Kamis, 14 Oktober 2010

Perempuan Yang Menanti

Wina Bojonegoro
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Stasiun Pasar Turi selalu penuh sesak di malam hari. Lalu lalang manusia, bagai aliran sungai yang tak kenal henti, berbaur aneka kepentingan, bau badan, penjual koran, kuli angkut dan tak lupa calo. Beberapa menit lagi kereta Argo Bromo akan membawaku pulang ke Jakarta, pada rutinitas kehidupan yang sesungguhnya. Baru saja melangkahi peron, pengumuman sudah berkumandang, kereta telah siap di jalur satu. Tapi aku belumlah selesai. Perempuan ini aku tenteng kemari agar aku sempat bicara, semalam dan sepagian, bahkan sesiangan ini aku terlalu asyik mendengarkannya hingga tak ada waktuku bicara. Kini saatnya.

Kami duduk bersisihan di ruang tunggu dalam, sekali lagi kuamati profilnya dari samping. Dia wanita yang lelah, tetapi memiliki keteguhan dan kemampuan menguasai diri yang besar, nyalinya juga. Memanggil tukang koran saja dia hanya perlu bersiul. Merasa kuamati dia menoleh, tersenyum manis, melanjutkan keasyikan pada halaman koran sore. Didepan umum sama sekali ia tak berusaha menampakkan gaya penghibur, benar-benar profesional. Perempuan ini dikirim petugas receptionis hotel untuk memenuhi hasrat kelelakianku.
***

Mau minum , sapaku kemarin malam.

“Saya hanya minum sari buah”, jawabnya. Seraya memainkan bibirnya supaya nampak seksi. Aku menyodorkan segelas jus buah dari minibar. Dia menyilangkan kakinya, hingga nampak separuh pahanya yang padat.

Sudah lama terjun?

“Maksud Mas, melacur? Sudah hampir 2 tahun, bulan depan tanggal 11 tepatnya”.

Hahaha… ini baru menarik! Biasanya gadis-gadis penjual diri mengaku pendatang baru, meski sudah bertahun-tahun bergerilya.

Tekanan ekonomi? Tanyaku lagi

“Oh tidak. Saya melakukan dengan sadar. Menjadi pelacur adalah sebuah pilihan hidup. Mengapa Mas bertanya?”

Hanya ingin tahu. Broken home barangkali?

Wanita bertetek besar itu menerawang, matanya berputar-putar, melirikku dengan profesional.

“Mengapa aku harus berkata jujur pada sampeyan? Kalau kukatakan aku melacurkan diri karena tekanan ekonomi, apakah sampeyan mau menambahkan tips untuk saya? Atau jika karena broken home, apakah sampeyan bisa membiayai konsultasi psikiater dan menyediakan rumah singgah bagi para pelacur tanpa germo seperti saya? Sampeyan, seperti halnya para pemakai lainnya, tak akan mampu berbuat apa-apa untuk kami karena kalian menikmati keberadaan kami. Dan kenapa saya menjual diri? Alasan itu sungguh beragam. Tergantung dengan siapa saya berhadapan dan untuk kepentingan apa. Kalau sampeyan wartawan, saya akan mengakui alasan yang paling klasik, kemiskinan. Tapi mengapa sampeyan peduli?

Pelacuran ada dimana-mana dalam seluruh strata kehidupan. Dalam strata paling rendah terjadi di stasiun Wonokromo, di rumah-rumah gubug dengan bayaran hanya 10 ribu rupiah. Dalam Strata akademis ada dosen dengan mahasiswi, sesama mahasiwa di rumah kos mereka, atau sesama mahasiswa S2 yang mengerjakan tugas dalam sebuah kamar hotel berbintang. Ada teman kantor yang bobok siang atau tugas luar kota seperti sampeyan ini”.

Mereka, seperti sesama mahasiswa itu melakukan dengan cinta. Itu bukan prostitusi, kataku

“Prostitusi dan perzinahan adalah bagaikan dua sisi mata uang”, balasnya dingin. “Kasihan sekali jika setiap perzinahan selalu mengatasnamakan cinta. Tidakkah mereka malu berkata itu? Mengotori cinta yang agung dengan cairan jorok. Ada suami yang mengaku terpelajar tapi menggadisi perawan dengan dalih cinta. Ada sahabat yang tidur bersama dengan dalih cinta. Lalu kenapa aku melacur? Ini adalah karena cinta!
Haha! Cinta??

Aku begitu mencintai suamiku, sangat mencintainya. Dia memungutku dari kesepian yang hampa dan keterasingan. Dia menawarkan aku mimpi yang dimiliki seluruh perempuan, menikah dan punya anak! Aku bermimpi punya 5 anak, supaya hidupku meriah. Tapi aku perempuan baki. 6 tahun perkawinanku sia-sia.

Aku bukan perempuan beruntung!

Sekalipun kata simbah kelahiranku adalah tanggal tertinggi menurut almanak Jawa. Dalam pawukon, Sabtu Pahing adalah jumlah tertinggi, maka sesiapapun dilahirkan pada nepton itu, dia akan berjaya, dan peruntungannya tinggi. Tapi simbah salah, mungkin aku bukan terlahir pada nepton itu, bisa saja aku tergolong Ahad Pon jika kelahiranku lewat ashar. Orang Jawa menghitung waktu itu sebagai hari berikutnya.”

“Simbah, jam berapa aku lahir? Siapa yang menolong kelahiranku? Apa dia memotong peranakanku sehingga baki begini? Mengapa kau pulang tergesa-gesa? Setidaknya tunggulah sampai aku mempersembahkan seonggok daging hidup kemerahan yang meronta-ronta dan disebut orok. Atau buatkan aku jejamuan penyubur rahim jika orok itu tak juga muncul, atau pijatlah perutku ini agar bagus benar letak peranakanku. Sayang kau tak sempat menyaksikanku mencuci kaki suamiku di pelaminan.

Seharusnya kaulah yang menyiramkan air kembang setaman ke tubuhku di malam midodareni. Tapi kurasa kau pasti ada disitu malam itu, ditandai aroma susur yang tak perah lepas dari bibirmu. Kau pasti sedang bercengkerama dengan sesama arwah yang kau boyong dari surga, cangkruk di atas pohon sawo, tempat yang kau yakini sebagai favorit makluk halus. Kau pasti tengah berceloteh dengan mereka tentang masa kecilku, masa ketika aku tak dapat tidur sebelum menggerayangi tetekmu dibalik kutang lebar berkancing besar. Simbah, betapa aku menyayangimu!”

“Suamiku yang aku cintai itu pergi. Katanya pingin cari isteri yang subur. Ia tak peduli pada rasa sakitku, kehampaanku, sedihku, sepiku. Aku ingin mengatakan padanya ini bukan salahku. Kemandulan adalah kehendak Tuhan. Sama sekali aku tak memilih, apalagi meminta. Ini adalah karena aku terlahir pada Ahad Pon, bukan Sabtu Pahing seperti dirayakan simbah dengan bubur merah putih. Tetapi aku yakin, suatu saat nanti suamiku itu pasti kembali ke pelukanku, berlutut sembari bilang, maafkan aku isteriku. Marilah kita hidup berdua sampai dunia kiamat, hidup atas nama cinta, dengan atau tanpa keturunan.”

“Ia pasti kemballi suatu hari nanti, karena ternyata wanita-wanita diluaran itu tak cukup punya kasih sayang seperti yang kualirkan ke dalam setiap aliran nadinya. Kalau satu dua hari tak pulang, minggu depan ia pasti pulang. Mungkin bulan depan, atau tahun depan. Suamiku yang aku cintai itu tidak meninggalkanku, dia hanya kehilangan kesabaran.”

“Suamiku, betapa aku merindukanmu!

Dibalik jendela kaca buram itu aku selalu menantimu pulang, dengan harapan dan kecemasan. Menanti keajaiban! Namun setiap menyadari waktu berlalu dan tak ada tanda-tanda kau akan kembali, kakiku terasa membeku. Hatiku kosong. Tak tahukan kau arti kata mencintai? Dari kata CINTA. Dia adalah gabungan antara penyerahan, kepemilikan, pengabdian dan birahi. Kau tak paham? Barangkali aku harus mengajarimu lagi, suatu hari nanti jika kau kembali.

Tahukah kau, aku mengkhawatirkanmu. Siapa yang akan membersihkan telingamu? Kau suka meletakkan kepalamu di pangkuanku dengan sebotol Baby Oil dan beberapa batang cotton bud. Siapa pula yang akan membersihkan jerawatmu? Kau gemar bertelanjang dada, bahkan cuma ber kancut, menyerahkan punggungmu untuk ku raba dan kucongkel jerawat liar disana. Dan siapakah yang akan membuatkanmu semangkuk Indomi rebus dengan telur, sawi, bawang bombai dan teri medan?. Berapa musimkah kau pergi, suamiku yang kucintai? Mungkin tujuh, mungkin delapan. Segalanya tak pasti. Waktu berlalu dan dunia menua.”
***

“Tapi kamu belum tua,” kata temanku suatu hari

“Kamu hanya perlu mandi”, katanya.

Kenapa aku harus mandi? Hanya wanita yang mengharap kekasihnya datang saja yang wajib mandi dan berharum-harum. Apakah aku masih boleh berharap?

“Kamu dulu cantik bukan? Kenapa harus kehilangan kecantikanmu hanya karena ditinggal suami? Laki-laki yang tak bisa dicintai tak perlu lagi diperjuangkan. Kata Jostein Gaarder, tak ada gunanya mengejar sesuatu yang memang ingin lari. Ayo kamu mandi. Kudandani kamu ya, biar cantik lalu kita bersenang-senang”.

Aku dibawa ke salon. Mandi lulur, mandi susu, manicure, padicure, creambath, facial. Sehari suntuk. Mereka mendandani aku laiknya seorang puteri. Hmmmm..alangkah nikmatnya menjadi kaya, dapat membeli apapun, bahkan kecantikan.

“Tak ada kenikmatan yang gratis”, katanya.

“Supaya bisa begini terus, kau harus cari uang. Lihat, kau hampir tak dapat mengenali dirimu sendiri bukan? Kamu harus berpenghasilan untuk menjadi cantik. Sebaliknya, agar penghasilanmu tinggi, kau harus cantik, luar dalam. Harus baca koran. Nonton tivi. Khususnya berita. Laki-laki tak suka bidadari bodoh. Meskipun laki-laki itu sendiri makluk bodoh…hihii….kita hanya perlu berpura-pura orgasme untuk membuat mereka klimaks. Dasar bodoh!”

Laki-laki? Kenapa aku harus berhubungan dengan laki-laki?

“Karena hanya laki-laki lah yang suka menikmati kecantikan wanita. Kecuali kamu lesbi.”
***

“Sejak itu aku menjadi wanita profesional. Dibayar jam-jamaan. Tiba-tiba hidup menjadi bergairah, karena aku punya tujuan. Setidaknya untuk tetap cantik.”

Kamu masih cantik kok.

“Dan aku tak pernah pake kondom.”

Iya, aku juga tak suka pake kondom, rasanya tidak enak.

“Bukan itu alasanku. Aku ingin salah satu laki-laki hidung belang itu menghamili aku. Supaya dapat kutunjukkan pada suamiku tercinta, aku bukan perempuan baik!”

Dan kau tidak hamil?

“Tidak! Mungkin sperma para lelaki itu busung, atau encer, terlalu sering tumpah dimana-mana.”
***

Semalam itu hanya sekali kami bersebadan, selebihnya hanya berbincang sampai subuh. Aku mengajaknya ke Stasiun Pasar Turi ini karena aku harus mengatakan sesuatu,
Kenapa tidak menikah lagi, dengan orang yang tak perlu anak lagi?

“Aku tak punya cukup cinta buat orang lain. Suamiku sudah mengambil seluruhnya.”

Cinta tak mutlak harus ada dalam perkawinan, status dan rasa aman lebih penting.

“Kenapa aku harus menjual diriku hanya pada satu orang? Jika kepada banyak orang aku bisa mendapat uang lebih? “

Bagaimana jika ada pelangganmu yang mengajak menikah?

“Tidak.”

Mengapa?

“Laki-laki yang meniduri lonte pastilah dia lebih lonte dari pada lonte itu sendiri.”

Sby,11 Januari 2002

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito