Jumat, 23 Maret 2012

Festival Penulis Tanpa Penulis

Eka Kurniawan *
Kompas, 07 Okt 2007

DALAM buku esai terbarunya, The Curtain, Milan Kundera menyinggung perihal sastra dunia (atau dalam istilah Goethe, Die Weltliteratur) dengan mengatakan: “Tidak, percayalah, tak akan ada yang mengenal Kafka saat ini—tak seorang pun—jika ia tetap menjadi seorang Ceko.”

Konteks pernyataannya tersebut adalah meski Franz Kafka seorang Yahudi dan menulis serta tinggal di Ceko, pada kenyataannya Kafka dikenal sebagai penulis Jerman. Menurut Kundera, hanya karena menulis dalam bahasa Jerman dan kemudian diperkenalkan sebagai penulis Jerman, Kafka bisa kita kenal sekarang ini.

Saya membaca buku esai itu di tengah-tengah acara Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) yang baru saja berakhir, 25-30 September 2007 di Ubud, Bali. Datang sebagai seorang penonton biasa, saya serasa menemukan konteks esai tersebut dalam acara festival ini. Menurut Kundera, bangsa yang memiliki tradisi kesusastraan besar cenderung tak melihat konteks sastra dunia sebab mereka merasa tradisi sastranya telah mencukupi. Bangsa dengan tradisi kesusastraan kecil juga berlaku sama dengan alasan yang terbalik: mereka melihat sastra dunia sebagai sesuatu yang asing, dan karenanya menjadi defensif, hanya hidup dalam tradisinya sendiri. Di UWRF, kenyataan tersebut tampak, meskipun dialog antartradisi tetap dilakukan oleh para peserta.

Saya datang pertama kali ke UWRF dua tahun lalu (1995) sebagai peserta. Acara tahun itu dihadiri antara lain oleh Amitav Ghosh, yang dikenal melalui novel The Glass Palace, sebuah novel “Asia” karena berkisah mengenai pergolakan di Burma, melebar ke Malaya dan India, tetapi ditulis dalam bahasa Inggris. Juga hadir penulis yang dikenal melalui novel (terutama setelah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood) The English Patient, Michael Ondaatje.

Tahun ini Ubud kembali kedatangan penulis mencorong lainnya: Kiran Desai. Melalui novelnya, The Inheritance of Loss, penulis India yang menghabiskan waktunya antara India dan New York ini baru saja memperoleh The Man Booker Prize. Kiran Desai berbagi kisah mengenai sulitnya menembus penerbitan internasional dan mengaku, novelnya tersebut ditolak oleh editor di New York. Namun, setelah diterbitkan (tentu melalui editor lain), apalagi setelah memperoleh penghargaan dan kemudian menjadi international best seller, editor yang sama berkilah, “Naskah yang kubaca berbeda dengan naskah yang kamu terbitkan.” Padahal kenyataannya itu naskah yang sama!

Secara umum UWRF memang menyenangkan bagi seorang penulis dan penggemar sastra, dan bisa dikatakan memang “berkelas dunia”. Bahkan majalah Harper’s Bazaar UK menyebutnya sebagai “One of the six best literary festival in the world.” Sangat menyedihkan kenyataannya, festival sebesar ini tak banyak dihadiri oleh para penulis dalam negeri kita. Sebagian besar penulis yang ada di sana adalah peserta yang memang harus mengisi sesi acara. Bahkan penulis dari Bali sendiri, di luar pengisi sesi acara, tak akan lebih dari hitungan jari tangan jumlahnya.

Ada apakah dengan penulis Indonesia? Apakah mereka merasa memiliki tradisi kesusastraan yang besar, sehingga merasa tak perlu untuk bergaul dengan kesusastraan di luar dirinya? Dengan kata lain, merasa telah cukup memiliki (misalnya) penyair serupa Amir Hamzah, Chairil Anwar hingga yang terkini, Joko Pinurbo? Ataukah kesusastraan Indonesia demikian kecilnya, sehingga para penulisnya menjadi defensif dan menganggap kesusastraan di luar dirinya tak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan di Indonesia? Menjadikan sastra dunia sebagai sesuatu yang tak terjangkau, atau bahkan “menyeramkan”?

Bagi saya sendiri, sejujurnya lebih cenderung mengakui tradisi kesusastraan kita memang kecil, meskipun harus diakui ada ratusan juta (calon) pembaca serta sejarah literatur yang panjang. Jika ada yang menganggap tradisi kesusastraan Indonesia sebagai sesuatu yang besar, bisa dikatakan sebagai upaya membesar-besarkan diri, barangkali disebabkan ketidaktahuan (atau keengganan) untuk menyadari ada yang lebih besar. Namun, bukan berarti itu bisa menjadi alasan bersikap defensif, menganggap sastra lain sebagai yang asing dan tak terjangkau, tak berpijak kepada kenyataan masyarakat sastranya.

Bagaimana menjelaskan karya-karya Pramoedya Ananta Toer tanpa mengakui keberadaan karya-karya Maxim Gorki atau John Steinbeck, misalnya? Bagaimana pula menjelaskan karya-karya Iwan Simatupang, tanpa menyimak sejarah eksistensialisme di Prancis?

Jelas kita bukan penganut xenophobia. Kita menerima tradisi yang berbeda-beda secara terbuka, jika tak bisa dikatakan liberal. Namun harus diakui, masih banyak penulis yang mengatakan, “Mengapa kita harus mempergunakan teori-teori sastra barat, mengapa tidak menciptakan teori sendiri? Kenapa harus mengutip pendapat penulis asing?” Menggantungkan segala sesuatu kepada tradisi sastra besar (yang notabene asing) memang keterlaluan, tetapi menutup diri juga sama keterlaluannya.

Melalui UWRF, sebenarnya terbuka untuk membawa kita ke sebuah pergaulan yang kosmopolitan. Selain UWRF, memang ada satu atau dua festival lain yang mengklaim sebagai festival sastra internasional meskipun yang dimaksud internasional baru sebatas menghadirkan penulis dari beberapa negara; dengan penulis yang nyaris sungguh-sungguh tak dikenal. UWRF melangkah lebih maju, berani menghadirkan penulis-penulis yang bisa kita katakan “papan atas” untuk kesusastraan dunia kontemporer. Siapa yang lebih pantas untuk dihadirkan selain Kiran Desai di hari-hari ini, misalnya? Tentu saja kita berharap ada banyak penulis sekelasnya bisa dihadirkan pada tahun-tahun mendatang.

Permasalahannya, kembali bagaimana festival yang sangat baik ini, dengan kehadiran penulis-penulis dunianya, bisa merangsang iklim kreativitas bagi kesusastraan Indonesia. Untuk hal ini, tampaknya harapan tersebut masih bagaikan mimpi. Pertama, tentu saja minimnya kehadiran penulis Indonesia (di luar pengisi sesi acara) di acara tersebut. Kedua, tampaknya panitia festival memang tidak memaksudkan festival ini sebagai ajang bagi publik kesusastraan Indonesia.

Sudah agak menjadi “rahasia umum” kalau festival ini memang lebih kental aroma turismenya. Promosi acara ini jauh lebih mudah ditemukan di kantong-kantong pariwisata daripada di kantong-kantong kesusastraan atau kebudayaan. Diskusi-diskusi kesusastraan sebagian besar dilaksanakan di restoran dan bukan di kantong kebudayaan. Tidak mengherankan jika hampir seratus persen pengunjung yang memadati venue festival adalah turis, atau paling tidak, ekspatriat.

Kehadiran Kiran Desai, pada akhirnya tak bermakna apa-apa untuk kesusastraan Indonesia. Hampir seluruh pengunjung sesi acara Kiran Desai merupakan turis. Ini berlaku pula untuk sesi-sesi acara yang lain.

Itu bukan hal yang salah, tentu saja. Bisa menjadikan sebuah peristiwa kesusastraan sebagai magnet untuk mendatangkan turis (apalagi turis asing yang membawa devisa), tentu luar biasa. Orang datang ke Ubud, Bali, tak hanya untuk melihat pegunungan yang sejuk, kebudayaan masyarakat sekitar, tetapi juga berjumpa penulis kelas dunia. Sekarang yang terpenting, bagaimana menjadikan festival ini tak melulu sebagai kegiatan “pariwisata”, tetapi secara adil, juga bisa menjadi peristiwa “kesusastraan”.

Dengan demikian, untuk tahun-tahun yang akan datang, UWRF tak hanya menjadi tempat berkumpul turis, tetapi juga menjadi rendez-vous bagi para penulis Indonesia, atau paling tidak penulis Bali, tanpa menunggu menjadi “undangan”. Sebuah tempat di mana kesusastraan Indonesia bergaul secara kosmopolit dengan berbagai tradisi di luar dirinya, dan tak melulu disibukkan oleh keributan antara satu kelompok kesusastraan dan kelompok kesusastraan lainnya, apalagi kalau yang diributkan tak ada hubungannya dengan kesusastraan.

Kerja keras untuk panitia dan tentu juga para penulis Indonesia untuk mau lebih bergaul. Sambil berharap festival serupa juga bisa dilaksanakan di tempat lain: Jakarta, Yogyakarta, Riau, atau Makassar.

*) Eka Kurniawan, Penulis
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/10/festival-penulis-tanpa-penulis.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito