(Epilog Untuk Buku Puisi Javed Paul Syatha)
Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/
Kawanku Paul yang baik
Aku telah membaca sajak-sajakmu. Ketika kau bagi sajakmu menjadi tujuh bagian, aku teringat pada martabat sab’ah karya Al Burhanpuri, juga teringat pada maqomat tujuh dalam dunia sufi: sebagaimana Athar melukiskannya dengan sangat baik dan imajinatif dalam: mantiq at thair. Aku berkata begitu, karena sajak-sajakmu mengajakku berenang ke dunia ‘dalam’ itu, sekaligus menyelaminya. Meski terus terang, aku ingin menolaknya. Entah kenapa aku selalu merasa belum waktunya untuk menyelam ke dunia yang selalu bersintuh dengan riuh langit itu. Aku masih terlalu gandrung pada ‘karang langit’: terjal tapi menggigit.
Namun, ketika aku berusaha untuk bertaklimat pada maqomat tujuh dalam kumpulan sajakmu, aku pun tahu, bahwa tujuh di situ bisa jadi hanya pembagian teknis semata, tanpa tendensi ke arah sana (tapi tak menutup kemungkinan juga ke arah sana). Memang, membaca puisi dan merasa sok pintar dengan konsep-konsep yang sudah ada, marak dan berjejalan di luar puisi adalah sebuah kebodohan dan kepongahan. Puisi memiliki logikanya sendiri, yang tentu saja menolak untuk dijajah atau ditundukkan dengan konsep-konsep lain di luar dirinya. Puisi akan lebih bernilai jika didekati dengan logika puisi.
Meski begitu izinkan aku untuk masuk ke sajak-sajakmu dengan pendekatan sufi itu, karena ada beberapa hal yang terasa ‘berharga’ dan pas bila aku memasukinya lewat itu. Pun pintu dan jendela yang disediakan oleh sajak-sajakmu mengarahkanku pada dunia itu. Tentu aku tidak ‘lepas landas, karena perangkat puisi masih tetap di kedua genggaman tanganku. Seringkali aku berkata pada orang-orang bahwa ketika seorang penyair sudah sampai pada inti, maka ia berjajar dengan sufi. Tapi ruang keduanya berbeda. Sufi adakah sufi, sedangkan penyair-sufi adalah seseorang yang telah mengetahui sumsum dan darah bahasa. Orang yang kelewat keras kepala untuk menukik ke lubuk dasar kemanusiaan lewat bahasa. Ia sudah mengenal hakekat penciptaan bahasa, yang Tuhan sendiri juga menggunakannya untuk menciptakan alam raya dan seisinya dengan sabda: ‘Kun!’
Tapi Paul yang baik, seringkali kita memang terjebak pada kesufian penyair dari sudut pandang yang lain. Kesufian penyair yang karena ia menulis puisi-puisi sufi. Tentu dalam hal ini kita patut untuk takut dan ngeri karena bagaimana pun jiwa seorang penyair tak bisa sebersih jiwa sufi. Kedalaman seorang penyair dalam menyelami dunia ketuhanan tidaklah sedalam seorang sufi. Penyair hanyalah seorang yang begitu naïf untuk mereguk kesempurnaan lewat bahasa, sedangkan dirinya masih terkokang oleh nafsu badaniah semata. Dan, aku selalu menempatkan diri sebagai penyair itu.
Aku sendiri juga sangat takut terjebak dalam pusaran samudera ilahiah ini, karena aku begitu takut disebut sebagai seseorang yang sudah sampai pada pencapaian inti pencarian, sedangkan aku masih berkumpar pada masalah bahasa. Bukankah bahasa hanyalah ‘alat’, sedangkan inti atau maksud sebenarnya adalah yang tentu sangat berbeda dengan alat itu. Jika diibaratkan sebagai sebuah jalan dengan rambu, maka bahasa hanyalah rambu penunjuk arah, sedangkan arahnya sendiri masih jauh di depan. Tentu kondisi itu sangat berbeda dengan apa yang diamalkan oleh Maulana Jalaludin Rumi, yang terus berputar dalam tariannya dengan mulut yang tak henti alirkan syair, lalu murid-muridnya mencatatnya. Itu kondisi fana’ yang sesungguhnya, sedangkah aku sama sekali tak seperti itu. Aku menulis syair karena rasa pukauku pada perempuan, pada keindahan dunia, pada sesuatu yang sementara. Aku menulis syair sebagai sembah baktiku sebagai seseorang yang bergulat dalam bahasa dengan segala kontradiksinya.
Mungkin itu hanya gelisahku sendiri, Paul. Yang jelas, begitu membaca sajak-sajakmu, aku bisa tersenyum. Meski aroma sufi begitu kental dan meragi, tapi sajak-sajakmu masih sangat manusiawi, masih melambangkan pergumulan seorang anak Adam untuk menuju kesempurnaan. Di dalamnya, terdapat berbagai pertanyaan, masalah, godaan, juga hal ihwal yang bernama dunia, daging dan ingin. Aku suka sajak-sajakmu.
Meski di beberapa bagian juga aku sering masuk ke dalam ‘sumur’ yang kau ciptakan yang membuatku basah dan sunyi. Kata-kata yang kau gunakan sepanjang sajakmu membuatku turut larut dalam pencarianmu. Aku bertemu: ‘assalamualaikau, hijrah, mi’raj, dan hijab (Muqadimah), munajad, ayat, dzikir (munajad), sidrah, jibril, Muhammad, shalawat, salam, sahadat, rohani (jadzab), maqom, amien (Doa Gembala), syahadat, tahiyat, rekaat, bismillah (Lanskap Telunjuk), tawassul (langit bermata senja). Untunglah di puisi berikutnya kau bisa terlepas dari kata-kata itu, sehingga kau seperti seorang pecinta yang bebas tak terbelenggu majas-surgawi. Soalnya, begitu aku bertemu dengan diksi-diksi penuh pukau langit itu, aku seperti terbentur batu. Metafora itu terlalu keras dan utuh bagiku. Sedangkan aku mencintai metafora yang mencair yang bisa luruh dan berenang di pembuluh darahku.
Di sajakmu Muqadimah aku menangkap bahwa sajak-sajakmu memang kau cipta dalam kesadaran seorang salik:
aku datang sebagai anjing
berpijak di kegelapan purna!
Metaforamu cukup menarik dan memiliki basis kultur yang terukur. Sungguh, kita memang anjing, Paul. Jika kau mendaku begitu, aku bisa memahaminya.Tentu kita tak bisa membayangkan seperti anjing Ashabul Kahfi (Qitmir), yang masuk surga meski telah tertidur beratus tahun di goa. Kita mungkin seekor anjing kumal yang kehausan di tengah padang dan menunggu seorang pelacur mengambil air dari sebuah perigi dengan kaos kakinya, sebab kita berpijak pada kegelapan purna (tanpa tahu arah, bukan?) Dalam sajak Munajad, gelap pun membayang, bukan?
kekasih
gelap ini
kugenggam
munajad
serapuh
ranting
hati
Pun kau masih berusaha ingkar.
aku nelayan itu
bukan nabi
yang menggambar jejak
pasir putih.
Aku juga menangkap beberapa jejak penyair kita (baca: Indonesia) di sajakmu. Perihal kata sambung yang digandeng, mengingatkanku pada Dorothea.Juga perihal kata-kata adiluhung mengingatkanku pada Kuswaedi Syafii, baik dalam Pohon Sidrah maupun Tarian Mabuk Allah. Aku juga menemukan jejak Rumi di situ. Meski begitu, aku suka mendekati puisi-puisimu seperti karya Atthar dalam Mantiq At Thoir. Di situ, juga digambarkan dengan perjalanan Simurg melayari tujuh lembah pencarian. Karya Atthar memang berbincang tentang kembara ruhani, seperti ziarahmu untuk selalu mencari.
Aku suka sajak-sajakmu di bagian Ziarah Cinta. Sajak-sajak yang telah tumbuh dewasa. Sajak-sajak yang bisa menyimpan maksudnya dengan rapi dan membangun dunia tersendiri. Aku merasa sajak-sajakmu dalam bagian ini berbeda dengan di awal-awal. Dalam Ziarah Cinta, aku menangkap semangat sajak-sajakmu dalam bagian Lazarus. Sajak-sajak itu juga tumbuh dewasa. Aku senang karena sajak-sajakmu bisa diajak bercanda dan seringkali membuatku tak terjatuh ke lubang sumur yang kau gali dan terbentur batu di dasarnya, sebagaimana sajak-sajak awal. Ada beberapa pencanggihan dan pemutakhiran teknik di dalamnya. Sajak yang bisa diajak untuk bermain tafsir.
Ada sebuah sajak sederhana dalam bagian Ziarah Cinta yang mengingatkanku pada semangat Zen. Mirip haiku Jepang. Meski sederhana, tapi menarik, meski tarikan jatuh ke arah klise juga demikian kuat. Alegorinya cukup asyik. Judulnya Pelukis Sepi.
Pelukis Sepi
lukis saja burung terbang
dalam kanvas burammu
agar anganmu pun melayang
atau,
setidaknya kau tak lagi
melukis sepi
sebagai pengembara
dan hanya bisa bermimpi.
Lamongan, 2003
Paul yang baik, dari tujuh bagian sajakkmu, mungkin bagian The Lamongan Soul yang agak berbeda. Kau bertaruh pada sesuatu yang nyata. Aku pun memakluminya karena bagaimanapun seorang penyair tak bisa alpa dari kampung halamannya.Jika ia pergi jauh, maka kampung halaman itu adalah oase tempat ia istirah untuk mereguk sejuk air dari sebuah perjalanan panjang nan kerontang. Jika ia dekat dan selalu bergumul, maka kampung halaman (yang di dalamnya terdapat ingatan, kenangan, pengalaman dan lain-lainnya) adalah tempat mengasah kepekaan yang tak tertandingi. Ia adalah harta karun bagi penyair.
Tapi yang mengganjal di hatiku adalah kau menggunakan kata Inggris untuk menyebut ‘jiwa’. Meski di puisimu yang lain kau menggunakan judul Inggris, tapi dalam bagian ini jelas menyimpan sebuah ‘kesan’ yang lain. Itu memang hak prerogratifmu sebagai seorang pengarang, tapi jika itu aku maka aku akan menggunakan kata ‘atman’ atau ‘sukma’. Hal itu lebih senada dengan enam bagian sajakmu lainnya. Jika kau mengangankan puisimu ini sebagai sebuah komposisi simponi, maka kau telah menciptakan sebuah ‘disharmoni’. Jika itu memang kau sengaja, ah alangkah indahnya. Tentu indah di sini adalah alternatif dari sebuah simponi yang merusak harmoninya sendiri (komposisi simponi dengan citarasa postmodern). Dengan kata lain, di dalam harmoni juga menyimpan disharmoninya dan itu bukanlah cacat ciptaan tapi niscaya. Mungkin aku terlalu udik dalam hal ini. Maafkan, kelancanganku.
Meski begitu, aku suka diksi yang kau gunakan dalam puisimu Kali Lamong. Terasa benar Lamongan-nya. Aku suka musik yang tercipta dari diksi-diksinya. Terkesan otentik dan menggelitik.
sementara bocaboca telanjang mengarungi
jeram riciknya
dengan sorai nyanyian
dengan rumbaian dan tambang
ingin membangun jembatan
Sampai di sini dulu, Paul, kawanku. Maafkan aku yang dalam kesempatan ini kurang bisa berpanjang lebar menggelar sajak-sajakmu di ruang rasa dan pikiranku. Semua itu karena keterbatasanku. Jika kelak masih ada waktu, aku ingin bertemu dengan sajak-sajakmu dalam kesempatan yang lain sehingga aku bisa mengirimkan kembali surat cinta, yang lebih panjang, mendalam dan karib. Sebuah surat cinta yang tetap meyakini bahwa dekonstruksi adalah inti puisi.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!
Siwalanpanji, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar