga Samin ini, satu peleton pasukan kebanyakan bekas anggota Laskar Hisbullah - diterjunkan di berbagai daerah orang Samin. "Untuk mengenal peradaban dan agama mereka," tutur Sugito.

Peleton yang diberi nama PPP (Pasukan Pembina Pimpinan Samin) itu mendapat kuliah tentang budaya orang Samin di Purwokerto, selama tiga bulan. Lalu PPP diterjunkan untuk tinggal selama setahun di rumah-rumah tokoh Samin. Hasilnya memang terasa. Tradisi pinjam istri lantas hilang. Klopoduwur, yang semula dianggap sebagai pusat kesaminan dan tampak terbelakang, makin tak berbeda dengan desa-desa sekitarnya.

Kalau ditanya di mana ada orang Samin, kini mereka akan menggeleng. Sedang bila ditanyakan di mana tempat bekas orang Samin, mereka pasti hanya menunjuk Dukuh Karangpace yang relatif miskin dan berada di sebalik hutan jati. Karena upaya itu pula, Agama Adam makin menipis pengikutnya. Kini, hampir seluruhnya - terutama setelah tahun 1965 - mereka meyakini Islam atau Budha sebagai agamanya.

Anak-anak mengaji di masjid, sudah bukan pemandangan yang asing. Di Jepang, pedukuhan yang kini paling kental nilai saminismenya, sebuah langgar telah berdiri. Dan seorang warga desa setempat melanjutkan studinya di Pesantren Pabelan. Dialah warga setempat yang berpendidikan tertinggi. Semangat bersekolah - walaupun di sana-sini masih terhambat oleh sikap mereka yang tua telah berkembang pula.

Di Dusun Jepang, pada 1970 sebuah SD didirikan, kendati hingga kini belum ada satu pun lulusannya yang melanjutkan ke sekolah menengah. Dari Desa Klopoduwur, setidaknya sudah dilahirkan 11 sarjana muda dan 48 lulusan SMA. Sebagian di antaranya dari keluarga Samin. Rumah-rumah makin jarang yang beratapkan ilalang atau ijuk. Sepeda dan sepeda motor, juga satu-dua mobil Colt atau truk, bukan cuma lewat desa Samin - tapi beberapa di antaranya sudah milik keluarga setempat.

Dan anak-cucu Surontiko ini pun ternyata mempan pula oleh acara radio dan televisi yang mulai banyak pada 1980-an. Mereka berubah: bila malam tiba, di pedukuhan Jepang umpamanya, anak-anak dan orang tua akan berkumpul di depan pesawat TV di serambi rumah Hardjo. Kebiasaan dan tradisi pun bergeser. Memanjangkan kumis dan memilinnya, serta bersarung, tidak lagi merupakan sikap yang harus dipertahankan.

Sewaktu muda, Hardjo Kardi pernah mencoba mendobrak tradisi tersebut. Bila ia hendak pergi ke kota, dari rumah ia bersarung. Setiba di hutan yang membatasi desanya dengan jalan raya, ia lalu mengganti sarung itu dengan celana. Nanti, bila pulang ia akan bersarung lagi. Suatu perbuatan yang pasti tak akan dilakukan oleh orang Samin generasi sebelumnya.

Tapi setelah ayahnya, Surokamidin, meninggal tahun lalu, ia justru mengenakan sarung bila menghadiri acara resmi atau harus pergi ke luar desa. Mengapa? "Saya bersarung karena harus bergaul dengan orang-orang tani dan desa. Agar mereka tidak merasa asing dengan kehadiran saya," katanya jelas. Kebiasaan untuk berlagak bodoh, melucu ala Samin, kian jarang terdengar. Bahkan di kalangan warga Samin sendiri sudah banyak yang mengkritik kebiasaan yang disebut nyamin sangkak, yang mereka anggap memperburuk citra Samin.

"Hal seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran embah," kata orang-orang di Jepang sekarang. Pola kerja sama antara mereka sudah kemasukan "hitung dagang". Apalagi bila menyangkut soal uang, yang di masa lalu boleh dipakai siapa pun yang memerlukan tanpa ada kewajiban membayar kembali.

Di Menden misalnya. Mbah Mono, 95 tahun, berinisiatif mengaliri tanah-tanah kering di desanya dijadikan sawah . Ia beli pompa air untuk mengangkat air dari Bengawan Solo. Dan mereka yang kebagian air harus menyerahkan seperempat hasil sawahnya kepada si Embah, sebagai pengganti biaya operasi pompa. Tak apa memang, lantaran ini adalah kesepakatan.

Dulu, sulit dibayangkan hal "balas jasa" seperti ini. Di Jepang terjadi pula hal serupa. Hardjo Kardi membeli mesin diesel, dengan harapan rumah-rumah di Dusun Jepang berlistrik. Setelah terbeli, ia memasang jaringan kabel dari rumah ke rumah, dan memberi satu bohlam di setiap rumah warganya. Tidak gratis, tentu saja ia memungut Rp 1.000 dari setiap keluarga setiap bulan. "Untuk iuran membeli solar," ujarnya. Namun, tak lama kemudian, usaha itu dihentikannya. "Tak ada yang mau membayar, saya tekor." Nah, Anda mendengar sendiri, bukan, di sana kini pun ada tekor?

Entah karena sisa-sisa ajaran kebersamaan masih belum lenyap benar, koperasi dalam masyarakat Samin tumbuh dengan baik. "Koperasi itu baik, karena untungnya juga milik bersama." Adanya perubahan juga memudahkan para aparat pemerintah. H. Noerhadi Karyodihardjo, Kepala Desa Klopoduwur, menyebut bahwa kepatuhan orang-orang "bekas Samin" (istilah yang dipakainya) pada pemerintah sangat baik. "Bahkan lebih baik daripada kepatuhan masyarakat umum."

Emmy, petugas KB di Kecamatan Ngraho yang sudah sejak 1977 membina masyarakat Samin, juga berpendapat begitu. Walaupun sebelumnya ia sempat merasakan keruwetan-keruwetan lantaran sikap nyamin. Umpamanya, beberapa hari setelah ia membagikan pil KB dan menjelaskan cara penggunaannya, ia datang lagi ke rumah-rumah orang Samin.

Ditanyakannya kepada mereka apakah pil KB yang dibagikannya dulu sudah diminum secara teratur. Tanpa menjawab, yang ditanya ganti bertanya, "Sebentar, Bu, apakah sudah sah dan ikhlas waktu Ibu memberi pil, dulu?" Dijawab Emmy "ikhlas". Mereka lalu berkata, "Kalau memberinya sudah ikhlas, ya sudah, tidak usah ditanya-tanyakan lagi pil itu."

Lalu beberapa tahun kemudian, mereka tergolong mematuhi KB denan polos. Soal kepatuhan yang polos pun terasa dalam pemilu yang baru lewat. Para pemilih di Dukuh Jepang semuanya memilih Golkar - beberapa kertas suara kosong, diduga lantaran yang harus bersuara tak mengerti caranya - tanpa menyisakan suara buat PPP atau PDI .

Mengapa Golkar? "Sekarang zamannya Golkar, jadi baiknya kita memilih Golkar. Kalau dulu kata Bapak-bapak, yang baik gambar banteng. Dulu kita memilih banteng," jawab beberapa di antara mereka. Tentang keadaan Indonesia saat ini, orang-orang Samin yang telah tua mempunyai pendapat tersendiri. Wejangan embah dulu, kata mereka, menyebut bahwa suatu saat kelak akan tiba zaman adil makmur. Pada masa ini, "Makmurnya sudah datang, tinggal adilya yang belum."

Kelak, masa adil akan ditandai dengan kerataan di berbagai bidang. "Orang yang baik akan menerima nikmatnya, orang yang jahat pun akan menerima nikmat pula. Namun, bentuk nikmatnya berbeda." Orang-orang Samin semakin banyak yang malu menyebut kesaminannya. Ciri kesaminan semakin pudar.

Seperti juga pada banyak pergeseran tata nilai dan budaya masyarakat lainnya, mengaburnya wajah Samin boleh jadi telah mengundang silang pendapat. Akan selalu ada orang yang tidak rela bila nilai dan budaya suatu masyarakat tertentu pudar, dan menganggap pengaruh luar adalah racun yang ganas. Tetapi selalu hadir pula orang yang tidak tega melihat sekelompok masyarakat dibiarkan menjadi museum hidup, dikaji dan ditonton bagaikan di akuarium.

Apa pun silang pendapat masyarakat luar, orang Samin telah membiarkan diri mengalami proses wajar. Berubah. Mereka - seperti banyak kelompok eksklusif umumnya - dalam proses berbaur dan bermuara pada budaya yang lebih besar. Dalam hal ini Jawa. Sebelum kemudian, bersama-sama bergabung membentuk budaya Indonesia.

Ketika anak-anak yang lahir pada periode 1980-an menjadi dewasa, pupuslah sudah jerih payah Ki Samin Surosentiko di malam-malam gelap di lapangan-lapangan Bapangan, Kasiman, dan beberapa desa lainnya. Kecuali, mungkin, sumbangannya dalam menentang penjajahan yang tercatat sebagai sejarah.

Dan mudah-mudahan, nilai-nilai universal yang ikut ditegakkannya, seperti keterusterangan, kejujuran, solidaritas, dan kemerdekaan diri, tak menjadi luntur dengan berlalunya waktu. Hanya saja, kalau kita bertanya kepada anak-anak di abad depan tentang masyarakat Samin, barangkali mereka akan berkata begini, "O .... itu orang-orang yang lebih lucu dibandingkan cerita Asterix atau Lucky Luke."

23 Mei 1987

Kamis, 28 Oktober 2010

Pengantar PuJa: Wanita Yang Kencing Di Semak :)

(Kumpulan Esay & Puisi H.U. Mardiluhung, terbitan PUstaka puJAngga, Cetakan ke II, 2006)
Nurel Javissyarqi *
http://www.sastra-indonesia.com/

Ketika realitas masuk dalam angan ke depan (harapan), lalu terjadilah pergumulan, lantas kabut mitos menyempurnakan gagasan awal, saat bergerak maju terlahirlah puisi. Puisi, salah satu cabang ilmu pengetahuan, sebab ia memiliki logika, meski tersendiri. Ia lebih sempurna daripada ilmu lain, lantaran di kedalamannya bersimpan logika rasa, itulah sebagian jalan terciptanya puisi, meski juga bisa berbalik arah.

Penciptaan puisi dalam masa-masa lembut yang terlahir kadang seolah spontan, tetapi semua berangkat dari angan lalu, panalaran lampau yang kemarin belum menemui juntrung. Ketika pena terangkat, aliran asosiasi pencarian dulu mendapati muara kejelasan, walau awalnya kadang belum menjelaskan keseluruhan. Tapi sedikit-banyak telah mewakili kehadiran gelisah tempo lama. Waktu-waktu lembut termaksudkan ialah masa-masa pelan jalannya menjelajahi pepadang rumput tanpa merusaknya, umpama bayu pelahan mengelus kemungkinan menjadi dekat, dan kita merasai keakraban teramat sangat.

Ketika telah akrab realitas lain (yang tak dalam peredaran nalar umum), kita diajak ke dunia hening, wilayah tanpa batas, yang asalnya dari batas-batas kebebasan manusia. Atau, ternyata kebebasan berekspresi terbentur patokan-patokan nasib, dan penyair membuka kemungkinan bagi penyembuh, namun bukan obat meringankan sakit lantas kambuh oleh kaplet hayalan, tapi jamu terminum sungguh yang di ujungnya tertancap keyakinan. Inilah yang menentukan gerak logika hati menterjemah tanda menjelma pelajaran, demi langkah ke muka lebih gemilang.

Para seniman dianugerahkan jiwa-jiwa berlimpah, cara ekspresikan jiwanya bisa melewati apa saja; cat, kata, pahatan, tarian, &lsb. Para seniman-lah yang ulet lagi tekun mengembangkan jiwa merdeka demi menemukan hari ini untuk temuan di hari selanjutnya. Jiwanya senantiasa dahaga akan masa kelahirannya di setiap pagi pun senja. Para penyair memekarkan jiwa tersebut melewati guratan kata atas mata pena setajam malam, sebening ombak lautan. Hanya berjiwa seni-lah, pemampu mendengar sapaan angin bisikan gerimis, lelambaian perkenalanan dedaunan tepian jalan, juga bebatuan ia telah mengenalnya di atas kelembutan menterjemah bersalam akrab sesama ciptaan Yang Kuasa. Tranformasi dari getaran bahasa alam itulah yang diambil bagi jalan ia tempuh, agar tetap ingat waspada perubahan serta tingkah-pakolahnya.

Malam itu di dermaga kota Gersik, penyair Mardi Luhung, Raudal Tanjung Banua beserta Nur Wahida Idris. Saya di tempat itu juga, mata-mata memandangi kapal-kapal bertengger di pelabuhan lama, tak ada cerecah camar, waktu itu begitu larut memalam, perjalanan masa mengendap di cela-cela perbincangan, dari BBM sampai keringat pekerja kuli, dari puisi hingga posisi kaki, dari bau khas ikan pada amis darah. Seakan angan lama timbul, hantu muncul dari tengah-tengah laut kesadaran, atau bayangan cagak (tiang) lampu dermaga bersandar di dinding layar. Entah suasana tertangkap itu (kelak) puisi…, yang jelas kami teguk penuh akrab, semacam teknik kedekatan asap rokok mengepul, dan sebuah kepastian ternyata kenangan.

Malam berkah, bintang merangkai realitas harum dalam hidung mulut percakapan mengendap, kami saling belajar bagaimana kerja esok hari, ketika langit sudah bukan milik siapa-siapa, atau suatu kali akan menyusurinya kembali, jalan-jalan lalu nampak jauh dan menjelma sejengkal rindu dalam ciuman guyub berpadu, meski kabel-kabel bergelantungan itu diantarkan angin diam dalam kesendirian kamar masing-masing. Pastinya, kata demi kata, kalimah demi makna lain, sewaktu nilai lampau tak lagi mengganggu, kesadaran bertumpu keyakinan sendiri-sendiri, meski entah kapan balik bertemu, tetapi kangen tersimpan sudah, ketika binaran mata meretaskan airmata setia.

Karya-karya Mardi Luhung telah berdiri kokoh sendiri. Saya hanya sekilas menggambarkan kebertemuan itu, menyentuh sentak membangunkan lelapisan kabut tengah malam. Diriku teringat pohon-pohon Jati ditinggal pergi musim hujan, kerontangnya bersimpan ketegasan, ketegaran, seakan tak berharap lahirnya kata “menanti.” Dan pastilah musim berganti busana kesegaran, tak kecuali cita-cita yang selalu diemban para insan; ayunan langkah kaki terkantuk, rupa kapal dirayu ombak terlena tak bertujuan, tapi pagi senantiasa memberi kabar mengembangkan bunga Jati (“Opo,” sebutan kembang Jati, kalau ditulis ke dalam bahasa Nusantara, menjadi “apa”). Bunga yang mengembalikan pertanyaan tanpa nama atau tak ingin disebut, malu atas sanjungan (Kembang Jati Jengene: Opo).

Demikian mungkin yang ditawarkan penyair atas gambaran memakai kacamatanya, memandangi dengan sudut lain, ia tak perbincangkan normatif sebab telah ada, tak menyampaikan ateis, tersebab tuhan ateis. Seperti dua cermin berhadap di antara satu sosok, ketika mata melihat kebersamaan; kesadaran menjadi berbagi, padahal tidak sama sekali.

*) Pengelana.
Sabtu Pon, 1 April 2006, Lamongan.

Kristina Svechinskaya, Hacker Terseksi Sedunia Diancam 40 Tahun Bui

Elin Yunita Kristanti, Iwan Kurniawan
http://teknologi.vivanews.com/

Siapa yang mengira dibalik kecantikan dan otak encernya, Kristina Svechinskaya menjadi dalang pencurian uang senilai US$35 juta dari rekening bank di Amerika Serikat. Modusnya, dengan menggunakan virus komputer.

Berkat kelakuannya, ia mendapat predikat 'hacker paling seksi sedunia'. Ia bahkan disejajarkan dengan mata-mata cantik, Anna Chapman, yang sempat mengebohkan dunia. Apalagi, dua wanita menarik ini sama-sama berasal dari Rusia.

Dalam menjalankan aksinya, Svechinskaya bekerja bersama 37 hacker lainnya.

Gadis berusia 21 tahun itu saat ini ditahan di New York. Svechinskaya memanfaatkan virus 'Zeus Trojan' dan malware lainnya untuk membajak komputer orang lain.

Lalu, secara rahasia, para hacker komplotannya memantau aktivitas komputer korban, mencuri nomor rekening bank dan password. Dengan modal itu, mereka lalu mengambil uang jutaan dolar dari rekening korban.

Seperti dimuat situs Daily Mail, Rabu 13 Oktober 2010, uang hasil curian itu lalu ditransfer ke ratusan rekening bank palsu milik perantara di Amerika Serikat yang menerima dan mencuci uang hasil kejahatan cyber.

Svechinskaya juga berperan sebagai perantara yang mendapatkan komisi 10 persen dari uang curian yang ditransfer oleh hacker lainnya.

Svechinskaya punya sedikitnya lima rekening atas nama sendiri dan beberapa alias, di antaranya Anastasia Opokina dan Svetlana Makarova.

Kini, si cantik nan seksi itu diancam pidana 40 tahun dalam sel yang dingin atas dugaan kasus persekongkolan pembobolan bank dan menggunakan paspor palsu.

Jaksa Manhattan, Preet Bharara, mengungkapkan era digital membawa serta banyak manfaat, tetapi juga banyak tantangan untuk penegakan hukum dan lembaga keuangan.

"Penangkapan ini menunjukkan, pembobol bank modern tak lagi memerlukan senjata, masker, atau mobil untuk melarikan diri seperti perampokan konvensional."

"Ini hanya memerlukan internet dan kecerdikan, hanya dalam sekejap mata dengan cara meng-klik mouse," ucapnya.

Minggu, 24 Oktober 2010

Jumartono, Pelukis Neo Candi Nominee Indonesian Art Award (IAA) 2010

Zawawi Se
http://sosbud.kompasiana.com/

Pergulatannya dalam dunia kepelukisan untuk menemukan jati diri pernah membuatnya merasa putus asa ketika berbagai eksplorasi yang dilakukannya tidak memuaskan hati. Bahkan hasil explorasi-eksplorasi tersebut malah membuatnya merasa seperti menjadi epigon para pelukis terdahulu.

Lalu, bermula dari ketidaksengajaannya berkunjung ke sebuah toko bangunan bersama seorang teman beberapa tahun yang lalu, Jumartono melihat berbagai jenis material batu-batuan dan pelapis lantai/dinding di toko tersebut. Sebagai seorang pelukis, seketika itulah timbul inspirasinya untuk menggunakan salah satu material batu-batuan yaitu batu candi sebagai medianya dalam melukis.

Sebelum menemukan batu candi sebagai media lukisnya, ada tiga fase perjalanan kepelukisannya. Pada fase pertama, hasil karyanya tampak sangat memperhitungkan figur nan elok dengan tema-tema manis dan akrab. Mungkin sesuai dengan kemudaannya yang masih digelorakan oleh cinta dan teman hidup sehingga pada fase ini banyak dijumpai lukisan perempuan-perempuan dalam berbagai ekspresi.

Fase kedua merupakan pengaruh karakter pribadinya dalam menumpahkan ekspresi. Kepribadian yang pendiam tetapi relatif praktis dan cepat dalam tindakan, menggerakkan efek-efek rupa ekspresif dengan figur-figur dramatis.

Fase ketiga, Jumartono mengerjakan proses melukisnya yang dilakukan di luar studio, berhadapan langsung dengan obyek lukisan, obyek tidak lagi imajinasi dari cetusan abstrak ekspresif, tetapi pemandangan asli yang termuati emosi sehingga gaya ekspresif eksis mendukung rupa efek.

Sedangkan pada fase keempat, masih dalam ekspresionisme yang seolah telah menyatu dengan dirinya, namun eksplorasi dilakukan dari aspek media lukisan, yaitu dengan menggunakan batu candi. Dengan media dari batu candi, yaitu batu yang diperoleh melalui proses alam, lahar dingin gunung berapi yang dia dapatkan dari Yogjakarta, hasil-hasil karyanya sangat mewakili tema-tema kekerasan sosial dan psikologis masyarakat kecil yang menjadi obyek lukisannya akhir-akhir ini.

Karakter batu candi berwarna hitam dengan kontur kasar dan berpori-pori besar seolah menyatu dengan obyek lukisan yang dia angkat dari realitas sosial yang dijumpainya sehari-hari di lingkungan dia tinggal.

Hal tersebut tampak dalam karyanya yang berjudul “Broken Dream” dengan berat karya sekitar 230 Gram secara keseluruhan. Karya tersebut merupakan paduan dari beberapa lukisan dengan media batu candi. Sebuah karya yang memotret tentang pemuda yang tak tercapai segala harapan-harapannya. Terpinggirkan oleh sistem yang tak dapat ditembus oleh kompetensinya. Hal tersebut menjadi sebuah ironi ketika dikombinasikan dengan janji-janji para elit politik dalam bentuk poster yang ditempelkan berbagai posisi sebagai background sang pemuda dalam obyek lukisan tersebut.

Pada akhirnya perjuangan yang sungguh-sungguh dari seorang Jumartono mencari jati diri dalam karir kepelukisannya dapat membuahkan hasil. Dengan karya Broken Dream tersebut dia dapat menembus ajang kompetisi dalam Indonesian Art Award (IAA) 2010 bersama dengan 94 finalis lainnya dari berbagai kota di Indonesia. Dia menjadi satu-satunya pelukis dari Lamongan atau lima pelukis dari Jawa Timur (peserta lain dari Surabaya dan Malang) yang menjadi nominee/finalis dalam kompetisi dengan Jim Supangkat sebagai Ketua Tim Juri/Kurator tersebut. Sembilan puluh empat hasil karya para finalis tersebut saat ini juga dipamerkan di Galeri Nasional.

*) Hanya seorang pekerja di sebuah perusahaan konstruksi, berlokasi di Gresik, Jawa Timur

Kamis, 14 Oktober 2010

Kenapa Albert Camus Absurd?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=636


Dalam bukunya “The Rebel” yang diindonesiakan Max Arifin, terbitan Bentang 2000. Di sana aku membaca pendapatnya: “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak untuk menjadi dirinya.”

Bagiku, ia sosok pelancong jauh yang tidak mudah dikibulin para pengembara sebelumnya. Jika boleh menentukan faham, merupakan jajaran sastrawan kelas wahid. Di hadapannya; filsuf, sejarawan juga kaum pelaku total menghidupi nafas kesusastraan, yang tak sekadar berindah-indah dalam penciptaan karya.

Mengkonstruksi ulang faham Hegel, menyelamatkan cinta butanya Karl Marx pada masyarakat tertindas. Mengekang gerak awan merah surealis, agar selepas jalannya revolusi, tidak menambah runyam mendirikan bentuk-bentuk kediktatoran anyar lebih anarkis. Menyadari nihilisme juga sanggup, tepatnya memiliki hasrat perusak yang punya sifat kekejaman serupa.

Camus dengan jiwa “tergopoh,” ingin menempatkan kaki-kakinya di lahan sejarah yang diyakininya sebagai fitroh alami, yakni absurd. Tersebab hati mudah terbolak-balik, kerap pangling menemukan silang-sengkarut. Dalam kondisi tertentu di ruang-ruang berbeda atas tekanan suhu udara, yang sering dipermainkan perubahan mengintriki manusia.

Kadang aku melihatnya menyerupai nabi Isa menghidupkan tubuh sudah mati, dalam kelahiran kedua mereka diajaknya berbincang menerus. Di sana penggalian sunyi, peristiwa puitik dimainkan segugus gagasan cantik, yang menawarkan pertimbangan jeli tinimbang orang kesurupan.

Kesadaran menawan menciptakan dirinya di ambang tragedi, terus was-was mengolah ruang-waktu demi selalu genap pun ganjil sepadan. Ia tak katakan benar atau keliru pun tidak memutuskan hukuman, sebelum memiliki alasan pribadi. Di langit membiru, ia mengajak merenungkan nasib anak-anak manusia yang didera jarak masa dengan tongkat absurditas, menapaki lelangkah berat menuju pengakuan, bahwa hidup memang simalakama.

Tanpa sungkan aku pernah menyusuri sungai nalarnya, yang menambah keyakinan dalam melengkapi gairah buku esaiku pertama: ”Trilogi Kesadaran” (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran & Ras Pemberontak), walau tampak masih terburu.

Herbert Read dalam mengantari bukunya mengeluarkan keyakinan: “The Rebel” ialah sebuah buku yang hanya muncul di Perancis. Dan dengan sok menjijikkan hidup, “Trilogi Kesadaran,” hanya lahir di bumi Nusantara.

Dengan bacaan meluas, Camus seakan tak punya sifat kefanatikan. Selalu mengukur batas capaian, tiada ingin lepas merasai wujud keberjamanan yang dikenyamnya. Menentukan batas kemampuan insan, yang di mata orang luar dapat dianggap plin-plan. Tapi tidakkah kita selalu diuji coba diri sendiri setiap waktu?

Kalau tak ingin mandek dalam ketumpulan pun kecerdasan menggelikan mata? Adalah orang aneh di sisi jalan, kita di jarak tertentu terkagum pula bisa menertawakan. Yang pendiam sedikit kesulitan didekati berbagai kepura-puraan.

Maka selisih waktu perubahan watak peranan dijadikan penelitian dalam karya-karyanya dan esai-esainya yang tak memiliki pribadi mengejutkan. Sebab pada derajad tertentu, keterkejutan beban nasib terbentuk, sudah sangat berdaya ganggu luar biasa.

Kata “tergopoh” di atas, wujud spontanitas murni yang berangkat dari fikiran waras, selalu dipanasi penyelidikan, mencurigai nilai-nilai, apakah sejarah ataupun bersumber agama. Betapa kodrat insani yang rapuh, perasaan tak mampu menggembol keseluruhan, terjadilah (absurd). Serupa awal penerimaan bacaan atau kedipan pertama menjulurkan kasih sayang.

Ia bukan pembangun argumentasi beralasan menyelamatkan diri sebelum bertindak, nalar beningnya menghantarkan pilihan mengagumkan. Corak yang dapat dibahasakan sebagai kesadaran spiritual. Tiada kesamaan dengan orang licin berbagai manipulasi, menjebak dengan perangkap nilai, meski diterima khalayak umum, lebih-lebih kaum fanatik.

Pernah kubayangkan, jika Camus hidup di masa Nietzsche, tak akan terjadi bencana besar yang ditimbulkan perang dunia kedua yang dipelopori Hitler, seminimal mengurangi kesumatnya. Tetapi aku insaf, kesadarannya hadir selepas jauh mengoreksi huru-hara revolusi Perancis, serta bukan kaca pantul Voltaire, cermin pesimistis dipecahkan terlebih dulu, sebelum melayarkan pandangannya.

Atau demikian kerusakan di bumi diseimbangkan irama lain dan ini menyelaraskan harmoni. Meski di persimpangan kerap muncul kepentingan yang tak masuk akal, hasrat lebih yang juga pembawaan makhluk bernama manusia.

Dengan ruh keseluruhan berontaknya menyeleksi ulang pelbagai perolehan jaman sebelumnya, demi dikemukakan kembali. Ialah tak menyodorkan jawaban, tapi tanda tanya besar membuat mereka menggigil lekas berpulang, pada kemurnian paling mendasar. Bukan mencanangkan insan adiluhung impian banyak orang, namun meleburkan diri bermusik didengungkan alam ganjil terjamah pembeda, mampu membelah di atas dinamikanya yang paripurna.

Ia menyadari absurditasnya berasal pecahan bintang nihilisme Nietzsche yang berkembang secara mandiri, mendewasakan bentuknya untuk faham diyakini. Jangan-jangan ia tak punya hantaman mematikan, bagi rahang orang Jerman itu. Yang menyebut ateis lebih bermoral daripada yang agamis tanpa kendali. Dan faham lebih beringas menyudutkan agama sebagai candu mematikan, tercebur jurang dekadensi moral kerinduan di tepian masa pancaroba.

Aku percaya, telah lewati penelitian seksama pun resikonya berat, jika berhadapan langsung dengan nihilisme, sebelum benar-benar matang sebintang terang berdaya sorotan lebih sedari pendahulunya. Begitu dirinya bersikap, menghadapi tukang ramal berkumis tebal penyokong ras arya tersebut.

Di titik ini, Camus bermain perihal masa depannya laksana sulapan. Aku melihat agak bergeser sedari absurditas yang diusungnya, atau begitu kala menghadapi dukun filsuf. Tapi seyogyanya mengeluarkan alat-alat bedah yang steril, agar penyakit yang ditangani tidak merantak menjalar mengganggu penyelidikan, pun diagnosanya bisa dipertanggungjawabkan lebih mandiri.

Atau di sinikah strateginya, memaksa Nietzsche bunuh diri dengan pisaunya sendiri, seperti dikatakan di awal bagian Penegasan Mutlak:

“Sejak saat manusia meletakkan Tuhan di bawah penilaian moral, ia mengikis-Nya dari dalam hatinya sendiri. Dan apa yang menjadi dasar moralitas itu? Tuhan ditolak atas nama keadilan, tetapi dapatkah gagasan keadilan itu difahami tanpa gagasan dari Tuhan? Sampai di sini, apakah kita tidak berada dalam daerah absurditas? Absurditas adalah konsep yang ditemukan oleh Nietzsche sendiri.”

Pada tipe apapun; absurditas, eksistensialisme, nihilisme, tetap memiliki ruang pembusukan, tempat pasif merusak kejadian pencipaan mendebarkan. Menghabisi nikmatnya persetubuhan jiwa dan raga, menghambat gemuruh ruh pemberontakan dalam diri.

Semua beresiko terperangkap lubang buaya kemandekan, pembodohan dilakukan orang-orang waras, tapi ingin lebih dengan hidup ugal-ugalan. Para penyerangnya tidak jauh, biasanya anak turun yang diberontak.

Kalau setiap aliran berkumandang atas kesederhanaan masing-masing, bisa dimungkinkan dalam lingkaran roda terarah. Punya rotasi sendiri yang menjaga gravitasi ialah selamat bermawas diri. Hanya mandek tak bergerak, puas kebodohannya, girang kecerdasannya, lalai menjemput ajal, abai mempersiapkan menuju bilik nafas kebugaran nirwana.

Aku teringat musabab bunuh dirinya Yasunari Kawabata, yang mencium faham ketakmampuannya, setelah bintang Nobel terpecahnya. Tak sanggup menghidupi serpihannya menjelma gemintang terbaru, senada nasibnya supernova.

Riwayat ledakan akhir suatu faham sepatutnya membentuk formasi gemintang anyar, sebab kelahirannya niscaya. Jika tak ingin bedah caesar, pula biarlah mendekati kematangan demi melengkapi nafas-nafasnya di alam kehidupan. Jikalau dihentikan, akan datang pemberontak yang punya keinginan serupa, mempreteli kursi-kursi tanggung berayun-ayun terpuaskan. Membawa palu, gergaji serta api keabadian sepadan, dipastikan terbakar berhala-berhala kejayaan.

Selamatlah yang bersanggup seimbangkan kabut kejiwaan, memperbaharui niat menggagalkan senyuman kemayu atas kesadaran tertinggi. Yang diberkahi kemampuan menguak kejadian bersusah payah, guna tak terjadi huru-hara. Atau lenyapnya faham, diganti yang lebih bisa mengayomi jaman dikandungnya.

Lamongan, Jawa 25 September 2010

Seorang Odysseus dari Solo [Halim H.D.]

http://majalah.tempointeraktif.com/

SUATU pagi di Surakarta, 1995. Seorang lelaki yang berpenampilan sederhana bergegas menemui beberapa kawannya. Ia menitipkan sepotong pesan, “Kalau terjadi sesuatu, tolong cek keberadaan saya di kejaksaan.” Sesudah teman-temannya paham, ia buru-buru pergi kantor kejaksaan di daerah Kepatihan, Solo. Di sana ia mesti menjelaskan kiriman lewat pos yang diterimanya, beberapa jurnal kesenian dari Amerika dan Eropa.

Lelaki berkacamata minus ini me-mang kerap menghadapi panggilan aparat. Selain dari kejaksaan, ia kerap mendapat “undangan” dari komando rayon militer (koramil) dan komando distrik militer (kodim). Hanya, saat ia menghadapi panggilan kejaksaan kali ini, teman-temannya tak perlu cemas terlalu lama karena ia akhirnya pulang dengan selamat.

Halim H.D., nama orang itu, bukan-lah seorang aktivis politik. Dia hidup dari dunia kesenian meski bukan seorang seniman. Lelaki berusia 52 tahun ini memiliki peran yang cukup penting dalam pengembangan seni di negeri ini. Halim menjadi otak pengelolaan berbagai kegiatan, dari pertunjukan hingga seminar. Perannya lebih sering di balik layar. “Sulit kalau ditanya apa pekerjaan saya. Saya lebih suka menyebut diri saya sebagai penulis atau kadang-kadang art networker,” katanya.

Kini Halim tinggal di rumah kontrakan di Kampung Tegalharjo, Jebres, Solo, yang sudah ditempatinya sejak enam tahun silam. Di rumah inilah ia kerap mengadakan acara pemutaran film untuk penduduk setempat. Bila bepergian ke kota lain untuk merancang atau menghadiri kegiatan seni, Halim, yang sampai sekarang masih bujangan, hanya berbekal sandal jepit dan tas kain berisi buku.

Sebagai orang Cina, kehadirannya di dunia seni menjadi unik. Nama aslinya Liem Goan Lay, sepotong nama yang tak dikenal warga seni Indonesia. Lain kalau kita menyebutnya Halim Hardja atau biasa disingkat Halim H.D. Hampir semua seniman mengenal nama itu. Nama tersebut disandangnya ketika ia masih di SMP, tak lama setelah Soe-harto mencanangkan “program pembauran” yang memaksa nama-nama asli Cina dihilangkan.

Halim mencintai seni sejak kecil. Ia terlibat pementasan drama sejak duduk di kelas empat sekolah rakyat. Saat menjadi aktor di panggung, Halim pernah lupa naskah yang mesti dihafalnya karena gugup. Sejak saat itu, ia memilih menjadi koordinator. Kegiatan ini dia lakukan pula di rumah. Halim mengatur latihan dan pementasan Gelora Cening, nama kelompok gambang kromong milik kakaknya. Kegiatan semacam ini berlanjut hingga sekarang, hanya skalanya lebih besar.

Dibesarkan oleh pasangan Lim Cing Siang dan Kun Oo Nie, Halim punya sembilan saudara. Dia lahir di Kampung Paramarayan, Serang, Banten, pada 25 Juni 1952. Meski ayahnya seorang pedagang sekaligus petani, Halim tak pernah dipaksa meneruskan bisnis orang tuanya. Ketika masih duduk di sekolah rakyat, ia sebetulnya sudah dipercayai oleh ayahnya untuk mengelola sebuah gudang. Apalagi Halim sudah bisa menentukan kadar air barang dagangannya, dari melinjo, kacang tanah, keledai, sampai beras. Tapi keluarganya sangat demokratis. Dia juga dibiarkan pergi ke gereja bersama kawan-kawannya kendati orang tuanya menganut Buddhis-Konfuisme.

Sikap itu mungkin dipengaruhi oleh banyaknya bacaan di perpustakaan pribadi keluarga Lim Cing Siang. Mereka juga berlangganan koran. Jangan heran jika Halim doyan membaca sejak kecil. Terinspirasi novel Agatha Christie dan buku-buku filsafat, ia sempat tertarik menjadi detektif atau filsuf. Akhirnya ia belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada sejak 1972 dan keluar tanpa lulus pada 1977.

Latar belakang pendidikannya membuat Halim kian berbeda dari orang Cina umumnya, yang cenderung menggeluti dunia bisnis—begitulah pandangan terhadap budaya Cina. Dia kurang setuju terhadap cara mengekspresikan budaya Cina hanya dengan menonjolkan barongsai dan liong. Di mata Halim, ini sekadar “Mandarinisasi”. Yang lebih penting, bagaimana orang Cina berperan tak cuma di dunia ekonomi, tapi juga di bidang sosial dan budaya. “Kini orang Cina kehilangan kepemimpinan yang memiliki perspektif sosial yang kuat,” ujarnya tegas.

Orang-orang Cina zaman dulu lebih berakar. Halim mencontohkan keberadaan organisasi Hok Tek Beng di Banten. Organisasi yang berdiri sejak 1919 ini menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, dari menolong orang sakit, mengurus kematian, hingga membantu korban bencana.

Kehidupan Halim di dunia seni bukanlah tujuannya sejak awal. “Aku sebenarnya tertarik dengan hal-hal baru,” ujarnya. Dorongan inilah yang memberinya kekuatan mengayuh sepeda sepanjang 30-an kilometer dari Yogya ke Parangtritis demi melihat acara Kaum Urakan. Saat itu ia masih bersekolah di SMA di Yogyakarta. Bersama beberapa teman, dia bolos sekolah untuk melihat aksi W.S. Rendra dan Arief Budiman, yang dikenalnya lewat majalah Horison.

Pada 1980-an, ia kerap mondar-mandir ke Salatiga untuk berkumpul dengan Ariel Heryanto dan Arief Budiman, pendiri Yayasan Geni. Pertemuan ini lebih bersifat berbagi pengalaman. Halim ketika itu aktif mengorganisasikan sebuah koperasi untuk buruh.

Kedekatannya dengan Arief Budiman dan Ariel Heryanto sempat mendatangkan masalah saat ia mengadakan sarasehan kesenian bertajuk “Sastra Kontekstual” di Solo pada Oktober 1984. Pihak Akademi Seni Karawitan Indonesia sebagai penyelenggara hampir membatalkan acara itu. Mereka khawatir kehadiran Arief dan Ariel akan mengundang petaka karena keduanya tengah diincar pemerintah Orde Baru. Akhirnya Murtidjono, pemimpin Taman Budaya Surakarta, mengusulkan memakai Monumen Pers.

Halim sendiri juga sering diincar. Banyak surat yang tidak sampai ke rumahnya atau mampir dulu di kantor kodim, koramil, ataupun kejaksaan. Akibatnya, ia sering dipanggil dan diinterogasi. “Terus terang saya takut karena berhadapan dengan institusi yang bisa melakukan apa pun,” ujarnya.

Dia memang tak sampai ditahan. Tapi pernah selama berhari-hari Halim diperiksa dari pukul sembilan pagi hingga tiga sore. Pertanyaan yang diajukan berkisar tentang apakah ia mengenal beberapa nama. Dengan diplomatis Halim menjawab bahwa ia tentu saja mengenal nama-nama tersebut dari koran. Urusan dengan aparat ini berlangsung hingga 1995.

Rintangan dari aparat tidak mengendurkan aktivitasnya di dunia seni. Halim terus mengembara. Terkadang sekadar menonton pertunjukan, kerap pula ia memprovokasi kawan-kawannya agar bersemangat melakukan kegiatan seni. Dialah yang berperan mementaskan Takeya Contemporary Dance Company (TCDC-Tokyo) di Solo pada 1995.

Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Philippines Educational Theater Association (PETA), Halim pernah pula mengorganisasikan workshop teater dan sastra untuk masyarakat pedesaan di berbagai kota di Jawa pada 1983-1988. Lima tahun silam, ia pun memprakarsai terselenggaranya Makassar Arts Forum.

Pada 1989-1992, giliran ia menularkan pengetahuannya dengan mengajarkan budaya di Universitas Michigan, Amerika. Halim juga sempat menjadi asisten riset Benedict Anderson, Indonesianis dari Cornell University. Bahkan, pada 1998, ia menjadi pembicara dalam acara “Konferensi Studi Indonesia-Asia” di Melbourne, Australia.

Kelincahan dan juga kesederhanaan Halim membuat kawan-kawannya heran. “Saya heran, dari mana ia mendapat uang hingga bisa pergi ke mana-mana. Saya kenal Halim sejak 1970-an dan sekarang masih saja seperti itu,” kata Suprapto Suryodarmo, pendiri Padepokan Lemah Putih, Solo, yang juga jebolan Fakultas Filsafat UGM.

Keheranan itu dijawab enteng oleh Halim. Ia mengaku dibiayai teman-temannya yang menampung dan mengundangnya datang ke berbagai kota.

Mirip Odysseus dalam mitologi Yunani yang suka mengembara, Halim tidak pernah berhenti menjelajahi dunia seni, jauh dari hiruk-pikuk urusan bisnis yang biasa digeluti orang Cina. Ketika TEMPO menemuinya awal Agustus silam, ia sedang berkemas untuk bepergian ke Tegal. Setumpuk pakaian dan buku sudah disiapkan. Bersama dengan dalang Ki Enthus Susmono, ia akan mengadakan sebuah workshop. “Saya sedang mendorong teman-teman di sana untuk membuat semacam festival kebudayaan pesisir,” katanya.

Tentu kali ini Halim tak perlu repot-repot meninggalkan sepotong pesan buat kawan-kawannya di Solo.

Konflik Etnis atau Konflik Politik?

Ignas Kleden *)
http://majalah.tempointeraktif.com/

SEBAGAI konsep ilmu sosial, etnisitas baru berusia 30 tahun, setelah Fredrik Barth menerbitkan bukunya, Ethnic Groups and Boundaries, 1969. Kata ethnic dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata Yunani, ethnos, yang dalam masa Yunani Antik digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok bukan-Yunani, yang dianggap berada di pinggiran, asing, dan sedikit barbar.

Orang Yunani sendiri menyebut diri mereka genos Hellenon atau bangsa Hellas, sedangkan orang-orang di Laut Tengah lainnya dinamakan to Medikon ethnos. Terjemahan Latin dari pengertian-pengertian ini adalah populus untuk diri orang Roma sendiri (populus Romanus), sedangkan suku-suku lain dinamakan natio, yang kira-kira sama artinya dengan ethnos dalam pemakaian Yunani Antik.

Pengertian Latin dan Yunani ini kemudian menjadi terbalik dalam bahasa Anglo-Saxon, yang memakai kata nation untuk menunjuk dirinya sendiri, sambil menyebut imigran-imigran asing ethnic minorities. Dalam studi-studi budaya, etnisitas mengalami pergeseran arti sejalan dengan pergeseran pengertian kebudayaan. Ini akibat beralihnya pengertian kebudayaan dan etnisitas dalam studi-studi antropologi budaya ke konsepsi tentang kedua pengertian tersebut dalam disiplin ilmu budaya baru yang dinamakan cultural studies (selanjutnya disebut CS).

Kebudayaan dalam antropologi budaya dipahami sebagai sistem pengetahuan yang membantu sekelompok orang memahami dunia dan lingkungan hidupnya, dan sistem nilai dan norma-norma yang membimbing mereka dalam tingkah lakunya sehari-hari. Dalam konsepsi ini, kebudayaan dipandang sebagai produk yang sudah jadi, dan diterima sebagai given from the beginning. Dianggap, kebudayaanlah yang membentuk orang-orang yang hidup di dalamnya sehingga kebiasaan serta kepribadian partisipan suatu kebudayaan bergantung pada esensi kebudayaan itu, yang dianggap selesai dan tetap.

Selain itu, kebudayaan dipandang dengan cara yang relatif apolitis. CS memberikan pembalikan paradigmatis. Pertama, kebudayaan sama sekali bukan “sudah dari sononya begitu”, melainkan dibuat oleh partisipannya sendiri sehingga bergantung pada agennya. Kebudayaan tidak pernah given, tetapi selalu socially constructed. Maka, bukan saja kebudayaan yang membentuk partisipannya, tetapi orang-orang dalam suatu kelompok secara aktif membentuk kebudayaannya.

Kedua, kebudayaan tidak dilihat secara empiris semata-mata, tetapi juga secara historis dengan memperhatikan genealogi, yaitu proses pembentukannya. Proses pembentukan itu diandaikan tidak terlepas dari usaha berbagai kelompok memperebutkan sumber daya, sehingga selalu mengandung persaingan kekuatan. Sementara antropologi budaya melihat kebudayaan secara esensialis dan apolitis, CS melihat kebudayaan secara konstruksionis dan sangat politis. Atas cara yang sama, etnisitas pertama-tama didekati secara primordialis. Istilah primordial menunjukkan hubungan-hubungan yang didasarkan pada faktor-faktor yang menentukan status seseorang, tanpa pilihannya sendiri.

Faktor-faktor tersebut adalah hubungan berdasarkan darah, agama, daerah, kebiasaan/adat-istiadat, dan ras. Etnisitas dalam hal ini dilihat secara askriptif, seperti halnya seseorang menjadi Jawa bukan karena pilihannya, atau seseorang yang dilahirkan di Indonesia dalam keluarga Indonesia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia, tanpa kemauan dari yang bersangkutan. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Edward Shils dan Clifford Geertz, khususnya dalam melihat ketegangan antara negara modern yang memerlukan integrasi baru yang didasarkan pada kesadaran nasional dan ikatan-ikatan lama yang bersifat primordial dan “alamiah”.

Paham ini dikritik sebagai terlalu statis dan tidak dapat menerangkan bentuk pengelompokan etnis yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Pendekatan lainnya dinamakan situasionalis, yang dipelopori oleh Fredrik Barth, dan mempunyai pengaruh dominan hingga tahun 1980-an. Di sini ditekankan organisasi sosial dari perbedaan-perbedaan etnis sebagai hasil dari interaksi dengan kelompok sosial lainnya, dan mobilisasi politik, yang berkaitan dengan kelompok-kelompok kepentingan tertentu.

Dekat dengan pandangan ini adalah paham instrumentalis, yang menekankan kompetisi antarelite dan manipulasi simbol yang mereka lakukan dalam mendapatkan dukungan massa. Di sini etnisitas bukanlah askripsi, melainkan hasil perjuangan politik untuk memakai identitas etnis dalam memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik. Paham ini kemudian dikritik sebagai terlalu materialistis dan mengabaikan aspek-aspek afektif dalam etnisitas.

Semenjak tahun 1980-an, perhatian ilmiah beralih dari organisasi sosial ke kesadaran dan imajinasi sebagai faktor konstitutif etnisitas. Buku Benedict Anderson, Imagined Communities, 1983, misalnya, dianggap sebagai salah satu karya penting yang mengawali pendekatan baru ini. Dalam paham ini ditekankan bahwa faktor-faktor yang dianggap menentukan etnisitas, seperti halnya kesamaan turunan, kesamaan sejarah dan masa lampau, atau kesamaan daerah asal, pada akhirnya tidak harus merupakan faktor-faktor yang dibenarkan secara historis, asal saja dipercaya dan diyakini dalam persepsi dan imajinasi sekelompok orang.

Pendekatan-pendekatan ini besar sumbangannya kepada pengertian tentang mengapa etnisitas bisa berubah, mengapa ada kelompok etnis yang dapat bertahan ratusan tahun, dan mengapa pula ada yang hilang tanpa meninggalkan bekas. Konsep-konsep tersebut di atas sampai tingkat tertentu dapat membantu kita sebagai arkeologi (dalam artian Michel Foucault) atau latar belakang untuk meninjau apa yang sekarang sering muncul di berbagai tempat di Indonesia dan dikenal sebagai konflik antaretnis.

Pertama, politik pada saat ini di Indonesia ditandai oleh kecemasan bahwa bangkitnya komunitas-komunitas etnis menjadi ancaman untuk kesatuan nasional. Ketegangan ini rupanya hanya dapat di-kelola dan tidak bisa diatasi sepenuhnya, kecuali dengan represi politik.

Bagaimana mencari imbangan optimal antara wawasan Nusantara dan pluralitas etnis yang menjadi ciri yang kuat dari masyarakat Indonesia? Pada titik inilah terlihat relevansi paham multikulturalisme, yang mempertanyakan mengapa kelompok-kelompok budaya yang selama puluhan atau ratusan tahun memandang dirinya sebagai kesatuan budaya, yang tercakup dalam lingkup teritorial tertentu, harus mengorbankan kebiasaan dan nilai-nilai mereka agar mendapat tempat dalam kesatuan nasional.

Berbagai kelompok ini biasa dinamakan minoritas etnis atau suku bangsa, padahal mereka selama waktu yang cukup lama hidup sebagai “bangsa”, walaupun ditulis dengan huruf kecil. Maka, oleh para teoretisi multikulturalisme diusulkan agar nama negara-bangsa atau nation-state lebih realistis kalau diganti dengan multination-state.

Ketika bangsa-bangsa ini menyadari kesatuannya dan menuntut hak yang lebih besar dan tempat yang lebih pantas dalam kehidupan bersama, mereka segera dicap sebagai gerakan etnis, yang dipertentangkan dengan kepentingan nasional.

Pengertian Bangsa (dengan kapital), yang berasal dari Eropa, dianggap sangat diperkuat oleh Universal Declaration of Human Rights, yang menegaskan kesamaan semua orang padahal dalam kenyataannya setiap orang berbeda sesuai dengan kelompok etnis atau kelompok budayanya.

Para pengkritik menganggap bahwa konsepsi manusia seperti itu terlalu buta warna dan mengakibatkan diabaikannya minoritas (dengan hak-haknya), yang dianggap harus menyesuaikan diri dengan kelompok yang lebih besar. Pada titik itu teori multikulturalisme bergandengan dengan filsafat komunitarian dalam menghadapi liberalisme, baik dengan menekankan hak minoritas maupun dengan menempatkan kepentingan komunitas di atas kepentingan individu.

Kedua, etnisitas tidak selalu merupakan askripsi, tetapi dapat merupakan pilihan dan hasil keputusan politik. Pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20, misalnya, dibuat perjanjian bilateral antara Jerman dan Polandia yang menetapkan bahwa kelompok etnis Polandia yang tinggal di Jerman akan diberi hak dan diperlakukan sebagai orang Jerman, asal saja kelompok etnis Jerman yang tinggal di Polandia diberi hak yang sama dan diperlakukan sama dengan orang Polandia.

Di Kalimantan, orang-orang Dayak yang masuk Kristen tetap merasa diri sebagai orang Dayak, tetapi orang Dayak yang menjadi Islam kemudian menganggap dirinya orang Melayu. Dalam Orde Baru, kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia diharap menanggalkan ciri-ciri kebudayaannya (seperti mengganti nama) dan dilarang melakukan ekspresi budayanya secara publik (seperti tidak boleh memakai bahasa Cina dalam media cetak ataupun elektronik), dan berasimilasi dengan kelompok yang lebih besar yang dianggap asli.

Pelajaran yang kita dapat, baik dari studi-studi kebudayaan maupun dari pengalaman politik di Indonesia, adalah bahwa etnisitas sering mempunyai implikasi politik yang kuat, seperti juga perubahan politik selalu mempunyai dampak terhadap posisi etnisitas. Kalau etnisitas adalah social construction, dengan mudah kekerasan di-lakukan terhadap suatu kelompok bukan karena adanya sifat-sifat etnis tertentu pada kelompok tersebut, melainkan supaya terhadap kelompok tersebut dikenakan sifat-sifat etnis yang tak disukai.

Pada waktu terjadi kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa di Jakarta pada pertengahan Mei 1998, seorang teman dari kelompok ini (kalau tak salah Ariel Heryanto) menulis bahwa orang-orang itu diperlakukan dengan keras, dikejar-kejar, dan dibunuh bukan karena mereka Cina, melainkan sebaliknya: siapa saja yang diperas, dikejar, dan dibunuh akan dinamakan Cina. Seseorang bukannya dikejar dan dijarah karena dia Cina, tetapi dia justru dijadikan Cina supaya boleh dijarah dan dibunuh.

Kalau diperhatikan konflik-konflik yang muncul semenjak 1997 di Pontianak hingga 2001 di Papua dan Poso, akan kelihatan ciri-ciri berikut.

Selalu ada dua kelompok terbatas yang terlibat dalam konflik dan kekerasan, sementara konflik tersebut tidak menyebar ke kelompok lain, padahal hubungan-hubungan antaretnis selalu kait-mengait dan lebih cenderung difus daripada terbatas dalam boundaries.

Di Pontianak pada 1997 terjadi kekerasan antara Dayak dan Madura, di Sambas pada 1999 antara Melayu dan Madura, di Ambon pada 1999 antara Islam dan Kristen, di Sampit pada 2001 antara Dayak dan Madura, di Papua sekarang antara OPM dan PDP (Presidium Dewan Papua), yang menjadi semakin keras oleh kematian Theys dari PDP dan hilangnya Willem Onde dari OPM, sedangkan di Poso antara penduduk setempat dan para perusuh dari luar.

Demikian pun konflik selalu terjadi antara dua golongan yang kira-kira seimbang dalam jumlah dan pengaruhnya, dan bukannya antara minoritas dan mayoritas, atau antara dominant culture dan subkultur.

Melihat pola-pola tersebut, dan mengingat etnisitas pada dasarnya sangat politis sifatnya, timbul pertanyaan apakah konflik-konflik tersebut masih dapat disebut konflik antaretnis atau lebih mirip konflik politik yang didorong oleh kepentingan tertentu yang mungkin saja menginginkan destabilisasi politik.

Kalau etnisitas adalah konstruksi sosial, berarti apa yang dinamakan konflik etnis besar kemungkinan hanyalah political construction, yang harus ditangani dengan keputusan politik dan tindakan politik dan bukan dengan imbauan-imbauan yang moralistis.

*)Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (Center for East-Indonesian Affairs), Jakarta

Pemikiran Kritis Arief Budiman

Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Masalah-masalah kebebasan, negara dan pembangunan, adalah tiga tema besar yang banyak dikaji Arief Budiman dalam esei-eseinya yang tersebar di berbagai media massa. Dengan tema besar itu, intelektual tersebut merambah ke persoalan politik, sosial, ekonomi, seni dan budaya. Dengan tema-tema itu pula ia tumbuh dan dikenal sebagai pemikir interdisipliner, dengan pandangan-pandangan yang kritis dan tajam.

Buku yang dieditori oleh Luthfi Assyaukanie dan Stanley ini memuat tidak kurang dari 103 esei Arief Budiman yang pernah dimuat di berbagai media massa. Terbagi dalam 10 bab, buku ini diawali dengan tulisan-tulisan yang menyorot masalah demokrasi dan pembangunan. Bab-bab selanjutnya berbicara tentang negara, kekuasaan dan masyarakat, politik dan isu sosial, HAM dan kebebasan, kebudayaan, seni dan sastra, film dan media massa, pemuda dan mahasiswa, psikologi, serta tokoh dan pengalaman luar negeri.

Menyimak semua tulisan yang dimuat, buku ini terasa merangkum semua pemikiran Arief Budiman tentang bidang-bidang yang sempat dirambah dan diperhatikannya. Salah satu yang menarik adalah pemikiran Arief tentang kebebasan, yang diartikulasikan pada tulisan-tulisan tentang seni, sastra dan budaya. Bagi pencetus ide ’sastra kontekstual’ ini, kebebasan harus berorientasi pada kemajuan dan perbaikan.

Cakupan tema dan topiknya yang luas dan beragam menjadikan buku ini pantas dibaca oleh kaum terpelajar dari kalangan manapun, serta cocok dijadikan referensi berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan. ahmadun yh

Judul buku: Kebebasan, Negara, Pembangunan
Penulis: Dr Arief Budiman
Penerbit: Pustaka Alvabet dan Freedom Institute, Jakarta
Tebal: 446 halaman
Cetakan: Pertama, Agustus 2006


Panduan Penting Penelitian Sosial

Selama ini, pendekatan-pendekatan penting penelitian sosial cenderung dilihat dan diterapkan secara terpisah. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif, misalnya, ditempatkan sebagai kubu yang berlainan. Masing-masing pendekatan memiliki pengikut yang berpegang pada acuan paradigma rigid yang hampir tak dapat dirunut secara rasional. Buku ini mencoba menyatukan kedua kubu tersebut, dengan alur berpikir setara yang secara simultan mendekatkan keduanya.

Terpapar dalam lima bab, buku ini menekankan uraian-urainnya pada pendekatan kualitatif. Dibuka dengan pengantar tentang penelitian kualitatif, disusul dengan metodologi-metodologi penelitian kualitatif, paradigma ilmu pengetahuan, kedudukan paradigma dalam penelitian kualitatif, metode-metode penelitian kualitatif, dan diakhiri dengan bab tentang masa depan penelitian kualitatif.

Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, menurut Agus Salim, pendekatan kualitatif belum banyak dipelajari oleh para ilmuwan Indonesia. Salah satu sebabnya adalah kurangnya buku pemandu berbahasa Indonesia. Buku ini hadir sebagai respons atas kebutuhan yang dirasakan makin mendesak tersebut.

Tentu, buku ini dapat menjadi referensi dan acuan penting bagi para periset Indonesia, khususnya para peneliti pemula dan mahasiswa, baik tingkat sarjana, master, maupun doktoral. ahmadun yh

Judul buku: Teori dan Paradigma Penelitian Sosial
Penulis: Dr Agus Salim MS
Penerbit: Tiara Wacana, Yogyakarta
Tebal: 302 halaman
Cetakan: Pertama, Agustus 2006

Perempuan Yang Menanti

Wina Bojonegoro
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Stasiun Pasar Turi selalu penuh sesak di malam hari. Lalu lalang manusia, bagai aliran sungai yang tak kenal henti, berbaur aneka kepentingan, bau badan, penjual koran, kuli angkut dan tak lupa calo. Beberapa menit lagi kereta Argo Bromo akan membawaku pulang ke Jakarta, pada rutinitas kehidupan yang sesungguhnya. Baru saja melangkahi peron, pengumuman sudah berkumandang, kereta telah siap di jalur satu. Tapi aku belumlah selesai. Perempuan ini aku tenteng kemari agar aku sempat bicara, semalam dan sepagian, bahkan sesiangan ini aku terlalu asyik mendengarkannya hingga tak ada waktuku bicara. Kini saatnya.

Kami duduk bersisihan di ruang tunggu dalam, sekali lagi kuamati profilnya dari samping. Dia wanita yang lelah, tetapi memiliki keteguhan dan kemampuan menguasai diri yang besar, nyalinya juga. Memanggil tukang koran saja dia hanya perlu bersiul. Merasa kuamati dia menoleh, tersenyum manis, melanjutkan keasyikan pada halaman koran sore. Didepan umum sama sekali ia tak berusaha menampakkan gaya penghibur, benar-benar profesional. Perempuan ini dikirim petugas receptionis hotel untuk memenuhi hasrat kelelakianku.
***

Mau minum , sapaku kemarin malam.

“Saya hanya minum sari buah”, jawabnya. Seraya memainkan bibirnya supaya nampak seksi. Aku menyodorkan segelas jus buah dari minibar. Dia menyilangkan kakinya, hingga nampak separuh pahanya yang padat.

Sudah lama terjun?

“Maksud Mas, melacur? Sudah hampir 2 tahun, bulan depan tanggal 11 tepatnya”.

Hahaha… ini baru menarik! Biasanya gadis-gadis penjual diri mengaku pendatang baru, meski sudah bertahun-tahun bergerilya.

Tekanan ekonomi? Tanyaku lagi

“Oh tidak. Saya melakukan dengan sadar. Menjadi pelacur adalah sebuah pilihan hidup. Mengapa Mas bertanya?”

Hanya ingin tahu. Broken home barangkali?

Wanita bertetek besar itu menerawang, matanya berputar-putar, melirikku dengan profesional.

“Mengapa aku harus berkata jujur pada sampeyan? Kalau kukatakan aku melacurkan diri karena tekanan ekonomi, apakah sampeyan mau menambahkan tips untuk saya? Atau jika karena broken home, apakah sampeyan bisa membiayai konsultasi psikiater dan menyediakan rumah singgah bagi para pelacur tanpa germo seperti saya? Sampeyan, seperti halnya para pemakai lainnya, tak akan mampu berbuat apa-apa untuk kami karena kalian menikmati keberadaan kami. Dan kenapa saya menjual diri? Alasan itu sungguh beragam. Tergantung dengan siapa saya berhadapan dan untuk kepentingan apa. Kalau sampeyan wartawan, saya akan mengakui alasan yang paling klasik, kemiskinan. Tapi mengapa sampeyan peduli?

Pelacuran ada dimana-mana dalam seluruh strata kehidupan. Dalam strata paling rendah terjadi di stasiun Wonokromo, di rumah-rumah gubug dengan bayaran hanya 10 ribu rupiah. Dalam Strata akademis ada dosen dengan mahasiswi, sesama mahasiwa di rumah kos mereka, atau sesama mahasiswa S2 yang mengerjakan tugas dalam sebuah kamar hotel berbintang. Ada teman kantor yang bobok siang atau tugas luar kota seperti sampeyan ini”.

Mereka, seperti sesama mahasiswa itu melakukan dengan cinta. Itu bukan prostitusi, kataku

“Prostitusi dan perzinahan adalah bagaikan dua sisi mata uang”, balasnya dingin. “Kasihan sekali jika setiap perzinahan selalu mengatasnamakan cinta. Tidakkah mereka malu berkata itu? Mengotori cinta yang agung dengan cairan jorok. Ada suami yang mengaku terpelajar tapi menggadisi perawan dengan dalih cinta. Ada sahabat yang tidur bersama dengan dalih cinta. Lalu kenapa aku melacur? Ini adalah karena cinta!
Haha! Cinta??

Aku begitu mencintai suamiku, sangat mencintainya. Dia memungutku dari kesepian yang hampa dan keterasingan. Dia menawarkan aku mimpi yang dimiliki seluruh perempuan, menikah dan punya anak! Aku bermimpi punya 5 anak, supaya hidupku meriah. Tapi aku perempuan baki. 6 tahun perkawinanku sia-sia.

Aku bukan perempuan beruntung!

Sekalipun kata simbah kelahiranku adalah tanggal tertinggi menurut almanak Jawa. Dalam pawukon, Sabtu Pahing adalah jumlah tertinggi, maka sesiapapun dilahirkan pada nepton itu, dia akan berjaya, dan peruntungannya tinggi. Tapi simbah salah, mungkin aku bukan terlahir pada nepton itu, bisa saja aku tergolong Ahad Pon jika kelahiranku lewat ashar. Orang Jawa menghitung waktu itu sebagai hari berikutnya.”

“Simbah, jam berapa aku lahir? Siapa yang menolong kelahiranku? Apa dia memotong peranakanku sehingga baki begini? Mengapa kau pulang tergesa-gesa? Setidaknya tunggulah sampai aku mempersembahkan seonggok daging hidup kemerahan yang meronta-ronta dan disebut orok. Atau buatkan aku jejamuan penyubur rahim jika orok itu tak juga muncul, atau pijatlah perutku ini agar bagus benar letak peranakanku. Sayang kau tak sempat menyaksikanku mencuci kaki suamiku di pelaminan.

Seharusnya kaulah yang menyiramkan air kembang setaman ke tubuhku di malam midodareni. Tapi kurasa kau pasti ada disitu malam itu, ditandai aroma susur yang tak perah lepas dari bibirmu. Kau pasti sedang bercengkerama dengan sesama arwah yang kau boyong dari surga, cangkruk di atas pohon sawo, tempat yang kau yakini sebagai favorit makluk halus. Kau pasti tengah berceloteh dengan mereka tentang masa kecilku, masa ketika aku tak dapat tidur sebelum menggerayangi tetekmu dibalik kutang lebar berkancing besar. Simbah, betapa aku menyayangimu!”

“Suamiku yang aku cintai itu pergi. Katanya pingin cari isteri yang subur. Ia tak peduli pada rasa sakitku, kehampaanku, sedihku, sepiku. Aku ingin mengatakan padanya ini bukan salahku. Kemandulan adalah kehendak Tuhan. Sama sekali aku tak memilih, apalagi meminta. Ini adalah karena aku terlahir pada Ahad Pon, bukan Sabtu Pahing seperti dirayakan simbah dengan bubur merah putih. Tetapi aku yakin, suatu saat nanti suamiku itu pasti kembali ke pelukanku, berlutut sembari bilang, maafkan aku isteriku. Marilah kita hidup berdua sampai dunia kiamat, hidup atas nama cinta, dengan atau tanpa keturunan.”

“Ia pasti kemballi suatu hari nanti, karena ternyata wanita-wanita diluaran itu tak cukup punya kasih sayang seperti yang kualirkan ke dalam setiap aliran nadinya. Kalau satu dua hari tak pulang, minggu depan ia pasti pulang. Mungkin bulan depan, atau tahun depan. Suamiku yang aku cintai itu tidak meninggalkanku, dia hanya kehilangan kesabaran.”

“Suamiku, betapa aku merindukanmu!

Dibalik jendela kaca buram itu aku selalu menantimu pulang, dengan harapan dan kecemasan. Menanti keajaiban! Namun setiap menyadari waktu berlalu dan tak ada tanda-tanda kau akan kembali, kakiku terasa membeku. Hatiku kosong. Tak tahukan kau arti kata mencintai? Dari kata CINTA. Dia adalah gabungan antara penyerahan, kepemilikan, pengabdian dan birahi. Kau tak paham? Barangkali aku harus mengajarimu lagi, suatu hari nanti jika kau kembali.

Tahukah kau, aku mengkhawatirkanmu. Siapa yang akan membersihkan telingamu? Kau suka meletakkan kepalamu di pangkuanku dengan sebotol Baby Oil dan beberapa batang cotton bud. Siapa pula yang akan membersihkan jerawatmu? Kau gemar bertelanjang dada, bahkan cuma ber kancut, menyerahkan punggungmu untuk ku raba dan kucongkel jerawat liar disana. Dan siapakah yang akan membuatkanmu semangkuk Indomi rebus dengan telur, sawi, bawang bombai dan teri medan?. Berapa musimkah kau pergi, suamiku yang kucintai? Mungkin tujuh, mungkin delapan. Segalanya tak pasti. Waktu berlalu dan dunia menua.”
***

“Tapi kamu belum tua,” kata temanku suatu hari

“Kamu hanya perlu mandi”, katanya.

Kenapa aku harus mandi? Hanya wanita yang mengharap kekasihnya datang saja yang wajib mandi dan berharum-harum. Apakah aku masih boleh berharap?

“Kamu dulu cantik bukan? Kenapa harus kehilangan kecantikanmu hanya karena ditinggal suami? Laki-laki yang tak bisa dicintai tak perlu lagi diperjuangkan. Kata Jostein Gaarder, tak ada gunanya mengejar sesuatu yang memang ingin lari. Ayo kamu mandi. Kudandani kamu ya, biar cantik lalu kita bersenang-senang”.

Aku dibawa ke salon. Mandi lulur, mandi susu, manicure, padicure, creambath, facial. Sehari suntuk. Mereka mendandani aku laiknya seorang puteri. Hmmmm..alangkah nikmatnya menjadi kaya, dapat membeli apapun, bahkan kecantikan.

“Tak ada kenikmatan yang gratis”, katanya.

“Supaya bisa begini terus, kau harus cari uang. Lihat, kau hampir tak dapat mengenali dirimu sendiri bukan? Kamu harus berpenghasilan untuk menjadi cantik. Sebaliknya, agar penghasilanmu tinggi, kau harus cantik, luar dalam. Harus baca koran. Nonton tivi. Khususnya berita. Laki-laki tak suka bidadari bodoh. Meskipun laki-laki itu sendiri makluk bodoh…hihii….kita hanya perlu berpura-pura orgasme untuk membuat mereka klimaks. Dasar bodoh!”

Laki-laki? Kenapa aku harus berhubungan dengan laki-laki?

“Karena hanya laki-laki lah yang suka menikmati kecantikan wanita. Kecuali kamu lesbi.”
***

“Sejak itu aku menjadi wanita profesional. Dibayar jam-jamaan. Tiba-tiba hidup menjadi bergairah, karena aku punya tujuan. Setidaknya untuk tetap cantik.”

Kamu masih cantik kok.

“Dan aku tak pernah pake kondom.”

Iya, aku juga tak suka pake kondom, rasanya tidak enak.

“Bukan itu alasanku. Aku ingin salah satu laki-laki hidung belang itu menghamili aku. Supaya dapat kutunjukkan pada suamiku tercinta, aku bukan perempuan baik!”

Dan kau tidak hamil?

“Tidak! Mungkin sperma para lelaki itu busung, atau encer, terlalu sering tumpah dimana-mana.”
***

Semalam itu hanya sekali kami bersebadan, selebihnya hanya berbincang sampai subuh. Aku mengajaknya ke Stasiun Pasar Turi ini karena aku harus mengatakan sesuatu,
Kenapa tidak menikah lagi, dengan orang yang tak perlu anak lagi?

“Aku tak punya cukup cinta buat orang lain. Suamiku sudah mengambil seluruhnya.”

Cinta tak mutlak harus ada dalam perkawinan, status dan rasa aman lebih penting.

“Kenapa aku harus menjual diriku hanya pada satu orang? Jika kepada banyak orang aku bisa mendapat uang lebih? “

Bagaimana jika ada pelangganmu yang mengajak menikah?

“Tidak.”

Mengapa?

“Laki-laki yang meniduri lonte pastilah dia lebih lonte dari pada lonte itu sendiri.”

Sby,11 Januari 2002

Denting Piano Mr. Lee

Elnisya Mahendra
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Baru saja kumasuki pintu rumah, kugeletakkan begitu saja belanjaandi lantai dapur. Istirahat sebentar di sofa ruang tamu. Aktifitas berbelanja kepasar akhir-akhir ini sungguh sangat melelahkan. Sebenarnya bukan karena letak pasar yang jauh, tapi karena aku memang belum hafal di mana tempat barang barang yang aku butuhkan dijual. Apalagi pasca Imlek seperti ini, harga sayurpun melonjak 3-4 kali lipat dari harga sebelumnya, katakakan 1 ikat Choy-sam ( sawi hijau) yang dulu cuma $ 3, sekarang menjadi $ 1O per ikatnya. 1 buah bawang bombaypun harus aku beli dengan $ 7. Otomatis aku harus pintar-pintar mengatur uang belanja yang hanya $ 1OO untuk 3 hari, kalo tidak ingin dikatakan korupsi. Ini saja kadang kadang harus merogoh dompetku sendiri jika ada sayur yang kemahalan aku beli.

1O menit sudah cukup untuk membuat otakku tidak terlalu stres. Kuraih ponsel yang sedari tadi kuletakkan di sofa, di samping tempatkududuk saat ini. Ada beberapa SMS masuk dari tadi, 2 buah SMS dari temanku yang berseberangan block, yang baru kukenal seminggu yang lalu, tapi gencar sekali mengirim SMS padaku. Kadang kadang diatelepon tanpa kenal waktu, disaat kedua majikanku ada dirumah, dia gak sungkan sungkan menelepon. Untung saja dering ponselku sengaja aku silent. Dengar dari pembicaraan teman yang sama sama buruh migran juga, yang sering ngumpul di taman, kalo Rini nama temanku itu adalah seorang lesbian. Dan parahnya, dia sedang mengejar ngejar aku saat ini. Kasak kusuk itu benar benar membuatku tak nyaman. SMS yang 1 lagi dari kampung, biasa mengabarkan keadaan rumah. Semua dalam keadaan sehat, namun ujung ujungnya minta kiriman duit. Alhamdulilah Imlek kemarin dapat rejeki nomplok, bila ditotal ada $ 5OO, lumayan jika dirupiahkan bisa mencapai 6OOribu. Rencananya akan kukirim nanti agaksorean, nyuri waktu sebelum anak anak pulang sekolah.

Kuberanjak menuju dapur, membereskan smua belanjaan, beberapa harus kusimpan dalam lemari es untuk stock besuk, kucuci cepat agar aku bisa mengerjakan yang lain. Waktu luangku sekarang memang tidak banyak seperti di rumah yang dulu. Di flat yang dulu semuanya serba kecil, hanya dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan akupun harus rela tidur di lantai ruang tamu dengan menggelar kasur busa tipis.

Kalo musim panas sich enak, terasa adem tidur dilantai, tapi jika musim dingin, hampir aku tidak bisa tidur. Sedang di rumah yang baru ini ada 4 kamar tidur, 3 toilet, salah satunya kamar tidur dan toilet khusus pembantu. Di rumah yang baru ini aku lebih mempunyai privasi, bisa melek sampai malam, bisa mengerjakan sholat pula dengan tidak secara sembunyi sembunyi.

Menempati rumah ini baru sekitar 2 bulan yang lalu, masih harus kerja extra untuk membenahi dan merapikan sana sini. Namun inilah bagian kerjaku, apalagi baju baju nyonya yang berantakan di kamarnya. Itu kebiasaan bos perempuanku, selalu saja mengeluarkan dan mencobanya pakaian mana yang cocok buat pergi kekantor. Hampir setiap hari memasukkan semua baju nyonya menjadi rutinitasku. Sudah hampir pukul 12 rupanya, saatnya untuk diriku istirahat. Memang tak ada aturan tertulis sebagai jadwal kerjaku, namun haruslah pintar-pintar membagi waktu. Penat terasa, kubaringkan tubuhku di dipan kamarku. Kunikmati khayalku, untuk 1 tahun mendatang. Bertemu dengan emak dan bapak dikampung, kembali membantu emak matun di sawah. Kerinduan pada kampung halamanku memang selalu kumunculkan pada siang hari, disaat aku berada di rumah sendiri, biar kesepianku ditemani khayal dalam otak tentang emak dan bapak dikampung.

Namaku sebut saja Lisa, usiaku tahun ini menginjak kepala 3,dan aku anak ragil dari 3 bersaudara. Kakak laki lakiku dan mbakku telah menikah dan tinggal diluar kota. Dan sampai saat inipun aku belum menyusul berumah tangga seperti saudara saudaraku. Itu yang membuat bapak dan emak kwatir tentang jodohku. Berkali-kali bapak menyuruh tetangga minta tolong untuk membujukku pulang. Dan aku menyanggupi menghabiskan kontrak kerjaku 1 tahun lagi.

Mata ini terasa berat, ingin rasanya memeluk guling lalu tertidur pulas, melayang bersama mimpi bertemu dengan orang orang yg aku sayang. Namun suara piano itu mengusikku kembali, seperti 1 bulan yang lalu. Sebenarnya tidak aneh mendengar piano atau biola digesek. Apalagi dengan irama yang roamantis. Tapi yang membuatku bertanya, siapakah yang memainkan nada nada itu. Aku begitu mengenali lirik yang keluar dari tuts itu. Ada lagu Ibu Kita Kartini, Padamu Negeri, sampai lagu kebangsaanku. Kadang kadang dia memainkan biola dengan Bengawan-Solonya, itu yang membuatku rindu selalu akan kampungku yang berada ditepian Bengawan Solo. Rasa penasaran membuatku otakku teraduk untuk menebak nebak siapa dia. Apakah dia seperti diriku seorang buruh migran juga disini, bukankah di flat ini banyak sekali yang mempunyai helper orang Indonesia. Tapi jika dia adalah seorang pramuwisma, tentu dia tidak akan memainkan piano pada malam hari. Mungkinkah dia orang Indonesia yang tinggal bersama keluarganya disini? Kadang akupun sempat mendengarka percakapan dengan bahasa Indonesia antara seorang laki laki dan perempuan. Mungkin juga dari arah bawah flat ini asalnya. Wah… Peduli amat…toh Alhamdulilah mendapatkan tetangga yang sama sama berasal dari negara yang sama.

Sekitar pukul 4 sore aku harus turun, ada uang yang harus kutranfer buat bapak, setelah itu jemput sekolah kedua momonganku. Mengunci pintu adalah pekerjaan yang tidak boleh terlupakan disaat keluar rumah bila tak ingin rumah dibobol pencuri. Kemarin saja dengar cerita teman kalo rumah bos nya di aduk aduk pencuri dikala mereka pergi. Untung saja temanku yang pembantu disitu ikut pergi bersama mereka, sehingga tidak ada kecurigaan pada pembantunya. Kupencet tombol pintu lift dan terdengar lift meluncur keatas ke lantai 19, flat dimana aku tinggal dan bekerja disitu. Beberapa menit kemudian pintu lift terbuka, dan kupencet tombol huruf P sebagai tanda podium. Belum ada 1 menit pintu lift itu terbuka di lantai 18, 1lantai dibawahku. Laki-laki berumur sekitar 6O an tahun masuk. Kulirik dia, karena sepertinya dia memandangiku dari atas kebawah. Lalu “Selamat sore,. Mau ke pasar?” tanyanya padaku. “Met sore, ndak om.. mau jemput anak sekolah” jawabku. Dari obrolan singkat di lift itu aku tau kalau namanya Mr Lee. Dia warga negara Hongkong juga, tapi dia lahir dan besar di Indonesia. Mr Lee kelahiran Semarang, sekolah dan kuliah di Semarang juga. Sejak saat itu, aku sering sekali bertemu Mr Lee. Kami saling bercerita, tentang apa saja, dari izu-izu buruh migran sampai perkembangan politik Indonesia. Dia orangnya ramah dan ngemong, banyak nasehat yang diberikan padaku. Seperti sore itu dia menasehatiku untuk segera pulang, mencari pasangan hidup, dan memberi cucu buat orang tuaku. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

Ada alasan kenapa dia menginginkan aku segera pulang. Dia mencontohkan dirinya sendiri sebagai orang tua, Nicole Lee anak perempuannya, dan merupakan anak Mr Lee satu-satunya tak mau menikah. Dan si bapak merindukan kehadiran cucu yang mungkin takkan pernah datang sampai dia tiada.

Dan saat itu pula pertanyaan selama berbulan bulan tentang denting denting piano, dan gesekan biola yang mengalun merdu itu adalah Mr Lee yang memainkannya. Dia dulu adalah seorang pemain biola dan piano panggilan dari cafe ke cafe. Dia dilahirkan dari keluarga Tionghoa miskin. Ayahnya Lee Cheung Wo adalah seorang buruh pabrik, sedang ibunya mempunyai toko kelontong di pinggiran kota semarang. Sedang Mr Lee sendiri mempunyai banyak saudara. Untuk makan sehari haripun teramat susah, apalagi untuk sekolah. Tapi niatnya terlalu kuat untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan keluarga bapaknya yang tergolong sukses tidak mau membantunya. Dulu bapak dari Mr Lee tidak dikui keluarganya, dikarenakan menikah dengan wanita bersuku jawa. Ibu dari Mr Lee adalah gadis solo asli yanglembut, aku lihat dari foto yang dia perlihatkan beberapa hari yang lalu.

Karna kesalahan itulah keluarga Lee sudah seperti keluarga besarnya. Sedang Mr lee muda harus menjadi pemain biola dan piano panggilan untuk membiayai kuliah dan membantu sekolah adik adiknya. Hampir bernasib seperti ayahnya yang terusir dari keluarganya. Mr Lee juga mengalami demikian, karna hubungan cintanya dengan teman kuliahnya. Si gadis cantik yang menjadi ibu dari Nicole Lee itu mengalami nasib tragis terusir dari keluarganya, karna memilih Lee yang bukanlah dari keluarga kaya. Akirnya 2 sejoli itu terdampar di Hongkong. Entah bagaimana ceritanya, dan karena sebab apa Mr Lee dan istrinya memilih mengungsi ke negeri ini. Aku tidak berani bertanya terlalu jauh.

Keakrabanku dengan Mr Lee mengundang banyak izu dari teman teman seblock, yang katanya aku pacaran dengan dia, ataupun aku sekedar memalak duitnyalah… Ah kok seperti preman saja. Biar saja anggapan orang lain. Toh pada kenyataannya aku hanya bersahabat dengan Mr Lee, bahkan akupun akrab dengan anak perempuannya. Majikanku sempat mencurigaiku ada hubungan dengan Mr Lee, sampai sampai dia takut aku membawa masuk dia dalam rumah, dan berbuat jahat.

Siang kali ini begitu panas, sudah 2 hari ini aku tidak mendengar denting piano dari flat bawah, dimana jari jari lincah itu menari diatas tuts, atau suara violin yang menyayat hati yang, membuatku rindu pulang. Aku harus melalui 2 bulan lagi stay di sini. Baju bajuku sudah semua kupaket, tinggal 1 koper kecil saja yang akan kutentengpulang.

Aku keluarkan baju dari mesin cuci, kubuka jendela samping tempat dimana tali tali jemuran itu. Dari tempat jemuran itu aku bisa melongok dapur Mr Lee, tampak sepi, entah dimana dia. Tapi tiba tiba, upz…. baju yang ku pegang, yang sebenarnya akan aku jemur itu jatuhdan nyangkut di jemuran flat bawahku, rumah milik Mr Lee, untung saja tidak langsung meluncur kebawah. Setelah semua terjemur rapi aku akan turun 1 lantai, minta tolong Mr Lee mengambilkan baju yang nyangkut di jemurannya. Hanya dengan menuruni tangga lebih cepat dari pada menunggu lift. Semoga penghuninya ada dirumah. Kupencet bel berkali kali, tapi tak ada jawaban. Akan kucoba sekali lagi, dan beberapa detik kemudian suara gerendel pintu dibuka. “Ada apa Lisa ,Ayo masuk…,” tanya Mr Lee. “Maaf om, aku mau ambil baju thai thai (nyonya : kantonise ) jatuh dan nyangkut dijemuran om” dan Mr Lee mempersilahkan aku masuk dan mengambilnya sendiri. Sementara Mr Lee duduk didepan pianonya, mulai memainkan tutz menjadi irama, aku mengenali lagu itu. Seorang temanku dulu pernah dengan gitarnyamenyanyikan lagu itu, ya kalo gak salah lagu “Melati dari jaya giri”. Beberapa menit kemudian lagu itu selesai, kuberi upluse untuknya sebelum aku pamit.

Hanya beberapa menit dirumah Mr Lee sepertinya perasaanku gak enak. Rumah itu terlalu lembab, ada bau hio juga. Mungkin karena ditinggali berdua saja hingga rumah sebesar itu tak terawat. Menjadi orang yang tak terbiasa menjadi tak nyaman. Apalagi berserakan kertas kertas berisi not not lagu, violin tua, dan piano berwarna hitam tertutup sebagiannya dengan kain bludru berwarna merah. Dalam pandanganku piano itu membujur seperti keranda mayat, yang membuatku merinding. Mungkin hanya perasaanku saja.

Lega rasanya mendapatkan kembali baju bosku yang terjatuh tadi. Jelas gak akan jadi dimarahi, atau suruh ganti. Siang ini rencanaku mau buat opor ayam, pagi tadi kubeli bahannya dari pasar, dan bumbunya dari toko indonesia. Ada ide untuk mengantar sedikit untuk Mr Lee, tentu dia suka. Rasanya belum telat untuk bila kuantar buat makan siang dia, itung itung buat tanda terima kasihku untuk baju yang nyangkut tadi.

Sudah terasa mantap opornya..hmmm…. Kuambil separuh kumasukkan dalam kotak tubperware. Dan segera kuberlari kebawah. Memencet bell, tapi kali ini yang membukakan pintu Nicole, anak Mr Lee. Kusodorkan opor itu pada Nicole “ini buat om, kok sudah pulang kak Nicole?” tanyaku. Ada kekagetan diwajah Nicole dan seperti ada selimut duka di situ. Dia menerima 1 kotak opor dari tanganku, “aku dari rumah duka Lisa, papa meninggal 2 hari yang lalu” jawabnya. Aku benar benar tak percaya, tapi mana mungkin Nicole bohong, foto Mr Lee dan beberapa batang lidi hio itu telah tertancap di meja ruang tamu itu. Bergegas aku pamit pulang, tubuh ini terasa melayang. Siapakah 2 jam yang lalu yang membukakan pintu, siapa juga yang memainkan lagu Melati dari jaya giri tadi dengan denting pianonya. Kuterduduk lemas dilantai, Mr Lee selamat jalan. Semoga kau bahagia disana.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito