Persoalan terjemahan buah karya puisi berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia
Nurel Javissyarqi *
Bismillahir Rahmanir Rahim… Sebelum merantak (merambat, menjalarnya sejenis api membakar daun-daun kering) nun jauh. Perkenalkan saya sekadar pengelana yang tak tahu menahu bahasa teks lain ‘kecuali’ bahasa Indonesia, yang ini pun masih terus mengalami perkembangannya, jadi apapun karya-karya terjemahan yang saya kunyah, makan (baca), otomatis tak paham secara persis kebenarannya, hanya meraba (ngincipi, kadang terlanjur lahap) sekaligus berjarak di sisi bercuriga, maka dapat dipastikan (kerap mengalami keracunan), tapi tak sampai maut menjelang.
Lantaran saya lebih menempuh (mementingkan) sarapan, gorengan tempe (eling), ditambah wedang kopi (waspodo), disertai menghisap rokok kretek (Luwih begja kang eling lan waspodo, R.Ng. Ronggowarsito), kemudian berjalan melewati gapura (membuka lelembaran buku) di bawah pepohonan sawo besar (hasil-hasil terjemahan), lalu memasuki kamar dan mengunci pintu jendela rapat-rapat (membaca dengan tenang, -teringat di Tegalsari). Jalan-jalan ini menyadarkan saya juga, agar semakin mawas tidak salah minum dan makan di siang harinya, yang bisa berimbas perut mual-mual kebanyakan tertawa atau pusing tujuh keliling alun-alun Jogjakarta.
Kemunculan nama Usman, dapat dikata saya sedikit bertanggung jawab (jikalau sok merasa) juga tidak, sebab diri ini sudah pernah membo-membo (berpura-pura) jadi iblis di hadapannya; sewaktu ia menghimpun para gus dan ning dalam sebuah antologi puisi yang berjudul “Jadzab, Sekumpulan sajak pesantren” yang saya bedah lewat makalah bertitel “Membo-membo Jadi Iblis di Kediri” http://sastra-indonesia.com/.../membo-membo-jadi-iblis.../ yang merupakan bentuk mengeman (menyayangkan) jikalau kehadiran mereka pada masa-masa berikutnya masih kurang bisa ngeker (menahan kesabaran sekuat bertabah), sedangkan bibit-bobotnya betapa indah. Pilihan ‘menjelma’ iblis merupakan wujud teguran keras bagi yang mawas, bukan semata abang-abang lambe atau pemanis buatan. Namun kehidupan memanglah pelajaran, olehnya saya senantiasa berlaku ‘belajar sambil menghajar’ kepada diri pribadi, serta yang bersikap sewenang-wenang di atas kekuasaannya dari ilmu pengetahuan, dsb.
Ketika membaca esainya Dea Anugrah (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan” 11 Juni 2017), lalu kupasannya Fazabinal Alim (“Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” 28 September 2017). Seyogyanya Usman Arrumy… ;Penerjemah Puisi-puisi Nizar Qobbani, dengan judul buku “Surat dari Bawah Air” 400 Halaman, Oktober 2016, Penerbit Perpustakaan Mutamakkin Press (penerbit yang membawakan nama besar KH. Ahmad Mutamakkin, Al-Fatihah…), Endosemennya: KH. Husein Muhammad, Candra Malik, Acep Zamzam Noor, …berterima kasih matur nuwon kepada Alim, dikarena perihal itu sebatu pelajaran pula, meski dirinya sudah tenar tidak ketulungan. Dengan bermodalkan sebagai anak kiai (gus) serta keuangan cukup demi menimba keilmuan di Kairo, dan karya-karyanya terus mengalir sejiwa muda, tentulah gampang bergaul dengan para seniornya, Sujiwo Tejo, Sapardi Djoko Darmono &ll. Ke-mentereng-an tersebut dapatlah ditebak, sebab mempan (bisa dengan mudah) dibombong, dilulu (dieluh-eluhkan, dibesar-besarkan) oleh mereka yang membutuhkan para pengikut dari generasi lebih muda, namun fatalnya menjelma bencana, karena tiadanya kemampuan ngeker (ngerem), merenung, belajar ulang berulang-ulang demi menyadari posisi dirinya sekaligus mencurigai siapa pun meski kepada malaikat, umpamanya.
Saya yakin, jika Usman mengikuti saran petuah para seniornya, tentu tanggapannya (kupasannya) Alim akan dibiarkan mengapung seibarat bayi terlunta-lunta dalam peti, mengikuti aliran air sungai atau melawan arus yang takdirnya kemudian diketemukan orang lain lalu dirawatnya dalam istana, lantas masa-masa berikutnya menantang siapa saja yang menghalangi dirinya dalam pencarian kebenaran; siapakan kediriannya? Kalau itu yang terjadi (Usman diam seribu bahasa), tidak menariknya cepat-cepat menyelamatkan anak-anak karyanya, ada kemungkinan lain dimakan buaya atau sekarat sia-sia, sebab terus menunggu datangnya keajaiban, padahal segenap itu tepatnya karomah, tetaplah menjalani prosesi alami setindak ke-istikomah-an, dan Usman sudah hafal diluar kepala juga mengetahui tradisi para alim ulama tempo dulu yang berbantah-bantahan demi memperdalam pandangannya melalui sungai-sungai mengarus deras yang senantiasa ditatapnya menerus, dirasai seraga-batiniahnya.
Kayakinan kuat di atas tersebab saya sendiri tengah menghadapi kasus hampir sama, sebagaimana kesalahan-kesalahan fatal dibiarkan, oleh yang merasa sudah senior; mereka pada tutup mata-telinganya atau dianggap angin lalu saja kritikan tajam maupun pedas, lantaran bayu pastilah berlalu… tapi angin juga berkemampuan memusar mengangkut apa saja sekaligus dihempaskannya ke tanah atau mendorong kuat-kuat hingga sanggup mencerabut akar-akar pohon raksasa. Kasus yang saya hadapi adalah kekurangajaran pada pelucutan makna “Kun Fayakun” yang dirombaknya membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Pidato Anugerah Sastra DKR 2000 SCB, Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, 14 Maret 2006). Maka dengan berbungkam saja cukuplah menjadi kalangan senior, dan kritikan Fazabinal Alim semakin mengekalkan Usman menduduki barisan yang patut disegani, tanpa membaca kesalahan fatal pun mutilasi besar-besaran pada puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani, atau dapat pula diartikan rangkaian kalimat Dea bekerja meruang-waktu memitoskan Usman dan berhasil di atas kebungkaman penerjemah tersebut oleh karena terlena menikmati alam mitologi kesusastraan di Indonesia.
Dan bisa saja Dea Anugrah telah lama mengetahui beberapa kehilafan, keteledoran serta kenekatan Usman, tapi dikesampingkan semuanya demi naiknya generasi muda, kemudian rupa-rupanya perangai terjemahan tersebut diamini begitu rupa menjadi pembelajaran bersama, atau Dea sengaja mengangkat Usman setinggi-tingginya sambil menanti hukum bandul (yang diperkarakan Alim kemungkinan tidak akan muncul, jikalau Dea tidak menuliskan esai mengenai hasil-hasil terjemahannya Usman). Dan jika menengok judul esainya Dea atas kata “Terjemahannya” dan bukan dengan kata “Penerjemahnya” (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan”), yang berarti bukan menunjuk kepada penerjemahnya, namun lebih terhadap hasil kerja Usman, walaupun di dalam catatan Dea seolah menjempolinya. Jika dikutip lengkap “Terjemahannya yang Meragukan” masih menuju pada hasil terjemahan Usman. Makna lain judul tersebut, “terjemahannya yang meragukan Dea” atau Dea lebih mempercayai Usman dibandingkan hasil kerja terjemahannya, ataukah Dea salah ketik menuliskan judul? Hanyalah Dea yang tahu permainannya di sana. Tapi yang patut disayangkan, Usman tidak beranjak dari kursi empuknya, hanya mempercayakan kepada pembaca karya-karyanya, ini pula sejenis meremehkan pengkritiknya, oleh sebab sudah terlanjur ngetop seperti selebritis senyum-senyum kecil di ruangan kesadarannya paling pribadi sambil mengusap-usap beberapa kealpaannya sebagai perihal lumrah, atau mengira para pembacanya manggut manut di atas usahanya bersusah payah menerjemahkan senada seleranya, yang telah dianggapnya sangat cukup mewakili sedari segenap ikhtiarnya selama penggarapan buku tersebut.
***
Ketika menuliskan ini, Alim mengirimkan tautan yang bersangkut dengan yang tengah terkerjakan jemari kini, dan Fazabinal Alim menuliskan komentar di samping memberikan link catatan facebook Admin Dalfis Latee (“Membandingkan Terjemahan Puisi Nizar Qabbani Versi Fazabinal Alim dan Usman Arrumy” 1 Oktober 2017), berikut pengantarnya; “Terimakasih atas kritik dan apresiasi, teman-teman semua. Terutama Musyfiqur Rahman, Admin Dalfis Latee (tempat saya belajar bahasa Arab sewaktu di Pondok Pesantren Annuqayah). Tulisan ini bagus. Namun membandingkan terjemahan saya yang hanya diambil dari status Facebook yang saya tulis pada tahun 2014 lalu dengan karya terjemahan Usman Arrumy yang sudah menjadi satu buku utuh, sangatlah tidak adil. Sebab proses penerbitan sebuah buku di penerbit manapun telah melalui pembacaan dan koreksi ulang oleh seorang editor dan proofreader. Semoga tulisan semacam ini semata dalam rangka proses pembelajaran dan kritik yang membangun. Karena sejatinya tak ada istilah berhenti dalam belajar. Bukan membandingkan untuk menjatuhkan satu sama lain. Semoga catatan-catatan kritis dan kritik-kritik semacam ini sama seperti yang dilakukan Aristoteles kepada gurunya Plato, “Amicus Plato Sed Magis Amica Veritas”.”
Tulisan saya ini dapat dibilang terlambat, kalau menengok bukunya Usman telah terbit bulan September 2016 (menurut catatan Admin Dalfis), dan saya baru tahu tulisannya Alim yang terbit di basabasi.co, lewat tautan sedari facebooknya Kanjeng Tok (Awalludin GD Mualif), pada tanggal 29 September 2017 pun tidak langsung membacanya beserta tulisan Dea yang terkait di tirto.id, oleh rasanya tidak punya kepentingan pada penyair yang diterjemahkan Usman, pun saya tengah suntuk membaca ulang tulisan sendiri yang kehendaknya terbit tahun ini, tapi ketika Usman saya jawil melalui tag di fb tidak berkomentar hanya menjempolinya, maka jadi penasaran pada esainya Alim serta Dea. Lantas inilah jadinya saat jari-jemari menari mengudara. Tepat kata Alim, bahwa perbandingan puisi yang di buku dengan catatan di fb merupakan tindakan kurang adil, apalagi catatan tersebut telah lama mendekam dari tahun 2014 pun belum terbukukan, jadi kurang layak disoroti, dan pembandingnya pun tidak menyebutkan nama pena secara langsung, hanya menterakan ‘Admin Darul Lughah Al-Arabiyah Wal Fiqh As-Salafi (Dalfis)’ yang jika mengamati komentarnya Alim, ianya Musyfiqur Rahman. Dan perlu pembaca ketahui, tulisan-tulisan saya yang gentayangan di website, blog, masih kerap saya benahi tanpa sepengetahuan pembaca ketika sebagai adminya. Untuk seimbangnya, kritisilah yang sudah tercetak; buku, koran, majalah, jurnal &ll. Penggal saja habis-habisan tidak masalah, meski pada jenjang selanjutnya banyak buku-buku ketika cetak ulang mengalami perombakan dan itu syah tidak masalah, apalagi buah karya puisi banyaklah versi meski dari tangan pertama sang penyairnya.
***
Sebenarnya persoalan ini tak akan sampai merantak kemari, jikalau penerjemahnya selain berendah hati juga mengedepankan kejujuran serta sikap keterbukaan, toh itu semua menambah keindahan di dalam alunan lagu belajar, meninggalkan sungkan maupun gengsi, sebab ajaran Islam sudah memberikan topangan terbaik pada prosesi menyusuri jalan hayati, semisal ‘Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat’ serta makolah-makolah lain, sedari hadits-hadits, ujaran para sahabat, petuah para ulama dsb, tentunya Usman telah hatam mempelajarinya. Berendah hati sudahlah bersikap jujur telah, seperti memberikan catatan karya sedari sumber aslinya, tapi penghapusan beberapa larik dari puisi aslinya juga seharusnya dikabarkan, semisal berkata-kata; “Ada beberapa larik puisi yang ‘seolah’ sengaja saya hapus sebab merasa kalau satu kata yang menempel di larik selanjutnya yang saya terjemahkan itu telah mewakili keberadaannya sebagai puisi tersebut.” Sehingga ketika terjadi kekeliruan dikarena tindak kehilafan fatal yang mendasar dari terjemahan tidaklah mengapa menerimanya, jika sebelumnya pada pengantar buku memberikan keterangan seperti; “Ada lelangkah kesengajaan merombak puisi aslinya ke dalam terjemahan berbahasa Indonesia, sebab merasa lebih sesuai bagi para pembaca di Tanah Air, atau mengikuti proses naik-turunnya saya di dalam belajar.” Jika itu yang ditempuh, kemungkinan kritikan Alim tak kan muncul dari yang paling mendasar hingga yang agak wajar (jika tidak dibilang kurang ajar), atas perubahan puisi-puisi terjemahan buah karya Nizar Qabbani, apalagi yang mengerjakannya juga penyair.
Saya menjadi teringat petuah agung H.O.S Cokroaminoto “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Barangkali sudahlah tinggi ilmunya serta mapan tauhidnya, namun rasa-rasanya belumlah pandai bersiasat demi menanggulangi bencana kebocoran, ambrolnya bendungan, jebolnya arus bengawan. Siasat itu sangatlah penting untuk menghimpun dinaya ruapan energi dikala melawan balik dengan bentuk bersiasat pula, istilah saya ‘main licik-licikan’ dan itu syah, dibanding bertingkah pola menutupi tetapi terbongkar nantinya. Terus terang matahari musim kemarau panas penerawang, saya banyak belajar bersiasat atau sinahu main licik (bahasa halusnya cerdik) dari para pengkritik yang terutama berasal dari pribadi purna sastrawan pun budayawan. Di sanalah lahirnya istilah ‘belajar sambil menghajar’ yang itu muncul saat prosesi belajar terus-menerus, atau sedari tangan lembut gemulainya sampai di jemari sekarang.
***
Sebagai penyuka buku-buku hasil terjemahan, apakah dari bahasa asal; China lama; modern, bahasa Belgia, Belanda, Jerman, Prancis, Swedia, Arab, Inggris &ll, enak tidak enak tetap saya baca, kadang memaksakan berjenak lama-lama meski kuranglah nyaman dirasa, pun saya kerap membandingkan hasil-hasil terjemahan penerbit A, B dan C atas satu judul buku. Ada juga penerbit yang saya golongkan terjemahannya buruk, tapi tetap membacanya, dan ternyata menemukan di antara terbitannya ada yang lumayan. Oleh karena seringnya membaca buku dari terjemahan, seolah (sudah terbiasa) merasai (menilai) hasil terjemahan ini baik atau tidak, bertele-tele mengikuti hasrat penerjemahnya atau saklek sesuai teks aslinya, agak-agak amburadul atau mulus lantaran pengeditannya berindah-indah, pun ada yang bertetap kuat berpegangan teks asli sekaligus berupaya nikmat dibaca. Salah satu buku terjemahan yang sampai saya membelinya tiga kali; tersebab pertama karena hilang, yang kedua ketlisut, dan pembelian ke tiga titip lewat adik sewaktu ke Yogyakarta. Buku yang terbeli sampai tiga periode itu, saya anggap terjemahannya baik (berkualitas) meski saya awam pada bahasa aslinya. Buku tersebut karya sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe yang berlabel “Faust,” Penerbit Kalam, Penerjemahnya Agam Wispi dari bahasa sumbernya Jerman, Cetakan Pertama Oktober 1999. Terang sajalah, saya mengenal pemikiran para tokoh dunia melalui buku-buku karya-karya terjemahan, pun tampaknya nilai-nilai dari terjemahan di tahun-tahun lawas, rasanya banyak yang berkualitas. Pula saya tetap berjarak tatkala membaca karya hasil terjemahan, dan ketika menjadi bebahan kutipan, maka berarti saya srek atau percaya dengan terjemahannya.
Dalam persoalan bukunya Usman yang menerjemahkan puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani dari bahasa aslinya Arab, saya tak bisa berkata lebih, sebab tidak memegang bukunya (tidak memilikinya), di sini hanya berpegangan pada penelusuran Alim yang terang kejeliannya, dan ini menambah pengetahuan mengenai buku-buku terjemahan sekaligus tetaplah menghargai jerih payah penerjemah, tidak terkecuali kepada Usman. Satu bentuk penghormatan saya kepada buku-buku hasil terjemahan ialah berdoa sebelum membacanya. Ada suatu pengalaman pada buku terjemahan karangan Ibnu Arabi, yang saya lupa penerbit serta judulnya, sampai tujuh kali saya membaca ulang sambil tetap menjaga wudhu, barulah dapat memahami. Maka, makin membeludak para penerjemah di Indonesia pastinya indah, karena bangsa ini membutuhkan berderet-deret amunisi, lantaran buku hasil terjemahan tentu memperluas wawasan memperkaya hasana keilmuan serta melebarkan pandangan, dan andai ada yang melenceng terjemahan karya puisi bagi saya tidak masalah, toh itu hanya untuk menambah sarapan pagi jika diperlukan sebelum bekerja (berkarya). Lalu saya pikir kerjanya Usman lebih baik daripada mereka lulusan Jurusan Sastra Arab, juga yang menimba keilmuan di luar negeri, tapi sepulangnya ke tanah kelahiran, dirinya tersesat di dunia politik hingga lupa keilmuan Allah yang betapa manis di bumi Sholawat.
*) Pengelana asal Lamongan, kini tinggal di kecamatan Laren, desa Tejoasri, dusun Pilang, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo, setengah lingkaran bengawan arusnya tenang, setengahnya lagi air menjalar sampai jauh... (Gesang).
http://basabasi.co/ketika-usman-arrumy-salah-memasuki-kebun-nizar-qabbani/
https://tirto.id/puisi-puisi-nizar-qabbani-dan-terjemahannya-yang-meragukan-cqkZ
https://www.facebook.com/notes/dalfis-latee/membandingkan-terjemahan-puisi-nizar-qabbani-versi-fazabinal-alim-dan-usman-arru/330957080702774/
http://sastra-indonesia.com/2017/10/puisi-puisi-penyair-nizar-qabbani-melalui-usman-arrumy-dea-anugrah-fazabinal-alim/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar