Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XI kupasan keempat dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Mengenai Sartre bisa dilihat tulisan saya diterjemahkan Agus B. Harianto di http://pustakapujangga.com/2010/11/why-does-jean-paul-sartre-stay-exist/ Kini mengudar pahamnya “Man is condemned to be free” (Manusia dikutuk untuk bebas) yang saya benturkan “Man is blessed to be free” (Manusia diberkahi untuk bebas)?
Ini bukan mensejajarkan SCB! Hanya pengertian “puisi adalah alibi kata-kata” memang empuk disadap, selembek gudir tak banyak keluarkan tenaga, bisa dicuik pakai sendok atau langsung jemari. Sosok Sartre terpaksa menyadari ‘diri’ dilahirkan sebagai manusia sekondisional keterpaksaan Adam as. diturunkan ke bumi bersama Siti Hawa. Kutukan tersebut dipahami seinsan menjelajah mencari obat, dengan menyusuri semak berduri pertaubatan yang selalu diuji di segenap tingkap situasi nan melingkupi.
Orang-orang terkutuk sadar kedudukannya dalam menapaskan aura kesejatian, sedari lawatannya pada tangga keinsafan. Mereka paham ujung perjalanan, sebabnya mencari pelbagai kemungkinan dicoba di tingkatan tertentu dipegang kuat / dilepas demi rahmat memurnikan eksistensinya. Kegelisahannya liar menjajaki kasus menghadang, apakah absurditas Camus? Sehingga tercapilah sepakat mengeruk perolehan hayat, ‘imajinasi merupakan kesadaran’ dengan bukti kitab tebalnya “The Psychology of Imagination.” Yang menampilkan pencapaiannya membumi se-makluk terkutuk kudu disyukuri, menggapai yang menjadi takdirnya di muka bumi. Bukan ‘merayakan kutukan,’ mengumbar senang tanpa perolehan wajar; insan dikebebasan menentukan tafsiran di lembar kehidupan.
Ini (dapat dibilang) perekat paragraf IK yang pertama dan kedua. IK mengganti kata ‘bebasnya’ SCB dengan ‘terobos’, dapat diwakilkan sekutukan wajib dipelajari. Jauh dari perayaan atau bukan parade ugal-ugalan sampai bebas dari beban makna. Tapi mencanangkan terobosan, serupa kekaryaan Sartre menjlentrekkan imaji ke ambang batas. Keuletannya identivikasi imaji demi kesadaran hidup terikat realitas / tradisi, bukan asal bunyi yang kengawurannya dimaknai pencapaian? Sementara daya tarik kritikus dengan karya tak sudi dimaknai ialah fenomena lucu. Mana kala tafsiran karyanya (-SCB) dianggap kurang tepat, dibilang kritikus asal nyanyi? Ini aneh, jika tidak dibilang mau menangnya sendiri atas ajimat kata ‘bebas.’
Kutukan terus menggali tanah pekuburan warisan moyang, tidak menerbangkan bakat bersuka ria lepas kecurigaan diri lingkungan, namun juga memaklumatkan tekat menghabisi bentukan dangkal / pendangkalan dari fitroh. Belajar pahami tiap tapak bukan sekesan warna, tetapi mengudar gagasan ke tahap akli, tak hanya menafsir lokalitas, juga kembangkan daya pencapaian kala meleburkan jiwa-raga semateri penganalisaan menuju jenjang nyata. Pribadinya tidak berleha menikmati topangan pelabelan perkuat langkah. Tapi memaksimalkan indra penyerap serta menampung seluruh kemungkinan, pada gilirannya melahirkan wacana lebih menantang, bukan kesan di sebuah alam puitik. Dan penghargaan dihayati, tak mengalami kemerosotan dari hari lalu. Di lihat pamornya kepurnaan ataukah mengamini yang ada pengadaan semu!
Perolehan dari isyarat tak menghadiahi kesegaran, meski berharap gumpalan kegembiraan. Adalah patut disuarakan, “Tanpa usaha keras, kebahagiaan tidak akan meningkatkan drajad seperti perasaan puas memandulkan realitas.” Kala ‘diberkahi’ bebas, memanfaatkan jalan warisan, meski tampilkan ‘sidik jari’ lain yang hakikatnya beraneh-aneh demi membebaskan hasrat beralibi. Walau tampilannya beda sejatinya pengulangan, lebih parah ketumpulan tidak menguraikan gagasannya. Maka bukanlah konsep, tapi kesan dibalut kalimat mengkilat, yang terpesona lantaran tidak mencurigai suara-suara pendukungnya, seperti orang takjub patung besar di tengah kota yang melupa orang-orangan sawah.
Yang merasa ‘diberkahi’ mengira dinaungi keberuntungan dari coba-coba, mematenkan kesan, tiada keberanian menerobos sebentuk sungai kearifan demi sesama, tidak meningkatkan jenjang pemikiran. Ini bertolak dari gerak hayat yang selalu perbaharui cakrawala kesadaran berbudaya. Parahnya, kesan ditancapkan kuat generasi setelahnya berpesona tidak kalah ampuh, tapi tetap dari jiwa keragu-raguan tak mengaduk masa silam. Ditutupi, sebab pendahulunya juga mengaburkan jejak lewat keniscayaan semu (baca “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” SCB, lalu simak esainya Sihar Ramses Simatupang di Sinar Harapan, “Indonesia, Puisi, dan Teks Sejarah” 20 Agustus 2011 atau ini http://sastra-indonesia.com/2011/08/indonesia-puisi-dan-teks-sejarah/
Betapa menyebut kejadian Sumpah Pemuda, lagu Indonesia Raya, Pancasila, UUD 45, dengan menghapus nama-nama besar di sekitar peristiwanya; M. Yamin, Bung Karno, Bung Hatta, W.R. Supratman serta para insan benar-benar andil dalam pergolakan. Mereka juga pengarang yang suara gagasannya membumi, daripada ungkapan menyepadani jejaknya terbaca untuk kemauan sempit agar dunia sastra bermartabat di hadapan masyarakat luas, namun mencabut batang pohon tanpa akarnya.
Melupa orang-orang penting sebab merasa profesi melekati dirinya lebih penting, terus terjun bebas sepulung ‘berkah’ yang sejatinya bukan apa-apa. Karena tidak menginsafi kejatuhannya se“manusia dikutuk untuk bebas;” mematangkan sekeliling realitas. Maka jadilah sulapan seakrobatik mencopet sejenis keahlian jemari. Padahal mereka juga saksi sejarah, tapi begitu rupa jadi meloloskan dirinya paling berjasa. Baca Bung Tomo membaca sajak di TIM yang direkam jejaknya oleh tempointeraktif, 03 September 1977 atau klik http://sastra-indonesia.com/2011/08/bung-tomo-bersajak/ Seyogyanya generasi setelah benih itu, akar kebangsaan disebar-dirawat, tidak dihapus meski berbalutan pesona. Senada unen-unen; “bangsa yang besar mampu menghargai jasa para pahlawannya,” tidak malah menjadi pahlawan kesiangan, lewat alibi-alibi memukau mereka yang terkena imbas media massa.
***
Sebagai penutup saya urai sedikit alibinya SCB dari Kredo Puisi-nya, bertautan “antara gerak dan pengertian.” Gerak ialah perpindahan tempat pergeseran letak, pun mengalami getaran melahirkan nafas pengertian. Pada benda mati sebatu beserta namanya, tiada peroleh sebutan, kalau tiada yang menyatakan. Pemberian titel merupakan gerak dari luar, pemikiran seorang / kelompok masyarakat. Batu dan namanya tak berpengertian, jika yang menyebut tidak meresapi manfaat menyatakan. Batu, pisau, tidak bermakna kalau sebelumnya tak memberi / mengetahui fungsinya. Hadirnya pengertian sebab telah tertanam kenangan pada benda dan namanya. Sebutan batu, pisau dan barangnya, tidak punya arti, kala tak mendapati gerakan / sebutan dari luar (insan menyatakan bersimpan kenangan).
Benda ditambahkan namanya tiada pengertian, tidak berfungsi di wilayah kebebasan kecuali ngawur. Bagaimana berpengertian, jikalau yang menyebut tak punya kenangan / pengalaman darinya? Seperti kata dan benda tidak / belum berfungsi, dia hadir dalam bentuk tak (belum) berpengertian. Seperti itu kosong serta bebas dimasuki juga dapat menghadirkan pengertian anyar. Saat balik maksud benda dan namanya berpengertian, maka keliru, tersebab makna hadir lantaran danau kenangan insan pada yang dinyatakan. Mari amati ungkapan SCB:
“Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.”
“Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.”
“Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”
Kata (sebutan, titel, namanya) beserta bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak berpengertian, jika tidak punya kenangan pada benda serta namanya. Ini lumpah, hukum saklek menimpai benda juga namanya. Pengertian ada, kala menggapai fungsi nama dan barangnya, pula mengalami pergeseran yang menimbulkan makna. Sejauhnya SCB membebaskan kata dari makna, tetaplah terkenang hal sebelumnya yang tetap menghadirkan kata ‘memotong / menikam’ pada kata ‘pisau.’ Sekurangnya mendekatkan pengertian asal sedari fungsi barang yang dikatakan. Meski sebilah sabit dipajang di dinding ruang tamu yang keluar dari fungsinya, tetap sabit punya pengertian selain alat memenggal dahan. Pengertian hadir, dibarengi rekaman sedurungnya, meski berpindah fungsi hiasan, tetap arit (sabit) hadir berpengertian, dikarena insan (bersimpan kenangan) menyebut benda dengan namanya. Intinya tidak akan lahir pengertian, jikalau tidak memiliki kenangan atau sejarah. Tanpa kenangan, hanyalah sulapan!
Sebagai jawaban lain alibinya SCB, bisa simak ulang bagian III, dan penutup di buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” halaman 79 berlabel “Akhirnya.”
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas.html
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Mengenai Sartre bisa dilihat tulisan saya diterjemahkan Agus B. Harianto di http://pustakapujangga.com/2010/11/why-does-jean-paul-sartre-stay-exist/ Kini mengudar pahamnya “Man is condemned to be free” (Manusia dikutuk untuk bebas) yang saya benturkan “Man is blessed to be free” (Manusia diberkahi untuk bebas)?
Ini bukan mensejajarkan SCB! Hanya pengertian “puisi adalah alibi kata-kata” memang empuk disadap, selembek gudir tak banyak keluarkan tenaga, bisa dicuik pakai sendok atau langsung jemari. Sosok Sartre terpaksa menyadari ‘diri’ dilahirkan sebagai manusia sekondisional keterpaksaan Adam as. diturunkan ke bumi bersama Siti Hawa. Kutukan tersebut dipahami seinsan menjelajah mencari obat, dengan menyusuri semak berduri pertaubatan yang selalu diuji di segenap tingkap situasi nan melingkupi.
Orang-orang terkutuk sadar kedudukannya dalam menapaskan aura kesejatian, sedari lawatannya pada tangga keinsafan. Mereka paham ujung perjalanan, sebabnya mencari pelbagai kemungkinan dicoba di tingkatan tertentu dipegang kuat / dilepas demi rahmat memurnikan eksistensinya. Kegelisahannya liar menjajaki kasus menghadang, apakah absurditas Camus? Sehingga tercapilah sepakat mengeruk perolehan hayat, ‘imajinasi merupakan kesadaran’ dengan bukti kitab tebalnya “The Psychology of Imagination.” Yang menampilkan pencapaiannya membumi se-makluk terkutuk kudu disyukuri, menggapai yang menjadi takdirnya di muka bumi. Bukan ‘merayakan kutukan,’ mengumbar senang tanpa perolehan wajar; insan dikebebasan menentukan tafsiran di lembar kehidupan.
Ini (dapat dibilang) perekat paragraf IK yang pertama dan kedua. IK mengganti kata ‘bebasnya’ SCB dengan ‘terobos’, dapat diwakilkan sekutukan wajib dipelajari. Jauh dari perayaan atau bukan parade ugal-ugalan sampai bebas dari beban makna. Tapi mencanangkan terobosan, serupa kekaryaan Sartre menjlentrekkan imaji ke ambang batas. Keuletannya identivikasi imaji demi kesadaran hidup terikat realitas / tradisi, bukan asal bunyi yang kengawurannya dimaknai pencapaian? Sementara daya tarik kritikus dengan karya tak sudi dimaknai ialah fenomena lucu. Mana kala tafsiran karyanya (-SCB) dianggap kurang tepat, dibilang kritikus asal nyanyi? Ini aneh, jika tidak dibilang mau menangnya sendiri atas ajimat kata ‘bebas.’
Kutukan terus menggali tanah pekuburan warisan moyang, tidak menerbangkan bakat bersuka ria lepas kecurigaan diri lingkungan, namun juga memaklumatkan tekat menghabisi bentukan dangkal / pendangkalan dari fitroh. Belajar pahami tiap tapak bukan sekesan warna, tetapi mengudar gagasan ke tahap akli, tak hanya menafsir lokalitas, juga kembangkan daya pencapaian kala meleburkan jiwa-raga semateri penganalisaan menuju jenjang nyata. Pribadinya tidak berleha menikmati topangan pelabelan perkuat langkah. Tapi memaksimalkan indra penyerap serta menampung seluruh kemungkinan, pada gilirannya melahirkan wacana lebih menantang, bukan kesan di sebuah alam puitik. Dan penghargaan dihayati, tak mengalami kemerosotan dari hari lalu. Di lihat pamornya kepurnaan ataukah mengamini yang ada pengadaan semu!
Perolehan dari isyarat tak menghadiahi kesegaran, meski berharap gumpalan kegembiraan. Adalah patut disuarakan, “Tanpa usaha keras, kebahagiaan tidak akan meningkatkan drajad seperti perasaan puas memandulkan realitas.” Kala ‘diberkahi’ bebas, memanfaatkan jalan warisan, meski tampilkan ‘sidik jari’ lain yang hakikatnya beraneh-aneh demi membebaskan hasrat beralibi. Walau tampilannya beda sejatinya pengulangan, lebih parah ketumpulan tidak menguraikan gagasannya. Maka bukanlah konsep, tapi kesan dibalut kalimat mengkilat, yang terpesona lantaran tidak mencurigai suara-suara pendukungnya, seperti orang takjub patung besar di tengah kota yang melupa orang-orangan sawah.
Yang merasa ‘diberkahi’ mengira dinaungi keberuntungan dari coba-coba, mematenkan kesan, tiada keberanian menerobos sebentuk sungai kearifan demi sesama, tidak meningkatkan jenjang pemikiran. Ini bertolak dari gerak hayat yang selalu perbaharui cakrawala kesadaran berbudaya. Parahnya, kesan ditancapkan kuat generasi setelahnya berpesona tidak kalah ampuh, tapi tetap dari jiwa keragu-raguan tak mengaduk masa silam. Ditutupi, sebab pendahulunya juga mengaburkan jejak lewat keniscayaan semu (baca “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” SCB, lalu simak esainya Sihar Ramses Simatupang di Sinar Harapan, “Indonesia, Puisi, dan Teks Sejarah” 20 Agustus 2011 atau ini http://sastra-indonesia.com/2011/08/indonesia-puisi-dan-teks-sejarah/
Betapa menyebut kejadian Sumpah Pemuda, lagu Indonesia Raya, Pancasila, UUD 45, dengan menghapus nama-nama besar di sekitar peristiwanya; M. Yamin, Bung Karno, Bung Hatta, W.R. Supratman serta para insan benar-benar andil dalam pergolakan. Mereka juga pengarang yang suara gagasannya membumi, daripada ungkapan menyepadani jejaknya terbaca untuk kemauan sempit agar dunia sastra bermartabat di hadapan masyarakat luas, namun mencabut batang pohon tanpa akarnya.
Melupa orang-orang penting sebab merasa profesi melekati dirinya lebih penting, terus terjun bebas sepulung ‘berkah’ yang sejatinya bukan apa-apa. Karena tidak menginsafi kejatuhannya se“manusia dikutuk untuk bebas;” mematangkan sekeliling realitas. Maka jadilah sulapan seakrobatik mencopet sejenis keahlian jemari. Padahal mereka juga saksi sejarah, tapi begitu rupa jadi meloloskan dirinya paling berjasa. Baca Bung Tomo membaca sajak di TIM yang direkam jejaknya oleh tempointeraktif, 03 September 1977 atau klik http://sastra-indonesia.com/2011/08/bung-tomo-bersajak/ Seyogyanya generasi setelah benih itu, akar kebangsaan disebar-dirawat, tidak dihapus meski berbalutan pesona. Senada unen-unen; “bangsa yang besar mampu menghargai jasa para pahlawannya,” tidak malah menjadi pahlawan kesiangan, lewat alibi-alibi memukau mereka yang terkena imbas media massa.
***
Sebagai penutup saya urai sedikit alibinya SCB dari Kredo Puisi-nya, bertautan “antara gerak dan pengertian.” Gerak ialah perpindahan tempat pergeseran letak, pun mengalami getaran melahirkan nafas pengertian. Pada benda mati sebatu beserta namanya, tiada peroleh sebutan, kalau tiada yang menyatakan. Pemberian titel merupakan gerak dari luar, pemikiran seorang / kelompok masyarakat. Batu dan namanya tak berpengertian, jika yang menyebut tidak meresapi manfaat menyatakan. Batu, pisau, tidak bermakna kalau sebelumnya tak memberi / mengetahui fungsinya. Hadirnya pengertian sebab telah tertanam kenangan pada benda dan namanya. Sebutan batu, pisau dan barangnya, tidak punya arti, kala tak mendapati gerakan / sebutan dari luar (insan menyatakan bersimpan kenangan).
Benda ditambahkan namanya tiada pengertian, tidak berfungsi di wilayah kebebasan kecuali ngawur. Bagaimana berpengertian, jikalau yang menyebut tak punya kenangan / pengalaman darinya? Seperti kata dan benda tidak / belum berfungsi, dia hadir dalam bentuk tak (belum) berpengertian. Seperti itu kosong serta bebas dimasuki juga dapat menghadirkan pengertian anyar. Saat balik maksud benda dan namanya berpengertian, maka keliru, tersebab makna hadir lantaran danau kenangan insan pada yang dinyatakan. Mari amati ungkapan SCB:
“Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.”
“Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.”
“Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”
Kata (sebutan, titel, namanya) beserta bendanya; apakah pisau, kursi, batu, tidak berpengertian, jika tidak punya kenangan pada benda serta namanya. Ini lumpah, hukum saklek menimpai benda juga namanya. Pengertian ada, kala menggapai fungsi nama dan barangnya, pula mengalami pergeseran yang menimbulkan makna. Sejauhnya SCB membebaskan kata dari makna, tetaplah terkenang hal sebelumnya yang tetap menghadirkan kata ‘memotong / menikam’ pada kata ‘pisau.’ Sekurangnya mendekatkan pengertian asal sedari fungsi barang yang dikatakan. Meski sebilah sabit dipajang di dinding ruang tamu yang keluar dari fungsinya, tetap sabit punya pengertian selain alat memenggal dahan. Pengertian hadir, dibarengi rekaman sedurungnya, meski berpindah fungsi hiasan, tetap arit (sabit) hadir berpengertian, dikarena insan (bersimpan kenangan) menyebut benda dengan namanya. Intinya tidak akan lahir pengertian, jikalau tidak memiliki kenangan atau sejarah. Tanpa kenangan, hanyalah sulapan!
Sebagai jawaban lain alibinya SCB, bisa simak ulang bagian III, dan penutup di buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” halaman 79 berlabel “Akhirnya.”
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar