Jumat, 18 Maret 2011

Kepriyayian Humanis

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Dunia Priyayi Jawa sempat dijadikan bidikan empuk ketika berhadapan dengan dua ideologi yang dilahirkan pergolakan manusia di Barat. Yaitu Komunisme yang seperti hantu dan kapitalisme, si musuh bebuyutan yang belum sempat dikalahkan. Dua ideologi politik yang ternyata ideologi manusia yang memiliki kesamaan, membidik sistem kepriyayian (feodalisme) untuk diruntuhkan. Mungkin saja, feodal selalu dipandang buruk, sebagai segolongan penguasa (tuan tanah) yang memerintah rakyatnya (buruhnya) dengan sewenang-wenang, bertindak zalim, tidak adil dan tidak berperikemanusiaan. Seperti itu, pandangan kita secara umum mengenai feodal. Kedua ideologi ini secara tidak langsung menyerangi kepriyayian dikarenakan dalam kepriyayian tersebut mengandung semangat feodal. Entah bagaimana, seluruh priyayi dinisbatkan memiliki sifat feodal yang secara terang-terangan dan sembunyi terus dimusuhi dua ideologi modern. Baik komunis dan kapitalis terus menggerus sistem pemerintahan lama dengan cukup pengecut, membungkus diri dalam indahnya mitos demokrasi.

Sistem kehidupan kita sekarang, sebagaian besar dan nyaris seluruh umat manusia tergila-gila dengan kehidupan demokrasi. Sistem hidup yang menawarkan kesetaraan manusia dengan manusia lainnya. Setara dalam hal apa pun, bahkan mengindahkan norma budaya lokal (kepriyayian, maksud saya) yang sedari awal sudah diperhitungkan nilainya. Demokrasi memikat mata manusia yang menawarkan juga kebebasan. Hidup dengan cara sendiri, jalan sendiri, atau berbuat dengan sekehendak sendiri tanpa perlu menunggu perintah dari orang lain. Hidup merdeka tanpa harus merasa sebagai abdi bagi orang lain.

Memang, manusia yang merdeka terlepas dari perbudakan manusia satu atas manusia lainnya. Seperti pepatah, lepas dari mulut Harimau, akhirnya jatuh juga ke mulut Serigala. Karena menurut saya, manusia terlepas dari orang lain akan menjadi budak bagi dirinya sendiri. Tapi, kebanyakan dari kita memilih, lebih baik diperbudak diri sendiri ketimbang diperbudak oleh orang lain. Saya sengaja mengungkapkannya sebagai budak diri sendiri, sebab melalui diri manusia itu sendiri manusia menginginkan kemerdekaan dari orang lain, setelah itu akan masuk ke dalam lubang gelap keinginan (dirinya sendiri).

Bebas semau-maunya sendiri untuk mengikuti keinginan (nafsu) yang terkadang menipu kita terang-terangkan dan hebatnya lagi, kita (manusia) tidak mampu berbuat apa-apa. Teramat sulit untuk merdeka dari diri sendiri.

Demokrasi menawarkan mitos mengenai indahnya kemerdekaan. Karena menulis ini, saya langsung teringat dengan film Amerika berjudul The Patriot. Dalam film itu,tokoh Benjamin yang diperankan Mel Gibson sempat berujar, saya kutib bebas: Untuk apa kita menukar tirani yang keberadaannya sangat jauh di seberang lautan dengan tirani baru yang lebih dekat? Film The Patriot mengkisahkan kerasnya perjuangan manusia Amerika dalam mencapai kemerdekaan serta mendirikan sistem politik baru berlandaskan demokrasi.

Impian tentang kehidupan yang demokratis seperti mimpi indah, tentang malaikat penyelamat yang wajah aslinya belum kita ketahui. Ucapan Benjamin itu, baru-baru ini saya cermati ulang. Lalu saya membuat simbolisme, tirani yang jauh adalah orang lain sedangkan tirani yang dekat adalah diri manusia itu sendiri. Tirani yang jauh, semisalnya saja pemerintahan diktator Bapak kita H.M. Soeharto swargi, pernah mengekang kebebasan manusia, memenjarakan tubuh dan gerakan namun toh, nyatanya manusia masih bisa berbebas ria. Seperti Penyair Wiji Thukul atau W.S. Rendra yang tetap merdeka. Akantetapi, setelah kebebasan didapatkan dengan lengsernya Pak Harto, kemerdekaan yang tercermin dalam semangat itu seolah memudar. Manusia bertemu dengan penguasa dirinya yang baru, yaitu keinginan yang lebih kejam menindas jiwa.

Sebagaian besar manusia terpenjara dan diperbudak oleh dirinya sendiri. Kemerdekaan sebagai manusia tersamarkan oleh kemerdekaan keinginan (nafsu). Atau, barangkali kemerdekaan yang ditawarkan oleh mimpi indah itu hanya sebatas ilmu (sistem) pelembagaan atas keinginan-keinginan manusia? Jikalau kita menilik lebih jauh lagi mengenai permasalahan sosial di negara kita, kesemua itu tidak terlepas dari hasrat manusia dalam usaha memenuhi keinginan. Hasrat membawa pada kegelisahan yang menuntut untuk dipenuhi, kegelisahan membawa pada gerakan-gerakan.

Keadaan seperti ini sebagai penggambaran dari demokrasi yang, saya kira, memiliki lebih dari seribu wajah. Suatu kondisi hidup yang tidak menguntungkan rakyat kecil sebenarnya tidak dipengaruhi oleh sistem politik yang hanya sebatas teks. Entah itu masyarakat madani, demokrasi, monarki, feodal, sosialisnya komunis yang dengan masyarakat komunalnya, tetap tidak akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan manusia jikalau hanya sebatas ideologi teks. Semua memiliki keunggulannya masing-masing sebagai harapan indah, namun hanya menjadi pesan yang tidak tersampaikan apabila ideologi tidak dijalankan sebagai perilaku.

Idelogi yang baik untuk manusia adalah ideologi yang dalam wacana dan pelaksanaannya harus dilandasi dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta mutlak diperlukan adanya gerakan manifestasi ke dalam perilaku manusia. Ideologi yang baik merupakan ideologi yang tidak hanya sebatas wacana. Dunia jauh dari teks. Ideologi harus sebagai perilaku manusia yang murni.

Dunia kepriyayian dapat dipandang sebagai ideologi kemasyarakatan yang mana pola pemikirannya tidak terwacanakan. Kepriyayian sebagai ideologi yang langsung berada dalam dataran perilaku. Segolongan manusia yang dalam kehidupan manusia Jawa berada di tempat teratas. Akantetapi, priyayi itu sendiri merupakan jalan hidup manusia yang di dalamnya mencerminkan kehalusan laku serta penguasaan akan ilmu. Kehalusan laku dan penguasaan akan ilmu merupakan pandangan hidup masyarakat Jawa yang membawa pada kehidupan yang selaras.

Dunia priyayi sebagai ideologi yang humanis dapat kita saksikan dalam kehidupan priyayi yang dibangun (dipotret) oleh Almarhum Umar Kayam (30 April 1932 s.d. 16 Maret 2002) di dalam novel “Para Priyayi” (1992). Penggambaran yang simbolis namun membaca dalam cerita realis yang mengagumkan. Kehidupan manusia berstatus sosial nomor pertama di kehidupan masyarakat Jawa mencirikan mengenai kehalusan sikap, kepemimpinan, serta penjagaan atas kehormatan manusia terpejalar.

Sosok priyayi yang dihadirkan UK, menurut saya adalah sosok priyayi yang humanis. Status sosial nomor satu yang diduduki tidak lantas membuat priyayinya UK berpura buta dengan permasalahan orang lain yang ada di sekitarnya. Ciri dari humanisme seorang pemimpin yang jarang sekali kita temukan di dalam kehidupan realitas saat ini.

Semangat humanisme yang indah, walau hanya di dalam tingkatan keluarga. Humanisme kepriyayian yang UK hidangkan pada kita dapat ditelusur dari alur cerita. Misalnya saja, keterangan mengenai kepedulian yang dinasehatkan untuk kita: “Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri” (Para Priyayi, 2001: 15). Nasehat ini memberikan wejangan indah yang menenangkan. Apabila kita mengaitkan priyayi dengan seorang pejabat pemerintah, kalau semua pejabat kita memahami ini maka, tidak akan ada rakyat yang kelaparan. Akantetapi, perlu kita menggaris-bawahi bahwa kepriyayian tidak hanya berurusan soal status sosial, dia sebagai pegawai pemerintah atau bukan. Lebih dari pengertian itu, kepriyayian yang UK ketengahkan di sini adalah sosok yang memiliki ilmu pengetahuan.

Menjadi priyayi berarti menjadi individu yang pandai, yaitu memiliki ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kebaikan bersama. Bersebab, orang yang berilmu dapat membawa jalan hidupnya yang tidak merugikan orang lain, bahkan dapat membawa keuntungan bagi masyarakatnya. Langkah gerak seorang priyayi tidak melulu memikirkan keuntungan diri sendiri, yang dengan kata lain, menggunakan kepriyayiannya untuk menindas orang lain demi keuntungan diri. Namun sebaliknya, kepriyayian itu dapat memberikan manusia pertolongan dari kesulitan.

Melalui “Para Priyayi” dapat kita temukan kehidupan sosok priyayi humanis yang berusaha sekuat tenaga menjalankan peran kepriyayiannya. Tugas dan wewenang yang berat, seperti tergambar dari kehalusan laku untuk “sepi ing pamrih, rame ing gawe, serta memayu hayuning bawana” atau “tidak mementingkan diri sendiri, menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, serta memperindah dunia”. Dalam novelnya, UK mengetengahkan berbagai ajaran kehidupan yang indah. Bahwa hidup tidak sekedar mengejar gemerlap materi (kekayaan), akantetapi dengan kepriyayian itu UK mengajarkan mengenai tujuan akan adanya keselamatan bersama.

Menjadi seorang priyayi, bagi UK tidak berorientasi pada jabatan dan kekayaan, namun lebih pada nilai cendekiawannya (menjadi seperti Lantip) yang dapat memainkan peran dengan sebaik-baiknya. Bahwa priyayi itu terpandang karena kepandaiannya, kalau hanya sekedar menginginkan kehidupan yang kaya, lebih baik menjadi saudagar (Para Priyayi, 2001: 48). Kepriyayian Jawa yang disodorkan UK adalah kepriyayian yang menghiasi dunia, menjaga, serta mewujudkan keselamatan semua manusia.

Pertemuan saya dengan UK terjadi setelah meninggalnya beliau. Tentu saja, sebuah pertemuan spesial melalui buah tangan, pikir, dan rasa yang sampai hari ini masih sering saya tengok. Pertemuan itu menjadi awal pertemuan saya (yang hanya seorang petani berdarah hitam; hitam sebab lebih banyak lumpurnya ketimbang darahnya) dengan priyayi humanis. Momentum yang membanggakan ketika saya menemukan pemahaman akan arti dari humanisme. Humanismenya kepriyayian UK tidak hanya mengajak berontak pada kesewenangan atau memihak pada mereka yang ditindas.

Sosok priyayi humanis ini menuntun saya untuk lebih jauh lagi mengoreksi diri. Menelusur sampai jauh hingga saya menemukan suatu cara: “memukul tanpa memukul”. Sudah sepuluh tahun beliau wafat, dan baru hari ini juga terpikir untuk menulis sesuatu.

Mumpung masih bisa menulis untuk sekedar bertanya, saya ingin memastikan apakah benar UK menolak sebagai priyayi “rural-agraris” seperti yang diungkapkan Darmanto Jatman dan lebih memilih menjadi priyayi “urban-industrial”? Sedari dahulu, saya mengira UK adalah sosok yang terus berada di ranah agraris itu, seperti nasehat Atmokasan pada Sastrodarsono: “Meski sudah jadi priyayi, jangan lupa akan asal-usulmu. Kacang masa akan lupa dengan lanjaran-nya.” (Para Priyayi, 2001: 48).

Jikalau saya, petani yang berdarah lumpur ini, tetap berusaha untuk menjadi manusia agraris. Bersebab, masih juga yang seperti Darmanto Jatman bilang bahwa Stephen Covey yang berangkat dari masyarakat urban industrial masih menggunakan hukum tabur-tuai (agraris), yaitu: Siapa yang menabur gagasan akan menuai perbuatan/ Siapa yang menabur perbuatan akan menuai kebiasaan/ Siapa yang menabur kebiasaan akan menuai karakter/ Siapa yang menabur karakter akan menuai nasib. Destiny!

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Selasa Pahing 15 Maret 2010

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito