Ignas Kleden *)
http://majalah.tempointeraktif.com/
SEBAGAI konsep ilmu sosial, etnisitas baru berusia 30 tahun, setelah Fredrik Barth menerbitkan bukunya, Ethnic Groups and Boundaries, 1969. Kata ethnic dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata Yunani, ethnos, yang dalam masa Yunani Antik digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok bukan-Yunani, yang dianggap berada di pinggiran, asing, dan sedikit barbar.
Orang Yunani sendiri menyebut diri mereka genos Hellenon atau bangsa Hellas, sedangkan orang-orang di Laut Tengah lainnya dinamakan to Medikon ethnos. Terjemahan Latin dari pengertian-pengertian ini adalah populus untuk diri orang Roma sendiri (populus Romanus), sedangkan suku-suku lain dinamakan natio, yang kira-kira sama artinya dengan ethnos dalam pemakaian Yunani Antik.
Pengertian Latin dan Yunani ini kemudian menjadi terbalik dalam bahasa Anglo-Saxon, yang memakai kata nation untuk menunjuk dirinya sendiri, sambil menyebut imigran-imigran asing ethnic minorities. Dalam studi-studi budaya, etnisitas mengalami pergeseran arti sejalan dengan pergeseran pengertian kebudayaan. Ini akibat beralihnya pengertian kebudayaan dan etnisitas dalam studi-studi antropologi budaya ke konsepsi tentang kedua pengertian tersebut dalam disiplin ilmu budaya baru yang dinamakan cultural studies (selanjutnya disebut CS).
Kebudayaan dalam antropologi budaya dipahami sebagai sistem pengetahuan yang membantu sekelompok orang memahami dunia dan lingkungan hidupnya, dan sistem nilai dan norma-norma yang membimbing mereka dalam tingkah lakunya sehari-hari. Dalam konsepsi ini, kebudayaan dipandang sebagai produk yang sudah jadi, dan diterima sebagai given from the beginning. Dianggap, kebudayaanlah yang membentuk orang-orang yang hidup di dalamnya sehingga kebiasaan serta kepribadian partisipan suatu kebudayaan bergantung pada esensi kebudayaan itu, yang dianggap selesai dan tetap.
Selain itu, kebudayaan dipandang dengan cara yang relatif apolitis. CS memberikan pembalikan paradigmatis. Pertama, kebudayaan sama sekali bukan “sudah dari sononya begitu”, melainkan dibuat oleh partisipannya sendiri sehingga bergantung pada agennya. Kebudayaan tidak pernah given, tetapi selalu socially constructed. Maka, bukan saja kebudayaan yang membentuk partisipannya, tetapi orang-orang dalam suatu kelompok secara aktif membentuk kebudayaannya.
Kedua, kebudayaan tidak dilihat secara empiris semata-mata, tetapi juga secara historis dengan memperhatikan genealogi, yaitu proses pembentukannya. Proses pembentukan itu diandaikan tidak terlepas dari usaha berbagai kelompok memperebutkan sumber daya, sehingga selalu mengandung persaingan kekuatan. Sementara antropologi budaya melihat kebudayaan secara esensialis dan apolitis, CS melihat kebudayaan secara konstruksionis dan sangat politis. Atas cara yang sama, etnisitas pertama-tama didekati secara primordialis. Istilah primordial menunjukkan hubungan-hubungan yang didasarkan pada faktor-faktor yang menentukan status seseorang, tanpa pilihannya sendiri.
Faktor-faktor tersebut adalah hubungan berdasarkan darah, agama, daerah, kebiasaan/adat-istiadat, dan ras. Etnisitas dalam hal ini dilihat secara askriptif, seperti halnya seseorang menjadi Jawa bukan karena pilihannya, atau seseorang yang dilahirkan di Indonesia dalam keluarga Indonesia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia, tanpa kemauan dari yang bersangkutan. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Edward Shils dan Clifford Geertz, khususnya dalam melihat ketegangan antara negara modern yang memerlukan integrasi baru yang didasarkan pada kesadaran nasional dan ikatan-ikatan lama yang bersifat primordial dan “alamiah”.
Paham ini dikritik sebagai terlalu statis dan tidak dapat menerangkan bentuk pengelompokan etnis yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Pendekatan lainnya dinamakan situasionalis, yang dipelopori oleh Fredrik Barth, dan mempunyai pengaruh dominan hingga tahun 1980-an. Di sini ditekankan organisasi sosial dari perbedaan-perbedaan etnis sebagai hasil dari interaksi dengan kelompok sosial lainnya, dan mobilisasi politik, yang berkaitan dengan kelompok-kelompok kepentingan tertentu.
Dekat dengan pandangan ini adalah paham instrumentalis, yang menekankan kompetisi antarelite dan manipulasi simbol yang mereka lakukan dalam mendapatkan dukungan massa. Di sini etnisitas bukanlah askripsi, melainkan hasil perjuangan politik untuk memakai identitas etnis dalam memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik. Paham ini kemudian dikritik sebagai terlalu materialistis dan mengabaikan aspek-aspek afektif dalam etnisitas.
Semenjak tahun 1980-an, perhatian ilmiah beralih dari organisasi sosial ke kesadaran dan imajinasi sebagai faktor konstitutif etnisitas. Buku Benedict Anderson, Imagined Communities, 1983, misalnya, dianggap sebagai salah satu karya penting yang mengawali pendekatan baru ini. Dalam paham ini ditekankan bahwa faktor-faktor yang dianggap menentukan etnisitas, seperti halnya kesamaan turunan, kesamaan sejarah dan masa lampau, atau kesamaan daerah asal, pada akhirnya tidak harus merupakan faktor-faktor yang dibenarkan secara historis, asal saja dipercaya dan diyakini dalam persepsi dan imajinasi sekelompok orang.
Pendekatan-pendekatan ini besar sumbangannya kepada pengertian tentang mengapa etnisitas bisa berubah, mengapa ada kelompok etnis yang dapat bertahan ratusan tahun, dan mengapa pula ada yang hilang tanpa meninggalkan bekas. Konsep-konsep tersebut di atas sampai tingkat tertentu dapat membantu kita sebagai arkeologi (dalam artian Michel Foucault) atau latar belakang untuk meninjau apa yang sekarang sering muncul di berbagai tempat di Indonesia dan dikenal sebagai konflik antaretnis.
Pertama, politik pada saat ini di Indonesia ditandai oleh kecemasan bahwa bangkitnya komunitas-komunitas etnis menjadi ancaman untuk kesatuan nasional. Ketegangan ini rupanya hanya dapat di-kelola dan tidak bisa diatasi sepenuhnya, kecuali dengan represi politik.
Bagaimana mencari imbangan optimal antara wawasan Nusantara dan pluralitas etnis yang menjadi ciri yang kuat dari masyarakat Indonesia? Pada titik inilah terlihat relevansi paham multikulturalisme, yang mempertanyakan mengapa kelompok-kelompok budaya yang selama puluhan atau ratusan tahun memandang dirinya sebagai kesatuan budaya, yang tercakup dalam lingkup teritorial tertentu, harus mengorbankan kebiasaan dan nilai-nilai mereka agar mendapat tempat dalam kesatuan nasional.
Berbagai kelompok ini biasa dinamakan minoritas etnis atau suku bangsa, padahal mereka selama waktu yang cukup lama hidup sebagai “bangsa”, walaupun ditulis dengan huruf kecil. Maka, oleh para teoretisi multikulturalisme diusulkan agar nama negara-bangsa atau nation-state lebih realistis kalau diganti dengan multination-state.
Ketika bangsa-bangsa ini menyadari kesatuannya dan menuntut hak yang lebih besar dan tempat yang lebih pantas dalam kehidupan bersama, mereka segera dicap sebagai gerakan etnis, yang dipertentangkan dengan kepentingan nasional.
Pengertian Bangsa (dengan kapital), yang berasal dari Eropa, dianggap sangat diperkuat oleh Universal Declaration of Human Rights, yang menegaskan kesamaan semua orang padahal dalam kenyataannya setiap orang berbeda sesuai dengan kelompok etnis atau kelompok budayanya.
Para pengkritik menganggap bahwa konsepsi manusia seperti itu terlalu buta warna dan mengakibatkan diabaikannya minoritas (dengan hak-haknya), yang dianggap harus menyesuaikan diri dengan kelompok yang lebih besar. Pada titik itu teori multikulturalisme bergandengan dengan filsafat komunitarian dalam menghadapi liberalisme, baik dengan menekankan hak minoritas maupun dengan menempatkan kepentingan komunitas di atas kepentingan individu.
Kedua, etnisitas tidak selalu merupakan askripsi, tetapi dapat merupakan pilihan dan hasil keputusan politik. Pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20, misalnya, dibuat perjanjian bilateral antara Jerman dan Polandia yang menetapkan bahwa kelompok etnis Polandia yang tinggal di Jerman akan diberi hak dan diperlakukan sebagai orang Jerman, asal saja kelompok etnis Jerman yang tinggal di Polandia diberi hak yang sama dan diperlakukan sama dengan orang Polandia.
Di Kalimantan, orang-orang Dayak yang masuk Kristen tetap merasa diri sebagai orang Dayak, tetapi orang Dayak yang menjadi Islam kemudian menganggap dirinya orang Melayu. Dalam Orde Baru, kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia diharap menanggalkan ciri-ciri kebudayaannya (seperti mengganti nama) dan dilarang melakukan ekspresi budayanya secara publik (seperti tidak boleh memakai bahasa Cina dalam media cetak ataupun elektronik), dan berasimilasi dengan kelompok yang lebih besar yang dianggap asli.
Pelajaran yang kita dapat, baik dari studi-studi kebudayaan maupun dari pengalaman politik di Indonesia, adalah bahwa etnisitas sering mempunyai implikasi politik yang kuat, seperti juga perubahan politik selalu mempunyai dampak terhadap posisi etnisitas. Kalau etnisitas adalah social construction, dengan mudah kekerasan di-lakukan terhadap suatu kelompok bukan karena adanya sifat-sifat etnis tertentu pada kelompok tersebut, melainkan supaya terhadap kelompok tersebut dikenakan sifat-sifat etnis yang tak disukai.
Pada waktu terjadi kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa di Jakarta pada pertengahan Mei 1998, seorang teman dari kelompok ini (kalau tak salah Ariel Heryanto) menulis bahwa orang-orang itu diperlakukan dengan keras, dikejar-kejar, dan dibunuh bukan karena mereka Cina, melainkan sebaliknya: siapa saja yang diperas, dikejar, dan dibunuh akan dinamakan Cina. Seseorang bukannya dikejar dan dijarah karena dia Cina, tetapi dia justru dijadikan Cina supaya boleh dijarah dan dibunuh.
Kalau diperhatikan konflik-konflik yang muncul semenjak 1997 di Pontianak hingga 2001 di Papua dan Poso, akan kelihatan ciri-ciri berikut.
Selalu ada dua kelompok terbatas yang terlibat dalam konflik dan kekerasan, sementara konflik tersebut tidak menyebar ke kelompok lain, padahal hubungan-hubungan antaretnis selalu kait-mengait dan lebih cenderung difus daripada terbatas dalam boundaries.
Di Pontianak pada 1997 terjadi kekerasan antara Dayak dan Madura, di Sambas pada 1999 antara Melayu dan Madura, di Ambon pada 1999 antara Islam dan Kristen, di Sampit pada 2001 antara Dayak dan Madura, di Papua sekarang antara OPM dan PDP (Presidium Dewan Papua), yang menjadi semakin keras oleh kematian Theys dari PDP dan hilangnya Willem Onde dari OPM, sedangkan di Poso antara penduduk setempat dan para perusuh dari luar.
Demikian pun konflik selalu terjadi antara dua golongan yang kira-kira seimbang dalam jumlah dan pengaruhnya, dan bukannya antara minoritas dan mayoritas, atau antara dominant culture dan subkultur.
Melihat pola-pola tersebut, dan mengingat etnisitas pada dasarnya sangat politis sifatnya, timbul pertanyaan apakah konflik-konflik tersebut masih dapat disebut konflik antaretnis atau lebih mirip konflik politik yang didorong oleh kepentingan tertentu yang mungkin saja menginginkan destabilisasi politik.
Kalau etnisitas adalah konstruksi sosial, berarti apa yang dinamakan konflik etnis besar kemungkinan hanyalah political construction, yang harus ditangani dengan keputusan politik dan tindakan politik dan bukan dengan imbauan-imbauan yang moralistis.
*)Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (Center for East-Indonesian Affairs), Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar