Kamis, 26 Juni 2008

RUNTUHNYA KERAJAAN DAHA ATAS CIKAL BAKAL DINASTI MAJAPAHIT

Nurel Javissyarqi*

(menujum sedari tahun 1144 Saka, atas sepenggal Serat Pararaton Ken Arok, yang diguratkan Dokter J. Brandes, Mangkudimedja)

Saya dengar di Daha sebentar lagi diselenggarakan pesta?. Seorang jangga muda bertanya pada resi. Ya, sang Prabu Dandanggendis akan menggelar hajatan. Beliau mengundang seluruh pandeta, resi dan pujangga dari pelosok negri jajahannya. Daha (Ndoho, kini sebuah wilayah kecil saja di kabupaten Kediri).

Di atas lembaran lontar tertuliskan, sang Prabu mengharap kehadirian mereka pada upacara tersebut. Wakil-wakil kalangan bawah pun didatangkan. Dalam benak para resi, pandita dan jangga membawa misteri berbeda-beda. Ada apa gerangan sang Prabu tiba-tiba menyebarkan undangan bertintakan emas (?).

Ada menyangka ini jelas perintah maha penting dan dirahasiakan. Pun pula ada mengira sang Prabu sedang sakit. Kepura-puraan mengundang agar tak diketahui halayak masyarakat, dan diharap para pandita sudi menyalurkan dayadinaya demi kepulihannya. Juga ada beranggapan, jangan-jangan sang Raja sedang bercanda saja kali ini, tapi tak.

Undangan telah disebar, tanggal waktu sudah ditetapkan. Tak pelak takdir tergariskan. Seakan ketentuan tuhan bisa dikompromi, diajak merembuk yang kan terjadi. Seluruh lapisan kalbu terpancang. Seorang pemimpin menggenggam sukma rakyatnya, dan setiap jengkal krentek menentukan nasib bangsa.

Para pandeta, resi, pujangga datang menghadap Raja. Ada membawa pengawal bertubuh tegap nan kekar, pula bersama para abdi kepercayaan. Dan tak ketinggalan juru tulis dihadirkan demi kekalkan berita yang kan terjadi. Ada juga kedatangannya menyamar sebagai pengemis atau petani. Sehingga banyak rakyat jelata tiada tahu, yang tengah berjalan menuju ibukota Daha ialah pandita.

Para undangan sudah berkumpul di bawah kaki kuasa Raja. Dengan sigap Prabu Dandanggendis memberi sambutan singkat nan padat. Intinya merasa jaya nan dikjaya. Segala kelebihan ilmunya dipamerkan kepada hadirin. Mereka melongo menyaksikan linuwihnya. Lantas beliau berkata: aku telah memerintah kerajaan ini cukup lama tak tergoyahkan. Adakah di antaramu tak tunduk menyembah kepadaku. Rajamu yang baik serta bijak mulia ini. Wahai para pandita, resi, pujangga dan para hadirin kepercayaanku. Dalam ajaran kita, apakah sebab kalian tak mau menyembah kepadaku. Padahal aku tiada bedanya dengan Bathara Guru. Anggapan berlebih kepada diri sendiri, sering kali mencipta bumerang.

Para hadirin semuanya gusar, mau menentang takut kuku-kuku kuasa Raja. Jika menyetujui berarti membohongi bathin sendiri. Lantas salah seorang pandita berkata: “duh baginda Raja, selamanya belum pernah ada pandita menyembah raja.” “dulu memang belum pernah ada, sekarang kalian harus menyembah kepadaku.” tegar ucapan sang Raja.

Para hadirin terdiam. Sang Prabu mencium gelagat hal itu sambil menantang bersuara lantang: kalau kalian ragu yang saya maksud, cobalah semua maju melawan diriku? Seakan serentak, ruang pendapa itu makin lama kian hening tak bergeming, seolah tiada makluk hidup. Seekor semut pun tak berani beranjak dari tempatnya, nyamuk-nyamuk jua tiada yang beterbangan, apalagi menggigit, tak. Prabu Dandanggendis merupakan raja disegani kala itu, bala tentaranya gagah pemberani, para prajuritnya patuh menjunjung tinggi titah Raja.

Entah bagaimana, Dandanggendis disebut dalam literatur sekarang Dandanggula. Ini kecerobohan para sejarawan, merubah nama seenak udelnya. Meski kata gendis (:jawa) bermakna gula. Ini kerugian fatal seperti kebangkrutan nama Gunung Krakatao berubah menjelma Krakatoa, saat pihak asing menfilemkannya. Lebih ambruknya dianggap lumrah sebagai keseleonya bahasa. Jika terkilirnya mempengaruhi ruh daripada makna bagaimana? Saya fikir ini perlu diperjelas, tidak dianggap sepeleh. Jika citraan budaya kita tak ingin hilang ditelan bumi pertiwi, oleh kurangnya perhatian kita mengenai penampilan yang hambar.

Kisah Dandanggendis ini menyerupai Firaun dan lebih, sebab dirinya secara sadar menganggap tuhan tanpa kemabukan kuasa berlebihan. Ingin mendapati kepala-kepala orang bersujud di hadapannya. Ingatan saya digiring oleh film berlabel 300 (pasukan Sparta) yang memperhanguskan tentara Persia, Raja Xerxes, berlagak tuhan atau nasib manusia berada dalam genggaman jemarinya. Kesombongan pastilah terjungkal dengan keangkuhan lain, dan berhenti jikalau tuntas laknat bathin tak menghamba.

Suara pendapa kedaton Daha hening suwong. Sang Raja bolak-balik mengelilingi para hadirin yang dipercayakan dapat mendaulat dirinya menjelma Bathara Guru. Langkah-langkah berwibawanya menyiutkan nyali pendengaran. Penulis jadi teringat dehemnya seorang spekulan di negeri adidaya Amerika, yang sanggup meruntuhkan nilai-nilai saham. Dan dehem sang Prabu Dandanggendis tak kalah kuat merontokkan mental-mental tiada pernah diasah kata berontak.

Tiada bisik-bisik kesepakatan di antara pandita, resi dan jangga. Serentak sukma mereka disentakkan kuasa dinaya tenaga sang Prabu dengan sangat kuat. Jebollah meski sebagian besar hanya fisiknya mengangguk takluk, bertekuk nyali. Setelah ruangan berhasil dikuasa sang Prabu. Ia tersenyum lebar, tawanya menggema, meruntuhkan kembali mental-mental tak pernah diasah keberanian. Sangat puas hati Raja, lantas meminta para hadirin benar-benar bersujud dihadapan kakinya. Lantai marmer pendapa bergetaran, atas jiwa Raja tak tertandingi sebab niatannya manunggal tak tergoyahkan.

Setelah dirasa cukup, para hadirin diperkenankan pulang ke negri masing-masing. Mengabarkan sang Raja sudah menjelma tuhan alam semesta. Namun tak demikian bathin semua undangan, sepulang dari gardu istana. Langkah demi langkah hati mereka berhianat, jujur kepada kalbunya bahwa seorang pandita, resi dan jangga taklah bersujud kepada seorang Raja.

Sejak lama para pandita, resi dan pujangga Daha telah mendengar kabar. Bahwa di daerah Tumapel yang berubah nama Singosari (daerah sebelum memasuki kota Malang, sekarang menjadi kota kecil saja). Ada seorang raja yang berwibawa dan disegani, bergelar Sri Rajasa. Alam pertanian palawija serta rerumputan padi, juga perdagangan di wilayah tersebut makmur, seolah Dewata memberi restu sentausa bagi tahtanya selamanya.

Tak jauh dari perbatasan kota Daha, para undangan sang Prabu mengurungkan langkah ke negri masing-masing. Bathin mereka menyerahkan kepercayaan kepada penguasa Singorasi, sebagai pulung selanjutnya. Sebagian besar mereka menuju Singosari guna menghadap Rajasa. Yang awal kelahirannya bernama Ken Angrok (Ken Arok). Setelah para pandita, resi dan pujangga kerajaan Daha bersepakat ke Singorasi, berangkatlah mereka.

Sambil menunggu kedatangan mereka. Saya ceritakan bagaimana kejiwaan Angrok. Ken Angrok sebelum menjadi raja ialah sosok begundal. Perampok tersohor, penjudi ulung, penyabung ayam kawakan, juga pemetik bunga pinggir jalan. Suatu kali ia memiliki seekor ayam jantan, si jago itu amat kesohor, banyak ayam jago lawan-lawannya lari pecirit tunggang langgang, disamping banyak pula berpulang cacat oleh ulahnya. Ayam pemberani Angrok itu sempat melegenda, sebab mati di tengah gelanggang. Ia bertarung dengan keseluruhan jiwa-raga untuk sang tuannya, sampai darah penghabisan. Tak seperti ayam-ayam jago lain yang lari ketakutan, keok sebelum temukan ujung sekarat.

Hidupnya Angrok waktu itu tak ubahnya para brandal, boros dan ugal-ugalan. Ludes uang hasil judi menjadikan ia sosok perampas, merampok para sodagar yang melewati hutan, tempat ia menanti antrian nasib naas yang ditunggunya. Di tempat itu, ia memiliki cerita menarik. Pernah ada seorang tua melewati hutan itu dan menyapa kepada Angrok: Nak, katanya melewati hutan ini membahayakan. Bisakah anaknda membatu saya dalam perjalanan pulang? Angrok tersenyum, diantarnya orang itu sampai kediamannya. Jalan hidup manusia memang sulit ditebak, selalu berkelok memasuki ruang-ruang jiwa. Tak seorang pun memahami pribadi yang lain secara peka nan juntrung.

Insan yang berilmu pengalaman, ketika dinaikkan drajatnya menjadi penguasa. Jawabannya ialah makin serakah, atau loman kepada rakyatnya. Dan Angrok memilih jalan kedua. Seakan telah kenyang perbuatan angkara murka, sudah puas mengumbar hawa nafsunya. Atau telah insaf, sebab ulahnya dikala merebut kekuasaan secara paksa. Atas hasratnya merampas cerlang cahaya nareswari dari selangkangan Ken Dedes. Sewaktu Tunggul Ametung terkena sirep (ilmu sihir menidurkan musuh), dan tertikam keris Gandring atas Angrok. Ia kubur dalam-dalam watak beringas. Di hadapkan wajah santun kasih sayangnya kepada rakyat, serupa mukanya memandang kekasih-kasihnya, Ken Dedes dan Ken Umang.

Saat para jangga, resi dan pandita sampai ke kota Singosari. Sungkemlah rombongan tersebut memberi dukungan dengan alasan kemakmuran negara. Juga menangkal suara-suara hitam kekuasaan pusat yang ada di Daha. Lama-lama kabar itu tercium sang Prabu. Dengan lantang Prabu Dandanggendis berkoar: Tiada yang bisa melawan aku, kecuali Batara Guru turun sendiri dari suralaya (kahyangan).

Gema suara keangkuhan itu ditangkap telik sandi Singosari, dan dihaturkan kepada Sri Rajasa Sang Amurwabumi. Dengan bernaluri keyakinan, Ken Angrok meminta restu kepada para pandita, resi dan jangga yang setia mendukungnya. Untuk mengangkatnya bergelar Sang Hyang Caturbuja atawa Batara Guru. Sebagai usaha memantabkan mental lewat mitos, bahwa manusia sanggup menjelma apa saja. Demi meloloskan takdirkan melewati usaha sungguh membathin, dengan sekuat dinayanya.

Alam telah siap menunggu goncangan, bulan matahari memberi kesaksian yang kan dilewatinya penuh awan-gemawan mensejarah. Burung-burung berkabar ke negeri-negeri jauh. Gerak bathin anak manusia, dan alam tertunduk menerima takdirnya.

Dandanggendis mulai gemetar ketika mendengar para resi, pandita juga pujangganya telah merestui sang Rajasa dengan gelar Batara Guru. Hanya umpat pedas nan tajam yang keluar dari mulut sang Prabu. Hal itu tak disia-siakan Angrok. Ketika keangkuhan mental peperangan terpancing, magnit saling tarik kekuatan, atau terlempar jauh dari lawannya. Niat ibarat magnit, sanggup menarik jarum di dekatnya. Dan bisa menggetarkan lempeng besi walau mata tak melihatnya.

Angrok bersama suara alam langit menggemuruh kekuatan bumi merapatkan barisan. Para tentaranya yang digembleng langsung olehnya, sudah terlatih menghimpun pertahanan juga menyerang. Seperti disusupi arwah leluhur, para tentara itu menerjang berhamburan ke kota Daha. Ada menyusuri pinggiran sungai, menanjaki bukit dan tebing, menyusup laksana angin pada rerumputan.

Pasukan Singosari dicegat bala tentara Daha di sebelah utara Ganter. Bertarung kikis prajurit kedua belah pihak habis-habisan, saling mengeluarkan kadikjayaan. Mungkin kehendak sejarah tuhan, panglima perang Daha tewas. Berhamburan anak-anak buahnya bagai bebatuan kali diterjang banjir bandang. Sebagian besar gelimpangan bak pohon pisang yang tanahnya digerus lupan air bengawan. Terhanyut mengikuti arus kekalahan sampai samudra penaklukan.

Dandanggendis mengetahui pihaknya kalah total, ia berlari alang kepalang. Musnalah kerajaan Daha oleh amukan deras serangan bertubi. Angrok sendiri mengejar sang Prabu sampai kahyangan. Bertekuk hasrat tak turun ke bumi kembali, melihat bala pasukannya kocar-kacir. Dan turunlah Sri Rajasa menderapkan turangganya ke kota Singosari. Alam sadar mendapati kekecewaan, lantas menggapai harapan besar kepada Rajasa. Laksana membalikkan peta yang membosankan, dari penyesalan menyusul kepada keinginan-keinginan mulia.

*)Pengelana yang pernah mengunjungi peninggalan leluhur, serta bertemu arkeolog di daerah Singosari, Malang dan Ndoho (Daha) Kediri.

Senin, 23 Juni 2008

SEJARAH SINGKAT LAMONGAN

Hari jadi kota Lamongan bertepatan hari kamis pasaran pahing, 10 Dzulhijjah 976 Hijriyyah atau 26 Mei 1569 Masehi. Hal tersebut disesuaikan dengan masa pengangkatan Adipati Lamongan yang pertama; Tumenggung Surajaya, yang terkenal dengan sebutan Mbah Lamong. Dari sinilah istilah Lamongan tersemat, atas berkah nama beliau.

Lamongan sebelumnya masih berupa Kranggan di awal tahun 1543. Dari masa itu sampai sekarang, sudah dipimpin oleh 41 kepala daerah. Mulai dari (sebutan) Rangga, Tumenggung, hingga Adipati, dan sebutan Bupati di masa-masa memasuki kemerdekaan RI; Republik Indonesia.

Awal kepemimpinan daerah Lamongan dipegang oleh Rangga Aboe Amin (dari tahun 1543 sampai tahun 1556), dilanjutkan oleh Rangga Hadi (1556 menuju 1569), di tahun 1569 inilah, Kranggan (cikal bakal Lamongan) berganti status menjelma Katuranggan.

Tahun 1569 sampai 1507, dipimpin oleh Tumenggung Surajaya (diangkat sebagai Adipati yang pertama, waktu pengangkatannya setiap tahun diperingati sebagai hari jadi kota Lamongan, semenjak tanggal 26 Mei 1569).

Di tahun 1607 - 1640, Lamongan dipimpin oleh R. Pandji Adipati Keling, diteruskan; R. Panji Poespokoesoemo, R Panji Soerengrono sampai; R. Panji Dewa Kaloran 1682.

Dalam masa 1682 – 1690, diambil kekuasaan oleh Tumenggung Todjojo, dilanjutkan Tumenggung Onggobojo, Tumenggung Kertoadinegoro, Tumenggung Wongsoredjo, Tumenggung Tjitrosono, hingga Tumenggung Djojodirjo.

Di masa tahun 1761 – 1776, dipimpin Adipati Sosronegoro, dan pada tahun 1824 dilanjutkan atas Tumenggung Wongsodinegoro serta Tumenggung Mangundinegoro.

Adipati Ardjodinegoro menduduki kekuasaan Lamongan pada masa 1824 – 1856, dan Raden Tumenggung (disingkat RT); RT. Tjokro Poerbonegoro menggenggam kuasa Lamongan dari tahun 1856 sampai 1863. Di tahun 1863 – 1866, dipegang oleh RT. Kromo Djojo Adinegoro, dan jatuh ke telapak tangan RT. Kromo Djojo Adirono (dari tahun 1866 - 1885).

Antara tahun 1885 – 1937, dipimpin oleh R. Adipati Djojo Dirono (R Adipati Aryo Djojo Adinegoro), dilanjutkan Tumenggung Moerid Tjokronegoro dari tahun 1937 hingga 1942.

Setelah pasca kemerdekaan, Lamongan dipimpin berturut-turut oleh Tjokro Soedirjo, R. Soekadji, Abdul Hamid Soerjosapoetro, Waskito, Soepardan, Ali Afandy, R. Ismail dan Soeparngadi (1960 – 1969).

Lantas pada tahun 1969 sampai 1979, bupatinya bernama Chasinoe. Dan Sutrisno Sudirjo memimpin Kabupaten Kota Lamongan pada tahun 1979 – 1984, dilanjutkan Muhammad. Syafii (1984 – 1989). Dan Muhammad Faried memegang kekuasaan dari tahun 1989 – 1999 yang diterusakan oleh Masfuk sampai kini.

_____Dituturkan ulang Nurel Javissyarqi, pengelana asli kelahiran Lamongan, desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng.

Puisi-Puisi Imamuddin SA.

DARI ALIF SAMPAI YA’
kepada Sang Nabi

lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu

imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja nan merdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku

mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku

di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;

“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,

esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu
kuyakin itu”

Kendalkemlagi, Maret 2008



KADO JATI SEREMONI

ia kenal tembangmu
walau ini sepedih rasa
meringkuk telah
di sekutu tanah,
kau rentang saja
sayap-sayap kalbu
merela gala teseru

adalah serimpi misi
mengarang kembang usai
lewat cendawan nanti
tak terbeli
atau tergadai lalui
liat lindu tempo hari
pun entah … ini
sebatas sirkus nadi
bagai kado jati seremoni

tiada seberat hati
melepas diri
bagimu terlalui
mengarang elegi kidung impi
dalam bilik sendiri

ya, rajut kembali
tusah peradaban sempat tercerai
bersama api suci jemari
meniti musim semi
dalam kisah misi
kembali

Kendalkemlagi 2007



LAYANG PERJAMUAN

kepada penyair Lamongan

menyisir waktu
mengeja jejak hampir sayu
ah, syukur aku
di hening samudraku
menyapa purnama rindu
namun, adakah sinar tak lagi merayu?

Kendalkemlagi, September 2006



ADA LUKA

kepada penyair Lamongan

mungkinkah bias nur malam
tak membius hatinya
meski kesempurnaan wajah telah
membumi tak tereja

ada luka,
sebab kehampaan jasad manusianya

batu-batu sangsi menghimpit kesadaran
menyemedikan batin yang tertahan,
ah, yang terdengar hanya kersik sayapnya
meski hati rindu bersua,
mendialogkan kata
tenggelam di kedalaman samudra tanda

adakah esok bulu-bulunya kan setia
mengukir puitika kisah jalan maqomnya?

Kendalkemlagi, Mei 2008

Anggota Forum Sastra Lamongan (FSL)

Joko Sandur, esais dan penguri-uri seni tradisi ini lahir di Lamongan dengan nama Kamijo. Alumnus Universitas Negeri Jember dan Universitas Islam Darul Ulum Lamongan. Tulisannya pernah terpublikasi di Jurnal Kebudayaan The Sandour. Antologi bersamanya Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Aktif di teater anak-anak Sanggar Seni Wora-Wari Modo, Lamongan.

Haris Del Hakim, pecinta buku-buku sejarah dan penulis novel sejarah. Novel sejarahnya; Berlabuh di atas Gelombang, Laras-Liris, dan menyusul Tanah Perdikan. Pernah menjabat Lurah di Sanggar Nuun IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta. Sempat menjadi dewan redaksi pada majalah Gerbang Massa, redaksi Jurnal Sastra Timur Jauh (FSL). Kini sebagai dewan redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour. Antologi bersamanya Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Selain menulis, menerjemahkan karya-karya para penulis Timur Tengah. Direktur penerbitan Al-Misykat.

Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan. Tepatannya 13 Maret 1986. Pendidikan dasarnya MI Hidayatussibyan di tanah kelahirannya, lulusan MTS Simo 2000, alumni MA Matholi’ul Anwar 2003. Menyelesaikan S1 di Unisda 2007. Penulis bernama lengkap Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai staf redaksi Jurnal Sastra Timur Jauh. Kini sebagai sekretaris redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru, Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga), Kidung Sang Pecintan(PUstaka puJAngga), Sasmita Kembang Widerda. Ia tinggal di Jl. Embong Gede, RT 01, RW 05, bencah kelahirannya. Phone: 085646030401

Anis Ceha, lahir di Lamongan. Karyanya terpublikasi di Jurnal Sastra Timur Jauh, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Tabloid Telinjuk, majalah Gerbang Massa dll. Antologi puisi bersamanya; Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Ia mengajar di MAN Lamongan dan SMA Semen Gersik.

Ridwan Rachid, kelahiran 15 September 1985, sempat nyantri di pesantren Langitan (1998), pesantren Sunan Drajat (2006). Antologi bersamanya Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Kini tinggal di Yogyakarta serta aktif dalam Lesehan Kajian Sastra Kutub.

Heri kurniawan, lahir di desa Banan Gunung Rejo, Kedungpring, Lamongan 23 November 1987. Lulusan MTsN Model Babat. Antologi bersamanya Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Kini menempuh studi di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Tinggal di PP Hasyim Asy’ari Cabean Bantul.

Rodli Tl. Lahir di Lamongan 17 Juni 1976 dari keluarga petani. Pertama kali aktif di dunia pertunjukan dan sastra sejak bergabung dengan kelompok teater Teater Tiang Universitas Jember 1997. Puluhan naskah telah disutradarainya. Diantaranya adalah Tiang Tiang Kata, Ekskusi, Tarian Tanah, Adam Hawa, Ketinggalan Kereta, Kucing; Perempuan dan Kesepian Kita, The Past Game, dan lain sebagainya. Bukunya yang telah terbit Adam hawa Suatu Masa dan Novel dazedlove. Kesibukanya sebagai tenaga pengajar di UNISDA dan beberapa sekolah. Dewan Redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour. Antologi bersamanya Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Mulai tahun 2004 sampai sekarang sebagai Pengasuh Sang_BALA (Kelompok Belajar dan Bermain Drama) di kampungnya yang beralamat; di Canditunggal Kalitengah Lamongan 62255. HP.0888 0305 5837

Javed Paul Syatha, Lahir dan besar di Lamongan, 12 Maret 1983. Nama sebenarnya (Saiful Anam Assyaibani) Berkarya semenjak tahun 2002. Aktivitas keseniannya berada di Teater Roda. Kostela dan Teater Pelajar “AUM” MA. Matholi’ul Anwar Simo. Karya-karyanya berupa naskah drama, puisi, esai dan cerpen, terpublikasikan di berbagai media cetak pusat dan daerah. Beberapa karyanya juga terdokumentasi secara komunal. Antologi tunggalnya “Tamasya Langit” (Pustaka puJAngga & La Rose 2007), dan “The Lamongan Soul” (La Rose 2008). Antologi bersamanya Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Sekarang tinggal di Kompleks Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar Jl. KH. Sofyan Aw. No. 99. Simo Sungelebak 16/V Karanggeneng (62254) Lamongan. Hp. 085646206854. e-mail: javed_paul@yahoo.co.id.

Ahmad Syauqi Sumbawi, beberapa bukunya antara lain: Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen, 2006), #2 (cerpen, 2007), Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (novel, PUstaka puJAngga, 2007). Tengah menyiapkan Maskerade (prosa pendek), Waktu: Di Pesisir Utara (novel), dan Pada Jenak Hening Berkaca (puisi). Antologi bersamanya Gemuruh Ruh (PUstaka puJAngga, 2008). Dewan redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour. Direktur penerbitan SastraNesia. Selain menulis ia menambak ikan di jublang belakang rumah. Alamat desa Jotosanur Rt 2 Rw 3 No. 319 Tikung Lamongan 62281. Hp. 085648030568

Nurel Javissyarqi, pengelana ini lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan 8 Maret 1976. Disamping menggambar juga menulis: Tulisannya pernah terpublikasi di media masa; Solo Pos, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu pagi, Pos Kita, Telunjuk, Duta Masyarakat, majalah Kuntum, MPA, Gerbang Masa, Jurnal Sastra Timur Jauh. Tahun 2000 bersama Y. Wibowo, Ahmad Muhaimin Azzet, dll mendirikan Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia (KSTI) di Yogyakarta. Antologi bersamanya Embun Tajalli (DKY 2000), Gemuruh Ruh (PUJA 2008). Antologi puisi terbarunya Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga 2007). Penggagas FSL (Forum Sastra Lamongan, 2005). Ketua Umum Redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour. Pengelola penerbitan PUstaka puJAngga.

DARI MINDER, KEBLINGER SAMPAI ATOS

Nurel Javissyarqi*

(I) Bagian pertama ini pernah dikorankan secara dadakan sekali terbit dalam acara DKL 2007, berjudul Lamongan Menuju Kota Buku dan sedikit ditambahkan. Yang kering-kerontang terbakarlah, yang basah tetap melempem. Oya sebelum jauh maaf, kiranya siratan perbahasaan ini tidak nikmat dikunyah, sebab guratan pena saya belumlah teruji media massa. Tapi diri ini tak hawatir, karena keyakinan kata-kata merupakan dinaya, yang sanggup menggempur kalimat teratur cepat dilupa.

Lamongan kelahiran saya, berpamorkan ikan bandeng dan ikan lele melingkari sebilah keris. Tahun 1993 saya meninggalkannya menuju kota Jombang, lantas pertengahan 1995 berhijrah ke Jogja, dan balik lagi ke Lamongan di tahun 2002. Entah bagaimana, saya lebih percaya diri jika di luar kota. Mungkin dikarena membawa beban identitas yang hilang (Sebelum kasus Amrozi dkk, kata Lamongan belumlah tampak di mata Nasional, apalagi Internasional. Entah ini berkah atau kutukan, atau sang penagih; sebab tak diberi ruang maksimal sejarah, semisal makam Sunan Drajad dalam arsip-arsip lama seringkali tertulis wilayah Gresik). Dan pernah berlaku, orang-orang kelahiran tanah mbah Lamong, malu menyebut lemah-lempung tubuhnya. Baru-baru ini saja pada berbondong di belakang nama menyorongkan identitas aslinya.

Mungkin sebab dalam sejarah, tanah kelahiran saya hanya kota kabupaten saja. Berbeda Kediri, Mojokerto atau lainnya, yang kehadirannya ditandai peristiwa besar. Dan mungkin pula Amrozi mengangkatnya, dengan wajah sangar berlebihan dari sebelumnya. Bagi yang belum pantaslah mensejarah, untuk yang telah biarkan tertimbun usia, sebagaimana Singosari menjadi kota kecil saja.

Kedatangan saya dari kembaraan tahun 2002, mencium aroma kesusastraan telah dikumandangkan deretan sastrawan yang bercokol di tlatah kelahiran saya. Dengan mengharumkan pendiskusian Candrakirana. Meski kadang yang datang sedikit tak terlaksana, itulah realitas maju-mundurnya komunitas (entah kini kemana kabar Kostela?, semoga tetap bergairah nyastra).

Ketika di kediaman, saya makin malas mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan di koran (mungkin sebab sering ditolak), yang sewaktu di Jogja sempat bercokol di Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Pos Kita, Bernas, Kuntum &ll. Keengganan itu bukan berarti tak lantas melupakan segala. Saya memulai membuat semacam penerbitan; buku-buku dengan cover samblonan, kertas dalamnya fotocopian. Yang hampir menghasilkan satu lusin judul buku, seribu eksemplar lebih saya lem (jilid) sendiri dan alhamdulillah sudah tersebar di beberapa kota, seperti Malang, Surabaya, Madura, Ponorogo, Jogjakarta, Bojonegoro, Lampung, Jakarta dan Lamongan sendiri (saya dengar-dengar sampai ke Makasar pula, disamping nyantol di National Library of Australia). Pada lembar pengesahannya tertuliskan; hak cipta dilindungi akal budhi, bukannya undang-undang. ISBNnya pun saya terjemahnya menjelma; Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahu wataallah.

Sempat saya bangga hasil payah tersebut ketika dimuat berupa catatan kaki di buku Bermain dengan Cerpen (Gramedia, Juli 2006, karya Kritikus Sastra, dosen Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Maman S Mahayana, di halaman 56). Penerbitan saya bertitel PUstaka puJAngga, satu sebutan hasil tapak tilas langkah pujangga R.Ng. Ronggowarsito kepada Kyai Ageng Muhammad Hasan Besyari di Ponorogo, dan kilas balik seringnya diri ini ke makam beliau di Klaten, tepatnya desa Palar. Niatan tapak tilas beliau, setelah mendapati buku karangan Anjar Any sewaktu nyantri di Magelang. PUstaka puJAngga bersingkatan PuJa, dikarenakan emosionalitas jiwa Jawa saya kepada tlatah India, bencah kelahiran pujangga Rabindranat Tagore yang pernah mengampuh sungkem di tanah Dwipa.

Ketika kerja tekun berkelanjutan, tentu kelamaan penerbitan saya meningkat tak sekadar fotokopian, lantas memberanikan diri dalam percetakan. Buku saya yang sempat dicetak berjudul; Trilogi Kesadaran (Kajian budaya semi, anatomi kesadaran &ras pemberontak). Kajian Budaya Semi, sebelumnya fotokopian, sempat di bedah di UNTAG Surabaya dan IAIN Yogyakarta). Ketika menjelma sebuhul buku Trilogi Kesadaran, kebetulan dibedah di lingkungan Universitas Indonesia (langkah tak ternyana sebelumnya).

Lantas menyusul menerbitkan karya-karya kawan, tentu bersistem kerjasama karena dalam hal ini bermodalkan nekat. Karya kawan-kawan yang tercetak, semisal Kantring Genjer-genjer (karya Teguh Winarsho AS, novelis Jogja yang mengikuti langkah saya membuat penerbitan; Lafal Indonesia, sebagaimana penerbitan MataKata Lampung, direkturnya penyair Y. Wibowo). Dilanjutkan mencetak Sastra Perkelaminan (karya Binhad Nurrohmat, penyair kelahiran Lampung), antologi puisi Ngaceng (karya Mashuri, kelahiran Lamongan yang di tahun 2006 memenangkan lomba cipta Novel diadakan DKJ), Amuk Tun Teja (kumpulan cerpen Marhalim Zaini, kelahiran Riau), novel Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong (karya A. Syauqi Sumbawi, kelahiran Jotosanur, Lamongan). Lalu Nabi Tanpa Wahyu (kumpulan esai Hudan Hidayat), Kitab Para Malaikat (karya saya sendiri), Antologi Sastra Lamongan; Gemuruh Ruh, dan Jurnal Kebudayaan The Sandour (edisi III, 2008, PuJa &FSL).

Di samping PUstaka puJAngga, di Lamongan terdapat penerbitan berISBN, seperti SastraNesia, PustakaIlalang, LaRoss. Jadi pantaslah jikalau kami memimpikan Lamongan kota budaya nantinya, sebagaimana Jogja yang telah jauh melampaui Malang, Surabaya, oleh dunia penerbitan, namun ini tidaklah bermakna jikalau tak rajin membaca realita. Di bawah ini keterangan lebih rinci buku-buku terbitan PuJa, karya saya; Sarang Ruh (puisi, manuskrip 1999, stensilan 2004), Balada-balada Takdir Terlalu Dini (cetakan 2001), Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga (stensilan 2004), Segenggam Debu Di Langit (stensilan 2004), Sayap-sayap Sembrani (stensilan 2004), Kulya dalam Relung Filsafat (stensilan 2004), Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana (stensilan 2005), Batas Pasir Nadi (stensilan 2005), Ada Puisi Di Jogja (stensilan 2005), Tabula Rasa Kumuda (stensilan 2006), Tubuh Jiwa Semangat (stensilan 2006), Trilogi Kesadaran (cetakan 2006), Kekuasaan Rindu Sayang (stensilan 2007), Kitab Para Malaikat (cetakan 2007).

Dan buku-buku karya kawan, majalah serta jurnal-jurnal terbitan PuJa; Serasi Denyutan Puri (cetakan biasa), Wanita Kencing di Semak (cetakan biasa), Esensi Bayang-bayang (stensilan), Sembah Rindu Sang Kekasih (stensilan), Kidung Sang Kekasih (stensilan), Kantring Genjer-genjer (cetakan), Herbarium (cetakan), Sastra Perkelaminan (cetakan), Amuk Tun Teja (cetakan), Ngaceng (cetakan), Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong (cetakan), Nabi Tanpa Wahyu (cetakan), Gemuruh Ruh (cetakan), Majalah Gerbang Massa (cetakan), Jurnal Sastra Timur Jauh I (stensilan), Jurnal Sastra Timur Jauh II (stensilan), Jurnal The Sandour I (cetakan biasa), Jurnal The sandour II (cetakan biasa), Jurnal The Sandour III (cetakan) &ll.

(II) Kelahiran Jurnal Kebudayaan The Sandour, tidak lepas keberadaan PuJa yang dirintis sejak tahun 2004 bulan agustus. Sedangkan Sandour (kata Sandour atau sandor, sebuah kesenian tradisional yang ada di Lamongan, jikalau di Gunung Kidul Jogja seperti Jatilan atau sejenis Kuda Lumping), dan Jurnal Kebudayaan The Sandour sendiri diawali pada tahun 2006. Dasar pencetusannya, disamping rasa syukur kepada-Nya karena dikaruniai kesanggupan merangkakkan dengkul PUstaka puJAngga, meski berupa buku-buku fotokopian, cover sablonan. Pula dikarena kegagalan berulang sebelumnya, lumpuhnya terbitan selanjutnya majalah Gerbang Massa, Jurnal Sastra Timur Jauh untuk menampung ledakan kreatifitas belia di Lamongan, Gersik dst.

Kehendak The Sandour tak lebih mengangkat karya-karya yang sulit masuk ke koran-koran sebagaimana karya saya. Yang mana dalam jurnal tersebut, tersejajarkan dengan kawan-kawan yang lebih dulu masuk media. Sebab keyakinan saya; tulisan yang tak dimuat media, bukan berarti tidak layak. Saya lihat kurang daripada selera redaksi, atau menyedihkan lagi dikarena kedekatan emosi. Padahal setiap kata-kata yang matang memiliki ruh, untuk menafaskan kepada sesama. Maka bentuk kategorian yang tidak adil merupakan tindak aniaya. Apalagi jika yang didholomi sudah lama berproses, dengan mengangkat-tampilkan yang baru bergiat ria bersastra.

Usah ngedumel mari buktikan, kita juga memiliki daya. Yang sungguh-sungguh mendapati, yang bersenda ria tak banyak keringat lupakan saja. Sejarah tak lebih tumpukan naskah, teks-teks bernafas, maka tebarkan kalimat sanubani untuk dibaca mata masa depan. Jika mereka terbaik, kenapa kita tidak demikian? Ketika mereka mengajak bertukar dinaya, kenapa tak menyuhkan kadikjayaan? Dunia sebagai permainan, dan sebaik permainan ialah lihai melantunkan ujung pena sebagai mata baca dunia.

Berkali-kali saya kabarkan, di Lamongan tak banyak ditemui koran selain JP, maka informasi yang masuk dalam alam raya pemikiran seolah tak komplit. Usah gentar hal itu, apalagi pada tulisan yang dihasilkan dari pemotretan kurang fokus, tak suntuk dalam bidang dicitakannya. Padahal karya-karya mempuni, apalagi berupa buku, merupakan endapan pemikiran waktu lampau nan mendatang; membaca masa lalu sebagai pijakan, memandang masa nanti sebagai kejayaan pemikiran gilang-gemilang.

Mumpung berpena dan sebab tak rajin menulis buku harian seperti Fahrudin; tak dinyana kemarin, tanggal 10 juni 2008, saya diundang Universitas Paramadina untuk membacakan puisi dalam rangkaian acara pengekuhan guru besar bapak Abdul Hadi WM, bersama dedengkot sastrawan Ibukota. Undangan itu berita besar bagi saya, yang mana durung sanggup menjebol dinding media massa secara maksimal; maka sebelum mangkat dan ketika berangkat, merasa dek-dekan pula. Dan sepulang menaiki kereta api, saya banyak memetik kuncup-kuncup hikmah; ternyata dek-dekan saya tidak beralasan. Oleh terpenting ialah jiwa karya dari kesuntukan gemilang, bidang yang disanggupi terus tegak tak gentar, tiada keringat dindin bagi yang telah memeras asinnya perjuangan.

Saya bersyukur seolah Ibukota menerima diri ini sebagaimana di Jogya, padahal secara geografis, saya tinggal di Jawa Timur. Mungkin itulah jajaran genjang nasib; ketika ditolah di suatu tempat, maka kan diterima ditempat lain. Terasalah bagi yang genggam serutan (tali) takdir berketeguhan, bersanggup kuat mengayuh.

Kembali pada The Sandour. Karena keterbatasan jangkauan media massa ke daerah saya, diri ini memberanikan membuat media yang menampung karya-karya belum menerima nasib selayaknya. Dengan kaca mata cerdik saya tancapkan keyakinan; tak banyak warga yang suka membaca, apalagi sastra, maka ketika kita mencipta karya di daerah terpencil, barang tentu kitalah penghulunya.

Banyak ruang-ruang memungkinkan tumbuhnya jamur kuping kesusastraan, yang tak disentuh distributor-distributor buku. Kita bisa memasoknya, sebagaimana di pesantren-pesantren terpencil atau desa-desa yang banyak melahirkan anak yang minimnya jenjang pendidikan. Dalam percandaan saya waktu itu pada kawan-kawan; setelah Chairil Anwar tiada lagi penulis puisi selaian saya (hehe). Itu seolah dapat terjadi, ketika sanggup memasuki daerah-daerah terpencil dengan buku-buku karangan kita. Dengan mata jeli saya bilang; biarkan di atas meja mereka mendapati jatahnya, namun sejarah di bawah telapak meja, kita menguasainya. Mungkin itulah yang menginspirasikan Herry Lamongan dan Fahrudin Nasrulloh menyebut saya gerilyawan atau penulis pemberontak. Yang sebelumnya banyak kawan dekat menyangsikan gerak kesemangatan ini, yang seolah banteng telinganya tersumbat tanah. Setidaknya berkali-kali terbentur pastilah berdarah, dan muncratnya getih petanda benih kesadaran nyata.

Bagi saya, diolok-olok bodoh, keblinger, tak tahu aturan, serampangan &ll ialah jamu mujarab untuk tetap menjejakkan kaki di manapun berada. Yang mencibir kehabisan daya, sehingga tak banyak berkarya, yang terus melangkah semakin menggila berekspersi, sampai Maman S. Mahayana menyebut saya “dewa mabuk.” Dalam penulisan ini, tentu saya berhati-hati karena kebanggaan bisa mematikan daya kreatif. Saya tak lebih dari kemarin, orang bodoh tak pernah dianggap ada, tak tenang tempat duduknya meski di bangku kesunyian, sungguh sakit bercampur legit keterasingan ini.

Aduh kok belok ke persoalan sendiri lagi, padahal membahas The Sandour yang saya pimpin. Mungkin itulah kaca benggala tak terpisah, oleh kerja berkesenian saya tak banyak meminta perhitungan pada kawan (khususnya dalam kesuntukan mengolah manajemen). Ini bukan berarti tak mau kompromi, tapi lebih didasari pemotretan saya pada lembaga-lembaga yang dibilang mapan, semisal pemerintahan. Saya fikir banyak membuang waktu untuk rapat &ll, sedangkan ketika bergerak sendiri, resikonya pun kecil; paling-paling dianggap bodoh seorang diri, atau bangkrut dibopong sendiri. Sementara ketika bekerja sama, jika terjadi kepahilitan, yang timbul gontok-gontokan, melempar kesalahan kemana-mana. Saya rasa cukup dua sayap; pertama keyakinan, kedua kesunguhan. Dan kawan-kawan terbaik ialah yang faham bagaimana kelepakan sayap itu begitu payah.

Itu tak kurang dari takdir saya menuju tlatah awal, menerima diri ini berhijriyah menimba keilmuan, yakni Jombang. Tepatnya di tahun 1993 saya yakinkan diri ke kota santri tersebut, sebelum menginjakkan kaki di tanah budaya (Yogyakarta). Semua serba saya perhitungkan dalam tingkatan terbesar. Di batok kepada saya waktu itu, Jombang itu kota terdekat dari kelahiran saya, yang banyak menghasilkan bibit unggul, semisal Gus Dur, almarhum Cak Nur serta Cak Nun, yang dimasa itu tengah berkibar Lautan Jilbab. Jadi seolah keharusan sebelum melangkah ke Jogja, saya kudu menimba linuwih di bencah atmosfir nadzliyin.

Mengeruk keilmuan bagi saya tak sekadar membaca buku, pun pula mengakrapi realita; lingkungan dan tanahnya, watak tradisi serta kebutuhan penduduknya. Bertolak dari itu bisa mengandai; kenapa orang-orang yang saya kagumi bisa hadir dari tlatah semacam itu? Dan pertanyaan-pertanyaan serupa. Bagi sebagian orang, belajar dari kekaguman itu kurang tepat, namun untuk diri saya; tergantung menarik benangnya yang tak sampai melupakan yang hendak diharap-harapkan.

Masa itu Jombang, penduduknya terus-terusan berseberangan dengan orang-orang pendatang. Atau kerap terjadi tawuran antar warga dan santri. Dari Jombang pula saya sempat mengenyam kanuragan. Sungguh banyak yang terperoleh darinya bagi saya, yang suka merenung memikirkan hutang di warung-warung kopi dekat pesantren, sambil berhayal ingin jadi orang besar (hehe).

Jombang waktu itu saya ibaratkan kota Madinah, Yogyakarta saya andaikan Paris, Surabaya saya kira Inggris, dan Jakarta saya umpamakan Amerika. Inilah salah satu bentuk hayalah saya, keterbatasan orang pribumi yang kesulitan biaya menyenyam pendidikan di luar negeri, namun bukan berarti capaian karya saya menyerupai lamunan; Saya tetap merasakan denyutan nadi tropis, tarikan nafas katulistiwa, kehujanan-kepanasan nusantara, terhinakan-terkucilkan hiruk pikuk pergaulan. Inilah realitas menjangkai impian, serupa jarak pandang manusia menghadap kehadirat tuhan, Wallahuaklam.

17 juni 2008,
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan. Lelembaran di atas sebagai bahan diskusi yang bertajuk “Jurnal Kebudayaan The Sandour: Menggagas Jurnalistik Alternatif dan Kekuatan Lokal” pada tanggal 18 Juni 2008, pukul 19.00 wib (malam kamis) di Padepokan Cak Kadar (Komunitas Kuda Lumping Turonggo Pudak Arum, desa Pandanwangi, Jombang). Dengan pembicara; Halim HD, Mardiluhung, Fahrudin Nasrulloh dan saya sendiri.

LAMONGAN; Nyanyian Pribumi

Judul Buku : The Lamongan Soul
Pengarang : Javed Paul Syatha
Pengantar : Haris Del Hakim
Jenis Buku : Kumpulan Sajak dan Cerpen
Penerbit : La Rose
Tebal Buku : 44 hlm; 13, 5 x 20, 5 cm
Peresensi : Imamuddin SA.

Suatu sugesti tersendiri jika seseorang telah berkenan menyuarakan negeri atau kotanya. Ini membuktikan bahwa orang tersebut benar-benar peduli dan bangga terhadap negeri maupun kota itu. Dan berbesar hatilah bagi negeri atau kota yang memiliki orang-orang seperti mereka.

Penyuaraan tersebut ada yang berbentuk pujian maupun kritikan. Kedua bentuk itu pada dasarnya bertumpu pada hal yang sama. Sama-sama berorientasi pada tindak peningkatan kredebelitas suatu negeri atau kota. Jika penyuaraan itu dalam bentuk pujian, janganlah serta-merta terbuai dan lupa diri. Semuanya masih membutuhkan koreksi dan instropeksi diri. Dan jika dalam bentuk kritikan, janganlah terus mengasingkan penyuaranya. Memboikot penyuaraannya. Dengan adanya sebuah kritikan, seharusnya berbanggalah. Sebab melalui penerimaan kritikan dengan lapang dada menunjukkan bahwa suatu negeri atau kota berkehendak untuk maju dan menggapai kegemilangan di muara waktu. Mengisi cela-cela kosong dan merevolusi bagian-bagian yang dianggap kurang elok di kalbu.

The Lamongan Soul merupakan sebuah kumpulan puisi dan cerpen yang kaya akan nilai lokalitas kota Lamongan. Hal ini tampaknya dimunculkan untuk membangun dan meningkatkan kredebilitas kota Lamongan di mata publik secara umum. Dengan hadirnya The Lamongan Soul, Lamongan tampaknya akan memiliki spirit dan motivasi yang tinggi dalam menyongsong era yang penuh dengan daya saing ini. Namun semuanya dikembalikan pada Lamongan sendiri, bisakah hal ini dimanfaatkannya?

Nilai lokalitas tersebut dihadirkan tidak hanya sekedar pengeksposan biasa. Kehadirannya dalam kumpulan cerpen dan puisi ini dibumbui dengan pesona imajinatif yang sangat kental. Dan bahkan menghasilkan efek pengintepretasian yang sangat mendalam.

Ikon Lamongan yang menyuarakan diri sebagai kota soto dan tahu campur menjadi pembuka dalam karya ini. Soto dan tahu campur adalah makanan khas Lamongan. Ini adalah ciri khas kota Lamongan. Ikon ini dihadirkan tampaknya untuk mengawali langkah untuk merengkuh cita-cita dan menyongsong hiruk pikuk kehidupan kota. Jika diimajinasikan, ikon soto dan tahu campur berorientasi pada sumber tenaga manusia untuk melakukan aktifitas hidup selanjutnya. Orang tidak akan kuat dan tidak akan bertenaga tanpa adanya makanan pokoknya. Begitu juga dengan Lamongan sendiri, agar kuat dan mampu bersaing dalam dunia global, prioritas utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan lokalitas kota yang telah dimilikinya. Ini yang perlu digarap lebih utama. Inilah sarapan paginya.

Berkaitan dengan lokalitas kota Lamongan, sebetulnya kota ini memiliki bermacam wilayah yang menjadi talenta untuk dibanggakan dan menjadi modal bersaing dalam era global. Wilayah tersebut merujuk pada masalah kesenian, pariwisata, religiuitas, dan lain-lain. Dari sisi kesenian misalnya: meskipun ini hanya tersinggung secara eksplisit dan sedikit, hal ini cukup terwakili dangan adanya penyematan judul puisi “Pangkur”. Kata tersebut adalah menjadi ikon kesenian yang lebih terfokus pada masalah kesusastraan. Walaupun pada dasarnya keseluruhan isi puisi tersebut berorientasi pada nilai lokalitas religius yang ada di kota Lamongan. Puisi tersebut mengisyarahkan bahwa pada dasarnya masyarakat Lamongan adalah masyarakat yang religius. Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Hal itu dalam puisi yang berjudul Pangkur ditengarai dengan adanya persembahan kepada Sunan Derajat. Yaitu salah seorang dari Wali Songo.

Lewat sajak yang berjudul Pangkur itulah, diharapkan agar kota Lamongan mampu membumikan religiuitas yang telah tertanam sejak lama. Jangan sampai religiuitas itu pudar apalagi hilang dari dalam jiwa-jiwa masyarakatnya. Selain itu, secara eksplisit yang agak jauh, kota Lamongan harus mampu meningkatkan ekistensi keseniannya. Perdayakan seluruh kesenian yang ada. Kedua hal inilah berdasarkan penyematan posisi karya yang kiranya perlu diberi penekanan lebih serius dan utama agar kota Lamongan mampu bersaing di era global dan sanggup menggapai hari esok yang gilang-gemilang.

Dari sisi wisata misalnya; ada satu tempat wisata yang masih terasing dalam kota Lamongan yang butuh pemberdayaan. Wisata ini jika dikelola dengan seksama, mampu mengangkat kredebelitas kota Lamongan. Hal itu terlihat dari letaknya yang ada di bebukitan nan asri. Di sana diselimuti kesejukan dan kedamain alam sekitar yang masih alami dan bersahabat yang mampu membawa keheningan jiwa bagi para pengunjungnya. Belum lagi ditabah dengan pesona sumber air hangat yang berasal dari bebatuan kapur yang diyakini mampu menjadi perantara menyembuhkan penyakit oleh masyarakat sekitar. Selain itu, Lamongan juga memiliki lokalitas wisata yang cukup syarat untuk dibanggakan yang kini sejenak tersisihkan. Lokalitas wisata itu adalah Waduk Gondang. Tempat wisata ini kurang dapat perhatian, padahal panorama alamnya sangat menjanjikan untuk memberikan kesegaran jiwa. Hanya saja cukup butuh sedikit perhatian. Alangkah baiknya jika lokalitas seperti itu diperhatikan.

Pada cerpen yang berjudul Melankolia, setting yang diambil adalah tempat Wisata Bahari Lamongan. Tempat ini adalah tempat satu-satunya yang sekarang menjadi aset utama kota Lamongan. Sebuah tempat wisata yang dilengkapi dengan hotel yang cukup sederhana dan disuguhi oleh panorama laut yang sangat indah. Meskipun isi cerpen ini tidak secara penuh berkutan masalah tempat wisata tersebut, palingtidak pengarang telah menyuarakan bahwa saat ini kota Lamongan memiliki tempat wisata yang sangat dibanggakan dan mampu bersaing dengan wisata-wisata lain dalam taraf regional, nasional, dan bahkan internasional.

The Lamongan Soul juga mengeritik mereka yang dulu adalah warga asli Lamongan yang kini telah memperoleh kesuksesan namun lupa akan Lamogannya. Keritikan juga mengarah kepada mereka yang telah mencoreng nama baik Lamongan di mata bangsa dan negara, bahkan dunia. Selain itu juga mengeritik kepincangan-kepincangan sosial yang masih bermekaran di dalam kehidupan kota Lamongan. Kumpulan puisi dan cerpen ini seraya memotivasi serta menyemangati kepada kota Lamongan dan masyarakatnya untuk membangun peradaban dan merengkuh masa depan yang gilang-gemilang.

The Lamongan Soul terdiri dari dua puluh lima puisi dan satu cerpen. Dua puluh lima puisi tersebu adalah; Selamat Pagi Lamongan, Lamongan, Pangkur, Kehendak Pengingkaran, Nelayan, Candra Kirana, Naga Hari-Hariku, Kali Lamong, Brumbun, The Lamongan Soul, Kuasa Lamongan, Cemeti, Engkau Telah Terlupa, Nuansa Samudra, Sebuah Muara Sejarah, Kesangsian, Dilema, Onggokan Sekejap Debu, Gerbong Pembebasan, Kepada Kesangsian, Melati dari Fantasi Kecilku, Pintu Air, Lelaki Tua dan Becaknya, Tentang Dendam, dan Boom Bali. Adapu cerpennya berjudul Melankolia.

Kumpulan puisi dan cerpen ini sangat cocok untuk dibaca kalangan SLTA dan umum, terutama warga Lamongan sendiri. Pembaca akan tahu akan gambaran kearifan lokalitas kota Lamongan melalui karya ini, meskipun dari puisi-puisinya cukup menguras otak untuk dilakukan proses pemahamannya. Hal itu disebabkan oleh kesubliman bahsanya yang cukup kental. Namun bagi yang sering bergulat dalam dunia sastra khususnya puisi, itu merupakan hal yang biasa dan wajar-wajar saja. Karya ini dari sisi penulisannya juga banyak yang keluar dari aturan baku penulisan bahasa. Entah itu sebagi stail bahasa atau kesalahan cetak semata. Kesalahan-kesalahan penulisan tersebut di antaranya adalah penulisan kata depan “di” yang kerap diposisikan sebagai awalan, banyak penulisan partikel “pun” yang digandeng, awalan “ber” yang dipisah dengan kata dasarnya, dan lain-lain.

Sebenarnya, masih banyak muatan yang terkandung dalam karya ini. Muatan-muatan tersebut tersimpan dalam kesubliman bahasa yang dipakai dalam tiap-tiap puisinya. Kesubliman itu mampu membawa pembaca untuk mengarungi samudra imajinasi yang sangat jauh nan luas. Dan menemukan makna lain di balik kandungan teks yang tersurat. Semuanya tinggal bagaimana cara penginterpretasian dari diri pribadi pembaca masing-masing. Pembacalah yang selanjutnya memiliki hak penuh akan hal ini. Dan akhirnya, selamat menikmati. Semoga kedamaian hati selalu melingkupi biar menemukan apa yang telah menjadi misteri di balik kata bersemi.

Kematian Sang Raja

Sebuah Catatan Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Haris del Hakim

Kertarajasa, pada masa muda dikenal sebagai Ken Arok, tergeragap dari tidurnya. Ujung keris telah menempel di ulu hatinya. Kesadaran yang baru saja diperolehnya hilang sesaat kemudian kembali dan digenggamnya erat-erat. Dalam keadaan apa pun ia tetap seorang raja, berandal yang digelari Arok, dan panglima pasukan yang pernah menikamkan kerisnya ke jantung Tunggul Ametung.

Cahaya lampu minyak jarak di sudut ruangan membantu pandangan matanya yang sudah tua untuk mengenali anak muda yang sedang menghunuskan keris ke ulu hatinya. Ia ingat puluhan tahun lalu saat ia berbuat sama terhadap ayah pemuda itu. Kini ia harus berganti peran. Dia terbaring tak berdaya sebagaimana ayahnya, Tunggul Ametung. Anak tiri yang dibesarkan oleh kasih sayangnya itu sedang memerankan dirinya. Bukankah dulu dia juga mencecap kasih sayang yang dilimpahkan oleh Tunggul Ametung, meskipun atas saran dari Mpu Lohgawe? Sekarang, ia memetik karma dari pohon yang ditanamnya puluhan tahun lalu.

Ia masih terbaring. Tangannya meraba ke samping kanan dan tidak mendapati siapa-siapa. Ia tersenyum dan bertanya. “Ke mana, ibumu?”

Anak muda itu merunduk. Lengan kirinya menempel di leher ayah tirinya. Bibirnya berbisik dengan perlahan sambil mengucapkan kata-kata yang perih. “Mengapa kautanyakan perempuan yang kaupaksa menyintaimu kemudian kausakiti hatinya?”

Lelaki tua di atas ranjang pualam itu masih bisa menunjukkan wajah bersinar, meskipun tekanan lengan anak muda itu perlahan mulai menyesakkan nafasnya, dan ujung keris semakin menyarangkan mata tajamnya. Usia yang dijalaninya telah mengajarkan segala macam jenis kematian manusia. Bahkan, beberapa kali ia membantu malaikat maut mencabut nyawa manusia dan tidak bisa lagi menghitung berapa jumlahnya. Ia juga tahu suatu saat akan menghadapi kematian dengan cara yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dan, kematian di ujung keris yang pernah ditikamkan pada akuwu itu pula yang akan mengakhiri hidupnya.

“Aku tidak pernah menyakitinya,” kata Lelaki itu. “Akulah yang membebaskannya dari belenggu tulang rapuh bapakmu dan mengangkat derajatnya sejajar dengan para permaisuri raja. Bukankah ia ceritakan semua kepadamu dan menjelaskan dosa-dosa bapakmu, seperti yang selalu dikeluhkannya kepadaku di setiap malam?”

Anak muda itu geram. Ia semakin menindih tubuh tua yang tidak berdaya. Bibirnya mencibir, “Aku adalah samudera tumpahan jeritan luka hatinya. Sejak dalam buaian kudengar lagu-lagu perih wanita yang dikhianati orang yang pernah dianggap menyintainya. Ia tanamkan pula benih dendam kematian ayahku dan setia menyiraminya sepanjang umurku. Apakah wanita seperti itu kaukatakan terbebas dari belenggu dan menepuk dada di atas singgasana permaisuri?”

“Anusapati!” kata sang raja gusar. “Katakan padaku dosa apa yang kulakukan terhadap dirinya? Luka hati seperti apa yang menuntun seorang istri meninggalkan ranjang tidur suaminya?”

“Kertarajasa! Seperti inikah pertanyaan ayahku, Tunggul Ametung, sebelum kautikamkan kerismu ke jantungnya?” tanya Anusapati.

Lelaki tua itu tertawa. Anusapati buru-buru menggeser lengan kirinya ke pangkal leher raja yang tinggal beberapa saat lagi umurnya. Ia kuatir ada prajurit yang mendengarnya dan menimbulkan kecurigaan. Sementara lelaki tua itu tersengal-sengal. Kedua tangannya yang bebas sengaja tidak digunakan untuk melakukan perlawanan. Dia belum tentu kalah menghadapi anak kemarin sore yang sedang terbakar oleh dendam, tapi ia merasa sudah tua untuk selalu mengelak dari karma-karma yang pernah dilakukannya di waktu muda. Ia sudah mendapatkan semua warna hidup seorang manusia. Ia pernah menjadi berandal yang malang melintang di tengah kegelapan hutan, juga pernah menjadi pimpinan prajurit yang disanjung-sanjung kedatangannya. Ia telah merasakan sebagai anak terbuang dan terlantar, juga merasakan sebagai raja yang sabdanya dinantikan setiap orang. Ia pun telah mendapatkan Ken Dedes yang diperebutkan oleh para Adipati hingga Raja Kediri, bahkan sebagai lelaki telah mendapatkan semua wanita yang diinginkannya. Ia sudah mengalami nelangsa dihinakan sebagai gelandangan tanpa kampung halaman, juga mengalami puja sanjung sebagai raja Singasari. Kehidupannya tinggal disempurnakan oleh kematian.

“Anusapati!” kata Kertarajasa dengan tenang. “Tunggul Ametung mati di tangan Kebo Ijo dan bukan tanganku. Takdir telah menentukan seperti itu dan takdir pula yang mengangkatku sebagai pengganti Tunggul Ametung.”

Kini Anusapati yang tersenyum. “Aku percaya pada bibir wanita yang rahimnya melahirkanku daripada mulutmu. Seperti yang pernah kaukatakan, tidak ada yang lebih jujur dari perempuan yang sakit hati.”

Anusapati belum menikamkan kerisnya. Ia ingin membuat ayah tirinya itu menghiba untuk selembar nyawanya. Ia ingin menyaksikan bagaimana seorang raja yang selalu dimintai segala sesuatu, seperti dewa, memohon-mohon padanya.

“Rupanya ia sudah menceritakan semuanya kepadamu,” kata Kertarajasa. “Apakah ia juga menceritakan ke mana perginya saat ayahmu tewas di ujung keris?”

“Aku tidak pernah menanyakannya, tapi aku berjanji memberitahu jawabannya padamu saat kau sudah menjadi abu.”

Kertarajasa tersenyum tipis. Ia ingat pada saat remaja sering bertindak gegabah. Ia tertawa.

“Sekarang ceritakan sakit hati seperti apa yang membesarkanmu?” tanya Kertarajasa.

“Kertarajasa! Begitu berartikah sakit hati yang dipendam perempuan itu hingga lebih kaupentingkan dari nyawamu sendiri?”

Ayam jantan berkokok. Dinding-dinding kraton masih tetap beku dalam dingin. Tidak ada seorang prajurit pun yang memberikan tanda kehadirannya melalui suara langkah kaki. Anusapati telah mengatur semuanya. Ia belajar dari ibunya bagaimana Ken Arok menyusun rencananya selama berbulan-bulan demi menghunuskan keris ke jantung ayahnya. “Bahkan, ia juga merencanakan berapa orang yang harus menangis atas meninggalnya ayahmu,” begitu kata ibunya ketika itu.

Kertarajasa tersenyum mendapat tanggapan seperti itu. “Ya,” jawab Kertarajasa dengan nada bicara masih tenang dan berwibawa. “Sakit hati itu tentu sangat perih dan meremukredamkan hatinya, hingga waktu puluhan tahun tidak sanggup menghapuskan atau mengutuhkannya kembali. Aku bisa merasakan senggukan tangisnya melalui bibirmu. Tetapi, aku ingin sebelum berakhir hidupku kuketahui semua dosa yang pernah kulakukan. Biarlah aku tahu siapa diriku pada saat-saat menjelang sekaratku.”

“Apakah semua itu lebih berarti dari kerajaan yang kaubangun dengan darah ribuan orang ini?”

Kertarajasa tidak menyalahkan atau membenarkan. Dia memberikan nasehat, “Anusapati, kekuasaan tidak pernah abadi di tangan seseorang. Kekuasaan direbut, dipertahankan, diwariskan, atau diberikan secara paksa kepada orang lain. Kita tidak bisa memaksa diri untuk selalu menggenggamnya. Manusia semakin tua sementara orang-orang muda terus lahir ke dunia. Yang tua harus merelakan diri digantikan yang lebih muda. Pada akhirnya, manusia baru sadar bila menghadapi maut sendirian.”

Anusapati menyimak ungkapan ayah tirinya itu. Ia tidak memungkiri kewibawaan dan kebijaksanaannya. Hanya bayang-bayang ayahnya yang ia gambarkan di kepalanya yang selalu mengatakan bahwa ia tidak dapat berdusta bila lelaki itu adalah pembunuh ayahnya. Setiap kali bertemu dengannya, ia merasa seperti arang yang dilemparkan ke dalam tungku. Semakin bertambah umurnya semakin membara keinginan untuk membalaskan sakit hati ayah dan ibunya.

Kertarajasa seorang raja yang tidak mengenal gentar. Dalam keadaan leher tertekan lengan dan ujung keris yang sewaktu-waktu menusuk ke ulu hatinya, ia dapat berbicara lancar tanpa gagap sedikit pun. “Anusapati! Sebentar lagi matahari akan terbit. Lekas katakan sebelum tindakanmu ini diketahui oleh orang lain dan kau tidak dapat membalaskan dendam ayahmu. Bahkan, kamu sendiri yang akan dipancung di alun-alun kota dan tidak ada lagi yang kalian andalkan untuk membalas dendam kepadaku.”

Anusapati tertawa tanpa menggerakkan gerahamnya. “Inikah kekuatanmu terakhir sebagai seorang raja, Kertarajasa? Kau andalkan sisa-sisa kepercayaan dirimu dengan mengancamku. Kamu boleh memilih, kukatakan sendiri atau perempuan itu yang akan mengatakannya kepadamu?”

“Anakku Anusapati,” kata Kertarajasa dengan nada kebapakan. “Waspadalah terhadap dirimu sendiri. Jangan sekali-kali kemenangan membuatmu lupa diri dan sewenang-wenang, apalagi belum berada dalam genggaman tanganmu. Kamu pemuda tangguh yang sering bertindak sembrono. Jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan kepadamu. Hunjamkan keris itu segera sebelum matahari terbit. Apakah kamu tidak mendengar talu lesung para petani di kejauhan?”

Pemuda itu melepaskan tekanan lengan kirinya. Ia memandangi wajah yang selalu dipanggilnya sebagai ayah. Ia tidak pernah merasa terbedakan dari Tohjaya. Batinnya berbisik, “Mengapa orang tua adalah yang meneteskan darahnya di tubuhku dan bukan yang memberikan kebaikan-kebaikan?” Barangkali benar kata ayah tirinya itu. Ia juga menjalani garis takdir untuk membunuhnya.

“Kau telah menikahi Uma dan seperti ini takdir yang harus kujalani,” jawab Anusapati. “Perempuan itu sering menerawang ke langit dan menyebut nama ayahku bila perih pengkhianatanmu melintas di batinnya. Ia bisa memaafkanmu saat kaubunuh Tunggul Ametung, tapi ia terlalu sakit dan menderita ketika mendengar Tohjaya menangis. Tidakkah kau perhatikan tubuhnya yang makin kurus dan kecantikannya yang berubah menjadi dongeng?”

Anusapati menitikkan air mata. Begitu pun lelaki yang berbaring di hadapannya. Tangan yang dulu kekar itu mengusap air bening di sudut matanya dengan jari telunjuk. Ia memandang anak tirinya yang memegang keris terhunus. “Katakan kepadanya bahwa Ken Arok minta maaf,” katanya penuh penyesalan.

Anusapati mengangguk. Ia melihat wajah ayah tirinya yang pasrah, menunggu ujung keris di tangannya yang akan menikam ulu hatinya. Dengan tangan gemetar Anusapati menikamkan keris pusaka pemberian ibunya itu. Ia pejamkan mata menyaksikan sang raja yang tersenyum menyambut maut.

“Anakku,” kata Kertarajasa. “Kuwariskan kerajaan ini tanpa dendam.”

Anusapati mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa hingga tidak terdengar lagi suara nafas. Perlahan ia membuka kedua matanya. Setetes air mata mengalir bersamaan hulu keris yang ditarik keluar dari dada pembunuh ayahnya. Darah menyembur dari lubang tikaman.

“Ayah, maafkan aku,” kata Anusapati menyarungkan kerisnya yang masih berlumuran darah.
Lelaki itu mengangguk sangat pelan sambil memejamkan mata. Kepalanya terkulai.***

GERAKAN BARU SASTRA LAMONGAN:

Catatan Singkat atas Forum Sastra Lamongan (FSL)
Haris del Hakim *

Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.

Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.

Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.

Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.

Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.

Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.

Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:

Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.

Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.

Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.

Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.

Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.

Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.

Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.

Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.

Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.

Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).

Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.

AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).

Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.

Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.

Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.

Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.

Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.

==========
*) Haris del Hakim, penulis cerpen kelahiran Lamongan. Sekarang tinggal di Surabaya. Beberapa tahun tinggal di Yogyakarta kemudian pulang dan bergumul dengan sastrawan-sastrawan Lamongan hampir selama dua tahun.

Nyanyian Persembahan Malaikat Ruhaniyyun

Judul : Kitab Para Malaikat
Penulis : Nurel javissyarqi
Penerbit : PUstaka puJAngga, Lamongan, JaTim
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : ix + 130 halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)

Malaikat Jibril as. mempunyai seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya terbalut bulu-bulu zafaron. Matahari seolah berada di antara kedua matanya. Di atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gumintang. Setiap hari ia masuk ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah menjadikan dari setiap tetes cahaya tersebut ujud Jibril as, mereka semua bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka malaikat ruhaniyyun. (Daqoiqul Akbar, Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi).

Makna yang tertuang dalam kitab Daqoiqul Akbar inilah yang ditelanjangi oleh Nurel Javissyarqi melalui antologi puisinya Kitab Para Malaikat. Nurel seolah ingin menunjukkan bagaimana para malaikat yang dalam bahasanya di beri nama malaikat ruhaniyyun, melakukan ritual penyembahan kepada tuhannya. Peristiwa inilah yang dikagumi oleh Nurel, dan memaksa dirinya - sebagai seorang sastrawan – untuk melukiskan peristiwa tersebut. Hal semacam ini pulalah yang memaksa Maulana Jalaluddin Rumi untuk mulai menulis masterpiece nya, Matsnawi fi Ma'nawi.

Perbedaan mendasar antara Nurel dan Rumi terletak pada penggalian ide. Nurel lebih mengedepankan imaji dan pikiran liarnya, sehingga tidak jarang kata-katanya melampaui alam bawah sadarnya. Bahkan Maman S. Mahayana dalam pengantarnya menggambarkan syair-syair Nurel sebagai perpaduan antara hamparan semangat yang menggelegak dan imajinasi tanpa batas. Sedangkan Rumi, ia berpuisi dengan jiwanya. Sehingga tidak jarang dalam sejumlah ghazal nya ditemukan larik-larik yang menyentuh hati pembacanya, karena dari setiap ghazal yang ditulis oleh Rumi adalah hasil perpaduan antara kenyataan dan harapan.

Akan tetapi dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat ini Nurel sepertinya ingin merayakan kebebasan berpikir. Sebagaimana yang telah dimulai oleh tokoh-tokoh besar yang hidup jauh sebelumnya. Tokoh-tokoh yang mengusung kebebasan berpikir tersebut di antaranya, Socrates, Rene Descartes, Derrida, Ibn Sina, Muhammad Iqbal, Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri dan lain-lain. Merekalah pula lah yang dicirikan Nurel sebagai pedoman dalam merayakan kebebasan berpikirnya. Ini dapat dilihat dari salah satu larik puisinya, Marilah hadir bersama keindahan, membimbing kesadaran alam terdalam/ sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).

Dalam pengantarnya Maman S. Mahayanan juga menyatakan bahwa perbedaan antara Nurel dan Sutardji Calzoum Bachri yaitu, Sutardji mengusung penghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra. Dan dengan Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi. Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk".

Kitab Para Malaikat pun demikian, penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan masih kental terasa. seperti tertuang dalam satu larik, Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah ketinggian hening/menuruni nasib, burung-burung ngelayap sayapnya disedot rebana cinta (XVI:XCI, hal. 97). Jika melihat dari sini, Nurel tak ubahnya sebagaimana Kahlil Gibran. Kahlil Gibran pun dikenal sebagai tokoh pengusung kebebasan berpikir, hingga tidak jarang dalam karya-karya terbaiknya pun ditemui pemorakporandaan imaji-imaji.

Akan tetapi, baik Nurel maupun Kahlil Gibran, keduanya melakukan hal tersebut semata-mata untuk menemukan keindahan bunyi dan pencitraan yang tinggi. Tidak salah pada zamannya hingga hari inipun Kahlil Gibran masih banyak pemuja syair-syair liarnya. Hal ini dikarenakan yang pertama kali diresapi oleh pembaca bukan makna, akan tetapi keindahan bunyi lirik. Dan Nurel sangat paham akan hal ini dan memanfaatkan kelebihannya dalam permainan diksi. Sangat wajar jika antologi ini dikarang dalam kurun waktu 9 tahun, yaitu dari rentang tahun 1998-1999 sampai tahun 2007, karena Nurel ingin antologinya ini sempurna baik dari sisi keindahan bunyi maupun makna yang terkandung.

Kurun waktu 9 tahun merupakan waktu yang lama untuk penulisan sebuah antologi puisi. Sangat dimungkinkan jika nantinya Kitab Para Malaikat ini akan menjadi sebuah kitab suci para penyair pada zaman sekarang. Tapi, untuk menuju ke sana, antologi puisi ini perlu diuji ketahanannya lewat para kritikus sastra lainnya. Uji ketahanan memang belum semarak dilakukan dalam sastra Indonesia, wajar jika minim ditemukan kritikus sastra di Indonesia. Melalui Kitab Para Malaikat ini, sangat diharapkan akan bermunculan kritikus sastra yang berada pada posisi yang semestinya yaitu mengawal lajunya pertumbuhan sastra di Indonesia.

Sisi lain yang terasa janggal dalam antologi puisi ini yaitu adanya kesan memanjang-manjangkan kalimat. Ini juga diungkapkan oleh Heri Lamongan dalam epilognya dalam antologi ini. Menurutnya, ada kesan Nurel memanjang-manjangkan kalimat padahal hal itu justru mengaburkan makna larik. Dan hal itu hampir ditemukan pada hampir keseluruhan lirik dalam antologi puisi ini. Heri Lamongan menyitir salah satu lirik tersebut adalah, Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu bunga wijayakusumah merekah bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII, hal. 126). Jelas ini agak janggal dan mengurangi nilai keindahan bunyi maupun lirik dalam lirik tersebut. Padahal menurut Emha Ainun Nadjib, puisi tertinggi adalah yang kata-katanya sudah tak mampu mewakili inti nilainya.

Namun, terlepas dari semua itu, Kitab Para Malaikat ini sebenarnya telah mampu memuntahkan apa yang hendak diamanatkan Nurel Javissyarqi. tugas pembacalah membedah makna yang tersirat dari apa yang tersurat. Buah 9 tahun melakukan pertapaan, meskipun masih terkesan terburu-buru perlu untuk diapresiasi bahwa antologi puisi ini merupakan masterpiece Nurel sejauh ini. Sebagaimana tersohornya Mantiq at-Thayr buah karya Fariduddin Atthar ataupun Matsnawi fi Ma'nawi buah karya Rumi, Kitab Para Malaikat pun dapat bersaing dengan keduanya. Tinggal bagaimana cara Nurel menyikapi pembaca dan para kritkikus sastra yang memberikan kritik dan saran dalam karyanya.

*) Liza Wahyuninto, Kritikus Sastra dan Direktur Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang.

Melankolia

Javed Paul Syatha

Adalah Wisata Bahari Lamongan; disana ada hotel yang cukup sederhana untuk para pengunjung yang berdatangan atau sekedar ingin melepas lelah di tepi pantai beberapa waktu, meski sederhana, banyak orang bersepakat bahwa hotel itu cukup nyaman untuk dihuni. Ia terletak pada suatu ketinggian antara laut dan pusat pariwisata kota Lamongan: bagian utama terdiri dari tiga lantai dan ada sayap tambahan yang hanya satu lantai. Sebagian dari kamar-kamar menghadap ke arah laut yang memberikan pandangan indah kepada kota yang terletak sebagai cawan di pantai utara itu.

Sauqi berdiri di jendela kamar hotelnya di lantai dua sembari memperhatikan lampu-lampu yang gemerlapan di beberapa wilayah laut. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, sebagaimana selalu terjadi pada bagian perjalanan masa. Ada perubahan warna yang ditimbulkan matahari dan yang memantul ke langit, kemudian awan yang datang berarak memberikan lanskap yang menggetarkan.

Ia berdiri gamang, merenungkan apa yang akan dikerjakan sesudah itu. Ia datang dari Jogjakarta satu hari yang lalu dalam kedudukan sebagai seorang penulis. Ia datang ke Lamongan atas undangan Rodli, seorang novelis yang mempunyai kepentingan dalam bidang yang sama yang sedang dijalani Sauqi, Rodli sedang lounching novel perdananya berjudul Dazadlove yang akan diseminarkan beberapa hari lagi di Pondok Pesantren Karangasem Paciran Lamongan, dengan pembicara muda Imanuel ISA juga Sauqi tentunya.

Tempat itu hanya berjarak satu kilo saja dari posisi dimana Sauqi sekarang menginap. Sauqi memenuhi undangan Rodli karena ia memerlukan perubahan suasana. Ia menghadapi suatu keadaan yang tiba-tiba dan mencemaskan. Ia musti mengambil keputusan yang sulit mengenai orang terdekatnya. “Anarose”. Untuk itu ia perlu meninggalkan Jogjakarta, jedah sejenak di tanah kelahirannya yang sudah hampir tiga tahun ditinggalnya, hampir saja ia melupakan betapa lezatnya semangkok soto atau betapa sedap tahu campur yang hampir tiap sore dulu ia santap sebagai menu wajib hari-harinya.

Ia kembali merenungkan apa sesungguhnya yang telah terjadi, perasaan cinta yang sungguh-sungguh dijaga terhadap Anarose sekarang dirasakan begitu asing. Ah, perasaan inilah yang selalu memenuhi ruang batin dan angannya saat ini.

Ia beranjak dari jendela menuju meja kamar yang jaraknya hanya beberpa langkah saja, sambil menenangkan jiwa yang mulai letih, Sauqi meraih Nokia biru muda bertipe 2100 yang ada di samping kanan letak duduknya di antara tumpukan buku yang beberapa waktu lalu ia terbitkan, keempat-empatnya bersampul biru muda “warna favoritnya”, bertitel; Tanpa Syahwat, Interlude di Remang Malam, Dunia Kecil Panggung & Omong Kosong dan Waktu di Pesisir Utara. Tampak juga beberapa buku berserak disana tak terkecuali Dazedlove. Sauqi memutuskan untuk mengirim pesan singkat lewat SMS kepada sahabat kecilnya dahulu:

“haris, aku di pelataran hatimu
ada kangen menyusup raga”

“selamat datang di kota sua abadi duhai kerinduanku
tapi maaf aku sekarang di “walhi” surabaya bersama
kekasih-kekasihku. ha.. ha.. ha...”

Di bawah jendela kamar tidurnya tepat di lantai dua itu, Sauqi menemukan cerita yang begitu indah, seperti ia telah menemukan dirinya kembali; jendela yang langsung menghadap laut itu seperti bercerita tentang suatu perjalanan panjang. “miniatur itu seperti aku pernah melihatnya! Yap 12 tahun silam aku dan keluarga saat Ziarah Wali Songo. Tidak salah lagi” seperti sejenak Sauqi telah melupakan kisah cinta yang menindihnya. Ia merasa seolah-olah dimasa lampau anjungan itu pernah digenangi mutiara hikmah. Ya, bersama keluarganya sesaat di wisata budaya religius itu hampir disetiap waktu selalu dipenuhi para peziarah yang datang dari segala penjuru.

Tiba-tiba ia tersadar dari lamunan panjangnya, seseorang telah mengetuk pintu kamarnya dengan lembut. Sementara Sauqi melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 19.30. Wib. Belum begitu malam pikirnya untuk menerima tamu.

Ia bangkit perlahan beranjak menuju pintu. Walaupun ia menyukai Lamongan dan penduduknya, dari pembawaannya yang kalem bahkan melankolis Sauqi adalah tergolong orang yang hati-hati dan tak ingin membukakan pintu bagi orang yang sama sekali tak dikenalnya. Hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menjaga keselamatan dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu setiap tamunya yang datang berkunjung pasti akan melalui petugas hotel dan petugas itu akan menelponnya dulu ke kamar hotel apa tamu itu diperbolehkan datang langsung ke kamarnya atau tidak.

Ketukan terdengar kembali, dengan perlahan ia membukakan pintu. Seorang pelayan hotel sudah berdiri di depannya dengan penuh hormat.

“Assalamu’alaikum” ia mengucap salam dengan sopan.
“Waalaikumsalam, ada apa Mas?”
“Maaf ada seorang wanita di lantai bawah, ingin bertemu dengan anda”
“Dia mengatakan namanya?” tanyanya penasaran.

“Tidak” pelayan hotel itu nampak agak bingung sambil matanya bermain sedikit banal “Ia datang kepada saya dan Dia akan membayar saya kalau datang ke atas dan meminta anda turun untuk menemuinya di mini resto. Mas datang ya!?”.

Sauqi memandangi pelayan itu dengan rasa ragu. Apakah bijaksana menemui seseorang yang telah membayar pelayan tanpa melalui petugas resepsionis juga tanpa menyebut namanya. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan di balik itu semua?.

“Jika Mas tidak datang, orang itu akan marah sekali kepada saya, dan saya akan sangat malu. Mohon Mas!” pelayan itu menghibah.

Sauqi tahu bahwa pelayan itu menginginkan uang yang ditawarkan orang yang mengaku tamunya itu. Dan bagaimana ia bisa sampai hati menolak permintaan pelayan itu? Toh ia tidak akan kehilangan apa-apa. Tak ada seorangpun yang akan berani mengganggunya di tengah kerumunan orang yang begitu banyak di mini resto, dimana hampir setiap malam sebuah pertunjukan teater sederhana mengadakan pertunjukan disana. Apalagi hanya seorang wanita.

“Saya akan memenuhi panggilan itu” katanya sambil sedikit senyum yang dipaksakan. Wajah pelayan itu cerah seperti baru saja terlepas dari perangkap harimau.

Sauqi mengikuti pelayan kecil itu menuju tangga. Seperti biasa dibeberapa sudut hotel itu penerangannya tampak remang-remang, namun demikian wajah pengunjung yang menduduki kursi-kursi di sekeliling panggung dimana sekelompok anak teater tengah mementaskan cerita-cerita lucu dan nyanyian-nyanyian romantis yang sedikit dengan sentuhan erotik, wajah mereka dapat dikenali dengan mudah.

Seperti sudah terpetakan, dengan lincah pelayan kecil itu megantar Sauqi berjalan di tengah-tengah para pengunjung menuju suatu sudut paling jauh dari pintu. Ia berhenti pada suatu meja dan memastikan apakah tamu pesanan wanita itu masih mengikutinya di belakang. Seketika Sauqi terkejut sekali, ia seperti menahan nafas yang berat ketika melihat seorang wanita yang duduk di kursi itu. Ia hampir saja berbalik arah dan kembali ke kamarnya. Jantungnya berdegup kencang.

“Barangkali dia bukan Anarose, bisa saja orang lain yang mirip dengannya” Sauqi mencoba menenangkan diri. Pada saat itu pelayan yang membawanya sedang berbicara dengan nada yang sedikit dipelankan kepada wanita yang duduk sendirian di hadapannya sambil jarinya menunjuk ke arah Sauqi yang sedang galau berdiri di sampingnya dan hanya beberapa jarak saja. Pelayan hotel itu lantas pergi setelah mendapat upah dari wanita yang telah menyuruhnya dan mempersilahkan Sauqi untuk duduk di kursi yang terbungkus kain putih yang telah tersedia di hadapannya.

“Bagaimana kabarmu Mas?” sapa wanita itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Sauqi.
“Alhamdulillah aku sehat”
“Aku mencarimu Mas”
“Aku hanya butuh waktu sejenak untuk menenangkan pikiran”
“Tapi kenapa Mas tidak memberiku kabar?”
“Aku hanya tidak ingin mengganggu ketenanganmu An”

Mereka terdiam sejenak menyelami pikiran masing-masing. Dalam pertemuan ini sebenarnya Sauqi-lah yang benar-benar merasa tersakiti.

Beberapa waktu lalu Anarose; wanita yang telah dinikahinya tiga minggu silam itu telah berterus terang bahwa dia tidak sanggup melupakan kekasih lamanya. Terlebih setelah pernikahan yang dijodohkan kedua orang tua mereka itu tidak didasari dengan rasa cinta yang kuat, hanya perasaan saling mengerti akan kehendak orang tua saja. Sejak saat itulah Sauqi benar-benar kecewa dan ingin meninggalkan Anarose.

“Aku minta maaf” Anarose mencoba meraih tangan kiri Sauqi dengan lembut namun dia menolaknya, dan Anarose sangat mengerti tentang sikap itu.

Keadaan semakin beku, Sauqi mengambil sebatang Country dari saku jaket kulitnya yang kumal kemudian menyulutnya berlahan, hal demikian memang sering dilakukan oleh Sauqi apabila mengalami kebuntuan atau suntuk dalam menghadapi suatu masalah.

Terlintas kemudian di benak Sauqi untuk memanggil seorang pelayan; sekedar memesan secangkir kopi pahit untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai disergap dingin, juga teh hangat untuk Anarose. Atau hanya semacam ekspresi ganjil untuk menenangkan pikiran yang mulai kalut.
***

Di atas panggung sebuah lagu Ketika Semua Harus Berakhir terdengar lirih, lagu yang di populerkan kelompok Band Naff itu terasa menusuk dalam dada.

“Ok. Ini persembahan terakhir kami malam ini, sebuah pembacaan puisi oleh Sastrawan asli Lamongan; kita sambut Nurel Javissyarqi”. Penonton sangat antusias sekali menyambut pembacaan puisi itu. Lampu dimatikan sejenak, kemudian meremang dan tiba-tiba Sastrawan itu sudah berada di tengah-tengah pentas, suasana hening sejenak dan puisi pun dibacakan dengan suara dan ekspresi yang menyihir semuatamu yang hadir. Tak terkecuali Sauqi dan Anarose yang saat itu sedang dalam kecamuk batin.

jangan kaubilang
aku tak mencegatmu
di gerbang halaman
saat kau tanpa pamit
ingin berjalan-jalan, menengok
gebyar di luaran
tahulah,
tak ada ruang lagi di dada
bahkan bagi diriku sendiri

—tuk mengungkapkan hak—

lidah telah dipatahkan cinta
dan apalah tuah kata
jika hanya jadi pagar
yang kau ingin lompat
kau terjang
maka, bersukalah

—cukup bagiku, kau—

dengan sebuah rumah di dada
pelindung panashujan
gebyar di luaran.1

“Puisi yang kedua; ini puisi yang terakhir berjudul Lamongan” ujar Sastrawan itu kepada puluhan tamu yang ada di hadapannya.

lewat celah cakrawala
aku telah membuka
matahari
terlelap diantara rumahrumah sunyi
dengan burung gagak di atasnya.

ohoi,
namai kesaksian ini atas waktu
hampir mati
genggam menuju entah;

pada seluruh ruang sublim bagi jiwa
bagi kemungkinan terburuk sekalipun.
ada yang mengintai di halaman rencana
mengurai isyaratisyarat kelicikan
namun esok, kita musti merebut sekali lagi
kenyataan lamongan ini
yang lunglai menangisi tahuntahun
kecemasan.

“Maaf saya tidak membacakan puisi cinta malam ini, tapi yakinlah bahwa cinta akan selalu ada di hati kita karena cintalah yang memilih kita dan menjadikan kita ada. Terima kasih”.

Sebuah penutup yang indah dari Sastrawan tersebut dan pertunjukan pun diakhiri dengan tepuk tangan yang riuh dari semua penonton yang hadir. Mungkin akhir yang estetis untuk kemudian dibawah dalam ruang istirah yang panjang menjelang tidur. Tapi tidak bagi sepasang suami istri yang dihadapannya sedang membentang jurang yang curam. Digenap 40 hari usia pernikahannya nanti mereka telah bersepakan untuk mengakhiri ikatan pernikahannya di meja Pengadilan Negeri Lamonagn; sehari sebelum bedah buku Dazedlove digelar.

***

Malam beranjak kelam, angin laut seakan berdesir mendesak raga. Sauqi mencium kening Anarose dengan mata tertutup; ciuman yang sama seperti saat setelah akad nikah dikobulkan tapi kali ini ciuman itu untuk yang terakhirkalinya. Lantas mereka menangis dalam ketidakberdayaan dalam diam yang luka.**

Lamongan, 2008
1Sajak AS. Sumbawi berjudul “Jangan Kau Bilang” dalam Antologi Absurditas Rindu, SastraNesia 2006.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito