M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Dunia Priyayi Jawa sempat dijadikan bidikan empuk ketika berhadapan dengan dua ideologi yang dilahirkan pergolakan manusia di Barat. Yaitu Komunisme yang seperti hantu dan kapitalisme, si musuh bebuyutan yang belum sempat dikalahkan. Dua ideologi politik yang ternyata ideologi manusia yang memiliki kesamaan, membidik sistem kepriyayian (feodalisme) untuk diruntuhkan. Mungkin saja, feodal selalu dipandang buruk, sebagai segolongan penguasa (tuan tanah) yang memerintah rakyatnya (buruhnya) dengan sewenang-wenang, bertindak zalim, tidak adil dan tidak berperikemanusiaan. Seperti itu, pandangan kita secara umum mengenai feodal. Kedua ideologi ini secara tidak langsung menyerangi kepriyayian dikarenakan dalam kepriyayian tersebut mengandung semangat feodal. Entah bagaimana, seluruh priyayi dinisbatkan memiliki sifat feodal yang secara terang-terangan dan sembunyi terus dimusuhi dua ideologi modern. Baik komunis dan kapitalis terus menggerus sistem pemerintahan lama dengan cukup pengecut, membungkus diri dalam indahnya mitos demokrasi.
Sistem kehidupan kita sekarang, sebagaian besar dan nyaris seluruh umat manusia tergila-gila dengan kehidupan demokrasi. Sistem hidup yang menawarkan kesetaraan manusia dengan manusia lainnya. Setara dalam hal apa pun, bahkan mengindahkan norma budaya lokal (kepriyayian, maksud saya) yang sedari awal sudah diperhitungkan nilainya. Demokrasi memikat mata manusia yang menawarkan juga kebebasan. Hidup dengan cara sendiri, jalan sendiri, atau berbuat dengan sekehendak sendiri tanpa perlu menunggu perintah dari orang lain. Hidup merdeka tanpa harus merasa sebagai abdi bagi orang lain.
Memang, manusia yang merdeka terlepas dari perbudakan manusia satu atas manusia lainnya. Seperti pepatah, lepas dari mulut Harimau, akhirnya jatuh juga ke mulut Serigala. Karena menurut saya, manusia terlepas dari orang lain akan menjadi budak bagi dirinya sendiri. Tapi, kebanyakan dari kita memilih, lebih baik diperbudak diri sendiri ketimbang diperbudak oleh orang lain. Saya sengaja mengungkapkannya sebagai budak diri sendiri, sebab melalui diri manusia itu sendiri manusia menginginkan kemerdekaan dari orang lain, setelah itu akan masuk ke dalam lubang gelap keinginan (dirinya sendiri).
Bebas semau-maunya sendiri untuk mengikuti keinginan (nafsu) yang terkadang menipu kita terang-terangkan dan hebatnya lagi, kita (manusia) tidak mampu berbuat apa-apa. Teramat sulit untuk merdeka dari diri sendiri.
Demokrasi menawarkan mitos mengenai indahnya kemerdekaan. Karena menulis ini, saya langsung teringat dengan film Amerika berjudul The Patriot. Dalam film itu,tokoh Benjamin yang diperankan Mel Gibson sempat berujar, saya kutib bebas: Untuk apa kita menukar tirani yang keberadaannya sangat jauh di seberang lautan dengan tirani baru yang lebih dekat? Film The Patriot mengkisahkan kerasnya perjuangan manusia Amerika dalam mencapai kemerdekaan serta mendirikan sistem politik baru berlandaskan demokrasi.
Impian tentang kehidupan yang demokratis seperti mimpi indah, tentang malaikat penyelamat yang wajah aslinya belum kita ketahui. Ucapan Benjamin itu, baru-baru ini saya cermati ulang. Lalu saya membuat simbolisme, tirani yang jauh adalah orang lain sedangkan tirani yang dekat adalah diri manusia itu sendiri. Tirani yang jauh, semisalnya saja pemerintahan diktator Bapak kita H.M. Soeharto swargi, pernah mengekang kebebasan manusia, memenjarakan tubuh dan gerakan namun toh, nyatanya manusia masih bisa berbebas ria. Seperti Penyair Wiji Thukul atau W.S. Rendra yang tetap merdeka. Akantetapi, setelah kebebasan didapatkan dengan lengsernya Pak Harto, kemerdekaan yang tercermin dalam semangat itu seolah memudar. Manusia bertemu dengan penguasa dirinya yang baru, yaitu keinginan yang lebih kejam menindas jiwa.
Sebagaian besar manusia terpenjara dan diperbudak oleh dirinya sendiri. Kemerdekaan sebagai manusia tersamarkan oleh kemerdekaan keinginan (nafsu). Atau, barangkali kemerdekaan yang ditawarkan oleh mimpi indah itu hanya sebatas ilmu (sistem) pelembagaan atas keinginan-keinginan manusia? Jikalau kita menilik lebih jauh lagi mengenai permasalahan sosial di negara kita, kesemua itu tidak terlepas dari hasrat manusia dalam usaha memenuhi keinginan. Hasrat membawa pada kegelisahan yang menuntut untuk dipenuhi, kegelisahan membawa pada gerakan-gerakan.
Keadaan seperti ini sebagai penggambaran dari demokrasi yang, saya kira, memiliki lebih dari seribu wajah. Suatu kondisi hidup yang tidak menguntungkan rakyat kecil sebenarnya tidak dipengaruhi oleh sistem politik yang hanya sebatas teks. Entah itu masyarakat madani, demokrasi, monarki, feodal, sosialisnya komunis yang dengan masyarakat komunalnya, tetap tidak akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan manusia jikalau hanya sebatas ideologi teks. Semua memiliki keunggulannya masing-masing sebagai harapan indah, namun hanya menjadi pesan yang tidak tersampaikan apabila ideologi tidak dijalankan sebagai perilaku.
Idelogi yang baik untuk manusia adalah ideologi yang dalam wacana dan pelaksanaannya harus dilandasi dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta mutlak diperlukan adanya gerakan manifestasi ke dalam perilaku manusia. Ideologi yang baik merupakan ideologi yang tidak hanya sebatas wacana. Dunia jauh dari teks. Ideologi harus sebagai perilaku manusia yang murni.
Dunia kepriyayian dapat dipandang sebagai ideologi kemasyarakatan yang mana pola pemikirannya tidak terwacanakan. Kepriyayian sebagai ideologi yang langsung berada dalam dataran perilaku. Segolongan manusia yang dalam kehidupan manusia Jawa berada di tempat teratas. Akantetapi, priyayi itu sendiri merupakan jalan hidup manusia yang di dalamnya mencerminkan kehalusan laku serta penguasaan akan ilmu. Kehalusan laku dan penguasaan akan ilmu merupakan pandangan hidup masyarakat Jawa yang membawa pada kehidupan yang selaras.
Dunia priyayi sebagai ideologi yang humanis dapat kita saksikan dalam kehidupan priyayi yang dibangun (dipotret) oleh Almarhum Umar Kayam (30 April 1932 s.d. 16 Maret 2002) di dalam novel “Para Priyayi” (1992). Penggambaran yang simbolis namun membaca dalam cerita realis yang mengagumkan. Kehidupan manusia berstatus sosial nomor pertama di kehidupan masyarakat Jawa mencirikan mengenai kehalusan sikap, kepemimpinan, serta penjagaan atas kehormatan manusia terpejalar.
Sosok priyayi yang dihadirkan UK, menurut saya adalah sosok priyayi yang humanis. Status sosial nomor satu yang diduduki tidak lantas membuat priyayinya UK berpura buta dengan permasalahan orang lain yang ada di sekitarnya. Ciri dari humanisme seorang pemimpin yang jarang sekali kita temukan di dalam kehidupan realitas saat ini.
Semangat humanisme yang indah, walau hanya di dalam tingkatan keluarga. Humanisme kepriyayian yang UK hidangkan pada kita dapat ditelusur dari alur cerita. Misalnya saja, keterangan mengenai kepedulian yang dinasehatkan untuk kita: “Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri” (Para Priyayi, 2001: 15). Nasehat ini memberikan wejangan indah yang menenangkan. Apabila kita mengaitkan priyayi dengan seorang pejabat pemerintah, kalau semua pejabat kita memahami ini maka, tidak akan ada rakyat yang kelaparan. Akantetapi, perlu kita menggaris-bawahi bahwa kepriyayian tidak hanya berurusan soal status sosial, dia sebagai pegawai pemerintah atau bukan. Lebih dari pengertian itu, kepriyayian yang UK ketengahkan di sini adalah sosok yang memiliki ilmu pengetahuan.
Menjadi priyayi berarti menjadi individu yang pandai, yaitu memiliki ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kebaikan bersama. Bersebab, orang yang berilmu dapat membawa jalan hidupnya yang tidak merugikan orang lain, bahkan dapat membawa keuntungan bagi masyarakatnya. Langkah gerak seorang priyayi tidak melulu memikirkan keuntungan diri sendiri, yang dengan kata lain, menggunakan kepriyayiannya untuk menindas orang lain demi keuntungan diri. Namun sebaliknya, kepriyayian itu dapat memberikan manusia pertolongan dari kesulitan.
Melalui “Para Priyayi” dapat kita temukan kehidupan sosok priyayi humanis yang berusaha sekuat tenaga menjalankan peran kepriyayiannya. Tugas dan wewenang yang berat, seperti tergambar dari kehalusan laku untuk “sepi ing pamrih, rame ing gawe, serta memayu hayuning bawana” atau “tidak mementingkan diri sendiri, menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, serta memperindah dunia”. Dalam novelnya, UK mengetengahkan berbagai ajaran kehidupan yang indah. Bahwa hidup tidak sekedar mengejar gemerlap materi (kekayaan), akantetapi dengan kepriyayian itu UK mengajarkan mengenai tujuan akan adanya keselamatan bersama.
Menjadi seorang priyayi, bagi UK tidak berorientasi pada jabatan dan kekayaan, namun lebih pada nilai cendekiawannya (menjadi seperti Lantip) yang dapat memainkan peran dengan sebaik-baiknya. Bahwa priyayi itu terpandang karena kepandaiannya, kalau hanya sekedar menginginkan kehidupan yang kaya, lebih baik menjadi saudagar (Para Priyayi, 2001: 48). Kepriyayian Jawa yang disodorkan UK adalah kepriyayian yang menghiasi dunia, menjaga, serta mewujudkan keselamatan semua manusia.
Pertemuan saya dengan UK terjadi setelah meninggalnya beliau. Tentu saja, sebuah pertemuan spesial melalui buah tangan, pikir, dan rasa yang sampai hari ini masih sering saya tengok. Pertemuan itu menjadi awal pertemuan saya (yang hanya seorang petani berdarah hitam; hitam sebab lebih banyak lumpurnya ketimbang darahnya) dengan priyayi humanis. Momentum yang membanggakan ketika saya menemukan pemahaman akan arti dari humanisme. Humanismenya kepriyayian UK tidak hanya mengajak berontak pada kesewenangan atau memihak pada mereka yang ditindas.
Sosok priyayi humanis ini menuntun saya untuk lebih jauh lagi mengoreksi diri. Menelusur sampai jauh hingga saya menemukan suatu cara: “memukul tanpa memukul”. Sudah sepuluh tahun beliau wafat, dan baru hari ini juga terpikir untuk menulis sesuatu.
Mumpung masih bisa menulis untuk sekedar bertanya, saya ingin memastikan apakah benar UK menolak sebagai priyayi “rural-agraris” seperti yang diungkapkan Darmanto Jatman dan lebih memilih menjadi priyayi “urban-industrial”? Sedari dahulu, saya mengira UK adalah sosok yang terus berada di ranah agraris itu, seperti nasehat Atmokasan pada Sastrodarsono: “Meski sudah jadi priyayi, jangan lupa akan asal-usulmu. Kacang masa akan lupa dengan lanjaran-nya.” (Para Priyayi, 2001: 48).
Jikalau saya, petani yang berdarah lumpur ini, tetap berusaha untuk menjadi manusia agraris. Bersebab, masih juga yang seperti Darmanto Jatman bilang bahwa Stephen Covey yang berangkat dari masyarakat urban industrial masih menggunakan hukum tabur-tuai (agraris), yaitu: Siapa yang menabur gagasan akan menuai perbuatan/ Siapa yang menabur perbuatan akan menuai kebiasaan/ Siapa yang menabur kebiasaan akan menuai karakter/ Siapa yang menabur karakter akan menuai nasib. Destiny!
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Selasa Pahing 15 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar