Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/
CERPEN Indonesia telah meruntuhkan “sakralitasnya”, anjlok dari menara gading yang dibangunnya beberapa warsa silam: cerpen hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berada di seputaran kerja kreatif kesusastraan itu sendiri.
Tentu, asumsi ini sangat bisa dibuktikan, karena dalam era kekinian, cerpen Indonesia telah merasionalisasi dirinya sendiri, masuk ke segala segmen, semua kelas sosial. Beragam tema dengan keberjamakan eksplorasi teknik penceritaan dan pencapaian bahasa-bahasa yang metaforis, telah diterima publik, tak hanya lingkungan kaum sastrais, namun juga pasar ABG dan komunitas selebriti. Karena itu, yang perlu dicatat kemudian adalah bagaimana timbal-balik pluralitas publik yang menerima keberlimpahan eksperimentasi cerpen-cerpen Indonesia?
Penyair Binhad Nurrohmat dalam eseinya yang bertajuk Cerita Pendek Indonesia, Gajah di Pelupuk Mata (Harian Kompas, 25 Mei 2003) dengan begitu santun telah mempertanyakan kerja kritikus sastra dalam meresepsi fluktuasi cerpen Indonesia. Dalam amatan Binhad Nurrohmat, tak ada kritik sastra yang substansial, yang komprehensif menelaah cerpen Indonesia, agar tumbuh dalam kehingar-bingaran yang sehat. Kenyataannya memanglah begitu. Ketika dengan segala kerendahan hati cerpen Indonesia turun dari menara gadingnya, ternyata justru diimbangi dengan mampatnya kerja kritikus sastra.
Tentu saja, tulisan ini hanya sekadar memberi catatan pendek, sebagai tambahan pemetaan sosialisasi dan capaian estetik cerpen Indonesia, yang di masa depan, jika kritik sastra benar-benar mandeg, kemungkinan besar akan tumbuh secara mandiri, merayakan keberjamakan dalam telikung minimnya respons progresif di luar dirinya, sekalipun tetap menolak “dipagut dan dipiting” sebagai hasil kerja yang bersifat onanis.
***
SESUNGGUHNYA, dalam konteks pasar buku sastra, cerpen Indonesia tak pernah menafikan peringatan Lucien Goldman, pemikir strukturalisme kesusastraan, perihal hubungan simbiose mutualistik antara kesusastraan dan masyarakat. Kesaling-tergantungan antara kesusastraan dan masyarakat sungguh telah terjembatani, tinggal masyarakat sendiri yang selanjutnya memilih capaian estetik cerpen tertentu, sesuai dengan kebutuhan yang bersifat reflektif, sekadar bacaan kala senggang, atau memang mau dan sudi memahami serta melacak konsepsi estetikanya.
Dalam konteks masyarakat pembaca sastra (awam) yang mencari capaian reflektif, misalnya, sudah ada cerpen-cerpen realis, yang berhasil mengaduk-aduk kompleksitas psikologis tokoh-tokohnya sehingga relevan sebagai cermin hidup kekinian, dalam kerangka modern. Cerpen-cerpen Jujur Prananto dalam antologi Parmin, Harris Effendi Thahar dalam Si Padang, Hamsad Rangkuti dalam Sampah Bulan Desember, Gus tf Sakai dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Korrie Layun Rampan dalam Acuh tak Acuh maupun Seno Gumira Ajidarma dalam Dunia Sukab, telah mengegaliterkan cerita sehingga dekat dan bernilai the inner of soul interaksi kehidupan sehari-hari. Bermacam ironi maupun sarkasme hidup terejawantahkan dalam substansi cerita yang jika betul-betul diresepsi merupakan wilayah konflik “kita-kita juga”.
Belum lagi jika pembaca sastra mulai berpikir capaian estetik, mencari capaian dalam perhitungan strategi literer teknik penceritaan, maka jangan kaget jika menemui cerpen-cerpen the mind game Puthut EA dalam Dua Tangisan pada Satu Malam, yang begitu impresif, begitu “dingin” cara bertuturnya, menjadikannya sanggup mengemas pandangan-pandangan filsafati untuk merangsek masuk dunia populis, Indra Tranggono dalam Iblis Ngambek dan Iman Budhi Santosa dalam Kalimantang yang memperkaya problem kelas dalam sub kultur warna lokal Jawa, Bre Redana dalam Sarabande yang mempersepsikan sublimitas warna lokal Bali dalam angle tokoh-tokoh yang kosmopolit, Yanusa Nugroho dalam Segulung Cerita Tua yang memperkaya khasanah perspektif mistik, Hudan Hidayat dalam Orang Sakit yang mengedepankan literasi kontemplatif, atau Djenar Maesa Ayu yang merambah dekonstruksi wilayah ketabuan sebagai propaganda perlawanan budaya patriarki lewat Mereka Memanggil Saya Seekor Monyet.
Sementara, cerpen-cerpen yang mungkin dibuat sebagai bacaan kala senggang, tak berambisi mendesakkan capaian reflektif, estetik apalagi ideologis, kecuali justru bernilai potretan sekilas peristiwa, yang sangat personal dan temporal, berkehendak hanya bercerita, tak ada desakan pemahaman antropologis dan lebih pada tawaran nilai abstraksi dunia populis sehingga terendus dalam lipatan saku celana pangsa ABG dan kaum selebritis, dapat dibaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta dan Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma serta Sepuluh Kisah Cinta yang Mencurigakan yang merupakan antologi komunal karya cerpenis-cerpenis muda terbitan Akademi Kebudayaan Yogyakarta.
Tentu saja, pemetaan estetika semacam ini menjadi varian cukup penting, karena tak bisa ditolak, sebagai risiko posmodernisme yang menyumpah-serapahi keserba-tunggalan dan memangku keberjamakan, cerpen Indonesia telah sanggup merayakan eksistensinya, menembus lini tanpa batas, tak perlu juru bicara, dan telah melakukan bargaining terhadap publiknya sendiri. Karenanya, yang perlu diingat, tak ada anasir the invisible hand dalam kemeriahan pasar buku sastra, karena sekalipun tak ada kritikus yang menjembatani karya sastra, cerpen Indonesia sudah berjalan sendiri, “mencuci otak” pembacanya. Pastilah, hal semacam ini jauh lebih berharga dibandingkan dengan kemeriahan sosialisasi cerpen Indonesia beberapa warsa silam, yang penuh konsep, jargon dan juru bicara. Kini, berbagai konsep, jargon, dan petuah juru bicara telah hablur dalam cerita, pembaca-pembaca anonim yang bukan bervarian the invisible hand justru membutuhkan dan menikmatinya, sedikit-banyak tentulah merasakan jaminan atas ruang kenyamanan katarsis, secara apa pun. Bisa jadi, dalam banyak hal, ada kedirian pembaca yang merasuk dalam cerita sehingga substansi cerita menjadi ditunggu-tunggu.
***
BOLEH jadi, saya telah menggeneralisasi secara serampangan terhadap capaian estetik cerpen Indonesia sehingga kalau Binhad Nurrohmat masih menanti dengan setia datangnya “ratu adil” kritikus cerpen Indonesia dan berharap dari lembaga-lembaga sastra yang berkompeten, kiranya, untuk saya, sekalian saja dipastikan bahwa tak ada kritikus cerpen yang akan lahir lagi. Kritikus dengan tuntutan kriteria kesanggupan mengoperasikan berbagai teori sastra untuk mendudukkan sebuah cerpen menjadi mafhum dikaji dari berbagai perspektif, tak usah ditunggu. Karena, kita tahu, tak ada acuan kritik cerpen yang ideal dalam khasanah kesusastraan Indonesia, selain kritik impresif dan bernilai permukaan, lebih banyak mengupas sinopsis dan sekadar konflik psikologisnya, seperti yang terjumpai dalam banyak kritik kata pengantar, kata penutup, maupun yang berkembang sebagai esei sastra di koran-koran. Rupa-rupanya, faktor keterbatasan ruang selalu menjadi alasan utama, justru untuk memberhentikan kerja kritik, yang siapa pun menyadarinya akan sangat fungsional bagi pengembangan kerja estetik para cerpenis di kemudian hari. Setidaknya, tumbuh sentakan ingatan yang bisa dibangun atas kerja kritikus, yang membuat cerpenis tertantang mencari inovasi baru, yang lebih membuka peluang pencapaian otentisitas.
Begitulah. Kini, disadari atau tidak, para pembaca sastra berada dalam ambang batas kesemrawutan cerpen, yang langsung berbicara dengan pembacanya, tak perlu diantar-antar. Dalam banyak hal, situasi semacam ini bukankah malah menguntungkan, karena terhindar dari muatan klaim jika memang masih ada kritikus? Bukankah kerap kita baca, kritik cerpen malah bernilai ambisi legitimatif sehingga menambah keruh politisasi sastra yang di Indonesia pun sudah semakin julik permainannya?
Sampai di sini, saya teringat pada tulisan Richard Oh dalam majalah Matabaca Edisi Mei 2003 dengan judul yang provokatif Melawan Kutukan 3.000 Eksemplar Buku namun substansi yang dibicarakan sangatlah rasional. Dalam era terkini, demikian Richard Oh berasumsi, situasi sosiologis tempat hidup masyarakat sangat merindukan keberagaman cerita sebagai risiko menetralisir kesumpekan. Konsekuensinya, penerbit buku harus pandai-pandai membidik pasar agar buku-buku sastra yang diterbitkan sesuai dengan situasi psikologis publik yang membutuhkannya.
Secara sederhana dapatlah dipahami: pembaca buku Indonesia membutuhkan alternatif bacaan yang segar, namun juga mencerdaskan. Dalam konteks inilah peluang sosialisasi sastra menjadi besar, untuk meruntuhkan hegemoni menara gading, “sakralitasnya” tersebut. Tak bisa dipungkiri, pembaca buku Indonesia yang suntuk dan sumpek dengan buku-buku politik karena tak pernah sinkron antara teori dan kenyataan, dengan contoh anarkisme politik di Indonesia, misalnya, pasti akan lari ke buku lain yang lebih bersifat “membebaskan”, “mencerahkan”, tidak membikin beban berupa kerutan kening. Begitu pula dengan para pembaca buku-buku ilmu sosial.
Karenanya, di sinilah letak sinergi paling logis antara para cerpenis dan penerbit buku, lewat tangan redaktur sastra media massa, yang “seeksperimentatif” apa pun dalam mengakomodir cerpen, tetaplah mempunyai standar estetika. Bolehlah disepakati, sebagai salah satu penentu masa depan “peradaban estetik” cerpen Indonesia, tangan redakturlah yang kini mengemban tanggung jawab cukup besar, karena kritikus telah mati. Dengan sendirinya, karena pengarang akan selalu hidup, dan konteks zaman yang kini menerimanya bisa dikatakan sudah lama mengharap, maka perlu diperbanyak cerita-cerita yang memperhitungkan segala aspek, terutama yang bermuatan historisisme, karena kalangan masyarakat pun membutuhkannya sebagai alternatif “kebenaran”, yang sulit dijumpai dalam teks-teks lain di luar karya sastra. Perlu diingat kembali, dalam konteks ini, antologi cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sangatlah menyumbang, di samping buku lain seperti Sandiwara Hang Tuah karya Taufik Ikram Jamil.
Dalam kaitan semua hal itu pula, risiko keberjamakan yang sepantasnya dirayakan, tak perlu melahirkan hero baru. Sebagaimana analogi dalam dunia industri, siapa pun sah menulis cerpen, karena yang baru trend dan laku adalah fiksi, adalah cerpen. Sebagaimana dalam lingkungan petani, maka menjadi lumrah jika siapa pun yang sanggup menanam dan memelihara lombok, ya, tanamlah dan peliharalah lombok tersebut. Eghm, kini, momentum cerpen Indonesia untuk unjuk gigi, mengkarnavalkan dirinya sudah tiba, karena tuntutan situasi. Di luar tetek-bengek persoalan itu, sebagai konsekuensi seleksi alam kita tinggal menunggu waktu, apakah cerpen-cerpen Indonesia akan menjadi pualam, melabu, ataukah malah bertalu, meraih zaman keemasannya.
Hiduplah para cerpenis dalam keberjamakan eksperimentasi karnaval estetika! ***
*) pernah dimuat di kompas
Rabu, 27 Mei 2009
Selasa, 26 Mei 2009
ANALITIK ANATOMI KESADARAN
Nurel Javissyarqi*
Gagasan kata ibarat ruang dan esensi kedalaman kalimah bagi masanya. Sama dengan penciptaan insan dalam rahim, yang terjadi segumpal daging lalu disusul tertiupnya ruh. Maka kesadaran awal dari sebuah gagasan ialah kata, bermakna tempat serta sadar ruangan.
Pengisian-pengisian ruang menggunakan masa, mencipta ruh manfaat atas kebertemuan ruang-waktu atau penciptaan yang bergerak masanya. Tubuh-tubuh, fenomena, peredaran, tampakan dari perubahan embrio menuju gagasan gemilang.
Semacam ide takkan lahir sebelum datangnya pandangan suatu hal. Kabut pengalaman, terik dan dingin perjalanan, menentukan watak penciptaan sebuah benua lebih tinggi; drajat ide.
Posisi terbangun dari kesadaran ruangan, diteruskan dalam logika rasa, lalu menjelma muatan ruh manfaat, sebagai padanan langit-bumi selalu mencari pembicaraan alam rasa kehidupan.
Sekilat tampak pandangan di atas tidak bersesuaian dengan awal pencipaan yang berangkat dari anganan cita. Tapi sebuah penciptaan mitos pun dari kementokan mempelajari realitas, ketika akan dimanfaatkan sebagai daya tahan tubuh mental dalam memperjuangkan hayat.
Jadi awal buah gagasan, ide, fikiran serta perasaan puitik, datangnya dari himpitan persoalan pengarang, yang merasuk dalam kesadaran paling tinggi, menghujam jantung makna hayati.
Semisal bayi terlahir menangis sebagai kesadaran baru, saat tingkatan usianya menanjak, mengalami demam melewati waktu, hujaman kesadarannya bertambah mematri, serupa tempaan bathin dituntut berjuang terus.
Anatomi kesadaran itu pemaknaan diri depan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran, meneliti perubahan terus dirasakan, meski di tengah kantuk diseret goda kesambillaluan.
Saya sebut anatomi sebab kesadaran miliki tingkatan badan tertentu atas buaian masa bertumpuknya pengalaman. Dan wawasan terbaca sebagai tambahan mutunya perubahan, yang tidak melupakan esensi diri beranatomi.
Ruang-ruang yang dimaksud dalam bingkai anatomi, selalu mempelajari gerak gairah alam diri, untuk menerobos persinggungan wacana, agar tampil tidak menjadi yang terjajah.
Hikmah mengetahui anatomi kesadaran ialah manfaat kesadaran itu sendiri pada esensinya, pengembangan fitroh insani untuk diperjuangkan, meski pada rana mengecewakan.
Ketangguhan dari hempasan berulang, menjadikan anatominya menonjol, kalbu ditekan semakin berpancaran, akal dicekik keadaan terhimpit, kian lapang dalam pengambilan putusan. Kiranya jarak itu pembelajaran praktis di setingkap waktu sempit. Dan jiwa cemerlang menerima keadaan, menambah yang kekurangan atas sifat menutup diri.
Anatomi kesadaran ialah gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar. Dan pencerahannya dihasilkan dari membuai bentuk-bentuk keseimbangan.
Semisal sepucuk surat dari kawan lama, tahu-tahu mendapati kegembiraan sebab rindu terobati datangnya. Ketiba-tibaan itu kesembuhan, gerak luar yang membentuk kesadaran baru. Kiranya sapaan lembut memanggil jiwa, atau sebaliknya jika berkabar tragedi. Kita bisa bantu dengan bertemu memberikan motifasi, agar yang terselubung soal cepat teratasi.
Gambaran di atas menyebutkan anatomi kesadaran bisa terbentuk dari luar, yang tentu berminat meneruskan. Olehnya, karakter takkan terbentuk jika tidak mau merawat, atau kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai pribadi.
Garis teritorial itu menyetiai yang selalu digebu agar tercipta wacana baru kesadaran diri. Pihak lain, anatomi kesadaran dapat mewujudkan kesungguhan cita, kepercayaan masa menancapkan gerak langkah menambah bobot penciptaan otot tangguh, atas kegigihan kerja demi mencapai tujuan.
Bayang-bayang purna itu terketahui, jika memiliki ruang renungan tersendiri yang baik, demi mencari daerah-daerah mana kekurangannya.
Apakah kecermatan kurang tajam dalam menganalisan, atau terlampau meremehkan pandangan orang? Apakah sering menggurui, tidak mau dengar gagasan yang lain? Jelas, kalau menginginkan anatomi kesadaran purna, kudunya membuka diri diperbaiki menerus.
Sebab sering kali egois hingga kesadaran menjadi tidak imbang, antara lengan satu dengan lainnya. Atau kita lupa diberi kaki-kaki lincah, guna langkah difungsikan berlari cepat. Maka anatomi kesadaran harus diselidik sejauh kekurangan, di mana letak kelewat batas, sebelum bercermin publik, dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.
Sebab kepercayaan diri tanpa latihan bukanlah wujud anatomi. Kesadaran ruang-waktu menjadi penentu terbentuknya. Ini bisa diproyeksikan menjadi kerja identitas kesadaran awal. Berbeda parade kesadaran maupun teror kesadaran, dirinya lebih menitik beratkan manfaat pribadi, agar kualitas yang terbangun seirama perubahan masa.
Jika diarahkan sebuah karya sastra, mencari ceruk anatomi kesadaran lewat menelisik karakter kejiwaan pencipta dengan alat yang dia pakai, demi menyelidiki kedalamannya. Kajian ini dapat dimasukkan ke bidang analisa. Ruang-ruang pembelajaran menyuntuki pribadi. Di jarak mana harus duduk atau melangkahkan kaki.
Perkembangan lanjut, analisa ini dimungkinan merombak kejiwaan seorang, kiranya membuka kemungkinan belajar, anatomi kesadarannya semakin gamblang atas pencerahan tunggal bernama kesungguhan kerja.
Ini bukan di ruangan teater tapi alam keterbukaan, wilayah setiap orang bisa memetik buah-buahan, tubuh yang terus memproduksi perkembangan kesadaraan. Kiranya tidak menyembunyikan bayangan di depan umum akan kedirian lapang, serupa prajurit maju berperang, meninggalkan bayangannya di rumah. Bertarung mengikuti hembusan angin pengalaman di medan laga, meyakinkan diri sebagai ras pemberontak.
Lebih jauh, bermain di wilayah santai asal terjaga. Di sini telah mengetahui kerakter lingkungan, berpengalaman meramu diri bersama ruang-waktu yang dihadapi. Keterjagaan sebagai bentuk awal yang kudu terawat pada lingkup keakraban.
Menambah tingkatan yang di muka pelaku, berhadapan dengan musuh yang dapat memenggal salah satu anatomi kesadaran jika terlena. Jikalau pelaku tidak ingin anatominya terputus, kudu mawas depan cermin menyendiri, pada forum atau medan perang perkarakteran, di saat saling singgung gagasan.
Analisa ini dimasukkan jangkauan harap, merindu nilai moralitas seimbang, olehnya harus diperbaiki kesadaraan. Kenapa saya sebut bukan semua hal, sebab insan tak bisa memiliki kesegaran kencang, ada masanya istirah, membungkus anatomi kesadaran di ambang pengendapan, bukan di sampirkan lalu besok dipakai. Sebab endapan juga menentukan warna-bentuknya.
Anatomi terbentuk dengan kuat, sekiranya bisa ambil memori yang lekat di jiwa, hati semangat berkeseimbangan. Transaksi masa lampau dan sekarang sebagai perolehan kekinian demi langkah ke muka. Ini infus anatomi yang kurang cairan, karena terlalu lama berkeringat, atas jalan hayat tanpa endapan mendewasakan, semacam jalan di tempat.
Bagaimana pun melangkah tanpa pengendapan, lama-kelamaan keropos. Tidakkan renung menciptakan gunung pengertian, mengenang sejauh mana mendaki, demi mencapai puncak jati diri, yang kudu dimiliki untuk menuntut takdir semestinya.
Arti kata, renungan bisa menggagalkan peristiwa kroposnya anatomi, atau daya tahan dapat langgeng dimiliki, jika mengambil jarak prosesi yang terkerjakan. Ini bukan percepatan dalam pengambilan kesimpulan, tetapi kesimpulan dari perjalanan sebagai tanda meyakinkan sejauh identitas terbentuk.
Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysa and Religion, menuliskan kurang lebih berkata; “Sementara kita mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa, kita gagal membuat diri kita bangga.”
Atau manusia dapat menciptakan dunia baik bersesuaian imaji rasa yang dipunyai, tapi ketika kembali ke bilik pribadi, terasa gagal sebab tidak dapat mengurus diri secara wajar. Atau tidak mampu merasakan nikmatnya pencapaian, kecuali gula-gula sukses kesombong, yang tentu di balik lain menimbulkan penyakit gula.
Kacamata yang saya kemukakan ini, kelebihan dari anatomi tertentu yang tidak wajar atau cacat. Lebih tragis, para menemu pencerah itu tidak bisa memperbaiki dirinya yang selalu kehausan. Oleh kurangnya renung penerimaan seimbang, pada terbentuknya struktur anatomi kesadaran secara normal.
Tujuan analisanya membongkar kedirian dari dalam, membentur ulang hasil capaian sampai di tingkatan penerimaan, atas kesadaran jauh melangkah, selain kenikmatan ego. Sehingga menjadikan diri tidak sekadar dalil pendektean (bagi atau dari) orang lain, tetapi lebih pada diri yang terpelajari, dari mana keberhasilan usaha itu terjadi.
Hal itu menemukan nikmat seimbang dalam renungan, penerimaan hasil bukan berhenti, namun menyelidik jarak sampai memperoleh kehakikian kerja. Bukan sekadar transformasi kecerdasan nalar menggurui jerih payah, lalu dianggap gemilang. Yang lebih ditekankan, bagaimana pencetus gagasan psikologi diri bermanfaat dan berkeindahan dalam karya kreatif.
Di samping permenungan tinggi, melihat kecerdasan insan berangkat dari gesekan wacana semacam pisau tajam diasa. Namun ketika tidak, menjadikan tumpul lebih berbahaya sebab berkarat. Kalau menyadari pentingnya ilmu bukan sekadar tranformasi budaya, apalagi keahlian bicara, tapi kesadaran mengambil manfaat pembicaraan. Kiranya akan berfaedah, menambah kekuatan otot-otot anatomi kesadaran di dalam kehidupan.
Kelemahan analisa teramat dangkal di sini. Insan tidak sanggup sempurna, tidak terus menerus mampu menyeimbangkan kesadaran imaji, rasa, nalar dan keseluruhan alat dalam diri. Setidaknya hal ini tempuh, tidak larut menggeluti anatomi tertentu, namun menciptakan ruang-ruang permenungan dalam kebutuhan diri menuju pencapaian.
Ada tiga pembentuk anatomi kesadaran:
Pertama, penghancuran atau revolusi. Penggempuran karakter yang telah ada atas faham orang lain yang disetianya, diganti pemberian sudut pandang sendiri.
Kedua, mencari tempat terpencil atau meditasi. Permenungan untuk menemukan hakikat paling hakiki, tidak terasuki faham yang dapat merugikan keberlangsungan tumbuh mekarnya kembang kesadaran.
Ketiga, membuka argumentasi luar. Untuk dibicarakan pada kedirian, atau ada dialog dinamis demi tercapainya anatomi kesadaran, dari berbagai pengalaman orang, bersama kedirian yang tunggal. Cara ini banyak membutuhkan energi, juga perlu daya saring yang ketat, sehingga memunculkan kesadaran universal. Saya akan mencoba mendedahnya satu-satu lebih jauh:
Revolusi Kesadaran.
Kita menyadari telah mengunyah beberapa gagasan orang lain, di mana kadang tindakan itu bukan murni desakan diri. Untuk itu harus merevolusi gagasan yang masuk, bersama gagasan diri yang tercampur ide sebelumnya. Penghapusan, menggagalkan hasil-hasil yang tercapai.
Cara nekat ini belum tentu mendapati hasil maksimal. Namun resiko harus ditanggung kalau ingin penghapus memori semaksimal mungkin, dan membangun kembali gagasan semangat baru, bukan berangkat dari akar kesadaran yang lalu.
Melakukan ini lain daerah, wilayah yang benar-benar baru. Jika berada dalam situasi yang sama pada kurun berdekatan, memulai bentuk baru lewat sikap berbeda dari sebelumnya.
Mungkin orang lain akan bilang munafik, sebab kaca mata mereka berbeda saat gejolak merasuki diri. Gejolak merombak saat dorongan merevolusi kejiwaan, toh yang mendapati manfaat dianya pula. Ini bukan berarti luput bahasan tanggung jawab, sebab pengertiannya berbeda dari sebelumnya.
Semisal seorang santri memasuki pesantren. Saat berada di dalamnya, mau tidak mau merevolusi kebiasaan rumah untuk membiasakan diri di lingkungan itu. Ini dapat terjadi orang rumahan yang sadar makna ibadah, mengaktualisasi pengertian beragama atas pertaubatan. Perubahan sikap yang tampak di sini, berangkat dari merevolusi kesadaran terdalam, kiranya menginginkan bentuk baru itu langgeng.
Atau merevisi ulang secara seksama akan kesadarannya, dengan merusak anatomi kesadaran yang pernah berdenyutan hidup, lewat tergantikan paksa atas anatomi yang baru, bersama angin kehendak perubahan seluruh.
Meditasi Kesadaran
Cara ini hampir serupa bagian awal, memasuki wilayah baru demi menemukan kesadarannya. Tetapi lebih ditekankan dalam pencarian gagasan murni, walau tidak bisa ditemukan semurni mungkin.
Kiranya melewati meditasi kesadaran terpencil, kita mengulangi benang merah kesadaran belia, dengan menyelesaikan permasalahan di hadapan masa itu. Gejala lampau kita proses kembali, demi menemukan kejiwaan diri sebenarnya. Namun dapat pula membawa gagasan awal, sebelum melaksanakan meditasi kesadaran dengan makna.
Dan tidak terpenjara ide sebelumnya, demi pencarian bentuk pandangan halus dari dalam. Hingga gagasan awal bisa diperbantukan mencari tubuh kebenaran dari kenyataan. Sebab setiap insan memiliki kejiwaan berbeda, meski dapat dikategorikan secara umum.
Resiko kecil kesalahan yang ditimbulkan metode ini, dalam membentuk piramida kesadaran. Karena meditasi kesadaran bukan membuang gagasan awal dengan sinis, namun kehati-hatian sahaja, mengajak merenungkan balik yang menghasilkan gagasan dari pantulan kesadaran yang dahulu.
Di sinilah memproyeksikan kesadaran pada tercipta gagasan atas subyektivitas diri. Makna kata, merombak faham lama di goa kemungkinan terciptanya kesadaran baru, berangkat dari pengendapan diri, atas perolehan masa lampau.
Ini sikap pembersihan diri di sendang kedamaian, penguraian makna perjalanan secara mengesankan, bagi yang ingin tercapainya kemurnian pengertian, lewat kelembutan fikiran-perasaan terdalam.
Meditasi Sosial Kesadaran
Adalah menghimpun kontak sosial atas gagasan orang lain dengan pandangan diri, juga memiliki ruang meditasi dalam pemilihan mencapai nilai kebenaran. Bisa dimaksudkan sebagai penggabungan bagian pertama dan kedua, yang pengolahannya menggunakan ruang tertutup juga terbuka. Dan hasilnya mencapai argumentasi kesadaran lebih, mementingkan pandangan umun, namun tidak merugikan pendirian pribadi.
Musyawarah baik dibutuhkan, namun tidak meninggalkan pandangan awal. Seperti laut keseimbangan, debur ombak dilakukan atas angin kerja sosial, kedalaman makna laut kesadaran permenungan, memungkinkan hidupnya ikan-ikan gagasan. Ini memungkinkan yang kita kunyah menjadi daging perbaikan anatomi, ditopang kerja merefleksikan luar berkaca ke dalam.
Memakan yang jelas memberikan gizi, tapi juga berani membuang yang menimbulkan lemak berlebih, agar anatomi dalam meditasi sosial kesadaran seimbang, atas pandangan luar juga penerimaan dalam.
Meditasi sosial kesadaran itu mengembangkan kelestarian baik, berinteraksi secara dinamis dalam kejiwaan, hingga tercapainya keseimbangan bernilai universal, atas membaca faham dari dalam, serta orang lain saat membacanya.
Wawasan ini sampai kalau tekun bekerja, melaksanakan ide berkesadaran menuruti peluang atas kesuburan daging anatomi, dengan tidak terlampau bernafsu yang dapat menggagalkan perencanaan, alias timbulnya ketidakseimbangan atau cacat.
Kerja keras membaca fenomena perubahan, lalu menelaah menjadi catatan-catatan membantu bergerak maju, bagi lelatihan yang dimungkinkan subur, daya kekuatan tercapainya otot-otot tanggung, dalam merawat anatomi kesadaran sang pelaku.
*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesiaku.
Ditulis di Krapyak, Yogyakarta, 2005.
Gagasan kata ibarat ruang dan esensi kedalaman kalimah bagi masanya. Sama dengan penciptaan insan dalam rahim, yang terjadi segumpal daging lalu disusul tertiupnya ruh. Maka kesadaran awal dari sebuah gagasan ialah kata, bermakna tempat serta sadar ruangan.
Pengisian-pengisian ruang menggunakan masa, mencipta ruh manfaat atas kebertemuan ruang-waktu atau penciptaan yang bergerak masanya. Tubuh-tubuh, fenomena, peredaran, tampakan dari perubahan embrio menuju gagasan gemilang.
Semacam ide takkan lahir sebelum datangnya pandangan suatu hal. Kabut pengalaman, terik dan dingin perjalanan, menentukan watak penciptaan sebuah benua lebih tinggi; drajat ide.
Posisi terbangun dari kesadaran ruangan, diteruskan dalam logika rasa, lalu menjelma muatan ruh manfaat, sebagai padanan langit-bumi selalu mencari pembicaraan alam rasa kehidupan.
Sekilat tampak pandangan di atas tidak bersesuaian dengan awal pencipaan yang berangkat dari anganan cita. Tapi sebuah penciptaan mitos pun dari kementokan mempelajari realitas, ketika akan dimanfaatkan sebagai daya tahan tubuh mental dalam memperjuangkan hayat.
Jadi awal buah gagasan, ide, fikiran serta perasaan puitik, datangnya dari himpitan persoalan pengarang, yang merasuk dalam kesadaran paling tinggi, menghujam jantung makna hayati.
Semisal bayi terlahir menangis sebagai kesadaran baru, saat tingkatan usianya menanjak, mengalami demam melewati waktu, hujaman kesadarannya bertambah mematri, serupa tempaan bathin dituntut berjuang terus.
Anatomi kesadaran itu pemaknaan diri depan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran, meneliti perubahan terus dirasakan, meski di tengah kantuk diseret goda kesambillaluan.
Saya sebut anatomi sebab kesadaran miliki tingkatan badan tertentu atas buaian masa bertumpuknya pengalaman. Dan wawasan terbaca sebagai tambahan mutunya perubahan, yang tidak melupakan esensi diri beranatomi.
Ruang-ruang yang dimaksud dalam bingkai anatomi, selalu mempelajari gerak gairah alam diri, untuk menerobos persinggungan wacana, agar tampil tidak menjadi yang terjajah.
Hikmah mengetahui anatomi kesadaran ialah manfaat kesadaran itu sendiri pada esensinya, pengembangan fitroh insani untuk diperjuangkan, meski pada rana mengecewakan.
Ketangguhan dari hempasan berulang, menjadikan anatominya menonjol, kalbu ditekan semakin berpancaran, akal dicekik keadaan terhimpit, kian lapang dalam pengambilan putusan. Kiranya jarak itu pembelajaran praktis di setingkap waktu sempit. Dan jiwa cemerlang menerima keadaan, menambah yang kekurangan atas sifat menutup diri.
Anatomi kesadaran ialah gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar. Dan pencerahannya dihasilkan dari membuai bentuk-bentuk keseimbangan.
Semisal sepucuk surat dari kawan lama, tahu-tahu mendapati kegembiraan sebab rindu terobati datangnya. Ketiba-tibaan itu kesembuhan, gerak luar yang membentuk kesadaran baru. Kiranya sapaan lembut memanggil jiwa, atau sebaliknya jika berkabar tragedi. Kita bisa bantu dengan bertemu memberikan motifasi, agar yang terselubung soal cepat teratasi.
Gambaran di atas menyebutkan anatomi kesadaran bisa terbentuk dari luar, yang tentu berminat meneruskan. Olehnya, karakter takkan terbentuk jika tidak mau merawat, atau kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai pribadi.
Garis teritorial itu menyetiai yang selalu digebu agar tercipta wacana baru kesadaran diri. Pihak lain, anatomi kesadaran dapat mewujudkan kesungguhan cita, kepercayaan masa menancapkan gerak langkah menambah bobot penciptaan otot tangguh, atas kegigihan kerja demi mencapai tujuan.
Bayang-bayang purna itu terketahui, jika memiliki ruang renungan tersendiri yang baik, demi mencari daerah-daerah mana kekurangannya.
Apakah kecermatan kurang tajam dalam menganalisan, atau terlampau meremehkan pandangan orang? Apakah sering menggurui, tidak mau dengar gagasan yang lain? Jelas, kalau menginginkan anatomi kesadaran purna, kudunya membuka diri diperbaiki menerus.
Sebab sering kali egois hingga kesadaran menjadi tidak imbang, antara lengan satu dengan lainnya. Atau kita lupa diberi kaki-kaki lincah, guna langkah difungsikan berlari cepat. Maka anatomi kesadaran harus diselidik sejauh kekurangan, di mana letak kelewat batas, sebelum bercermin publik, dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.
Sebab kepercayaan diri tanpa latihan bukanlah wujud anatomi. Kesadaran ruang-waktu menjadi penentu terbentuknya. Ini bisa diproyeksikan menjadi kerja identitas kesadaran awal. Berbeda parade kesadaran maupun teror kesadaran, dirinya lebih menitik beratkan manfaat pribadi, agar kualitas yang terbangun seirama perubahan masa.
Jika diarahkan sebuah karya sastra, mencari ceruk anatomi kesadaran lewat menelisik karakter kejiwaan pencipta dengan alat yang dia pakai, demi menyelidiki kedalamannya. Kajian ini dapat dimasukkan ke bidang analisa. Ruang-ruang pembelajaran menyuntuki pribadi. Di jarak mana harus duduk atau melangkahkan kaki.
Perkembangan lanjut, analisa ini dimungkinan merombak kejiwaan seorang, kiranya membuka kemungkinan belajar, anatomi kesadarannya semakin gamblang atas pencerahan tunggal bernama kesungguhan kerja.
Ini bukan di ruangan teater tapi alam keterbukaan, wilayah setiap orang bisa memetik buah-buahan, tubuh yang terus memproduksi perkembangan kesadaraan. Kiranya tidak menyembunyikan bayangan di depan umum akan kedirian lapang, serupa prajurit maju berperang, meninggalkan bayangannya di rumah. Bertarung mengikuti hembusan angin pengalaman di medan laga, meyakinkan diri sebagai ras pemberontak.
Lebih jauh, bermain di wilayah santai asal terjaga. Di sini telah mengetahui kerakter lingkungan, berpengalaman meramu diri bersama ruang-waktu yang dihadapi. Keterjagaan sebagai bentuk awal yang kudu terawat pada lingkup keakraban.
Menambah tingkatan yang di muka pelaku, berhadapan dengan musuh yang dapat memenggal salah satu anatomi kesadaran jika terlena. Jikalau pelaku tidak ingin anatominya terputus, kudu mawas depan cermin menyendiri, pada forum atau medan perang perkarakteran, di saat saling singgung gagasan.
Analisa ini dimasukkan jangkauan harap, merindu nilai moralitas seimbang, olehnya harus diperbaiki kesadaraan. Kenapa saya sebut bukan semua hal, sebab insan tak bisa memiliki kesegaran kencang, ada masanya istirah, membungkus anatomi kesadaran di ambang pengendapan, bukan di sampirkan lalu besok dipakai. Sebab endapan juga menentukan warna-bentuknya.
Anatomi terbentuk dengan kuat, sekiranya bisa ambil memori yang lekat di jiwa, hati semangat berkeseimbangan. Transaksi masa lampau dan sekarang sebagai perolehan kekinian demi langkah ke muka. Ini infus anatomi yang kurang cairan, karena terlalu lama berkeringat, atas jalan hayat tanpa endapan mendewasakan, semacam jalan di tempat.
Bagaimana pun melangkah tanpa pengendapan, lama-kelamaan keropos. Tidakkan renung menciptakan gunung pengertian, mengenang sejauh mana mendaki, demi mencapai puncak jati diri, yang kudu dimiliki untuk menuntut takdir semestinya.
Arti kata, renungan bisa menggagalkan peristiwa kroposnya anatomi, atau daya tahan dapat langgeng dimiliki, jika mengambil jarak prosesi yang terkerjakan. Ini bukan percepatan dalam pengambilan kesimpulan, tetapi kesimpulan dari perjalanan sebagai tanda meyakinkan sejauh identitas terbentuk.
Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysa and Religion, menuliskan kurang lebih berkata; “Sementara kita mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa, kita gagal membuat diri kita bangga.”
Atau manusia dapat menciptakan dunia baik bersesuaian imaji rasa yang dipunyai, tapi ketika kembali ke bilik pribadi, terasa gagal sebab tidak dapat mengurus diri secara wajar. Atau tidak mampu merasakan nikmatnya pencapaian, kecuali gula-gula sukses kesombong, yang tentu di balik lain menimbulkan penyakit gula.
Kacamata yang saya kemukakan ini, kelebihan dari anatomi tertentu yang tidak wajar atau cacat. Lebih tragis, para menemu pencerah itu tidak bisa memperbaiki dirinya yang selalu kehausan. Oleh kurangnya renung penerimaan seimbang, pada terbentuknya struktur anatomi kesadaran secara normal.
Tujuan analisanya membongkar kedirian dari dalam, membentur ulang hasil capaian sampai di tingkatan penerimaan, atas kesadaran jauh melangkah, selain kenikmatan ego. Sehingga menjadikan diri tidak sekadar dalil pendektean (bagi atau dari) orang lain, tetapi lebih pada diri yang terpelajari, dari mana keberhasilan usaha itu terjadi.
Hal itu menemukan nikmat seimbang dalam renungan, penerimaan hasil bukan berhenti, namun menyelidik jarak sampai memperoleh kehakikian kerja. Bukan sekadar transformasi kecerdasan nalar menggurui jerih payah, lalu dianggap gemilang. Yang lebih ditekankan, bagaimana pencetus gagasan psikologi diri bermanfaat dan berkeindahan dalam karya kreatif.
Di samping permenungan tinggi, melihat kecerdasan insan berangkat dari gesekan wacana semacam pisau tajam diasa. Namun ketika tidak, menjadikan tumpul lebih berbahaya sebab berkarat. Kalau menyadari pentingnya ilmu bukan sekadar tranformasi budaya, apalagi keahlian bicara, tapi kesadaran mengambil manfaat pembicaraan. Kiranya akan berfaedah, menambah kekuatan otot-otot anatomi kesadaran di dalam kehidupan.
Kelemahan analisa teramat dangkal di sini. Insan tidak sanggup sempurna, tidak terus menerus mampu menyeimbangkan kesadaran imaji, rasa, nalar dan keseluruhan alat dalam diri. Setidaknya hal ini tempuh, tidak larut menggeluti anatomi tertentu, namun menciptakan ruang-ruang permenungan dalam kebutuhan diri menuju pencapaian.
Ada tiga pembentuk anatomi kesadaran:
Pertama, penghancuran atau revolusi. Penggempuran karakter yang telah ada atas faham orang lain yang disetianya, diganti pemberian sudut pandang sendiri.
Kedua, mencari tempat terpencil atau meditasi. Permenungan untuk menemukan hakikat paling hakiki, tidak terasuki faham yang dapat merugikan keberlangsungan tumbuh mekarnya kembang kesadaran.
Ketiga, membuka argumentasi luar. Untuk dibicarakan pada kedirian, atau ada dialog dinamis demi tercapainya anatomi kesadaran, dari berbagai pengalaman orang, bersama kedirian yang tunggal. Cara ini banyak membutuhkan energi, juga perlu daya saring yang ketat, sehingga memunculkan kesadaran universal. Saya akan mencoba mendedahnya satu-satu lebih jauh:
Revolusi Kesadaran.
Kita menyadari telah mengunyah beberapa gagasan orang lain, di mana kadang tindakan itu bukan murni desakan diri. Untuk itu harus merevolusi gagasan yang masuk, bersama gagasan diri yang tercampur ide sebelumnya. Penghapusan, menggagalkan hasil-hasil yang tercapai.
Cara nekat ini belum tentu mendapati hasil maksimal. Namun resiko harus ditanggung kalau ingin penghapus memori semaksimal mungkin, dan membangun kembali gagasan semangat baru, bukan berangkat dari akar kesadaran yang lalu.
Melakukan ini lain daerah, wilayah yang benar-benar baru. Jika berada dalam situasi yang sama pada kurun berdekatan, memulai bentuk baru lewat sikap berbeda dari sebelumnya.
Mungkin orang lain akan bilang munafik, sebab kaca mata mereka berbeda saat gejolak merasuki diri. Gejolak merombak saat dorongan merevolusi kejiwaan, toh yang mendapati manfaat dianya pula. Ini bukan berarti luput bahasan tanggung jawab, sebab pengertiannya berbeda dari sebelumnya.
Semisal seorang santri memasuki pesantren. Saat berada di dalamnya, mau tidak mau merevolusi kebiasaan rumah untuk membiasakan diri di lingkungan itu. Ini dapat terjadi orang rumahan yang sadar makna ibadah, mengaktualisasi pengertian beragama atas pertaubatan. Perubahan sikap yang tampak di sini, berangkat dari merevolusi kesadaran terdalam, kiranya menginginkan bentuk baru itu langgeng.
Atau merevisi ulang secara seksama akan kesadarannya, dengan merusak anatomi kesadaran yang pernah berdenyutan hidup, lewat tergantikan paksa atas anatomi yang baru, bersama angin kehendak perubahan seluruh.
Meditasi Kesadaran
Cara ini hampir serupa bagian awal, memasuki wilayah baru demi menemukan kesadarannya. Tetapi lebih ditekankan dalam pencarian gagasan murni, walau tidak bisa ditemukan semurni mungkin.
Kiranya melewati meditasi kesadaran terpencil, kita mengulangi benang merah kesadaran belia, dengan menyelesaikan permasalahan di hadapan masa itu. Gejala lampau kita proses kembali, demi menemukan kejiwaan diri sebenarnya. Namun dapat pula membawa gagasan awal, sebelum melaksanakan meditasi kesadaran dengan makna.
Dan tidak terpenjara ide sebelumnya, demi pencarian bentuk pandangan halus dari dalam. Hingga gagasan awal bisa diperbantukan mencari tubuh kebenaran dari kenyataan. Sebab setiap insan memiliki kejiwaan berbeda, meski dapat dikategorikan secara umum.
Resiko kecil kesalahan yang ditimbulkan metode ini, dalam membentuk piramida kesadaran. Karena meditasi kesadaran bukan membuang gagasan awal dengan sinis, namun kehati-hatian sahaja, mengajak merenungkan balik yang menghasilkan gagasan dari pantulan kesadaran yang dahulu.
Di sinilah memproyeksikan kesadaran pada tercipta gagasan atas subyektivitas diri. Makna kata, merombak faham lama di goa kemungkinan terciptanya kesadaran baru, berangkat dari pengendapan diri, atas perolehan masa lampau.
Ini sikap pembersihan diri di sendang kedamaian, penguraian makna perjalanan secara mengesankan, bagi yang ingin tercapainya kemurnian pengertian, lewat kelembutan fikiran-perasaan terdalam.
Meditasi Sosial Kesadaran
Adalah menghimpun kontak sosial atas gagasan orang lain dengan pandangan diri, juga memiliki ruang meditasi dalam pemilihan mencapai nilai kebenaran. Bisa dimaksudkan sebagai penggabungan bagian pertama dan kedua, yang pengolahannya menggunakan ruang tertutup juga terbuka. Dan hasilnya mencapai argumentasi kesadaran lebih, mementingkan pandangan umun, namun tidak merugikan pendirian pribadi.
Musyawarah baik dibutuhkan, namun tidak meninggalkan pandangan awal. Seperti laut keseimbangan, debur ombak dilakukan atas angin kerja sosial, kedalaman makna laut kesadaran permenungan, memungkinkan hidupnya ikan-ikan gagasan. Ini memungkinkan yang kita kunyah menjadi daging perbaikan anatomi, ditopang kerja merefleksikan luar berkaca ke dalam.
Memakan yang jelas memberikan gizi, tapi juga berani membuang yang menimbulkan lemak berlebih, agar anatomi dalam meditasi sosial kesadaran seimbang, atas pandangan luar juga penerimaan dalam.
Meditasi sosial kesadaran itu mengembangkan kelestarian baik, berinteraksi secara dinamis dalam kejiwaan, hingga tercapainya keseimbangan bernilai universal, atas membaca faham dari dalam, serta orang lain saat membacanya.
Wawasan ini sampai kalau tekun bekerja, melaksanakan ide berkesadaran menuruti peluang atas kesuburan daging anatomi, dengan tidak terlampau bernafsu yang dapat menggagalkan perencanaan, alias timbulnya ketidakseimbangan atau cacat.
Kerja keras membaca fenomena perubahan, lalu menelaah menjadi catatan-catatan membantu bergerak maju, bagi lelatihan yang dimungkinkan subur, daya kekuatan tercapainya otot-otot tanggung, dalam merawat anatomi kesadaran sang pelaku.
*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesiaku.
Ditulis di Krapyak, Yogyakarta, 2005.
Jumat, 08 Mei 2009
Sajak-Sajak Muhajir Arifin
BISIKAN NAMA
:Siti Masfufah
kupunguti sajak-sajak ini
dari puing-puing berantakan
di pantai-pantai,
beberapa larik lagi
kuminta dari angin
dan debur kecil.
saat kujumpai sepi,
ia mengelak memberi
beberapa cabik lagi.—
biar kubujuk ia,
dan nanti
kutaburkan di kertas-kertas putih.
(bagian satu)
(1)
kami berpapasan
di percik-percik ombak utara—
saat bulir-bulir mengukiri
lengan dan paha,
saat cahaya-cahaya
mewarnai akar-akar kelapa.
(2)
o… gadis
yang dipahat oleh tangan bersih sang pagi,
jernih air sungai-kali yang bernaung
di keperkasaan bebukitan mengaliri diri.
ia mewarisi cahaya hera,
kecantikan isytar-syiria,
pesona perempuan troya, sekaligus
kelembutan gadis jawa.
kadang, ia menjadi drupadi.
bukan, perawan aisah… ah,
(3)
dagunya, hanya milik pemuja.
hamba binasa tak akan sanggup
menyulam makna.
dagu itu, melukis indah bibirnya
tak berbantah.
(4)
di bawah senyum rembulan
dan restu lautan, kusunting jiwanya,
dengan mahar setangkai sederhana
yang aku tanam dan petik
dari taman kesenyapan fana.—
kuhidupi hatinya
dan dia surgai hatiku.
(5)
kami rendam diri di telaga hati.
kami berdandan
layaknya ia dan julia,
ia dan laila.
layaknya ia dan zulaikha,
ia dan ayati.
(6)
menumpahkan seluruh kami di dada-gairah—
hamparan pasir putih dan cadas-cadas basah
ketika bintik-bintik hujan
dan kucuran penantian tertoreh sempurna
di gerut-gerut bibir
dan kelopak pejamnya.—
ah,
perasaan terindah yang akan membuat
zeus dan hera dirisaukan cemburu buta.
(7)
hari-hari menjadi panorama penuh warna,
cemburu dan rindu bersatu
bersama mengusik malam-malam
dan hari-hari yang cerah.
(8)
linangan airmata yang berjatuhan
membentur pasir pantai
seketika musnah,
berganti canda tawa dan lari-lari kecil
yang seringkali berakhir dalam
bertatapan mata—penuh dengan gelora.
dan… semilir pelan, pasir basah
dan ombak ramah berebutan menjamah
betis dan rambutnya yang terurai
bak aliran sungai.
jiwa melayang, membumbung jauh
menerobos gumpalan awan merah senja.
(9)
menyusuri bebukitan
yang penuh dengan pelbagai jenis bunga
dan aroma—
setapak yang rimbun
oleh pinus, semak-semak dan bongkah batu.
hawa dingin dan lebat kabut
yang bergatian datang
menusuk sampai sumsum dan nadi
tak membuat bergeming—
karena kami berjalan
atas nama cinta.— seluruh tenaga,
menggapai-gapai ke puncak surga.
(10)
ah… ia begitu indah—bidadari
yang bersandar di keindahan
dahan malam,
terpaan matahari membalutinya
dengan keemasan cahaya.—
tiap garit bibir dan garis wajahnya adalah puisi,
sekujur tubuhnya menjadi inspirasi.
tatapan itu, o, pesinggahan bestari
bagi para pejalan
yang memdamba keteduhan.
(11)
terus dan terus. tak mengenal takut:
pada ocehan dangkal masyarakat
pewaris tradisi kawin-paksa,
gerutu dungu orang-orang
yang tak pernah bisa
mendengar alunan merdu yang
bergema dari lubuk hati tersunyi—
apalagi melihat kemilau cahaya
di kedalaman jiwa manusia…
(12)
ah!
kami terus melangkah,
menyusuri jalanan cinta—sepanjang jalan
yang memang penuh marabahaya!
(13)
senyum sederhana
namun mempesona—siapapun yang diterpahnya,
akan menganggukkan kepala.— senyum
yang senantisa merekah dari
kelopak bibir indah-basah. senyuman
yang selalu menyiramkan ketenangan
dan kebahagian, bahkan ketika kecemasan
dan rasa takut akan datangnya
perpisahan yang tidak kami inginkan,
tiba-tiba datang meredupkan cahaya…
(14)
rajukan manja
dan harum bersih tubuhnya
selalu bisa menenangkan aku…
tangan berjemari lentik dengan lembut meraihku,
menjatuhkan aku dalam
hangatnya dekapan—o,
aku merasa seperti bayi
yang mendapatkan ketengan
dan kedamaian yang luar biasa.
(15)
memandang jauh ke bebas-samudra…
seringkali aku mendengar jeritan do’a
yang menggema lirih dari jiwanya,
permintaan sederhana kepada
sang pemilik cinta:”jangan ambil keindahan ini,
wahai tuhan… kumohon, jangan ambil kebahagiaan ini!”
suara yang digetarkan ketakutan
menghadapi lengang
dan hampanya perpisahan…
(16)
bersendawa dalam dekapan keheningan,
takjub, dan mensyukuri segala anugrah…
mencurah dan mencurahkan lagi
segala rasa ke pantai-pantai,
bebukitan hijau dan kokoh menara-menara
yang ditempa sang resi-bumi,
danau-danau hening nan sepi… begitulah,
cara kami menghadirkan
indahnya kegembiraan
dan mengembalikan cahaya kebahagiaan.—
mengukir nama muhajir arifin-masfufah
pada batang-batang kelapa,
bongkah-bongkah batu dan pasir pantai surut.
menelanjangi diri, hati
dan jiwa—menenggelamkannya—dalam kejernihan cinta…
(bagian dua)
(17)
jatuh! kalah!
pancungan itu datang jua!
kami tak sanggup bertahan
bahkan demi jerih dari peras
sepayah itu.
(18)
mereka… mereka menyayatkan luka-luka
tepat di puncak gelora,
sebelum menyematkan penggal
di tengah wajah-wajah pasrah,
jiwa-jiwa yang tak pernah berani beronta
dipendam keluh-desah dan
gemetar ketakutan—khas para pengecut!
jiwa-jiwa yang memenjarakan
dan merantai dirinya dengan suka rela.
(19)
mereka hapus sisa-sisa darah,
memadamkan titik-titik gairah.—
sampai tak ada sejarah
di puing-puing kisah,
tak ada yang tahu, peleburan rindu
bersemanyam syahdu
di daerah paling teduh di palung jauh.
(20)
entah,
kapan dapat kuikhlasi kekejian itu!
sementara surga kami yang mungil
di pantai kecil, itu nyaris berdiri...
(bagian tiga)
(21)
tiga tahun menuju
datangi setapak-setapak dulu—
tinggal jejak-jejak kakimu kelabu
dan bunga-bunga biru menghaturkan
wangimu ke kalbu.
(22)
sampai hujan mereda
galau masih menggenangi hati
dan batang jati—
persinggahan sederhana
yang menyuguhkan secawan madu
dari kerajaan pagi
dan setetes racun
persembahan awan tua.
(23)
menjelang senja
kutonggak jiwa
melepas kepergian cahaya
kucurkan seluruhku ke pangkuan sunyi.
sampai nanti,
sampai perih tak lagi
gerogoti hati.
(24)
(“tersenyumlah…
seperih apapun luka,
ia akan selalu mengkidungi
langkah-langkah.”)
(25)
ia senyumkan aku,
saat teluk-teluk hanya dungu
puncak-puncak hanya desau
dan bayang-bayang menggigil
menyaksikan puncratan dari punda,
sedetik setelah belati menghunjamnya…
dan berlalu,
menjauhi tubuhku yang runtuh
ke tanah.
(26)
habis gairah. habis darah. habis serapah.
(27)
sebelum silir-silir pelan
menghantarkan serpih-serpihku
ke pantai,
tak ada hidup mati
dendam dan kasih…
(bagian empat)
(28)
kupunguti serpih-serpih
di pantai-pantai.
selangkah-selangkah menyusuri
setapak-setapak berhembusan semerbakmu.
meski,
tak ada ringsut-ringsutmu
tunduk ragu-ragu
dan gerut-gerut bibirmu yang basah—
kecupan halusmu yang dingin.
(29)
kerisauan demi kerisauan
akan datangnya pancungan itu,
menempahku:
tak bergeming menghadap hening.
(30)
taka akan ada caci lagi pada biasa-biasa
karena kasih telah mengajari kita
merasai yang tak berasa.
tak ada kernyit lagi di malam-malam pahit
karena sang jiwa akan menusukkan sakit
di telapak nasib.
(31)
bila perihnya meraba
tujulah pantai-pantai.
reguk segalanya
dan biarkan butir-butir air menciumi bibir—
tumpahkan seluruhmu pada sang maha getir.
(32)
satukan nadi
bersama nafas-nafas pagi,
kecup tunas-tunas bayi.
di esok ceria
saat cahaya belia
gairah berserak di tanah-tanah.
(33)
biarkan aku bercerita kisah biasa ini
pada tiang-tiang pelabuhan
pada pinus-pinus pengunungan
pada jiwa yang menghabiskan
malam-malam diam
dan unggun bara sampai nyaris padam.
(34)
menyeduh kopi
bersamanya di teras sepi
bererimbunan pohon semi
dan membangun surga mungil
di petak kecil
di tengah hutan jati kecil
(35)
bila ada penegur sapa,
katakan segalanya
tanpa kata-kata—
luka menganga
duri yang sepi
akan menjadi basi bila tak dicicipi,
tak akan mendenyutkan nadi
dan mewarnai mimpi bila tak disenyumi.
(36)
dan senyum menguntum
damai bersemai
gia yang menggelora
gairah akan sua
akan sia-sia.
(37)
tak dapat kuhapusi jejak-jejak terlalui—
yang sudah membekasi great-gerat
di lempeng hati.—tapi,
aku harus segera mencari…
(bagian lima)
(38)
kutinggalkan mantel beludru
di timbunan haru
kurebah tubuh runtuh
di atas sajadah jauh.
sesisa tenaga,
kusuluh sumbuh repuh
kuhampiri tungku
lalu kugaruh basuh—
untuk kalbu yang tersepuh pilu
untuk hatiku yang dipatahkan rintik salju.
(39)
tak berani lagi kuharapkan apapun
pada hidup yang memang gugup—dan
semakin redup,—
hidup yang menanti-raih kehadiran
sang jiwa
untuk mengenakan selimut
di tubuh yang diharubiru oleh beku,
untuk menyeka luka
yang berlumuran duka—dengan
selendang yang diambil
dari jeritan-jeritan terkekang
tangis-tangis yang hilang
sebelum menjadi pedang…
(40)
jiwa yang terlahir dari
lembah sepi sakit hati
dan bertumbuh di langit
yang dikotori—jiwa
yang akan menghembuskan kerisauan
pada siang malam tuan.—
ia adalah cadas,
yang dipahat oleh jutaan tahun rampasan peras.
jangan ocehi dia tentang
kemurnian sabda-sabda
keangungan para pemberonta
atau kemulyaan para pemuja.
ia, yang baru saja membebas diri
dari injakan tirai-tirai,
datang menebar darah
dan sesimpul senyum sepah.
jangan bujuk ia dengan perih-mati
karena di dadanya sudah tertancap belati.
(41)
petapa alam menempahnya
untuk menolak
pagi petangnya petuah ragu dan tidak
dari sang raja gagak.
ia hanya percaya pada desis angin
betapa irisnya mendingin
ia belajar pada duri perihal menusukkan rintih
pada bayi perihal menyuapi asih.
(42)
di malam-malam pendam,
ia kunjungi ranjang-ranjang perawan:
“hanya untukmu perih ini,
jangan menampik
tak ada apapun lagi—rangkaian atau janji.
tak dapat kumandikanmu di telaga lengang
pagi dan petang.
sungguh,
hanya darah ini yang kualirkan ke tanah
dan membiarkan akar-akar jati mereguknya.
sudahlah…
esok saat aku tiba, di tanganku
sekuntum gelora…”
(43)
hampir hujan
sembulan pekat asap gerogoti
geretak-geretak rongga dada
ketika hirukpikuk mengasingi
pilar-pilar renta, karat—tak beronta.
aku yang menjaga parahku di kedalaman
tak menjadi kegilaan, berlalu
ke haribaan senja beku—senja
yang kian mempercepat detik-detik
keberangkatan kapal
menuju ke sendirian. tak berbekal apapun
menghadap perkasanya hening lautan,
selain tubuh basah dan hati pecah
(44)
gema-lirih kata-kata yang putus-putus
oleh air mata dari bibir merah basah,
akan selalu temani aku…
“kita tetap jatuh
membentur tanah… membusuk
meski jutaan serat berputusan mengikat.
bertunaskah
merancapkah
adakah daun menguncup
sedang tangkai mongering
di atas batang kering
bertopang akar kering
tertancap di tanah-tanah kering
dikelilingi jiwa-jiwa
yang berangsur kering.
esok, mungkin hujan akan mengucur
membangkitkan daya-daya subur
terkubur… dan, jiwa-jiwa bayi akan tumbuh
dan menggapai-gapai udara dan cahaya.
saat itu,
ketika jiwa-jiwa mungil sedang belajar
untuk menjadi dewasa—merdeka
dan menentukan sendiri pilihannya—
si usil nasib dan tradisi dungu ini
akan terbahak lagi, menertawi…”
kau ikat pulukku,
sehembus nafas wangi menghangati bibir
yang kian berasa getir.
dia kembali berbisik…
”jika masih tersisa gairah,
sebaiknya kitapun tertawa…”
(45)
hempasan sengit badai
berangsur surut
tinggal lima depa, aku jumpa.
dari jalan-jalan malam kelam
hingga tepian pasir muram,
kubungkam desahku sebisu batu
kutimbuni perih dengan duri.
tinggal selangkah,
ketika tumbang pepohonan…
ringkih batang-batang, dan
daun-daun kering menghamburi tubuh
dan lusuh.
(46)
mulai surut sepanjang perairan
dan langit menampakkan paras ketegasan.
sebelum keringnya dahaga
menggersangkan rongga,
kuraih serakan tetulang purba,
seonggok hati patah
dan biola kecil yang dawainya entah…
(47)
ah,
di hamparan entah-berantah,
satu demi satu akan kutonggaki arah
:Siti Masfufah
kupunguti sajak-sajak ini
dari puing-puing berantakan
di pantai-pantai,
beberapa larik lagi
kuminta dari angin
dan debur kecil.
saat kujumpai sepi,
ia mengelak memberi
beberapa cabik lagi.—
biar kubujuk ia,
dan nanti
kutaburkan di kertas-kertas putih.
(bagian satu)
(1)
kami berpapasan
di percik-percik ombak utara—
saat bulir-bulir mengukiri
lengan dan paha,
saat cahaya-cahaya
mewarnai akar-akar kelapa.
(2)
o… gadis
yang dipahat oleh tangan bersih sang pagi,
jernih air sungai-kali yang bernaung
di keperkasaan bebukitan mengaliri diri.
ia mewarisi cahaya hera,
kecantikan isytar-syiria,
pesona perempuan troya, sekaligus
kelembutan gadis jawa.
kadang, ia menjadi drupadi.
bukan, perawan aisah… ah,
(3)
dagunya, hanya milik pemuja.
hamba binasa tak akan sanggup
menyulam makna.
dagu itu, melukis indah bibirnya
tak berbantah.
(4)
di bawah senyum rembulan
dan restu lautan, kusunting jiwanya,
dengan mahar setangkai sederhana
yang aku tanam dan petik
dari taman kesenyapan fana.—
kuhidupi hatinya
dan dia surgai hatiku.
(5)
kami rendam diri di telaga hati.
kami berdandan
layaknya ia dan julia,
ia dan laila.
layaknya ia dan zulaikha,
ia dan ayati.
(6)
menumpahkan seluruh kami di dada-gairah—
hamparan pasir putih dan cadas-cadas basah
ketika bintik-bintik hujan
dan kucuran penantian tertoreh sempurna
di gerut-gerut bibir
dan kelopak pejamnya.—
ah,
perasaan terindah yang akan membuat
zeus dan hera dirisaukan cemburu buta.
(7)
hari-hari menjadi panorama penuh warna,
cemburu dan rindu bersatu
bersama mengusik malam-malam
dan hari-hari yang cerah.
(8)
linangan airmata yang berjatuhan
membentur pasir pantai
seketika musnah,
berganti canda tawa dan lari-lari kecil
yang seringkali berakhir dalam
bertatapan mata—penuh dengan gelora.
dan… semilir pelan, pasir basah
dan ombak ramah berebutan menjamah
betis dan rambutnya yang terurai
bak aliran sungai.
jiwa melayang, membumbung jauh
menerobos gumpalan awan merah senja.
(9)
menyusuri bebukitan
yang penuh dengan pelbagai jenis bunga
dan aroma—
setapak yang rimbun
oleh pinus, semak-semak dan bongkah batu.
hawa dingin dan lebat kabut
yang bergatian datang
menusuk sampai sumsum dan nadi
tak membuat bergeming—
karena kami berjalan
atas nama cinta.— seluruh tenaga,
menggapai-gapai ke puncak surga.
(10)
ah… ia begitu indah—bidadari
yang bersandar di keindahan
dahan malam,
terpaan matahari membalutinya
dengan keemasan cahaya.—
tiap garit bibir dan garis wajahnya adalah puisi,
sekujur tubuhnya menjadi inspirasi.
tatapan itu, o, pesinggahan bestari
bagi para pejalan
yang memdamba keteduhan.
(11)
terus dan terus. tak mengenal takut:
pada ocehan dangkal masyarakat
pewaris tradisi kawin-paksa,
gerutu dungu orang-orang
yang tak pernah bisa
mendengar alunan merdu yang
bergema dari lubuk hati tersunyi—
apalagi melihat kemilau cahaya
di kedalaman jiwa manusia…
(12)
ah!
kami terus melangkah,
menyusuri jalanan cinta—sepanjang jalan
yang memang penuh marabahaya!
(13)
senyum sederhana
namun mempesona—siapapun yang diterpahnya,
akan menganggukkan kepala.— senyum
yang senantisa merekah dari
kelopak bibir indah-basah. senyuman
yang selalu menyiramkan ketenangan
dan kebahagian, bahkan ketika kecemasan
dan rasa takut akan datangnya
perpisahan yang tidak kami inginkan,
tiba-tiba datang meredupkan cahaya…
(14)
rajukan manja
dan harum bersih tubuhnya
selalu bisa menenangkan aku…
tangan berjemari lentik dengan lembut meraihku,
menjatuhkan aku dalam
hangatnya dekapan—o,
aku merasa seperti bayi
yang mendapatkan ketengan
dan kedamaian yang luar biasa.
(15)
memandang jauh ke bebas-samudra…
seringkali aku mendengar jeritan do’a
yang menggema lirih dari jiwanya,
permintaan sederhana kepada
sang pemilik cinta:”jangan ambil keindahan ini,
wahai tuhan… kumohon, jangan ambil kebahagiaan ini!”
suara yang digetarkan ketakutan
menghadapi lengang
dan hampanya perpisahan…
(16)
bersendawa dalam dekapan keheningan,
takjub, dan mensyukuri segala anugrah…
mencurah dan mencurahkan lagi
segala rasa ke pantai-pantai,
bebukitan hijau dan kokoh menara-menara
yang ditempa sang resi-bumi,
danau-danau hening nan sepi… begitulah,
cara kami menghadirkan
indahnya kegembiraan
dan mengembalikan cahaya kebahagiaan.—
mengukir nama muhajir arifin-masfufah
pada batang-batang kelapa,
bongkah-bongkah batu dan pasir pantai surut.
menelanjangi diri, hati
dan jiwa—menenggelamkannya—dalam kejernihan cinta…
(bagian dua)
(17)
jatuh! kalah!
pancungan itu datang jua!
kami tak sanggup bertahan
bahkan demi jerih dari peras
sepayah itu.
(18)
mereka… mereka menyayatkan luka-luka
tepat di puncak gelora,
sebelum menyematkan penggal
di tengah wajah-wajah pasrah,
jiwa-jiwa yang tak pernah berani beronta
dipendam keluh-desah dan
gemetar ketakutan—khas para pengecut!
jiwa-jiwa yang memenjarakan
dan merantai dirinya dengan suka rela.
(19)
mereka hapus sisa-sisa darah,
memadamkan titik-titik gairah.—
sampai tak ada sejarah
di puing-puing kisah,
tak ada yang tahu, peleburan rindu
bersemanyam syahdu
di daerah paling teduh di palung jauh.
(20)
entah,
kapan dapat kuikhlasi kekejian itu!
sementara surga kami yang mungil
di pantai kecil, itu nyaris berdiri...
(bagian tiga)
(21)
tiga tahun menuju
datangi setapak-setapak dulu—
tinggal jejak-jejak kakimu kelabu
dan bunga-bunga biru menghaturkan
wangimu ke kalbu.
(22)
sampai hujan mereda
galau masih menggenangi hati
dan batang jati—
persinggahan sederhana
yang menyuguhkan secawan madu
dari kerajaan pagi
dan setetes racun
persembahan awan tua.
(23)
menjelang senja
kutonggak jiwa
melepas kepergian cahaya
kucurkan seluruhku ke pangkuan sunyi.
sampai nanti,
sampai perih tak lagi
gerogoti hati.
(24)
(“tersenyumlah…
seperih apapun luka,
ia akan selalu mengkidungi
langkah-langkah.”)
(25)
ia senyumkan aku,
saat teluk-teluk hanya dungu
puncak-puncak hanya desau
dan bayang-bayang menggigil
menyaksikan puncratan dari punda,
sedetik setelah belati menghunjamnya…
dan berlalu,
menjauhi tubuhku yang runtuh
ke tanah.
(26)
habis gairah. habis darah. habis serapah.
(27)
sebelum silir-silir pelan
menghantarkan serpih-serpihku
ke pantai,
tak ada hidup mati
dendam dan kasih…
(bagian empat)
(28)
kupunguti serpih-serpih
di pantai-pantai.
selangkah-selangkah menyusuri
setapak-setapak berhembusan semerbakmu.
meski,
tak ada ringsut-ringsutmu
tunduk ragu-ragu
dan gerut-gerut bibirmu yang basah—
kecupan halusmu yang dingin.
(29)
kerisauan demi kerisauan
akan datangnya pancungan itu,
menempahku:
tak bergeming menghadap hening.
(30)
taka akan ada caci lagi pada biasa-biasa
karena kasih telah mengajari kita
merasai yang tak berasa.
tak ada kernyit lagi di malam-malam pahit
karena sang jiwa akan menusukkan sakit
di telapak nasib.
(31)
bila perihnya meraba
tujulah pantai-pantai.
reguk segalanya
dan biarkan butir-butir air menciumi bibir—
tumpahkan seluruhmu pada sang maha getir.
(32)
satukan nadi
bersama nafas-nafas pagi,
kecup tunas-tunas bayi.
di esok ceria
saat cahaya belia
gairah berserak di tanah-tanah.
(33)
biarkan aku bercerita kisah biasa ini
pada tiang-tiang pelabuhan
pada pinus-pinus pengunungan
pada jiwa yang menghabiskan
malam-malam diam
dan unggun bara sampai nyaris padam.
(34)
menyeduh kopi
bersamanya di teras sepi
bererimbunan pohon semi
dan membangun surga mungil
di petak kecil
di tengah hutan jati kecil
(35)
bila ada penegur sapa,
katakan segalanya
tanpa kata-kata—
luka menganga
duri yang sepi
akan menjadi basi bila tak dicicipi,
tak akan mendenyutkan nadi
dan mewarnai mimpi bila tak disenyumi.
(36)
dan senyum menguntum
damai bersemai
gia yang menggelora
gairah akan sua
akan sia-sia.
(37)
tak dapat kuhapusi jejak-jejak terlalui—
yang sudah membekasi great-gerat
di lempeng hati.—tapi,
aku harus segera mencari…
(bagian lima)
(38)
kutinggalkan mantel beludru
di timbunan haru
kurebah tubuh runtuh
di atas sajadah jauh.
sesisa tenaga,
kusuluh sumbuh repuh
kuhampiri tungku
lalu kugaruh basuh—
untuk kalbu yang tersepuh pilu
untuk hatiku yang dipatahkan rintik salju.
(39)
tak berani lagi kuharapkan apapun
pada hidup yang memang gugup—dan
semakin redup,—
hidup yang menanti-raih kehadiran
sang jiwa
untuk mengenakan selimut
di tubuh yang diharubiru oleh beku,
untuk menyeka luka
yang berlumuran duka—dengan
selendang yang diambil
dari jeritan-jeritan terkekang
tangis-tangis yang hilang
sebelum menjadi pedang…
(40)
jiwa yang terlahir dari
lembah sepi sakit hati
dan bertumbuh di langit
yang dikotori—jiwa
yang akan menghembuskan kerisauan
pada siang malam tuan.—
ia adalah cadas,
yang dipahat oleh jutaan tahun rampasan peras.
jangan ocehi dia tentang
kemurnian sabda-sabda
keangungan para pemberonta
atau kemulyaan para pemuja.
ia, yang baru saja membebas diri
dari injakan tirai-tirai,
datang menebar darah
dan sesimpul senyum sepah.
jangan bujuk ia dengan perih-mati
karena di dadanya sudah tertancap belati.
(41)
petapa alam menempahnya
untuk menolak
pagi petangnya petuah ragu dan tidak
dari sang raja gagak.
ia hanya percaya pada desis angin
betapa irisnya mendingin
ia belajar pada duri perihal menusukkan rintih
pada bayi perihal menyuapi asih.
(42)
di malam-malam pendam,
ia kunjungi ranjang-ranjang perawan:
“hanya untukmu perih ini,
jangan menampik
tak ada apapun lagi—rangkaian atau janji.
tak dapat kumandikanmu di telaga lengang
pagi dan petang.
sungguh,
hanya darah ini yang kualirkan ke tanah
dan membiarkan akar-akar jati mereguknya.
sudahlah…
esok saat aku tiba, di tanganku
sekuntum gelora…”
(43)
hampir hujan
sembulan pekat asap gerogoti
geretak-geretak rongga dada
ketika hirukpikuk mengasingi
pilar-pilar renta, karat—tak beronta.
aku yang menjaga parahku di kedalaman
tak menjadi kegilaan, berlalu
ke haribaan senja beku—senja
yang kian mempercepat detik-detik
keberangkatan kapal
menuju ke sendirian. tak berbekal apapun
menghadap perkasanya hening lautan,
selain tubuh basah dan hati pecah
(44)
gema-lirih kata-kata yang putus-putus
oleh air mata dari bibir merah basah,
akan selalu temani aku…
“kita tetap jatuh
membentur tanah… membusuk
meski jutaan serat berputusan mengikat.
bertunaskah
merancapkah
adakah daun menguncup
sedang tangkai mongering
di atas batang kering
bertopang akar kering
tertancap di tanah-tanah kering
dikelilingi jiwa-jiwa
yang berangsur kering.
esok, mungkin hujan akan mengucur
membangkitkan daya-daya subur
terkubur… dan, jiwa-jiwa bayi akan tumbuh
dan menggapai-gapai udara dan cahaya.
saat itu,
ketika jiwa-jiwa mungil sedang belajar
untuk menjadi dewasa—merdeka
dan menentukan sendiri pilihannya—
si usil nasib dan tradisi dungu ini
akan terbahak lagi, menertawi…”
kau ikat pulukku,
sehembus nafas wangi menghangati bibir
yang kian berasa getir.
dia kembali berbisik…
”jika masih tersisa gairah,
sebaiknya kitapun tertawa…”
(45)
hempasan sengit badai
berangsur surut
tinggal lima depa, aku jumpa.
dari jalan-jalan malam kelam
hingga tepian pasir muram,
kubungkam desahku sebisu batu
kutimbuni perih dengan duri.
tinggal selangkah,
ketika tumbang pepohonan…
ringkih batang-batang, dan
daun-daun kering menghamburi tubuh
dan lusuh.
(46)
mulai surut sepanjang perairan
dan langit menampakkan paras ketegasan.
sebelum keringnya dahaga
menggersangkan rongga,
kuraih serakan tetulang purba,
seonggok hati patah
dan biola kecil yang dawainya entah…
(47)
ah,
di hamparan entah-berantah,
satu demi satu akan kutonggaki arah
Sajak-Sajak Johan Khoirul Zaman,
Manik-manik Do’a Pernikahan
Pernikahan langait, itulah munajatku disela sunyi
saat perempuan menggunting lajangku,
ia akan ku ajak menganyam hujan
walau gemuruh berhamburan
tiba juga jiwa di dermaga sukma
pesta cinta memang tak bersuara
ingin kutitipkan ilmu disetiap garis bibir istriku
agar kehormatan dijaga para pembela
pastilah ku taburkan doa disetiap helai rambutnya
agar cahaya kesetiaan memayungi jiwanya
ku tancapkan janji dalam hati
oh….penghuni hati
engkaulah percikan illahi
yang menyempurnakan Asmaul Husna dengan kemesraan
lalu kita bermain ditaman dengan segala permohonan cinta
yang melahirkan keselamatan.
Ya…maha cinta,
himpun daku dari yang terserak
berikan insan-MU yang berhias akhlak.
Bandung 25-12-08
Cinta yang Berdo’a
Jiwa yang bersemayam dalam selimut cinta
telah mengabarkan padaku tentang hangatnya kasih dikedalaman jiwa
yang berwsembunyi dalam dusta
lalu diam-diam terdengar sakitnya kenikmatan
layaknya hati berduri yang menancapi segala mimpi
semau kata pun menjadi sia-sia
karena 1 kebaikan cinta dapat menumbuhkan 1000 kebaikan
dan semua orang dapat melihat indahnya pelayaran rindu
dengan layar kedermawanan ditiup angin keikhlasan
ia menerjang badai dengan penuh ketenangan
walau sakitnya perpisahan antara pelabuhan dan lautan begitu pilu
namun semua mengajarkan tentang begitu indahnya memberi
ketahuilah riundu........
bila 1 keburukan pada hidup cinta
begitu dapat meruntuhkan semua kebaikan
ia akan terombang ambing gelisah
ia bagai perahu tanpa nelayan lalu terbentur karang curam
dan diam segala penyesalan
semua orang pun menjauh karena benci pada keburukan
karena cintanya, luka dibawa rasa
oh…jiwa
daku tak mampu melihat engkau mati dalam kebisingan kota
dari kemarin aku telah mengajak hati agar berlabuh dipantai sunyi
diamana kita bersemayam dalam doa
untuk hidup yang sementara sedang cinta begitu abadi.
Bisakah kita berlari....?
saat kita tak tau siapa yang telah memberi.
Bandung 23-06-08
Hujan Darah
Lalu siapa yang menuduh hujan darah ini hari?
Lagi aku menjerit sakit memuntahkan getir itu
getir yang mencabik ulu hati manusia sangsi
lihatlah..... nona pertiwi berguguran ditepi selokan
sungguhkah demikian?
Ach.....bagi anak wayang itu semua hanya guyonan saja.
Tak ada lagi syukuran dimalam sakral
saat ini pesta kematian disarang perawan begitu mengasikan
sampai Tuhan dipermainkan dimeja judi
antara pencuri dan pemberi harus menjual harga diri
oh...jemari apa yang terjadi diliang lahat?
Telunjuk ku ingin menusuk kelicikan
dan ibu jari lelah untuk kuangkat diwajah para penjahat
aku pun linglung .....bingung
kini aku kepalkan tangan mengarah jiwa yang tak bisa marah
sebab siapa yang inginkan hujan darah ini semua
aku pun lelah pada ocehan ini semua
aku marah dalam resah
aku pun jengah dari kemarin hanya disebut sampah
tapi yakinlah aku tak kan lengah
sungguh...aku kalah bertarung dengan mereka yang serakah
namun aku menang bersama jiwa-jiwa yang berperang dalam batin
kelak suatu saat nanti
aku kan tenang menyambut gerilya meraka
karena akulah yang mengurung luka agar tenang....
tenang ....
maka kau ...dia...dan aku terang,
semoga.
Bandung 21-02-09
Pusaka Sunyi Seorang Pejuang
Jikalau tiba penabur datang kembali
esok pastilah tiba sejatinya
saat kebenaran menuai keselamatan
karena siapa yang mengganti kelaparan dengan janji-janji yang diingkari,
maka tunggulah apa yang akan para pejuang lakukan diujung sunyi.
Bandung 14-01-09
Sampah, Perempuan, Rindu dan Hilang
Saat ini betina liar disumur tua berteriak-teriak pada luka
yang ia timba dengan kondom alat srigala melampiaskan nafsunya
segera ia menyiram keranda bekas seorang janda.
maha duka benar bibir menguntai caci diujung mimpi
karena tibalah kita bersilat lidah untuk merangkai tragedi
hey.......anak-anak dijual
saat perempuan dipaksa melayani mesin-mesin pabrik
sedang ekonom, seniman, budayawan, diajak berdansa
di panggung sirkus para politikus.
Betina yang luka,
aku yang tak rela memkik suara syahdumu
”kembalikan hidupku yang telah kau curi”
Bandung 17-04-09
Hanya ini
Bagi jiwa-jiwa yang selalu ada dalam rahasiah kata
aku memanggil ruh pecinta untuk mengabarkan ini
duhai diri petiklah ini segera
dan ingatlah Ia yang mengajarkan pertentangan,
semua bertujuan agar kita dapat mengetahui yang tunggal
diantara siang dan malam
baik dan buruk
sungguh, kita telah disambut dengan suka cita
atas waktu yang mengeja hal yang pernah ada
tentang kau dan aku yang tercipta.
Tersenyumlah kau bagai cinta yang meluluhkan air mata.
Segenap rindu memnggil kita dengan mahluk yang sempurna, kita manusia.
Amin.
Bandung 18-02-09
Garis Sutra Sahaya
Demi sesuatu yang ku damba
sungguh sakit nafas ini adalah jelma harap yang mati
terkapar diantara slogan-slogan partai
disetiap khotbah agama yang meraup dunia
atau disetiap rencana kekuasaan hidup
mimpiku telah miskin sejak kemarin
papa doaku tak bernama
karena cahaya dunia ditelan usia
sebab apa aku berdiri?
hidup ini telah gila
mencoreng cinta dengan harta dunia
meludahi ketulusan dengan dusta
ikhlasku telah dipaksa
sunyiku bak bencana
demi seseuatu yang ingin ku cela
aku rindu kesejahteraan dimana syurga bukanlah bualan kapitalis
agar lengkap air mata ini
agar jatuh mimpi itu
sungguh ingin ku hapus kegilaan ini
seperti dunia yang dipenuhi cinta
seperti hidup yang gandrung akan ketulusan
mati pun aku ikhlas
tak mungkin ku terpaksa
sebab sunyiku telah lama bersuara
” Hanya orang-orang ikhlas yang tak bisa dijamah iblis”
ikhlasku yang tak berbekas
jadilah doa ini tanpa batas
sampai luka dan cinta dapat ku hempas.
Bandung 19-04-09
Doit Your Self Indonesia
Perubahan hanya diperlukan oleh orang-orang yang bernurani
perjuangan dibutuhkan oleh orang-orang pemberani
karena kebebasan membutuhkan kemerdekaan
demokrasi itu adalah untuk keadilan
keadilan lahir untuk kesejahteraan
pembodohan dibutuhkan oleh para penindas
kelicikan pun dibutuhkan oleh para politikus picik
karena kemiskinan dan kehinaan menjadi hadiah
bagi orang-orang rakus
Revolusi dan mimpi adalah cinta dan tragedi
dalam kudeta para pencuri hati
siapa yang mampu berdiri untuk melindungi
maka ialah pemberontak utusan Illahi
yakinlah ...proklamasi itu sesungguhnya janji
agar kita semua meniti diri
bagi siapa negri ini?
Sedang rakyat tak sadar telah dieksploitasi
sungguh menyakitkan.......sakit
untuk apa kita bicara sedang laku tak serupa
untuk apa kita berbuat sedang kata dan hati dipenuhi siasat
lakukan oleh dirimu sendiri Indonesiaku,
karena aku yakin keinginan kita semua
kita yang merdeka.
Bandung 14-04-09
Pernikahan langait, itulah munajatku disela sunyi
saat perempuan menggunting lajangku,
ia akan ku ajak menganyam hujan
walau gemuruh berhamburan
tiba juga jiwa di dermaga sukma
pesta cinta memang tak bersuara
ingin kutitipkan ilmu disetiap garis bibir istriku
agar kehormatan dijaga para pembela
pastilah ku taburkan doa disetiap helai rambutnya
agar cahaya kesetiaan memayungi jiwanya
ku tancapkan janji dalam hati
oh….penghuni hati
engkaulah percikan illahi
yang menyempurnakan Asmaul Husna dengan kemesraan
lalu kita bermain ditaman dengan segala permohonan cinta
yang melahirkan keselamatan.
Ya…maha cinta,
himpun daku dari yang terserak
berikan insan-MU yang berhias akhlak.
Bandung 25-12-08
Cinta yang Berdo’a
Jiwa yang bersemayam dalam selimut cinta
telah mengabarkan padaku tentang hangatnya kasih dikedalaman jiwa
yang berwsembunyi dalam dusta
lalu diam-diam terdengar sakitnya kenikmatan
layaknya hati berduri yang menancapi segala mimpi
semau kata pun menjadi sia-sia
karena 1 kebaikan cinta dapat menumbuhkan 1000 kebaikan
dan semua orang dapat melihat indahnya pelayaran rindu
dengan layar kedermawanan ditiup angin keikhlasan
ia menerjang badai dengan penuh ketenangan
walau sakitnya perpisahan antara pelabuhan dan lautan begitu pilu
namun semua mengajarkan tentang begitu indahnya memberi
ketahuilah riundu........
bila 1 keburukan pada hidup cinta
begitu dapat meruntuhkan semua kebaikan
ia akan terombang ambing gelisah
ia bagai perahu tanpa nelayan lalu terbentur karang curam
dan diam segala penyesalan
semua orang pun menjauh karena benci pada keburukan
karena cintanya, luka dibawa rasa
oh…jiwa
daku tak mampu melihat engkau mati dalam kebisingan kota
dari kemarin aku telah mengajak hati agar berlabuh dipantai sunyi
diamana kita bersemayam dalam doa
untuk hidup yang sementara sedang cinta begitu abadi.
Bisakah kita berlari....?
saat kita tak tau siapa yang telah memberi.
Bandung 23-06-08
Hujan Darah
Lalu siapa yang menuduh hujan darah ini hari?
Lagi aku menjerit sakit memuntahkan getir itu
getir yang mencabik ulu hati manusia sangsi
lihatlah..... nona pertiwi berguguran ditepi selokan
sungguhkah demikian?
Ach.....bagi anak wayang itu semua hanya guyonan saja.
Tak ada lagi syukuran dimalam sakral
saat ini pesta kematian disarang perawan begitu mengasikan
sampai Tuhan dipermainkan dimeja judi
antara pencuri dan pemberi harus menjual harga diri
oh...jemari apa yang terjadi diliang lahat?
Telunjuk ku ingin menusuk kelicikan
dan ibu jari lelah untuk kuangkat diwajah para penjahat
aku pun linglung .....bingung
kini aku kepalkan tangan mengarah jiwa yang tak bisa marah
sebab siapa yang inginkan hujan darah ini semua
aku pun lelah pada ocehan ini semua
aku marah dalam resah
aku pun jengah dari kemarin hanya disebut sampah
tapi yakinlah aku tak kan lengah
sungguh...aku kalah bertarung dengan mereka yang serakah
namun aku menang bersama jiwa-jiwa yang berperang dalam batin
kelak suatu saat nanti
aku kan tenang menyambut gerilya meraka
karena akulah yang mengurung luka agar tenang....
tenang ....
maka kau ...dia...dan aku terang,
semoga.
Bandung 21-02-09
Pusaka Sunyi Seorang Pejuang
Jikalau tiba penabur datang kembali
esok pastilah tiba sejatinya
saat kebenaran menuai keselamatan
karena siapa yang mengganti kelaparan dengan janji-janji yang diingkari,
maka tunggulah apa yang akan para pejuang lakukan diujung sunyi.
Bandung 14-01-09
Sampah, Perempuan, Rindu dan Hilang
Saat ini betina liar disumur tua berteriak-teriak pada luka
yang ia timba dengan kondom alat srigala melampiaskan nafsunya
segera ia menyiram keranda bekas seorang janda.
maha duka benar bibir menguntai caci diujung mimpi
karena tibalah kita bersilat lidah untuk merangkai tragedi
hey.......anak-anak dijual
saat perempuan dipaksa melayani mesin-mesin pabrik
sedang ekonom, seniman, budayawan, diajak berdansa
di panggung sirkus para politikus.
Betina yang luka,
aku yang tak rela memkik suara syahdumu
”kembalikan hidupku yang telah kau curi”
Bandung 17-04-09
Hanya ini
Bagi jiwa-jiwa yang selalu ada dalam rahasiah kata
aku memanggil ruh pecinta untuk mengabarkan ini
duhai diri petiklah ini segera
dan ingatlah Ia yang mengajarkan pertentangan,
semua bertujuan agar kita dapat mengetahui yang tunggal
diantara siang dan malam
baik dan buruk
sungguh, kita telah disambut dengan suka cita
atas waktu yang mengeja hal yang pernah ada
tentang kau dan aku yang tercipta.
Tersenyumlah kau bagai cinta yang meluluhkan air mata.
Segenap rindu memnggil kita dengan mahluk yang sempurna, kita manusia.
Amin.
Bandung 18-02-09
Garis Sutra Sahaya
Demi sesuatu yang ku damba
sungguh sakit nafas ini adalah jelma harap yang mati
terkapar diantara slogan-slogan partai
disetiap khotbah agama yang meraup dunia
atau disetiap rencana kekuasaan hidup
mimpiku telah miskin sejak kemarin
papa doaku tak bernama
karena cahaya dunia ditelan usia
sebab apa aku berdiri?
hidup ini telah gila
mencoreng cinta dengan harta dunia
meludahi ketulusan dengan dusta
ikhlasku telah dipaksa
sunyiku bak bencana
demi seseuatu yang ingin ku cela
aku rindu kesejahteraan dimana syurga bukanlah bualan kapitalis
agar lengkap air mata ini
agar jatuh mimpi itu
sungguh ingin ku hapus kegilaan ini
seperti dunia yang dipenuhi cinta
seperti hidup yang gandrung akan ketulusan
mati pun aku ikhlas
tak mungkin ku terpaksa
sebab sunyiku telah lama bersuara
” Hanya orang-orang ikhlas yang tak bisa dijamah iblis”
ikhlasku yang tak berbekas
jadilah doa ini tanpa batas
sampai luka dan cinta dapat ku hempas.
Bandung 19-04-09
Doit Your Self Indonesia
Perubahan hanya diperlukan oleh orang-orang yang bernurani
perjuangan dibutuhkan oleh orang-orang pemberani
karena kebebasan membutuhkan kemerdekaan
demokrasi itu adalah untuk keadilan
keadilan lahir untuk kesejahteraan
pembodohan dibutuhkan oleh para penindas
kelicikan pun dibutuhkan oleh para politikus picik
karena kemiskinan dan kehinaan menjadi hadiah
bagi orang-orang rakus
Revolusi dan mimpi adalah cinta dan tragedi
dalam kudeta para pencuri hati
siapa yang mampu berdiri untuk melindungi
maka ialah pemberontak utusan Illahi
yakinlah ...proklamasi itu sesungguhnya janji
agar kita semua meniti diri
bagi siapa negri ini?
Sedang rakyat tak sadar telah dieksploitasi
sungguh menyakitkan.......sakit
untuk apa kita bicara sedang laku tak serupa
untuk apa kita berbuat sedang kata dan hati dipenuhi siasat
lakukan oleh dirimu sendiri Indonesiaku,
karena aku yakin keinginan kita semua
kita yang merdeka.
Bandung 14-04-09
Rabu, 06 Mei 2009
EKSPRESI POST-MODERN, MEMBELI IDENTITAS YANG HILANG
Nurel Javissyarqi*
Semua mata melihat dengan antusias seperti rasa lapar yang lama. Atau jangan-jangan anda memakai jaket tebal, agar mengeluarkan keringat sebelum jalannya cerita.
Bagaimapun pemulian sakit menuju sembuh atas serangan demam, sakit gigi atau nyeri sebab bacaan yang tidak melonggaran cakrawala fikiran. Kondisi inilah yang menentukan warna kalimah mengikuti hasrat terdalam, memeras saripati manfaat kerja.
Tulisan itu sekadar plakat jalan jiwa, bagi arahan jelajah kedirian anak manusia. Ketika yang berbicara bungkus, tampaklah status sanggup mengenyangkan. Kata-kata menjelma sulap, sedangkan isi tidak diperhatikan, inilah permulaannya.
Kekuasaan pasar menentukan permainan, daya tarik permodalan yang kuat sejenis makluk penghisap. Semua mengikuti gaya perdagangan, yang ujungnya menuntut kembalian lebih.
Menujulah dunia konsumtif ketakseimbangan, penghilangan identitas pribumi yang nyatanya memiliki rumpun dasar. Tetapi, ketika barang pasar menjamur serupa limbah. Siapa sanggup menahan? Saat itu, idealisme praktis mewujud dalil tuntutan, hidup menyenangkan diri kebangsaannya yang hilang.
Naluriah kreatif mengelolah alam atas cerminan alamiah, membuyarkan kesenangan singkat. Ia mengambil keserupaan diharap dengan cara pembelian barang, lalu merasa dikuasainya. Padahal barang-barang yang ia beli, meminta dengan cara sendiri pada tuannya.
Identitas insan itu tangga hayat, komunikasi saling meringankan, bukan manipulasi prodak. Tetapi kejujuran tranformasi nilai, keselarasan obyektif atas kesemangatan sama. Sebuah alur yang ditentukan bagi pencari, bukan pemodivikasian satuan barang.
Pada lapangan ini, seolah terlihat nilai kelanggengan dipergunakan bagi aturan main, namun jika dicermati sekadarlah penstempelan. Atau penumpukan yang hanya menampilkan bungkus baru dari dorongan tren atau musim.
Semisal suatu penduduk yang sangat gayeng keilmuan tertentu, mereka memproduksi dan menkonsumsinya, lalu diseiramakan angin perubahan yang berganti kecepatan aura kebutuhan. Perubahan kejiwaan tidak terkira atas ketakmapanan anak-anak manusia.
Atau? Post-modern itu relativitas melonggarkan perubahan, hingga tidak tersisa yang dinamakan identitas. Kedalaman sejati seolah tercuri kesenangan kembang gula keberjamanan, maka cederalah. Mendiami lembah kepapaan, tidak betah berdiri terus-terusan di terik mentari kesadaran.
Hanya segelintir orang pembawa bendera perjuangan bagi tangan perkasa jaman. Tidakkah semua mengharap kesamarataan adil terkendali nuraniahnya, di kedalaman insan luhur berketulusan tanpa pamrih.
Tulisan ini tukar rembuk kesadaran yang terbeli atas barang, wacana tanpa mematangkan jiwa, sebab telah larut dalam bungkus pemanis. Maka marilah perdialogkan diri masing-masing, seberapa jauh terjerembab di pusaran periklanan yang mematikan perasaan.
Dalam post-modern, kita memasuki dunia iming-iming kenikmatan, peta perburuan ingin dianggap, sementara lupa melihat balik prosesi. Sering terburu mengambil untung definisi, atas pencarian belum selesai, cepat-cepat mematenkan atas tuntutan pasar.
Maka seyogyanya menyukai prosesi, tidak terburu dipatenkan sebagai penemu. Kelebihan menggali diri dalam pembongkaran jiwa, menentukan kemunculan identitas inti esok pasti.
Untuk memahami post-modern, seharus memiliki ruang-ruang kendali beragam, waktu-waktu bertepatan dengan warna yang telah terbangun, sampai terjalinnya kesadaran erat.
Post-modern seharusnya dijadikan ruang penyembuh, lewat pengambilan tidak berlebih atas nilai masa lalu. Agar tidak sekadar penumpukan, namun ada alur yang meresapi kesadaran.
Daya resap ini bukan membeli serampangan, tetapi benar membutuhkan. Ini perbandingan hayat masa-masa berkesadaran kekinian, penciptaan ruang bernilai.
Menggali identitas sejati dengan berjalan pada jalur sejarah atas frekuensi kekinian. Mengikuti perjalanan masa kematangan, tempaan kenangan berulang pada kilatan kesadaran mendatang. Atau pengisian waktu tidak sepatutnya dilupakan.
Prodak-prodak unggulan bukan banyaknya ditawarkan, tapi seberapa guna kenikmatannya, menemukan inti kehidupan yang tidak semata lewat di tepian.
Di sini saling tolong ketulusan, uluran tangan pertemukan yang hilang dari diri juga dalam pribadi yang tertolong. Atau penolong menemukan jalannya, dan yang ditolong mendapati identitasnya.
Hadiah terbesar tidak kentara, tetapi ketika jiwa merasakan kedalamannya, menjadilah danau ketenangan, dan semua orang boleh meminumnya dengan keikhlasan.
Dan pemberi bukan membeli atas identitasnya yang hilang. Sebab segala mata ialah identitas semu yang kapan saja bisa ditanggalkan pandangan umum, pun keseriusan pelaku lewat perilaku iseng atau sambillalu.
Ketika keringat kesembuhan menderas, melewati pori-pori kulit pengetahuan, maka segala pengalaman bermanfaat, mata air terus memancur menyegarkan penyadaran setiap saat, berlanjut menuju kepemudahan segar.
Ini bukan berlawanan jalan penuwaan, tetapi pemahaman itu bertambah purna, maka gemilanglah cahaya pencarian, sama dengan terangnya penerimaan secara dalam.
Pagi tentu memberi cahaya istimewa di hadapan kesembuhan atas belenggu kulitan semata. Kalimah bijak tidak lagi sekadar transformasi budaya, tetapi kejiwaan menuju kebulatan tekad dalam tuntunan hidup berkelapangan cakrawala.
*) Pengelana. 05-09, Lamongan, JaTim, Indonesia.
Semua mata melihat dengan antusias seperti rasa lapar yang lama. Atau jangan-jangan anda memakai jaket tebal, agar mengeluarkan keringat sebelum jalannya cerita.
Bagaimapun pemulian sakit menuju sembuh atas serangan demam, sakit gigi atau nyeri sebab bacaan yang tidak melonggaran cakrawala fikiran. Kondisi inilah yang menentukan warna kalimah mengikuti hasrat terdalam, memeras saripati manfaat kerja.
Tulisan itu sekadar plakat jalan jiwa, bagi arahan jelajah kedirian anak manusia. Ketika yang berbicara bungkus, tampaklah status sanggup mengenyangkan. Kata-kata menjelma sulap, sedangkan isi tidak diperhatikan, inilah permulaannya.
Kekuasaan pasar menentukan permainan, daya tarik permodalan yang kuat sejenis makluk penghisap. Semua mengikuti gaya perdagangan, yang ujungnya menuntut kembalian lebih.
Menujulah dunia konsumtif ketakseimbangan, penghilangan identitas pribumi yang nyatanya memiliki rumpun dasar. Tetapi, ketika barang pasar menjamur serupa limbah. Siapa sanggup menahan? Saat itu, idealisme praktis mewujud dalil tuntutan, hidup menyenangkan diri kebangsaannya yang hilang.
Naluriah kreatif mengelolah alam atas cerminan alamiah, membuyarkan kesenangan singkat. Ia mengambil keserupaan diharap dengan cara pembelian barang, lalu merasa dikuasainya. Padahal barang-barang yang ia beli, meminta dengan cara sendiri pada tuannya.
Identitas insan itu tangga hayat, komunikasi saling meringankan, bukan manipulasi prodak. Tetapi kejujuran tranformasi nilai, keselarasan obyektif atas kesemangatan sama. Sebuah alur yang ditentukan bagi pencari, bukan pemodivikasian satuan barang.
Pada lapangan ini, seolah terlihat nilai kelanggengan dipergunakan bagi aturan main, namun jika dicermati sekadarlah penstempelan. Atau penumpukan yang hanya menampilkan bungkus baru dari dorongan tren atau musim.
Semisal suatu penduduk yang sangat gayeng keilmuan tertentu, mereka memproduksi dan menkonsumsinya, lalu diseiramakan angin perubahan yang berganti kecepatan aura kebutuhan. Perubahan kejiwaan tidak terkira atas ketakmapanan anak-anak manusia.
Atau? Post-modern itu relativitas melonggarkan perubahan, hingga tidak tersisa yang dinamakan identitas. Kedalaman sejati seolah tercuri kesenangan kembang gula keberjamanan, maka cederalah. Mendiami lembah kepapaan, tidak betah berdiri terus-terusan di terik mentari kesadaran.
Hanya segelintir orang pembawa bendera perjuangan bagi tangan perkasa jaman. Tidakkah semua mengharap kesamarataan adil terkendali nuraniahnya, di kedalaman insan luhur berketulusan tanpa pamrih.
Tulisan ini tukar rembuk kesadaran yang terbeli atas barang, wacana tanpa mematangkan jiwa, sebab telah larut dalam bungkus pemanis. Maka marilah perdialogkan diri masing-masing, seberapa jauh terjerembab di pusaran periklanan yang mematikan perasaan.
Dalam post-modern, kita memasuki dunia iming-iming kenikmatan, peta perburuan ingin dianggap, sementara lupa melihat balik prosesi. Sering terburu mengambil untung definisi, atas pencarian belum selesai, cepat-cepat mematenkan atas tuntutan pasar.
Maka seyogyanya menyukai prosesi, tidak terburu dipatenkan sebagai penemu. Kelebihan menggali diri dalam pembongkaran jiwa, menentukan kemunculan identitas inti esok pasti.
Untuk memahami post-modern, seharus memiliki ruang-ruang kendali beragam, waktu-waktu bertepatan dengan warna yang telah terbangun, sampai terjalinnya kesadaran erat.
Post-modern seharusnya dijadikan ruang penyembuh, lewat pengambilan tidak berlebih atas nilai masa lalu. Agar tidak sekadar penumpukan, namun ada alur yang meresapi kesadaran.
Daya resap ini bukan membeli serampangan, tetapi benar membutuhkan. Ini perbandingan hayat masa-masa berkesadaran kekinian, penciptaan ruang bernilai.
Menggali identitas sejati dengan berjalan pada jalur sejarah atas frekuensi kekinian. Mengikuti perjalanan masa kematangan, tempaan kenangan berulang pada kilatan kesadaran mendatang. Atau pengisian waktu tidak sepatutnya dilupakan.
Prodak-prodak unggulan bukan banyaknya ditawarkan, tapi seberapa guna kenikmatannya, menemukan inti kehidupan yang tidak semata lewat di tepian.
Di sini saling tolong ketulusan, uluran tangan pertemukan yang hilang dari diri juga dalam pribadi yang tertolong. Atau penolong menemukan jalannya, dan yang ditolong mendapati identitasnya.
Hadiah terbesar tidak kentara, tetapi ketika jiwa merasakan kedalamannya, menjadilah danau ketenangan, dan semua orang boleh meminumnya dengan keikhlasan.
Dan pemberi bukan membeli atas identitasnya yang hilang. Sebab segala mata ialah identitas semu yang kapan saja bisa ditanggalkan pandangan umum, pun keseriusan pelaku lewat perilaku iseng atau sambillalu.
Ketika keringat kesembuhan menderas, melewati pori-pori kulit pengetahuan, maka segala pengalaman bermanfaat, mata air terus memancur menyegarkan penyadaran setiap saat, berlanjut menuju kepemudahan segar.
Ini bukan berlawanan jalan penuwaan, tetapi pemahaman itu bertambah purna, maka gemilanglah cahaya pencarian, sama dengan terangnya penerimaan secara dalam.
Pagi tentu memberi cahaya istimewa di hadapan kesembuhan atas belenggu kulitan semata. Kalimah bijak tidak lagi sekadar transformasi budaya, tetapi kejiwaan menuju kebulatan tekad dalam tuntunan hidup berkelapangan cakrawala.
*) Pengelana. 05-09, Lamongan, JaTim, Indonesia.
Senin, 04 Mei 2009
Sastra dan Keberjarakan Masyarakat*
Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/
DALAM telaah sosiologi kesusastraan, Lucien Goldman menengarai perihal hubungan sastra dan masyarakat sebagai interaksi oposisi biner: berseberangan tetapi tak saling menolak. Masyarakat merespons sastra dan sastra merupakan abstraksi peristiwa kemasyarakatan. Persepsi semacam ini berjalan sebagai bagian interaksi logis antara sastra dan publik pembacanya. Meski saat ini bolehlah dikatakan bahwa karya sastra tetap berada dalam situasi yang selalu memungkinkan “bertengkar dalam posisinya sebagai menara gading”.
Surplus buku-buku karya sastra ibarat banjir bandang pencerahan, namun kebudayaan masyarakat yang tumbuh sekalipun sudah apresiatif seringkali tak meresponsnya secara substantif, secara maksimal. Dalam konteks tertentu memang akan tumbuh asumsi bahwa karya sastra Indonesia ibarat “jalan di tempat”, gagal merasionalisasi dan merevolusi paradigma pembacanya agar berubah. Karenanya pula, di Indonesia, masa pencerahan akibat buku masih berada dalam tanda kutip, terhantam pragmatisme cara berpikir masyarakat yang laten: jauh dari sikap analitik yang berupa keingintahuan pendalaman substansi dan sublimasi makna teks karya sastra yang hadir. Boleh jadi, asumsi Goenawan Mohamad dalam buku Kesusastraan dan Kekuasaan yang terbit puluhan tahun lalu masih berlaku: karya sastra Indonesia dibaca tak lebih dari 15% jumlah penduduk Indonesia.
Padahal, kita tahu, karya sastra Indonesia tak pernah jengah memotret dan mengangkat pelbagai peristiwa sosial-politik, bahkan ketika era Reformasi tiba, misalnya, banyak pula lahir karya sastra yang berbasis tema Reformasi tersebut. Selain pragmatisme yang laten, kendala berat yang lain tampaknya pada apatisme mayoritas masyarakat, yang sungguh-sungguh mengapresiasi teks sastra secara permukaan. Paradigma masyarakat semacam ini secara diam-diam terbentuk sebagai masyarakat antihero yang tak begitu memercayai slogan maupun teks-teks lain kecuali konkretisasi perubahan atas kehidupan.
Sesungguhnya, perbincangan perihal kontrol terhadap basis pembaca inilah yang penting dikritisi, karena pada kenyataannya tingkat apresiasi masyarakat secara umum sepertinya tetaplah berjarak. Esensi karya sastra jarang bisa sampai pada pemahaman publik pembaca, karena karya sastra Indonesia hanya bernilai sebagai “pengisi rehat” sembari minum kopi? Pada dataran praktis, contoh konkretnya, revolusi sosial jauh lebih riil ketimbang revolusi paradigma melalui upaya sosialisasi teks karya sastra. Jika adanya fenomena keberjarakan antara karya sastra dan masyarakat ini diam-diam terus meruncing, maka sepertinya memang ada ketegangan situasional yang khas, bagaikan perang dingin.
Tentu, hal semacam ini diperparah dengan tumpukan karya sastra yang tak diapresiasi secara proporsional oleh para kritikus sastra: satu-satunya orang yang diharapkan mampu menjembatani apresiasi teks sastra ketika berhadapan dengan keawaman publik. Bukan mustahil bahwa sebagian besar karya sastra Indonesia pada akhirnya hanya dibaca oleh orang-orang yang “itu-itu saja”, meskipun keberadaan toko buku bisa penuh dengan kedatangan mahasiswa atau pelajar. Asumsi ringan yang lantas hadir: mahasiswa atau pelajar itulah massa mengambang baru pasca Orde Baru, yang tak terpuaskan apresiasi estetikanya, namun malah tak ada yang menjembatani. Paradigma mengambang pun merajalela. Boleh jadi, untuk menurunkan karya sastra dari “menara gadingnya” tersebut perlu ditengok kembali perihal pencapaian estetika yang terus bergulir, yang kemungkinan masih diharap oleh paradigma publik.
Kini juga terlihat, bahwa karya sastra telah meluaskan eksplorasinya tidak hanya pada basis cerita soal dunia sosial-politik yang menegangkan, namun juga lahir teks-teks karya sastra yang tak begitu dibebani masalah sosial-politik melainkan pada pencapaian muatan ceritanya saja. Dengan kata lain, teks adalah cerita itu sendiri, pencapaian estetikanya lebih pada otentisitas sintaksis kalimat, misalnya. Hal ini terjadi pada cerpen-cerpen karya Joni Ariadinata dalam buku Kali Mati (Bentang Budaya, 1999), Kastil Angin Menderu (Indonesia Tera, 2000), dan Air Kaldera (Aksara, 2001). Bisa juga pada kekhasan tema: ini terbukti pada merebaknya karya sastra berbasis local color yang secara tidak langsung juga teridentifikasi sebagai aplikasi teoritisasi yang demam pada wacana cultural studies.
Tentu, ada yang menarik sebagai bahan perbincangan soal tarik-ulur basis cerita semacam ini, sebagaimana yang juga pernah dipaparkan oleh sastrawan Agus Noor bahwa ada muatan orientasi karya sastra terkini yang cenderung easy going, tak multibeban tafsir. Penggarapan aspek “seni bercerita” atau the art of fiction benar-benar terjalankan, seperti yang secara tersirat disarankan oleh Goenawan Mohamad dalam pengantar buku Dua Tengkorak Kepala (Kumpulan Cerpen Pilihan Harian Kompas Tahun 2000) untuk kembali melirik pencapaian estetika karya-karya yang lahir dari tangan orang-orang yang seangkatan dengan sastrawan Idrus, yang lebih menitikberatkan pada kepiawaian kecenderungan teknik literer atau narasi cerita. Bukan beban sosial-politik sebagai ideologi. Untuk itulah, tampaknya, ada dua kemungkinan dalam sosialisasi cerita sehingga keberadaan karya sastra bisa tak terhenti sebagai “alternatif dunia utopia”.
Pertama, disosialisasikannya cerita atau karya sastra yang betul-betul ekspresif, tak bermuatan ideologi dan bias kepentingan apa pun. Kedua, alternatif lahirnya cerita-cerita yang eksperimental, baik pada ranah tema, struktur penceritaan, atau apa pun. Kejenuhan terhadap basis tema yang berkelindan pada masalah kekerasan (politik-struktural sistemik-praksis kehidupan masyarakat) menuntut ruang katarsis lain yang lebih bernilai sebagai pencerahan hakiki dan merupakan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bolehlah jika ada seloroh bahwa kekerasan secara apa pun jauh lebih dramatik dan realistis, karya sastra sepantasnya memikirkan diri untuk secara sengaja berjarak. Rupanya, verbalitas memang tak bisa dilawan dengan verbalitas. Verbalitas justru bisa disikapi dengan pemahaman perspektif sublimasi atau pemaknaan substantif/mendalam.
Sampai di sini, ilusi sebagai akibat dilema perihal eksistensi buku karya sastra kembali muncul. Belum tentu buku yang telah menjadi best seller di Indonesia bisa dimengerti secara substansial. Nah…
Apalagi, secara sosiologis, ada kecenderungan sebagian besar masyarakat Indonesia yang bergerak sebagai “masyarakat abstain”. Yakni, masyarakat yang tak memunyai pilihan terhadap kebijakan-kebijakan yang sifatnya politis. Ini lebih disebabkan oleh karena kegagalan grand design implementasi pemahaman perihal politik. Dalam beberapa hal, kegagalan mewujudkan identitas nation character juga memengaruhi sikap abstain apalagi ditambah dengan apatisme yang disebabkan tak pernah dewasanya pandangan politik berbangsa sehingga meruncing menjadi persoalan etnisitas yang meledak di mana-mana. Itulah yang di antaranya juga membuat masyarakat justru imun terhadap situasi konkret dan akhirnya malah menutup diri dengan suara abstain.
Tentu saja, fakta di atas juga menjadi tambahan pijakan eksistensi ke depan: sebenarnya mau dibawa ke mana wajah kesusastraan Indonesia di tengah kemungkinan menguatnya masyarakat abstain? Tentu, jika merunut pada aspek psikologi, masyarakat abstain memerlukan hal-hal yang sifatnya pasti. Masyarakat abstain tak perlu penggombalan persoalan. Situasi atas kehendak pragmatislah yang mempola paradigma masyarakat abstain, oleh sebab itu kesusastraan mesti berkompromi dengannya. Sikap kompromis yang paling mungkin diambil adalah sikap kompromis yang mempedulikan kondisi psikologisasi masyarakat abstain agar tergerak pada cerita-cerita yang eksperimentatif, yang mewakili dunia mereka sendiri yang katakanlah penuh kebekuan.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan pada masa kekinian adalah cerita yang menyandarkan diri pada semangat eksperimentasi yang tinggi, mengejar target realitas cerita terepresentasi dengan sahih. Setidaknya, lewat jalan itulah masyarakat abstain akan terwacanakan sebagai masyarakat yang memang hadir sebagai pembaca substantif.
Siapa pun masih percaya, sikap apresiatif masih bisa tumbuh sebagai kemungkinan paling rasional dalam mendesakkan semangat eksperimen dan di situlah sastra terkini mengambil perannya. ***
*) Pernah dimuat di Media Indonesia.
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/
DALAM telaah sosiologi kesusastraan, Lucien Goldman menengarai perihal hubungan sastra dan masyarakat sebagai interaksi oposisi biner: berseberangan tetapi tak saling menolak. Masyarakat merespons sastra dan sastra merupakan abstraksi peristiwa kemasyarakatan. Persepsi semacam ini berjalan sebagai bagian interaksi logis antara sastra dan publik pembacanya. Meski saat ini bolehlah dikatakan bahwa karya sastra tetap berada dalam situasi yang selalu memungkinkan “bertengkar dalam posisinya sebagai menara gading”.
Surplus buku-buku karya sastra ibarat banjir bandang pencerahan, namun kebudayaan masyarakat yang tumbuh sekalipun sudah apresiatif seringkali tak meresponsnya secara substantif, secara maksimal. Dalam konteks tertentu memang akan tumbuh asumsi bahwa karya sastra Indonesia ibarat “jalan di tempat”, gagal merasionalisasi dan merevolusi paradigma pembacanya agar berubah. Karenanya pula, di Indonesia, masa pencerahan akibat buku masih berada dalam tanda kutip, terhantam pragmatisme cara berpikir masyarakat yang laten: jauh dari sikap analitik yang berupa keingintahuan pendalaman substansi dan sublimasi makna teks karya sastra yang hadir. Boleh jadi, asumsi Goenawan Mohamad dalam buku Kesusastraan dan Kekuasaan yang terbit puluhan tahun lalu masih berlaku: karya sastra Indonesia dibaca tak lebih dari 15% jumlah penduduk Indonesia.
Padahal, kita tahu, karya sastra Indonesia tak pernah jengah memotret dan mengangkat pelbagai peristiwa sosial-politik, bahkan ketika era Reformasi tiba, misalnya, banyak pula lahir karya sastra yang berbasis tema Reformasi tersebut. Selain pragmatisme yang laten, kendala berat yang lain tampaknya pada apatisme mayoritas masyarakat, yang sungguh-sungguh mengapresiasi teks sastra secara permukaan. Paradigma masyarakat semacam ini secara diam-diam terbentuk sebagai masyarakat antihero yang tak begitu memercayai slogan maupun teks-teks lain kecuali konkretisasi perubahan atas kehidupan.
Sesungguhnya, perbincangan perihal kontrol terhadap basis pembaca inilah yang penting dikritisi, karena pada kenyataannya tingkat apresiasi masyarakat secara umum sepertinya tetaplah berjarak. Esensi karya sastra jarang bisa sampai pada pemahaman publik pembaca, karena karya sastra Indonesia hanya bernilai sebagai “pengisi rehat” sembari minum kopi? Pada dataran praktis, contoh konkretnya, revolusi sosial jauh lebih riil ketimbang revolusi paradigma melalui upaya sosialisasi teks karya sastra. Jika adanya fenomena keberjarakan antara karya sastra dan masyarakat ini diam-diam terus meruncing, maka sepertinya memang ada ketegangan situasional yang khas, bagaikan perang dingin.
Tentu, hal semacam ini diperparah dengan tumpukan karya sastra yang tak diapresiasi secara proporsional oleh para kritikus sastra: satu-satunya orang yang diharapkan mampu menjembatani apresiasi teks sastra ketika berhadapan dengan keawaman publik. Bukan mustahil bahwa sebagian besar karya sastra Indonesia pada akhirnya hanya dibaca oleh orang-orang yang “itu-itu saja”, meskipun keberadaan toko buku bisa penuh dengan kedatangan mahasiswa atau pelajar. Asumsi ringan yang lantas hadir: mahasiswa atau pelajar itulah massa mengambang baru pasca Orde Baru, yang tak terpuaskan apresiasi estetikanya, namun malah tak ada yang menjembatani. Paradigma mengambang pun merajalela. Boleh jadi, untuk menurunkan karya sastra dari “menara gadingnya” tersebut perlu ditengok kembali perihal pencapaian estetika yang terus bergulir, yang kemungkinan masih diharap oleh paradigma publik.
Kini juga terlihat, bahwa karya sastra telah meluaskan eksplorasinya tidak hanya pada basis cerita soal dunia sosial-politik yang menegangkan, namun juga lahir teks-teks karya sastra yang tak begitu dibebani masalah sosial-politik melainkan pada pencapaian muatan ceritanya saja. Dengan kata lain, teks adalah cerita itu sendiri, pencapaian estetikanya lebih pada otentisitas sintaksis kalimat, misalnya. Hal ini terjadi pada cerpen-cerpen karya Joni Ariadinata dalam buku Kali Mati (Bentang Budaya, 1999), Kastil Angin Menderu (Indonesia Tera, 2000), dan Air Kaldera (Aksara, 2001). Bisa juga pada kekhasan tema: ini terbukti pada merebaknya karya sastra berbasis local color yang secara tidak langsung juga teridentifikasi sebagai aplikasi teoritisasi yang demam pada wacana cultural studies.
Tentu, ada yang menarik sebagai bahan perbincangan soal tarik-ulur basis cerita semacam ini, sebagaimana yang juga pernah dipaparkan oleh sastrawan Agus Noor bahwa ada muatan orientasi karya sastra terkini yang cenderung easy going, tak multibeban tafsir. Penggarapan aspek “seni bercerita” atau the art of fiction benar-benar terjalankan, seperti yang secara tersirat disarankan oleh Goenawan Mohamad dalam pengantar buku Dua Tengkorak Kepala (Kumpulan Cerpen Pilihan Harian Kompas Tahun 2000) untuk kembali melirik pencapaian estetika karya-karya yang lahir dari tangan orang-orang yang seangkatan dengan sastrawan Idrus, yang lebih menitikberatkan pada kepiawaian kecenderungan teknik literer atau narasi cerita. Bukan beban sosial-politik sebagai ideologi. Untuk itulah, tampaknya, ada dua kemungkinan dalam sosialisasi cerita sehingga keberadaan karya sastra bisa tak terhenti sebagai “alternatif dunia utopia”.
Pertama, disosialisasikannya cerita atau karya sastra yang betul-betul ekspresif, tak bermuatan ideologi dan bias kepentingan apa pun. Kedua, alternatif lahirnya cerita-cerita yang eksperimental, baik pada ranah tema, struktur penceritaan, atau apa pun. Kejenuhan terhadap basis tema yang berkelindan pada masalah kekerasan (politik-struktural sistemik-praksis kehidupan masyarakat) menuntut ruang katarsis lain yang lebih bernilai sebagai pencerahan hakiki dan merupakan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bolehlah jika ada seloroh bahwa kekerasan secara apa pun jauh lebih dramatik dan realistis, karya sastra sepantasnya memikirkan diri untuk secara sengaja berjarak. Rupanya, verbalitas memang tak bisa dilawan dengan verbalitas. Verbalitas justru bisa disikapi dengan pemahaman perspektif sublimasi atau pemaknaan substantif/mendalam.
Sampai di sini, ilusi sebagai akibat dilema perihal eksistensi buku karya sastra kembali muncul. Belum tentu buku yang telah menjadi best seller di Indonesia bisa dimengerti secara substansial. Nah…
Apalagi, secara sosiologis, ada kecenderungan sebagian besar masyarakat Indonesia yang bergerak sebagai “masyarakat abstain”. Yakni, masyarakat yang tak memunyai pilihan terhadap kebijakan-kebijakan yang sifatnya politis. Ini lebih disebabkan oleh karena kegagalan grand design implementasi pemahaman perihal politik. Dalam beberapa hal, kegagalan mewujudkan identitas nation character juga memengaruhi sikap abstain apalagi ditambah dengan apatisme yang disebabkan tak pernah dewasanya pandangan politik berbangsa sehingga meruncing menjadi persoalan etnisitas yang meledak di mana-mana. Itulah yang di antaranya juga membuat masyarakat justru imun terhadap situasi konkret dan akhirnya malah menutup diri dengan suara abstain.
Tentu saja, fakta di atas juga menjadi tambahan pijakan eksistensi ke depan: sebenarnya mau dibawa ke mana wajah kesusastraan Indonesia di tengah kemungkinan menguatnya masyarakat abstain? Tentu, jika merunut pada aspek psikologi, masyarakat abstain memerlukan hal-hal yang sifatnya pasti. Masyarakat abstain tak perlu penggombalan persoalan. Situasi atas kehendak pragmatislah yang mempola paradigma masyarakat abstain, oleh sebab itu kesusastraan mesti berkompromi dengannya. Sikap kompromis yang paling mungkin diambil adalah sikap kompromis yang mempedulikan kondisi psikologisasi masyarakat abstain agar tergerak pada cerita-cerita yang eksperimentatif, yang mewakili dunia mereka sendiri yang katakanlah penuh kebekuan.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan pada masa kekinian adalah cerita yang menyandarkan diri pada semangat eksperimentasi yang tinggi, mengejar target realitas cerita terepresentasi dengan sahih. Setidaknya, lewat jalan itulah masyarakat abstain akan terwacanakan sebagai masyarakat yang memang hadir sebagai pembaca substantif.
Siapa pun masih percaya, sikap apresiatif masih bisa tumbuh sebagai kemungkinan paling rasional dalam mendesakkan semangat eksperimen dan di situlah sastra terkini mengambil perannya. ***
*) Pernah dimuat di Media Indonesia.
Minggu, 03 Mei 2009
Sajak-Sajak Mujtahidin Billah
http://embun-tajali.blogspot.com
RINDU
Ku bersenandung dalam rindu,ku merintih dalam perih,ku berharap dalam cemas,ku melangkah dalam gunda,ku memuja dalam do,a.
saat fajar menjelang ku menjelma dalam nyanyian burung krikit menyapaku penuh rindu,ketika mentari mulai terik ku rsakan hadir mu dalam sang bayu membelaiku dalam bisik syahdu.sore mulai datang ku dengar suaramu memangilku dalam teriakan anak-anak yang bermain penuh ceria,malam mulai menyapa menyelimuti sang bumu hijau ku lihat kelipan matamu dalam pesona sang bintang ku rasa senyumu dalam cahaya rembulan kau tidurkan aku dalam buaian lembut angin malam.
ku sayangimu itu lah sebabnya aku tak erhenti mendo,akan ke selamatanmu da berharap kita kan kembali bersama.
CAHAYA CINTA
lihatlah langit malam yang bercahaya lihatlah bintang yang sinarnya benderang menyentuh wajah kita lihatlah aku bintangmu yang satu yang kaucinta yang kaukasihsayang yang kaugenapi dengan kerinduan dan perasaan hangat pesona ribuan derajat tabir cahaya lihatlah ke kedalaman mataku ke kedalaman jantung hatiku ke kedalaman jiwaku yang bersayap yang terbang membawamu ke surga cinta yang paling tinggi paling indah paling agung agar kita bisa duduk bersama di singgasana keesaan cinta singgasana keesaan kasih sayang singgasana kerinduan yang tak terbelah terbagi oleh raga ini
lihatlah aku duhai kekasih yang paling kasih
pada kursi tertinggi singgasana cinta ini aku duduk bersanding bersamamu hidup tanpa perlu hitungan usia dan ukuran waktu segalanya kekal segalanya tak berujung pangkal segalanya hanya cinta dan kasih sayang segalanya hanya kau dan aku
segalanya surga segalanya cahaya cinta segalanya kau dan aku
CAHAYA DI NEGERI INI
seperti kau katakan, apalah ertinya cahaya di negeri ini
jika di hati kita sendiri masih gelap tidak bermatahari dan bulan
setiap hari mrt melintas di depan lingkaran pintu langit
membawa kita ke rumah-rumah dan gedung-gedung besar
pernahkah kita menyapa Tuhan dengan salaman cinta
pandangan kita tertinggal jauh di sepanjang rel-rel kosong
sungguh, kita menatap kekosongan membeku di udara.
seperti kau katakan, penyakit di zaman ini makin menjadi-jadi
setiap hari kita harus mengawal pemakanan, mengunyah banyak buah-buahan,
memasak sayuran, kurangkan makan telur dan daging, bersenam di park,
demi meredakan tekanan darah dan jantung yang terlalu tinggi
hingga membuat kita sering marah-marah sesama sahabat dan keluarga
pembuluh jantung kita sudah terlalu sarat berlumutkan kolesterol, lemak,
asin garam, msg, manis gula yang membuncitkan kantung perut,
menjalar dalam pundi-pundi kencing, mencipta angka-angka kubur
pernahkah kita bermusuh pada burung-burung pada alam
burung-burung arwah kini menghantui wabak demam
manusia mengkanserkan tamadun di zaman kita, di zaman kita
ada tangan-tangan primitif menyembelih musang
demi memuaskan nafsu santapan, menguburkan ayam beramai-ramai
seperti anak perempuan bahari jahiliyah, ditanam hidup-hidup
ke dalam kejap lubang tanah yang terdalam, berlimpah lumpur darah,
atas dosa apakah ia dibunuh sekejam itu, atau siapakah
yang kita cuba salah-salahkan?
seperti kau katakan, apalah ertinya cahaya di negeri ini
jika setiap warna lampunya yang berbeda memendam kesangsian
wajah-wajah yang sakit tak saling memaafkan, setiap hari
kita hanya mementingkan suhu badan, cemas mengawasi termometer,
menghabiskankan kotak-kotak pil vitamin, jangan sampai menjangkiti demam
selsema di antara kita, tubuh kita senantiasa bertenaga dan ngalirkan
seberapa banyak hamis peluh, sedangkan di dalam rongga-rongga kita
mengapa tidak dilorongi cahaya di negeri ini, betapa sulitnya kita
meneropongi kalbu tanpa suara kunang-kunang, seusai menyelinap lubang
kunci rumah, seperti kau katakan sebaik saja kita kuarantinkan diri
di kamar dapur, menghalau asap perang, memetakan jalan penawar
dari serba ketakutan yang menjaringi maut.
seperti kau katakan, apalah ertinya cahaya di negeri ini
jika kita tak segagah kelkatu, atau hanya mendakap bermilyar galaksi
yang runtuh ke dada kolam, tak juga kita mahu mengerti
apa yang ada di dalam diri, di seberang rumput terbaring
jaket-jaket yang kotor, jauhilah dari menghisap batang rokok,
membakar hutan rawa paru-paru, kau impikan zawiyah perkebunan
yang damai dan tenang, merumusi kurun salasilah yang cukup
sihat dan bervitamin, di negeri yang seindah ini
penghuninya menzuriatkan bangsa sayur-sayuran, bangsa buah-buahan
yang segar matang di kebun-kebun firdaus menghijau.
RINDU
Ku bersenandung dalam rindu,ku merintih dalam perih,ku berharap dalam cemas,ku melangkah dalam gunda,ku memuja dalam do,a.
saat fajar menjelang ku menjelma dalam nyanyian burung krikit menyapaku penuh rindu,ketika mentari mulai terik ku rsakan hadir mu dalam sang bayu membelaiku dalam bisik syahdu.sore mulai datang ku dengar suaramu memangilku dalam teriakan anak-anak yang bermain penuh ceria,malam mulai menyapa menyelimuti sang bumu hijau ku lihat kelipan matamu dalam pesona sang bintang ku rasa senyumu dalam cahaya rembulan kau tidurkan aku dalam buaian lembut angin malam.
ku sayangimu itu lah sebabnya aku tak erhenti mendo,akan ke selamatanmu da berharap kita kan kembali bersama.
CAHAYA CINTA
lihatlah langit malam yang bercahaya lihatlah bintang yang sinarnya benderang menyentuh wajah kita lihatlah aku bintangmu yang satu yang kaucinta yang kaukasihsayang yang kaugenapi dengan kerinduan dan perasaan hangat pesona ribuan derajat tabir cahaya lihatlah ke kedalaman mataku ke kedalaman jantung hatiku ke kedalaman jiwaku yang bersayap yang terbang membawamu ke surga cinta yang paling tinggi paling indah paling agung agar kita bisa duduk bersama di singgasana keesaan cinta singgasana keesaan kasih sayang singgasana kerinduan yang tak terbelah terbagi oleh raga ini
lihatlah aku duhai kekasih yang paling kasih
pada kursi tertinggi singgasana cinta ini aku duduk bersanding bersamamu hidup tanpa perlu hitungan usia dan ukuran waktu segalanya kekal segalanya tak berujung pangkal segalanya hanya cinta dan kasih sayang segalanya hanya kau dan aku
segalanya surga segalanya cahaya cinta segalanya kau dan aku
CAHAYA DI NEGERI INI
seperti kau katakan, apalah ertinya cahaya di negeri ini
jika di hati kita sendiri masih gelap tidak bermatahari dan bulan
setiap hari mrt melintas di depan lingkaran pintu langit
membawa kita ke rumah-rumah dan gedung-gedung besar
pernahkah kita menyapa Tuhan dengan salaman cinta
pandangan kita tertinggal jauh di sepanjang rel-rel kosong
sungguh, kita menatap kekosongan membeku di udara.
seperti kau katakan, penyakit di zaman ini makin menjadi-jadi
setiap hari kita harus mengawal pemakanan, mengunyah banyak buah-buahan,
memasak sayuran, kurangkan makan telur dan daging, bersenam di park,
demi meredakan tekanan darah dan jantung yang terlalu tinggi
hingga membuat kita sering marah-marah sesama sahabat dan keluarga
pembuluh jantung kita sudah terlalu sarat berlumutkan kolesterol, lemak,
asin garam, msg, manis gula yang membuncitkan kantung perut,
menjalar dalam pundi-pundi kencing, mencipta angka-angka kubur
pernahkah kita bermusuh pada burung-burung pada alam
burung-burung arwah kini menghantui wabak demam
manusia mengkanserkan tamadun di zaman kita, di zaman kita
ada tangan-tangan primitif menyembelih musang
demi memuaskan nafsu santapan, menguburkan ayam beramai-ramai
seperti anak perempuan bahari jahiliyah, ditanam hidup-hidup
ke dalam kejap lubang tanah yang terdalam, berlimpah lumpur darah,
atas dosa apakah ia dibunuh sekejam itu, atau siapakah
yang kita cuba salah-salahkan?
seperti kau katakan, apalah ertinya cahaya di negeri ini
jika setiap warna lampunya yang berbeda memendam kesangsian
wajah-wajah yang sakit tak saling memaafkan, setiap hari
kita hanya mementingkan suhu badan, cemas mengawasi termometer,
menghabiskankan kotak-kotak pil vitamin, jangan sampai menjangkiti demam
selsema di antara kita, tubuh kita senantiasa bertenaga dan ngalirkan
seberapa banyak hamis peluh, sedangkan di dalam rongga-rongga kita
mengapa tidak dilorongi cahaya di negeri ini, betapa sulitnya kita
meneropongi kalbu tanpa suara kunang-kunang, seusai menyelinap lubang
kunci rumah, seperti kau katakan sebaik saja kita kuarantinkan diri
di kamar dapur, menghalau asap perang, memetakan jalan penawar
dari serba ketakutan yang menjaringi maut.
seperti kau katakan, apalah ertinya cahaya di negeri ini
jika kita tak segagah kelkatu, atau hanya mendakap bermilyar galaksi
yang runtuh ke dada kolam, tak juga kita mahu mengerti
apa yang ada di dalam diri, di seberang rumput terbaring
jaket-jaket yang kotor, jauhilah dari menghisap batang rokok,
membakar hutan rawa paru-paru, kau impikan zawiyah perkebunan
yang damai dan tenang, merumusi kurun salasilah yang cukup
sihat dan bervitamin, di negeri yang seindah ini
penghuninya menzuriatkan bangsa sayur-sayuran, bangsa buah-buahan
yang segar matang di kebun-kebun firdaus menghijau.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito