Rabu, 27 Mei 2009

Perayaan Pluralisme Cerpen Indonesia Kontemporer: Keberagaman Alternatif*

Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/

CERPEN Indonesia telah meruntuhkan “sakralitasnya”, anjlok dari menara gading yang dibangunnya beberapa warsa silam: cerpen hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berada di seputaran kerja kreatif kesusastraan itu sendiri.

Tentu, asumsi ini sangat bisa dibuktikan, karena dalam era kekinian, cerpen Indonesia telah merasionalisasi dirinya sendiri, masuk ke segala segmen, semua kelas sosial. Beragam tema dengan keberjamakan eksplorasi teknik penceritaan dan pencapaian bahasa-bahasa yang metaforis, telah diterima publik, tak hanya lingkungan kaum sastrais, namun juga pasar ABG dan komunitas selebriti. Karena itu, yang perlu dicatat kemudian adalah bagaimana timbal-balik pluralitas publik yang menerima keberlimpahan eksperimentasi cerpen-cerpen Indonesia?

Penyair Binhad Nurrohmat dalam eseinya yang bertajuk Cerita Pendek Indonesia, Gajah di Pelupuk Mata (Harian Kompas, 25 Mei 2003) dengan begitu santun telah mempertanyakan kerja kritikus sastra dalam meresepsi fluktuasi cerpen Indonesia. Dalam amatan Binhad Nurrohmat, tak ada kritik sastra yang substansial, yang komprehensif menelaah cerpen Indonesia, agar tumbuh dalam kehingar-bingaran yang sehat. Kenyataannya memanglah begitu. Ketika dengan segala kerendahan hati cerpen Indonesia turun dari menara gadingnya, ternyata justru diimbangi dengan mampatnya kerja kritikus sastra.

Tentu saja, tulisan ini hanya sekadar memberi catatan pendek, sebagai tambahan pemetaan sosialisasi dan capaian estetik cerpen Indonesia, yang di masa depan, jika kritik sastra benar-benar mandeg, kemungkinan besar akan tumbuh secara mandiri, merayakan keberjamakan dalam telikung minimnya respons progresif di luar dirinya, sekalipun tetap menolak “dipagut dan dipiting” sebagai hasil kerja yang bersifat onanis.
***

SESUNGGUHNYA, dalam konteks pasar buku sastra, cerpen Indonesia tak pernah menafikan peringatan Lucien Goldman, pemikir strukturalisme kesusastraan, perihal hubungan simbiose mutualistik antara kesusastraan dan masyarakat. Kesaling-tergantungan antara kesusastraan dan masyarakat sungguh telah terjembatani, tinggal masyarakat sendiri yang selanjutnya memilih capaian estetik cerpen tertentu, sesuai dengan kebutuhan yang bersifat reflektif, sekadar bacaan kala senggang, atau memang mau dan sudi memahami serta melacak konsepsi estetikanya.

Dalam konteks masyarakat pembaca sastra (awam) yang mencari capaian reflektif, misalnya, sudah ada cerpen-cerpen realis, yang berhasil mengaduk-aduk kompleksitas psikologis tokoh-tokohnya sehingga relevan sebagai cermin hidup kekinian, dalam kerangka modern. Cerpen-cerpen Jujur Prananto dalam antologi Parmin, Harris Effendi Thahar dalam Si Padang, Hamsad Rangkuti dalam Sampah Bulan Desember, Gus tf Sakai dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Korrie Layun Rampan dalam Acuh tak Acuh maupun Seno Gumira Ajidarma dalam Dunia Sukab, telah mengegaliterkan cerita sehingga dekat dan bernilai the inner of soul interaksi kehidupan sehari-hari. Bermacam ironi maupun sarkasme hidup terejawantahkan dalam substansi cerita yang jika betul-betul diresepsi merupakan wilayah konflik “kita-kita juga”.

Belum lagi jika pembaca sastra mulai berpikir capaian estetik, mencari capaian dalam perhitungan strategi literer teknik penceritaan, maka jangan kaget jika menemui cerpen-cerpen the mind game Puthut EA dalam Dua Tangisan pada Satu Malam, yang begitu impresif, begitu “dingin” cara bertuturnya, menjadikannya sanggup mengemas pandangan-pandangan filsafati untuk merangsek masuk dunia populis, Indra Tranggono dalam Iblis Ngambek dan Iman Budhi Santosa dalam Kalimantang yang memperkaya problem kelas dalam sub kultur warna lokal Jawa, Bre Redana dalam Sarabande yang mempersepsikan sublimitas warna lokal Bali dalam angle tokoh-tokoh yang kosmopolit, Yanusa Nugroho dalam Segulung Cerita Tua yang memperkaya khasanah perspektif mistik, Hudan Hidayat dalam Orang Sakit yang mengedepankan literasi kontemplatif, atau Djenar Maesa Ayu yang merambah dekonstruksi wilayah ketabuan sebagai propaganda perlawanan budaya patriarki lewat Mereka Memanggil Saya Seekor Monyet.

Sementara, cerpen-cerpen yang mungkin dibuat sebagai bacaan kala senggang, tak berambisi mendesakkan capaian reflektif, estetik apalagi ideologis, kecuali justru bernilai potretan sekilas peristiwa, yang sangat personal dan temporal, berkehendak hanya bercerita, tak ada desakan pemahaman antropologis dan lebih pada tawaran nilai abstraksi dunia populis sehingga terendus dalam lipatan saku celana pangsa ABG dan kaum selebritis, dapat dibaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta dan Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma serta Sepuluh Kisah Cinta yang Mencurigakan yang merupakan antologi komunal karya cerpenis-cerpenis muda terbitan Akademi Kebudayaan Yogyakarta.

Tentu saja, pemetaan estetika semacam ini menjadi varian cukup penting, karena tak bisa ditolak, sebagai risiko posmodernisme yang menyumpah-serapahi keserba-tunggalan dan memangku keberjamakan, cerpen Indonesia telah sanggup merayakan eksistensinya, menembus lini tanpa batas, tak perlu juru bicara, dan telah melakukan bargaining terhadap publiknya sendiri. Karenanya, yang perlu diingat, tak ada anasir the invisible hand dalam kemeriahan pasar buku sastra, karena sekalipun tak ada kritikus yang menjembatani karya sastra, cerpen Indonesia sudah berjalan sendiri, “mencuci otak” pembacanya. Pastilah, hal semacam ini jauh lebih berharga dibandingkan dengan kemeriahan sosialisasi cerpen Indonesia beberapa warsa silam, yang penuh konsep, jargon dan juru bicara. Kini, berbagai konsep, jargon, dan petuah juru bicara telah hablur dalam cerita, pembaca-pembaca anonim yang bukan bervarian the invisible hand justru membutuhkan dan menikmatinya, sedikit-banyak tentulah merasakan jaminan atas ruang kenyamanan katarsis, secara apa pun. Bisa jadi, dalam banyak hal, ada kedirian pembaca yang merasuk dalam cerita sehingga substansi cerita menjadi ditunggu-tunggu.
***

BOLEH jadi, saya telah menggeneralisasi secara serampangan terhadap capaian estetik cerpen Indonesia sehingga kalau Binhad Nurrohmat masih menanti dengan setia datangnya “ratu adil” kritikus cerpen Indonesia dan berharap dari lembaga-lembaga sastra yang berkompeten, kiranya, untuk saya, sekalian saja dipastikan bahwa tak ada kritikus cerpen yang akan lahir lagi. Kritikus dengan tuntutan kriteria kesanggupan mengoperasikan berbagai teori sastra untuk mendudukkan sebuah cerpen menjadi mafhum dikaji dari berbagai perspektif, tak usah ditunggu. Karena, kita tahu, tak ada acuan kritik cerpen yang ideal dalam khasanah kesusastraan Indonesia, selain kritik impresif dan bernilai permukaan, lebih banyak mengupas sinopsis dan sekadar konflik psikologisnya, seperti yang terjumpai dalam banyak kritik kata pengantar, kata penutup, maupun yang berkembang sebagai esei sastra di koran-koran. Rupa-rupanya, faktor keterbatasan ruang selalu menjadi alasan utama, justru untuk memberhentikan kerja kritik, yang siapa pun menyadarinya akan sangat fungsional bagi pengembangan kerja estetik para cerpenis di kemudian hari. Setidaknya, tumbuh sentakan ingatan yang bisa dibangun atas kerja kritikus, yang membuat cerpenis tertantang mencari inovasi baru, yang lebih membuka peluang pencapaian otentisitas.

Begitulah. Kini, disadari atau tidak, para pembaca sastra berada dalam ambang batas kesemrawutan cerpen, yang langsung berbicara dengan pembacanya, tak perlu diantar-antar. Dalam banyak hal, situasi semacam ini bukankah malah menguntungkan, karena terhindar dari muatan klaim jika memang masih ada kritikus? Bukankah kerap kita baca, kritik cerpen malah bernilai ambisi legitimatif sehingga menambah keruh politisasi sastra yang di Indonesia pun sudah semakin julik permainannya?

Sampai di sini, saya teringat pada tulisan Richard Oh dalam majalah Matabaca Edisi Mei 2003 dengan judul yang provokatif Melawan Kutukan 3.000 Eksemplar Buku namun substansi yang dibicarakan sangatlah rasional. Dalam era terkini, demikian Richard Oh berasumsi, situasi sosiologis tempat hidup masyarakat sangat merindukan keberagaman cerita sebagai risiko menetralisir kesumpekan. Konsekuensinya, penerbit buku harus pandai-pandai membidik pasar agar buku-buku sastra yang diterbitkan sesuai dengan situasi psikologis publik yang membutuhkannya.

Secara sederhana dapatlah dipahami: pembaca buku Indonesia membutuhkan alternatif bacaan yang segar, namun juga mencerdaskan. Dalam konteks inilah peluang sosialisasi sastra menjadi besar, untuk meruntuhkan hegemoni menara gading, “sakralitasnya” tersebut. Tak bisa dipungkiri, pembaca buku Indonesia yang suntuk dan sumpek dengan buku-buku politik karena tak pernah sinkron antara teori dan kenyataan, dengan contoh anarkisme politik di Indonesia, misalnya, pasti akan lari ke buku lain yang lebih bersifat “membebaskan”, “mencerahkan”, tidak membikin beban berupa kerutan kening. Begitu pula dengan para pembaca buku-buku ilmu sosial.

Karenanya, di sinilah letak sinergi paling logis antara para cerpenis dan penerbit buku, lewat tangan redaktur sastra media massa, yang “seeksperimentatif” apa pun dalam mengakomodir cerpen, tetaplah mempunyai standar estetika. Bolehlah disepakati, sebagai salah satu penentu masa depan “peradaban estetik” cerpen Indonesia, tangan redakturlah yang kini mengemban tanggung jawab cukup besar, karena kritikus telah mati. Dengan sendirinya, karena pengarang akan selalu hidup, dan konteks zaman yang kini menerimanya bisa dikatakan sudah lama mengharap, maka perlu diperbanyak cerita-cerita yang memperhitungkan segala aspek, terutama yang bermuatan historisisme, karena kalangan masyarakat pun membutuhkannya sebagai alternatif “kebenaran”, yang sulit dijumpai dalam teks-teks lain di luar karya sastra. Perlu diingat kembali, dalam konteks ini, antologi cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sangatlah menyumbang, di samping buku lain seperti Sandiwara Hang Tuah karya Taufik Ikram Jamil.

Dalam kaitan semua hal itu pula, risiko keberjamakan yang sepantasnya dirayakan, tak perlu melahirkan hero baru. Sebagaimana analogi dalam dunia industri, siapa pun sah menulis cerpen, karena yang baru trend dan laku adalah fiksi, adalah cerpen. Sebagaimana dalam lingkungan petani, maka menjadi lumrah jika siapa pun yang sanggup menanam dan memelihara lombok, ya, tanamlah dan peliharalah lombok tersebut. Eghm, kini, momentum cerpen Indonesia untuk unjuk gigi, mengkarnavalkan dirinya sudah tiba, karena tuntutan situasi. Di luar tetek-bengek persoalan itu, sebagai konsekuensi seleksi alam kita tinggal menunggu waktu, apakah cerpen-cerpen Indonesia akan menjadi pualam, melabu, ataukah malah bertalu, meraih zaman keemasannya.

Hiduplah para cerpenis dalam keberjamakan eksperimentasi karnaval estetika! ***

*) pernah dimuat di kompas

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito