Kamis, 26 Juni 2008

RUNTUHNYA KERAJAAN DAHA ATAS CIKAL BAKAL DINASTI MAJAPAHIT

Nurel Javissyarqi*

(menujum sedari tahun 1144 Saka, atas sepenggal Serat Pararaton Ken Arok, yang diguratkan Dokter J. Brandes, Mangkudimedja)

Saya dengar di Daha sebentar lagi diselenggarakan pesta?. Seorang jangga muda bertanya pada resi. Ya, sang Prabu Dandanggendis akan menggelar hajatan. Beliau mengundang seluruh pandeta, resi dan pujangga dari pelosok negri jajahannya. Daha (Ndoho, kini sebuah wilayah kecil saja di kabupaten Kediri).

Di atas lembaran lontar tertuliskan, sang Prabu mengharap kehadirian mereka pada upacara tersebut. Wakil-wakil kalangan bawah pun didatangkan. Dalam benak para resi, pandita dan jangga membawa misteri berbeda-beda. Ada apa gerangan sang Prabu tiba-tiba menyebarkan undangan bertintakan emas (?).

Ada menyangka ini jelas perintah maha penting dan dirahasiakan. Pun pula ada mengira sang Prabu sedang sakit. Kepura-puraan mengundang agar tak diketahui halayak masyarakat, dan diharap para pandita sudi menyalurkan dayadinaya demi kepulihannya. Juga ada beranggapan, jangan-jangan sang Raja sedang bercanda saja kali ini, tapi tak.

Undangan telah disebar, tanggal waktu sudah ditetapkan. Tak pelak takdir tergariskan. Seakan ketentuan tuhan bisa dikompromi, diajak merembuk yang kan terjadi. Seluruh lapisan kalbu terpancang. Seorang pemimpin menggenggam sukma rakyatnya, dan setiap jengkal krentek menentukan nasib bangsa.

Para pandeta, resi, pujangga datang menghadap Raja. Ada membawa pengawal bertubuh tegap nan kekar, pula bersama para abdi kepercayaan. Dan tak ketinggalan juru tulis dihadirkan demi kekalkan berita yang kan terjadi. Ada juga kedatangannya menyamar sebagai pengemis atau petani. Sehingga banyak rakyat jelata tiada tahu, yang tengah berjalan menuju ibukota Daha ialah pandita.

Para undangan sudah berkumpul di bawah kaki kuasa Raja. Dengan sigap Prabu Dandanggendis memberi sambutan singkat nan padat. Intinya merasa jaya nan dikjaya. Segala kelebihan ilmunya dipamerkan kepada hadirin. Mereka melongo menyaksikan linuwihnya. Lantas beliau berkata: aku telah memerintah kerajaan ini cukup lama tak tergoyahkan. Adakah di antaramu tak tunduk menyembah kepadaku. Rajamu yang baik serta bijak mulia ini. Wahai para pandita, resi, pujangga dan para hadirin kepercayaanku. Dalam ajaran kita, apakah sebab kalian tak mau menyembah kepadaku. Padahal aku tiada bedanya dengan Bathara Guru. Anggapan berlebih kepada diri sendiri, sering kali mencipta bumerang.

Para hadirin semuanya gusar, mau menentang takut kuku-kuku kuasa Raja. Jika menyetujui berarti membohongi bathin sendiri. Lantas salah seorang pandita berkata: “duh baginda Raja, selamanya belum pernah ada pandita menyembah raja.” “dulu memang belum pernah ada, sekarang kalian harus menyembah kepadaku.” tegar ucapan sang Raja.

Para hadirin terdiam. Sang Prabu mencium gelagat hal itu sambil menantang bersuara lantang: kalau kalian ragu yang saya maksud, cobalah semua maju melawan diriku? Seakan serentak, ruang pendapa itu makin lama kian hening tak bergeming, seolah tiada makluk hidup. Seekor semut pun tak berani beranjak dari tempatnya, nyamuk-nyamuk jua tiada yang beterbangan, apalagi menggigit, tak. Prabu Dandanggendis merupakan raja disegani kala itu, bala tentaranya gagah pemberani, para prajuritnya patuh menjunjung tinggi titah Raja.

Entah bagaimana, Dandanggendis disebut dalam literatur sekarang Dandanggula. Ini kecerobohan para sejarawan, merubah nama seenak udelnya. Meski kata gendis (:jawa) bermakna gula. Ini kerugian fatal seperti kebangkrutan nama Gunung Krakatao berubah menjelma Krakatoa, saat pihak asing menfilemkannya. Lebih ambruknya dianggap lumrah sebagai keseleonya bahasa. Jika terkilirnya mempengaruhi ruh daripada makna bagaimana? Saya fikir ini perlu diperjelas, tidak dianggap sepeleh. Jika citraan budaya kita tak ingin hilang ditelan bumi pertiwi, oleh kurangnya perhatian kita mengenai penampilan yang hambar.

Kisah Dandanggendis ini menyerupai Firaun dan lebih, sebab dirinya secara sadar menganggap tuhan tanpa kemabukan kuasa berlebihan. Ingin mendapati kepala-kepala orang bersujud di hadapannya. Ingatan saya digiring oleh film berlabel 300 (pasukan Sparta) yang memperhanguskan tentara Persia, Raja Xerxes, berlagak tuhan atau nasib manusia berada dalam genggaman jemarinya. Kesombongan pastilah terjungkal dengan keangkuhan lain, dan berhenti jikalau tuntas laknat bathin tak menghamba.

Suara pendapa kedaton Daha hening suwong. Sang Raja bolak-balik mengelilingi para hadirin yang dipercayakan dapat mendaulat dirinya menjelma Bathara Guru. Langkah-langkah berwibawanya menyiutkan nyali pendengaran. Penulis jadi teringat dehemnya seorang spekulan di negeri adidaya Amerika, yang sanggup meruntuhkan nilai-nilai saham. Dan dehem sang Prabu Dandanggendis tak kalah kuat merontokkan mental-mental tiada pernah diasah kata berontak.

Tiada bisik-bisik kesepakatan di antara pandita, resi dan jangga. Serentak sukma mereka disentakkan kuasa dinaya tenaga sang Prabu dengan sangat kuat. Jebollah meski sebagian besar hanya fisiknya mengangguk takluk, bertekuk nyali. Setelah ruangan berhasil dikuasa sang Prabu. Ia tersenyum lebar, tawanya menggema, meruntuhkan kembali mental-mental tak pernah diasah keberanian. Sangat puas hati Raja, lantas meminta para hadirin benar-benar bersujud dihadapan kakinya. Lantai marmer pendapa bergetaran, atas jiwa Raja tak tertandingi sebab niatannya manunggal tak tergoyahkan.

Setelah dirasa cukup, para hadirin diperkenankan pulang ke negri masing-masing. Mengabarkan sang Raja sudah menjelma tuhan alam semesta. Namun tak demikian bathin semua undangan, sepulang dari gardu istana. Langkah demi langkah hati mereka berhianat, jujur kepada kalbunya bahwa seorang pandita, resi dan jangga taklah bersujud kepada seorang Raja.

Sejak lama para pandita, resi dan pujangga Daha telah mendengar kabar. Bahwa di daerah Tumapel yang berubah nama Singosari (daerah sebelum memasuki kota Malang, sekarang menjadi kota kecil saja). Ada seorang raja yang berwibawa dan disegani, bergelar Sri Rajasa. Alam pertanian palawija serta rerumputan padi, juga perdagangan di wilayah tersebut makmur, seolah Dewata memberi restu sentausa bagi tahtanya selamanya.

Tak jauh dari perbatasan kota Daha, para undangan sang Prabu mengurungkan langkah ke negri masing-masing. Bathin mereka menyerahkan kepercayaan kepada penguasa Singorasi, sebagai pulung selanjutnya. Sebagian besar mereka menuju Singosari guna menghadap Rajasa. Yang awal kelahirannya bernama Ken Angrok (Ken Arok). Setelah para pandita, resi dan pujangga kerajaan Daha bersepakat ke Singorasi, berangkatlah mereka.

Sambil menunggu kedatangan mereka. Saya ceritakan bagaimana kejiwaan Angrok. Ken Angrok sebelum menjadi raja ialah sosok begundal. Perampok tersohor, penjudi ulung, penyabung ayam kawakan, juga pemetik bunga pinggir jalan. Suatu kali ia memiliki seekor ayam jantan, si jago itu amat kesohor, banyak ayam jago lawan-lawannya lari pecirit tunggang langgang, disamping banyak pula berpulang cacat oleh ulahnya. Ayam pemberani Angrok itu sempat melegenda, sebab mati di tengah gelanggang. Ia bertarung dengan keseluruhan jiwa-raga untuk sang tuannya, sampai darah penghabisan. Tak seperti ayam-ayam jago lain yang lari ketakutan, keok sebelum temukan ujung sekarat.

Hidupnya Angrok waktu itu tak ubahnya para brandal, boros dan ugal-ugalan. Ludes uang hasil judi menjadikan ia sosok perampas, merampok para sodagar yang melewati hutan, tempat ia menanti antrian nasib naas yang ditunggunya. Di tempat itu, ia memiliki cerita menarik. Pernah ada seorang tua melewati hutan itu dan menyapa kepada Angrok: Nak, katanya melewati hutan ini membahayakan. Bisakah anaknda membatu saya dalam perjalanan pulang? Angrok tersenyum, diantarnya orang itu sampai kediamannya. Jalan hidup manusia memang sulit ditebak, selalu berkelok memasuki ruang-ruang jiwa. Tak seorang pun memahami pribadi yang lain secara peka nan juntrung.

Insan yang berilmu pengalaman, ketika dinaikkan drajatnya menjadi penguasa. Jawabannya ialah makin serakah, atau loman kepada rakyatnya. Dan Angrok memilih jalan kedua. Seakan telah kenyang perbuatan angkara murka, sudah puas mengumbar hawa nafsunya. Atau telah insaf, sebab ulahnya dikala merebut kekuasaan secara paksa. Atas hasratnya merampas cerlang cahaya nareswari dari selangkangan Ken Dedes. Sewaktu Tunggul Ametung terkena sirep (ilmu sihir menidurkan musuh), dan tertikam keris Gandring atas Angrok. Ia kubur dalam-dalam watak beringas. Di hadapkan wajah santun kasih sayangnya kepada rakyat, serupa mukanya memandang kekasih-kasihnya, Ken Dedes dan Ken Umang.

Saat para jangga, resi dan pandita sampai ke kota Singosari. Sungkemlah rombongan tersebut memberi dukungan dengan alasan kemakmuran negara. Juga menangkal suara-suara hitam kekuasaan pusat yang ada di Daha. Lama-lama kabar itu tercium sang Prabu. Dengan lantang Prabu Dandanggendis berkoar: Tiada yang bisa melawan aku, kecuali Batara Guru turun sendiri dari suralaya (kahyangan).

Gema suara keangkuhan itu ditangkap telik sandi Singosari, dan dihaturkan kepada Sri Rajasa Sang Amurwabumi. Dengan bernaluri keyakinan, Ken Angrok meminta restu kepada para pandita, resi dan jangga yang setia mendukungnya. Untuk mengangkatnya bergelar Sang Hyang Caturbuja atawa Batara Guru. Sebagai usaha memantabkan mental lewat mitos, bahwa manusia sanggup menjelma apa saja. Demi meloloskan takdirkan melewati usaha sungguh membathin, dengan sekuat dinayanya.

Alam telah siap menunggu goncangan, bulan matahari memberi kesaksian yang kan dilewatinya penuh awan-gemawan mensejarah. Burung-burung berkabar ke negeri-negeri jauh. Gerak bathin anak manusia, dan alam tertunduk menerima takdirnya.

Dandanggendis mulai gemetar ketika mendengar para resi, pandita juga pujangganya telah merestui sang Rajasa dengan gelar Batara Guru. Hanya umpat pedas nan tajam yang keluar dari mulut sang Prabu. Hal itu tak disia-siakan Angrok. Ketika keangkuhan mental peperangan terpancing, magnit saling tarik kekuatan, atau terlempar jauh dari lawannya. Niat ibarat magnit, sanggup menarik jarum di dekatnya. Dan bisa menggetarkan lempeng besi walau mata tak melihatnya.

Angrok bersama suara alam langit menggemuruh kekuatan bumi merapatkan barisan. Para tentaranya yang digembleng langsung olehnya, sudah terlatih menghimpun pertahanan juga menyerang. Seperti disusupi arwah leluhur, para tentara itu menerjang berhamburan ke kota Daha. Ada menyusuri pinggiran sungai, menanjaki bukit dan tebing, menyusup laksana angin pada rerumputan.

Pasukan Singosari dicegat bala tentara Daha di sebelah utara Ganter. Bertarung kikis prajurit kedua belah pihak habis-habisan, saling mengeluarkan kadikjayaan. Mungkin kehendak sejarah tuhan, panglima perang Daha tewas. Berhamburan anak-anak buahnya bagai bebatuan kali diterjang banjir bandang. Sebagian besar gelimpangan bak pohon pisang yang tanahnya digerus lupan air bengawan. Terhanyut mengikuti arus kekalahan sampai samudra penaklukan.

Dandanggendis mengetahui pihaknya kalah total, ia berlari alang kepalang. Musnalah kerajaan Daha oleh amukan deras serangan bertubi. Angrok sendiri mengejar sang Prabu sampai kahyangan. Bertekuk hasrat tak turun ke bumi kembali, melihat bala pasukannya kocar-kacir. Dan turunlah Sri Rajasa menderapkan turangganya ke kota Singosari. Alam sadar mendapati kekecewaan, lantas menggapai harapan besar kepada Rajasa. Laksana membalikkan peta yang membosankan, dari penyesalan menyusul kepada keinginan-keinginan mulia.

*)Pengelana yang pernah mengunjungi peninggalan leluhur, serta bertemu arkeolog di daerah Singosari, Malang dan Ndoho (Daha) Kediri.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito