KASUS PUISI “IKAN PADANG” DEDDY ARSYA
Riyon Fidwar
http://minggu.hariansinggalang.co.id/
PENULIS, karya, dan pembaca merupakan hal yang selalu dibahas dan dicatat dalam perkembangan sastra dari priode ke priode. Tiga hal ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra. Pembicaraan tentang tiga hal inijuga tidak jarang juga pula menghadirkan polemikyang beruntun di kalanganpembaca aktif yang berperan sebagai pengamat sastra dan penulis sebagai pegiat sastra itu sendiri (Maira; 2011).
Polemik adalah perbedaan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam media massa: polemik sastra adalah tukar pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang masalah sastra, jika berbentuk tulisan disebut perang pena; berpolemik (berbantah, berbahas) melalui media massa (dalam surat kabar, majalah dan sebagainya). Setelah diamati, adapun masalah sastra yang sering yang mewarnai polemic sastra antaralain adalah masalah posisi kritikus, mutu karya, serta tentang pengarang dalam eksistensinya sebagai pegiat sastra.
Dalam Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra) yang ditulis oleh Maira Eka Sari, S.S untuk memenuhi sarat mendapat gelar S1-nya. Dalam skripsi ini Maira Eka Sari, S.S mencoba untuk mendukomentasikan sastra dalam bentuk yang sangat unik sehingga menjadi lebih menarik untuk dibaca atau diteliti lebih lanjut. Skripsi Maira Eka Sari, S.S ini adalah salah satu skripsi yang membahas tentang karya sastra yang beredar di media massa, khususnya akun Facebook. Tindakan ini adalah sesuatu yang baru dalam studi sastra yang hanya membahas karya yang telah dicetak (buku sastra).
Skripsi ini bisa disebut sebagai salah satu sejarah sastra yang telah diaplikasikan dalam bentuk yang baru dalam sejarah sastra sebelumnya. Tindakan yang berani dan mengagumkan serta menghebohkan. Dengan sendirinya sastra tidak didefenisikan berdasarkan kriteria kualitaif. Yang dipakai sebagai kriteria di sini adalah sesuatu yang dibaca secara sukarela. Karya yang tidak merupakan alat melainkan tujuan dipandang sebagai sastra. Semua karya yang tidak dimanfaatkan keguaannya secara praktis melainkan untuk memuaskan kebutuhan budaya. Di antara karya sastra yang nyata diambil, sebagian besar fungsional, terutama Koran, di mana yang terutama dicari adalah informal, dokumentasi.
Dalam Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra), polemik dipicu oleh komentar keempat yang ditulis oleh Raudal Tanjung Banua. Komentar Raudal ini ternyata mendapat respos dari Romi Zarman dan beberapa sastrawan lainnya.
@Raudal Tanjung Banua
“ Deddy Arsya memang lain; puisinya enak dinikmati, tp juga berisi. Tidak sekedar mengigau dalam irama membunca-buncah. Bagiku, penyair Padang mutakhir paling kuat adalah Deddy Arsya……(baca selanjutnya).”
@Romi Zarman
“ Bila Deddy dikatakan sebagai penyair Padang mutakhir, saya setuju. Tp tentu ada alas an kuat yang mendukung lahirnya pandangan tersebut….. (baca selanjutnya).”
Dua komentar di atas merupakan awal dari polemik ideologi antara sastrawan rantau dan sastrawan kampong. Kasus ini merupakan kasus yang hangat dibicarakan oleh pegiat sastra, penikmat sastra, serta pegiat facebook. Dari polemik ini mengundang komentar dalam jumlah yang sangat besar, yaitu sebanyak 346 buah komentar. Sebuah perdebatan yang sangat runcing dan sengit di akun facebook. Polemik yang dilakoni oleh para sastrawan bukan hanya membicarakan tentang puisi “Ikan Padang” yang ditulis oleh Deddy Arsya, tetapi juga membicarakan bagaimana masalah-masalah yang ada dalam sastra, khususnya sastra mutakir Sumatera Barat.
Mengingat fakta sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari cara berpikir individual, bentuk-bentuk abstrak dan sekaligus struktur kolektif, pembahasannya cukup menyulitkan. Sulit kita membayangkan gejala dengan tiga dimensi, terutama ketika kita menyusun sejarahnya. Pada kenyataannya, selama berabad-abad, bahkan saat sampai sekarang, sejarah sastra ditulis berdasarkan studi manusia dan karya-karyanya, biografi spiritual dan komentar teks, karena konteks kolektif hanya dianggap sebagai semacam dekor, hiasan yang dibiarkan menjadi objek studi pakar sejarah politik.
Kesulitan-kesulitan tersebut tidak pernah berhasil diatasi. Bahkan jika representasi sempurna tidak mungkin, yang penting hendaknya para penulis biografi dan penulis komentar, ahlisejarah dan kritikus, para peneliti sastra, memiliki visi lengkap tentang fakta sastra, dari masa kini atau masa lalu.
Dari hasil pengatan, bahwa skripsi ini perlu dikembangkan lagi. Sebab penelitian tentang Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra), adalah penelitian yang sangat menantang dan unik untuk dipertahankan. Skripsi yang ditulis oleh Maira Eka Sari, S.S merupakan salah satu kegiatan mencatat perkembangan sejarah sastra di Indonesia.
07 January 2012
Riyon Fidwar
http://minggu.hariansinggalang.co.id/
PENULIS, karya, dan pembaca merupakan hal yang selalu dibahas dan dicatat dalam perkembangan sastra dari priode ke priode. Tiga hal ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra. Pembicaraan tentang tiga hal inijuga tidak jarang juga pula menghadirkan polemikyang beruntun di kalanganpembaca aktif yang berperan sebagai pengamat sastra dan penulis sebagai pegiat sastra itu sendiri (Maira; 2011).
Polemik adalah perbedaan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam media massa: polemik sastra adalah tukar pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang masalah sastra, jika berbentuk tulisan disebut perang pena; berpolemik (berbantah, berbahas) melalui media massa (dalam surat kabar, majalah dan sebagainya). Setelah diamati, adapun masalah sastra yang sering yang mewarnai polemic sastra antaralain adalah masalah posisi kritikus, mutu karya, serta tentang pengarang dalam eksistensinya sebagai pegiat sastra.
Dalam Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra) yang ditulis oleh Maira Eka Sari, S.S untuk memenuhi sarat mendapat gelar S1-nya. Dalam skripsi ini Maira Eka Sari, S.S mencoba untuk mendukomentasikan sastra dalam bentuk yang sangat unik sehingga menjadi lebih menarik untuk dibaca atau diteliti lebih lanjut. Skripsi Maira Eka Sari, S.S ini adalah salah satu skripsi yang membahas tentang karya sastra yang beredar di media massa, khususnya akun Facebook. Tindakan ini adalah sesuatu yang baru dalam studi sastra yang hanya membahas karya yang telah dicetak (buku sastra).
Skripsi ini bisa disebut sebagai salah satu sejarah sastra yang telah diaplikasikan dalam bentuk yang baru dalam sejarah sastra sebelumnya. Tindakan yang berani dan mengagumkan serta menghebohkan. Dengan sendirinya sastra tidak didefenisikan berdasarkan kriteria kualitaif. Yang dipakai sebagai kriteria di sini adalah sesuatu yang dibaca secara sukarela. Karya yang tidak merupakan alat melainkan tujuan dipandang sebagai sastra. Semua karya yang tidak dimanfaatkan keguaannya secara praktis melainkan untuk memuaskan kebutuhan budaya. Di antara karya sastra yang nyata diambil, sebagian besar fungsional, terutama Koran, di mana yang terutama dicari adalah informal, dokumentasi.
Dalam Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra), polemik dipicu oleh komentar keempat yang ditulis oleh Raudal Tanjung Banua. Komentar Raudal ini ternyata mendapat respos dari Romi Zarman dan beberapa sastrawan lainnya.
@Raudal Tanjung Banua
“ Deddy Arsya memang lain; puisinya enak dinikmati, tp juga berisi. Tidak sekedar mengigau dalam irama membunca-buncah. Bagiku, penyair Padang mutakhir paling kuat adalah Deddy Arsya……(baca selanjutnya).”
@Romi Zarman
“ Bila Deddy dikatakan sebagai penyair Padang mutakhir, saya setuju. Tp tentu ada alas an kuat yang mendukung lahirnya pandangan tersebut….. (baca selanjutnya).”
Dua komentar di atas merupakan awal dari polemik ideologi antara sastrawan rantau dan sastrawan kampong. Kasus ini merupakan kasus yang hangat dibicarakan oleh pegiat sastra, penikmat sastra, serta pegiat facebook. Dari polemik ini mengundang komentar dalam jumlah yang sangat besar, yaitu sebanyak 346 buah komentar. Sebuah perdebatan yang sangat runcing dan sengit di akun facebook. Polemik yang dilakoni oleh para sastrawan bukan hanya membicarakan tentang puisi “Ikan Padang” yang ditulis oleh Deddy Arsya, tetapi juga membicarakan bagaimana masalah-masalah yang ada dalam sastra, khususnya sastra mutakir Sumatera Barat.
Mengingat fakta sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari cara berpikir individual, bentuk-bentuk abstrak dan sekaligus struktur kolektif, pembahasannya cukup menyulitkan. Sulit kita membayangkan gejala dengan tiga dimensi, terutama ketika kita menyusun sejarahnya. Pada kenyataannya, selama berabad-abad, bahkan saat sampai sekarang, sejarah sastra ditulis berdasarkan studi manusia dan karya-karyanya, biografi spiritual dan komentar teks, karena konteks kolektif hanya dianggap sebagai semacam dekor, hiasan yang dibiarkan menjadi objek studi pakar sejarah politik.
Kesulitan-kesulitan tersebut tidak pernah berhasil diatasi. Bahkan jika representasi sempurna tidak mungkin, yang penting hendaknya para penulis biografi dan penulis komentar, ahlisejarah dan kritikus, para peneliti sastra, memiliki visi lengkap tentang fakta sastra, dari masa kini atau masa lalu.
Dari hasil pengatan, bahwa skripsi ini perlu dikembangkan lagi. Sebab penelitian tentang Kasus Komentar Puisi Ikan Padang Karya Deddy Arsya, Polemik Sastrawan Di Facebook (Cybersastra), adalah penelitian yang sangat menantang dan unik untuk dipertahankan. Skripsi yang ditulis oleh Maira Eka Sari, S.S merupakan salah satu kegiatan mencatat perkembangan sejarah sastra di Indonesia.
07 January 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar