A. Syauqi Sumbawi
http://sastra-indonesia.com/
Sketsa Historis
Kontras dengan apa yang banyak dipikirkan masyarakat Barat, terdapat sejarah panjang tentang interaksi antara masyarakat Belanda dan Islam —yang merupakan bagian dari masyarakat kolonial di Hindia Belanda dan wilayah Karibia. Akan tetapi, hanya sebagian kecil dari komunitas Muslim di Belanda saat ini yang berasal dari migrasi post-kolonial. Sebagian besar Muslim di Belanda adalah tenaga kerja imigran dari Maroko dan Turki. Karena kurangnya tenaga kerja rendahan pada tahun 1960-an dan 1970-an, para imigran itu didatangkan ke Belanda oleh kalangan bisnis.
Gagasan di balik perekrutan tenaga kerja asing tersebut, bahwa mereka akan datang ke Belanda secara sementara dan kemudian kembali ke negeri asal dengan uang yang telah mereka terima. Oleh karena itu, tenaga kerja imigran (atau “tamu”) tidak hanya berhak untuk menjaga identitas agama dan budaya mereka, tetapi juga didorong untuk mempraktikkannya.
Sekitar tahun 1970-an, keadaan menunjukkan bahwa para tenaga kerja imigran dari Maroko dan Turki ingin tinggal di Belanda. Sejak saat itu, status “tenaga kerja sementara” tersebut berubah menjadi imigran permanen dan Islam menjadi bagian dari masyarakat Belanda. Di samping itu, populasi Muslim di Belanda mengalami perkembangan melalui kelahiran, penyatuan keluarga, perkawinan, kedatangan para pencari suaka dari negara lain, serta pada tingkat terbatas adalah sebagai akibat dari konversi agama masyarakat Belanda kepada Islam. Dengan adanya perkembangan tersebut, maka masalah-masalah seperti pelembagaan, integrasi para imigran dan persoalan kewarganegaraan kemudian mulai dibahas dalam kaitannya dengan Islam di Belanda.
Kalau tahun 1970-an dapat dilihat sebagai langkah pertama dalam perkembangan Islam di Belanda, maka tahun 1980-an merupakan langkah selanjutnya, di mana Islam diberi status yang sama sebagai salah satu agama minoritas di Belanda, di samping agama Katolik, Protestan dan atheisme dengan penganut mayoritas. Salah satu konsekuensi dari kebijakan ini adalah bahwa undang-undang yang ada harus diamandemen guna menjamin kesetaraan dan kebebasan keyakinan agama bagi Muslim di Belanda. Dalam hubungannya dengan Islam, pemerintah kemudian menciptakan sebuah “infrastruktur Muslim”, seperti pelayanan dakwah, sekolah Islam, dan penjaga spiritual Muslim di rumah sakit dan penjara, di mana semua pelayanan ini dibiayai oleh pemerintah. Dari semua itu, cara di mana pemerintah dan masyarakat Belanda menciptakan peluang dan hambatan bagi pengembangan lembaga-lembaga Islam hanya satu sisi dari proses pelembagaan yang terus berlangsung hingga saat ini. Di sisi lain adalah munculnya berbagai organisasi Muslim dan organisasi masjid, yang pada gilirannya mampu mendapatkan posisi kuat di tengah kehidupan sosial.
Sketsa Peluang atas Perkembangan Islam
Fakta bahwa Islam telah menempatkan dirinya dalam kehidupan beragama di Belanda juga dibuktikan oleh statistik. Sampai saat ini, Badan Statistik Belanda atau CBS (Centraal Bureau voor de Statistiek) mengasumsikan bahwa ada 1 juta penduduk Muslim di Belanda. Namun, CBS kemudian menyesuaikan jumlah Muslim pada kisaran 850.000 atau 5 % dari penduduk Belanda.
Seperti semua warga negara lainnya, Muslim Belanda tunduk pada Konstitusi Belanda. Dalam Konstitusi tersebut, prinsip-prinsip demokratis pemisahan gereja dan negara sangat menentukan peran-peran yang mungkin dimainkan oleh agama dalam masyarakat dan juga ruang-ruang yang ditawarkan kepada umat beragama untuk mempraktikkan keyakinan mereka. Terkait dengan hal tersebut, pemisahan gereja dan negara di Belanda didasarkan pada tiga pasal konstitusi, yaitu Pasal 1 (kesetaraan), Pasal 6 (kebebasan keyakinan agama) dan Pasal 23 (kebebasan pendidikan).
Pengaturan hubungan antara gereja dan negara di Belanda memiliki konsekuensi bagi negara dan kelompok-kelompok keagamaan. Untuk kelompok keagamaan—termasuk kelompok Muslim—, pengaturan tersebut berarti kebebasan yang besar dalam menentukan jalan mereka sendiri. Negara tidak dapat mengganggu substansi atau organisasi agama mereka. Kemudian menurut prinsip kekebasan keyakinan agama, Muslim Belanda bebas untuk mempraktikkan agama mereka, secara individu maupun kolektif, juga dalam domain publik. Selain itu, prinsip kesetaraan melindungui semua warga negara, termasuk Muslim, terhadap diskriminasi atas dasar keyakinan mereka, jenis kelamin, orientasi seksual, atau diskriminasi lainnya. Berikutnya, sesuai dengan prinsip kebebasan pendidikan, gerakan keagamaan bahkan dimungkinkan untuk mendirikan sekolah keagamaan mereka sendiri yang dibiayai oleh pemerintah.
Tentunya, semua kebebasan tersebut melibatkan kewajiban. Pemisahan gereja dan negara juga berarti bahwa kelompok keagamaan harus menghormati bahwa domain negara adalah di luar kewenangan mereka. Di samping itu, kebebasan beragama tidak hanya berarti bahwa orang bebas untuk menjalankan agama mereka sendiri, tetapi individu-individu juga bebas untuk merubah keyakinan atau meninggalkannya.
Sketsa Tantangan atas Perkembangan Islam
Meskipun prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antara pemerintah, agama dan masyarakat didasarkan pada konstitusi, tetapi prinsip-prinsip tersebut tidak diatur secara kaku. Interpretasi atas prinsip-prinsip ini tergantung pada kondisi sosial yang berlangsung, serta debat publik dan diskusi politik. Maka, dapat dikatakan bahwa perkembangan Islam di Belanda tidak sepenuhnya bebas dari berbagai permasalahan, tetapi terkait dengan sebuah perdebatan tentang dasar-dasar masyarakat.
Penyebab spesifik dari perdebatan di atas sering dipicu oleh kasus-kasus yang muncul. Misalnya, pada tahun 2001, terjadi penolakan terhadap seorang wanita yang mengenakan jilbab dalam pekerjaannya sebagai pegawai pengganti yang mengakibatkan perdebatan publik tentang cocok-tidaknya seorang pejabat publik untuk memakai simbol-simbol keagamaan. Perdebatan ini difokuskan pada pentingnya negara yang netral, yang timbul dari prinsip pemisahan gereja dan negara versus kebebasan keyakinan agama. Selain mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang berbeda, perdebatan tentang mengenakan pakaian keagamaan juga sering melibatkan perbedaan pendapat tentang makna atas simbol-simbol tersebut, serta mengacu pada kondisi minimal untuk interaksi sosial, di mana banyak klaim yang menyebutkan bahwa jilbab atau pakaian yang menyembunyikan wajah menjadikan komunikasi jauh lebih sulit.
Kasus lain dari pertentangan hak-hak konstitusional terjadi pada tahun 2001, ketika Imam masjid al-Nashr di Rotterdam dari Maroko, yaitu Khalid al-Moumni mengklaim bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit menular. Sebuah protes publik yang besar terjadi dengan tuduhan bahwa Imam tersebut telah melakukan diskriminasi. Meskipun banyak yang tersinggung dengan pernyataan tersebut, dan beberapa orang bahkan mengambil tindakan hukum, tetapi hakim memutuskan bahwa Imam tersebut hanya menyatakan kepercayaan agamanya dan karenanya tidak bersalah secara diskriminatif.
Kebebasan keyakinan agama dalam kaitannya dengan pemisahan gereja dan negara juga berada di bawah beberapa tekanan setelah munculnya gerakan yang disebut Islam radikal. Terutama setelah pembunuhan Theo Van Gogh —pembuat film Submission— pada tahun 2004 oleh seorang ekstrimis Muslim, sebagian kalangan mengusulkan kepada pemerintah untuk secara aktif mendukung Islam liberal dalam rangka membendung gelombang radikalisasi Muslim.
Selain masalah-masalah di atas, asosiasi implisit bahwa Muslim identik dengan kekerasan merupakan satu permasalahan klasik yang masih menjadi kekhawatiran. Namun, fakta yang terjadi berkaitan dengan peluncuran film anti-Islam “Fitna” oleh anggota Parlemen Belanda Geert Wilders, pada awal tahun 2008, menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap respon kemarahan yang dilakukan oleh komunitas Muslim tidak terjadi. Berlawanan dengan hal tersebut, sebagian besar komunitas Muslim Belanda secara eksplisit menjauhkan diri dari tindakan kekerasan serta melakukan aksi damai sebagai jawaban atas film tersebut yang selanjutnya melahirkan penilaian positif sebagian masyarakat Belanda terhadap komunitas Muslim. Hal ini tentu saja berbeda dengan respon terhadap kasus “Danish Cartoon” yang diwarnai dengan aksi kekerasan oleh komunitas Muslim, baik di Belanda maupun di seluruh dunia.
Dari kenyataan di atas, sikap toleransi dua arah merupakan salah satu faktor guna meminimalisir berbagai hambatan dan tantangan, terutama terhadap asumsi anti-integrasi dan intoleransi yang dilakukan oleh komunitas Muslim dalam kehidupan masyarakat Belanda, serta Eropa secara umum.
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, Tinggal di Jotosanur Rt 2 Rw 3 No.319 Tikung Lamongan, Jawa Timur.
http://sastra-indonesia.com/
Sketsa Historis
Kontras dengan apa yang banyak dipikirkan masyarakat Barat, terdapat sejarah panjang tentang interaksi antara masyarakat Belanda dan Islam —yang merupakan bagian dari masyarakat kolonial di Hindia Belanda dan wilayah Karibia. Akan tetapi, hanya sebagian kecil dari komunitas Muslim di Belanda saat ini yang berasal dari migrasi post-kolonial. Sebagian besar Muslim di Belanda adalah tenaga kerja imigran dari Maroko dan Turki. Karena kurangnya tenaga kerja rendahan pada tahun 1960-an dan 1970-an, para imigran itu didatangkan ke Belanda oleh kalangan bisnis.
Gagasan di balik perekrutan tenaga kerja asing tersebut, bahwa mereka akan datang ke Belanda secara sementara dan kemudian kembali ke negeri asal dengan uang yang telah mereka terima. Oleh karena itu, tenaga kerja imigran (atau “tamu”) tidak hanya berhak untuk menjaga identitas agama dan budaya mereka, tetapi juga didorong untuk mempraktikkannya.
Sekitar tahun 1970-an, keadaan menunjukkan bahwa para tenaga kerja imigran dari Maroko dan Turki ingin tinggal di Belanda. Sejak saat itu, status “tenaga kerja sementara” tersebut berubah menjadi imigran permanen dan Islam menjadi bagian dari masyarakat Belanda. Di samping itu, populasi Muslim di Belanda mengalami perkembangan melalui kelahiran, penyatuan keluarga, perkawinan, kedatangan para pencari suaka dari negara lain, serta pada tingkat terbatas adalah sebagai akibat dari konversi agama masyarakat Belanda kepada Islam. Dengan adanya perkembangan tersebut, maka masalah-masalah seperti pelembagaan, integrasi para imigran dan persoalan kewarganegaraan kemudian mulai dibahas dalam kaitannya dengan Islam di Belanda.
Kalau tahun 1970-an dapat dilihat sebagai langkah pertama dalam perkembangan Islam di Belanda, maka tahun 1980-an merupakan langkah selanjutnya, di mana Islam diberi status yang sama sebagai salah satu agama minoritas di Belanda, di samping agama Katolik, Protestan dan atheisme dengan penganut mayoritas. Salah satu konsekuensi dari kebijakan ini adalah bahwa undang-undang yang ada harus diamandemen guna menjamin kesetaraan dan kebebasan keyakinan agama bagi Muslim di Belanda. Dalam hubungannya dengan Islam, pemerintah kemudian menciptakan sebuah “infrastruktur Muslim”, seperti pelayanan dakwah, sekolah Islam, dan penjaga spiritual Muslim di rumah sakit dan penjara, di mana semua pelayanan ini dibiayai oleh pemerintah. Dari semua itu, cara di mana pemerintah dan masyarakat Belanda menciptakan peluang dan hambatan bagi pengembangan lembaga-lembaga Islam hanya satu sisi dari proses pelembagaan yang terus berlangsung hingga saat ini. Di sisi lain adalah munculnya berbagai organisasi Muslim dan organisasi masjid, yang pada gilirannya mampu mendapatkan posisi kuat di tengah kehidupan sosial.
Sketsa Peluang atas Perkembangan Islam
Fakta bahwa Islam telah menempatkan dirinya dalam kehidupan beragama di Belanda juga dibuktikan oleh statistik. Sampai saat ini, Badan Statistik Belanda atau CBS (Centraal Bureau voor de Statistiek) mengasumsikan bahwa ada 1 juta penduduk Muslim di Belanda. Namun, CBS kemudian menyesuaikan jumlah Muslim pada kisaran 850.000 atau 5 % dari penduduk Belanda.
Seperti semua warga negara lainnya, Muslim Belanda tunduk pada Konstitusi Belanda. Dalam Konstitusi tersebut, prinsip-prinsip demokratis pemisahan gereja dan negara sangat menentukan peran-peran yang mungkin dimainkan oleh agama dalam masyarakat dan juga ruang-ruang yang ditawarkan kepada umat beragama untuk mempraktikkan keyakinan mereka. Terkait dengan hal tersebut, pemisahan gereja dan negara di Belanda didasarkan pada tiga pasal konstitusi, yaitu Pasal 1 (kesetaraan), Pasal 6 (kebebasan keyakinan agama) dan Pasal 23 (kebebasan pendidikan).
Pengaturan hubungan antara gereja dan negara di Belanda memiliki konsekuensi bagi negara dan kelompok-kelompok keagamaan. Untuk kelompok keagamaan—termasuk kelompok Muslim—, pengaturan tersebut berarti kebebasan yang besar dalam menentukan jalan mereka sendiri. Negara tidak dapat mengganggu substansi atau organisasi agama mereka. Kemudian menurut prinsip kekebasan keyakinan agama, Muslim Belanda bebas untuk mempraktikkan agama mereka, secara individu maupun kolektif, juga dalam domain publik. Selain itu, prinsip kesetaraan melindungui semua warga negara, termasuk Muslim, terhadap diskriminasi atas dasar keyakinan mereka, jenis kelamin, orientasi seksual, atau diskriminasi lainnya. Berikutnya, sesuai dengan prinsip kebebasan pendidikan, gerakan keagamaan bahkan dimungkinkan untuk mendirikan sekolah keagamaan mereka sendiri yang dibiayai oleh pemerintah.
Tentunya, semua kebebasan tersebut melibatkan kewajiban. Pemisahan gereja dan negara juga berarti bahwa kelompok keagamaan harus menghormati bahwa domain negara adalah di luar kewenangan mereka. Di samping itu, kebebasan beragama tidak hanya berarti bahwa orang bebas untuk menjalankan agama mereka sendiri, tetapi individu-individu juga bebas untuk merubah keyakinan atau meninggalkannya.
Sketsa Tantangan atas Perkembangan Islam
Meskipun prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antara pemerintah, agama dan masyarakat didasarkan pada konstitusi, tetapi prinsip-prinsip tersebut tidak diatur secara kaku. Interpretasi atas prinsip-prinsip ini tergantung pada kondisi sosial yang berlangsung, serta debat publik dan diskusi politik. Maka, dapat dikatakan bahwa perkembangan Islam di Belanda tidak sepenuhnya bebas dari berbagai permasalahan, tetapi terkait dengan sebuah perdebatan tentang dasar-dasar masyarakat.
Penyebab spesifik dari perdebatan di atas sering dipicu oleh kasus-kasus yang muncul. Misalnya, pada tahun 2001, terjadi penolakan terhadap seorang wanita yang mengenakan jilbab dalam pekerjaannya sebagai pegawai pengganti yang mengakibatkan perdebatan publik tentang cocok-tidaknya seorang pejabat publik untuk memakai simbol-simbol keagamaan. Perdebatan ini difokuskan pada pentingnya negara yang netral, yang timbul dari prinsip pemisahan gereja dan negara versus kebebasan keyakinan agama. Selain mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang berbeda, perdebatan tentang mengenakan pakaian keagamaan juga sering melibatkan perbedaan pendapat tentang makna atas simbol-simbol tersebut, serta mengacu pada kondisi minimal untuk interaksi sosial, di mana banyak klaim yang menyebutkan bahwa jilbab atau pakaian yang menyembunyikan wajah menjadikan komunikasi jauh lebih sulit.
Kasus lain dari pertentangan hak-hak konstitusional terjadi pada tahun 2001, ketika Imam masjid al-Nashr di Rotterdam dari Maroko, yaitu Khalid al-Moumni mengklaim bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit menular. Sebuah protes publik yang besar terjadi dengan tuduhan bahwa Imam tersebut telah melakukan diskriminasi. Meskipun banyak yang tersinggung dengan pernyataan tersebut, dan beberapa orang bahkan mengambil tindakan hukum, tetapi hakim memutuskan bahwa Imam tersebut hanya menyatakan kepercayaan agamanya dan karenanya tidak bersalah secara diskriminatif.
Kebebasan keyakinan agama dalam kaitannya dengan pemisahan gereja dan negara juga berada di bawah beberapa tekanan setelah munculnya gerakan yang disebut Islam radikal. Terutama setelah pembunuhan Theo Van Gogh —pembuat film Submission— pada tahun 2004 oleh seorang ekstrimis Muslim, sebagian kalangan mengusulkan kepada pemerintah untuk secara aktif mendukung Islam liberal dalam rangka membendung gelombang radikalisasi Muslim.
Selain masalah-masalah di atas, asosiasi implisit bahwa Muslim identik dengan kekerasan merupakan satu permasalahan klasik yang masih menjadi kekhawatiran. Namun, fakta yang terjadi berkaitan dengan peluncuran film anti-Islam “Fitna” oleh anggota Parlemen Belanda Geert Wilders, pada awal tahun 2008, menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap respon kemarahan yang dilakukan oleh komunitas Muslim tidak terjadi. Berlawanan dengan hal tersebut, sebagian besar komunitas Muslim Belanda secara eksplisit menjauhkan diri dari tindakan kekerasan serta melakukan aksi damai sebagai jawaban atas film tersebut yang selanjutnya melahirkan penilaian positif sebagian masyarakat Belanda terhadap komunitas Muslim. Hal ini tentu saja berbeda dengan respon terhadap kasus “Danish Cartoon” yang diwarnai dengan aksi kekerasan oleh komunitas Muslim, baik di Belanda maupun di seluruh dunia.
Dari kenyataan di atas, sikap toleransi dua arah merupakan salah satu faktor guna meminimalisir berbagai hambatan dan tantangan, terutama terhadap asumsi anti-integrasi dan intoleransi yang dilakukan oleh komunitas Muslim dalam kehidupan masyarakat Belanda, serta Eropa secara umum.
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, Tinggal di Jotosanur Rt 2 Rw 3 No.319 Tikung Lamongan, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar