Selasa, 19 September 2017

Melirik Dunia Kesunyian Nurel Javissyarqi

Lewat Waktu Di Sayap Malaikat, I-XXXIX dalam Antologi Puisi “Kitab Para Malaikat”
Awalludin GD Mualif

1/
Selepas mengaduk secangkir kopi saya pun menyalakan laptop, kemudian membuka windows media player dan mengisinya dengan beberapa lagu yang saya kehendaki. Sesaat setelah itu saya terkenang dengan salah satu buku antologi puisi bertajuk “Kitab Para Malaikat” buah karya Nurel Javissyarqi. Entah mengapa, malam ini kenang dalam pikir saya tertuju pada karya itu. Baiklah, gumam saya lirih.

Nurel adalah salah satu penyair kelahiran kota Lamongan empat puluh satu silam yang cukup produktif dalam menelurkan buah pikirannya. Mungkin tak sulit untuk menemukan sosok penyair satu ini. Cukup berbekal gadget, lalu mengaksesnya via internet dengan menuliskan namanya pada kolom pencarian, maka kita pun akan dihidangkan seabrek berita terkait dirinya. Singkatnya, kita bisa menemukan sosoknya hanya dengan menggerakkan jari. Karena cukup susah menjumpinya dalam lingkar meja bersama cecangkiran kopi dan kebulan asap benjol-benjol sambil berbagi kata. Karena intensitas kehadiran dirinya dalam dunia kasunyatan sudah berkurang jauh jika dibandingkan era-era tahun 2000-an awal lalu. Bagi saya berjumpa dengannya seperti berjumpa dengan kamus sastra berjalan. Hal inilah yang saya rasakan sejauh pengalaman saya bersua bersamanya. Patrap sikap dan gestur tubuh penyair yang konon berjuluk “Hantu Sastra Indonesia” ini sesungguhnya tak sulit untuk dikenali jika ia masih berpenampilan seperti sepuluh tahun silam. Penyair satu ini memiliki sorot mata tajam, rambut ikal menjuntai hampir sepantat dengan langkah kaki pelan namun penuh percaya diri serta memiliki nada bicara agak sedikit terbata-bata tetapi menusuk tajam kehulu soal, adalah sedikit dari gambaran ragawinya.

Dalam peta sastra Indonesia namanya tak begitu banyak disebut pada lingkar meja sastrawan bermental kerumunan. Tetapi jejak-jejak sastrawinya mudah kita temui lewat para sastrawan yang berjibaku dengan dunia sastra di tahun 90-an akhir sampai dengan 2009-nan. Khususnya di kota Yogyakarta. Penyair satu ini memiliki cara bersastra yang unik. Jalan sunyi sastrawinya menjejak di tempat dan ruang-ruang yang tak lazim dikunjungi oleh kebanyakan sastrawan. Misal, di pekuburan-pekuburan keramat, di sumber-sumber mata air bersejarah, di tempat-tempat peninggalan para pujangga-pujangga terdahulu, di pondok-pondok pesantren dlsb. Selain dari pada ini, Nurel kerap dianggap oleh sebagian masyarakat orang gila (gendeng), sebab seringkali ia mencoba berbicara dengan pepohonan, hewan dan aliran sungai. Jika menilik dari sepintas kabar serupa ini, maka saya menduga bahwa setiap tempat, ruang dan perjumpaan adalah kata-kata baginya. Sekurang-kurangnya hal inilah yang sedikit saya ketahui dari sosok penyair satu ini.

2/
Dalam dunia sastra sebuah nama besar dapat menciutkan nyali dan membuat para kritikus muda mundur teratur saat berhadapan dengan karya-karyanya. Apalagi dengan orangnya. Apa yang membuat hal ini mengada? Lalu gerangan apakah yang membuat para kritikus muda mundur teratur? Nama besarkah? Atau kualitias karyanya? Tentu saja, setiap orang memiliki cara pandang masing-masing terkait hal ini. Bagi saya, tak ada kebesaran yang melebihi kebesaran kita menjadi seorang manusia. Ya, hanya manusia. Bukankah sebagai manusia kita adalah manusia yang sama-sama hidup di tanah, air, dan menginjakkan nafas hidup di bawah atap langit yang sama.

Dewasa ini para kritikus muda dalam bidang sastra mulai bermunculan, tetapi ruang gerak-gerik dan pikiran-pikiran mereka masih terbentur “dinding-dinding” ke-absurd-an pikirannya sendiri yang sesungguhnya mereka sendiri tak begitu mengetahuinya. Bagaimana mungkin kita bisa takut dengan sebuah ‘nama’ yang tak pernah menyakiti kita? Pula takut terhadap sebuah karya yang seharusnya memberikan jalan pencerahan hidup, inspirasi, dlsb bagi kehidupan kita. Artinya ketakutan-ketakutan itu sesungguhnya tak beralasan sama sekali. Ketakutan memperpanjang barisan perbudakan, ujar Widji Tukul. Memang demikian kiranya apa yang disampaikan oleh orang yang menyedekahkan dirinya sebagai busur untuk memanah matahari. Ernes Canneti berkata; orang takut akan hal yang tidak ia ketahui. Rasa-rasanya dua ungkapan dari dua generasi yang hidup di ruang lingkup jaman dan budaya berbeda ini mengerucut pada satu hal, yakni; “Ketakutan atas sesuatu yang tak kita ketahui adalah kemustahilan”. “Yang nyata adalah yang mustahil”, ujar Lacan.

Dalam pada ini saya ingin sedikit melangkah maju, dan berupaya untuk merangkai seikat kata demi menangkupkan pikiran-pikiran atas pengalaman yang saya dapati saat menyelami karya-karya puisi Nurel Javissyarqi yang tergores dalam bunga rampai Kitab Para Malaikat. Salah satu manuskrip yang konon membutuhkan waktu 10 tahun untuk menemukan sari-sari kata-kata yang ia maui. Manuskrip yang ia perjalankan lewat berbagai tempat. Maman S. Mahayana, salah seorang kritikus sastra kenamaan memberi ungkapan yang cukup membuat pembaca mengrenyitkan dahi dan menyiutkan hati saat menyajikan kredonya untuk karya ini, sbb: Temukan Nurel diantara; Socrates, Plato, Aristoteles, Giodano Bruno, Galileo Galilei, Rene Decartes, Copernicus, Ferdinand de Sausure, Roland Barthhes, Derida, Ibnu Tufail, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, Al-Hallaj, Al-Ghazali, Muhammad iqbal, Hamzah Fanzuri, Syech Siti Jenar, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Kahlil Gibran, Sutardji Calzoum Bahri, Afrizal Malna serta ajaran Konfusianisme. Maman menjejalkan Nurel di antara para pemikir dunia. Entah apa yang ingin Maman sampaikan? Apakah Nurel salah satu bagian diantara mereka, ataukah Nurel adalah serpihan-serpihan mozaik dari ceceran pikir para pemikir itu? Sejatinya hanya Maman yang paling tahu terkait ungkapannya tersebut. Pada gilirannya, selain memberikan pengantar kepada pembaca tentang sosok Nurel Javissyarqi, Maman mengomentari Nurel beserta hamparan kata-katamya lewat bahasa retoris yang mengajak pembaca untuk “menafsir” ulang. Maman menulis sbb: “Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan berantakan dalam gerakan dewa mabuk”.

Apakah sosok Nurel Javissyarqi beserta karyanya memang seperti apa yang digambarkan oleh Maman? Mungkin, ya, bagi Maman. Boleh jadi, ya dan tidak bagi sastrawan lainnya, dan bisa sangat jauh berbeda dengan keduanya jika Nurel dan karyanya ini jatuh ke pembaca awam seperti saya yang notabene tak begitu banyak memiliki amunisi dan senjata untuk melihat sebuah karya sastra. Namun, membaca Kitab Para Malaikat memberikan pengalaman tersendiri bagi saya. Suatu pengalaman yang susah saya ungkapkan lewat kata-kata. Pengalaman ini seakan mengajak saya berjalan ke dalam relung-relung jiwa dan kesadaran yang tak hendak menengok ke luar diri, dan secara bersamaan pengalaman ini mengajak saya untuk melihat dari luar apa yang terlanjur menjadi yang terdalam. Keduanya mengada untuk menjadi yang tak saya pahami. Beranjak dari pengalaman ini, kemudian saya bertanya-tanya. Apakah sebuah karya sastra (puisi) harus terpahami secara utuh secara menyeluruh. Ataukah pemahaman itu terletak pada ketidakberhentian kita untuk terus mencari, menggali demi menemukan makna-makna baru. Suatu makna yang bisa jadi berbeda dari si empunya. Wal hasil, untuk sementara waktu ini saya sedikit memahami ujaran Maman terkait frasa “metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk”. Karena pembaca awam seperti saya tak hanya ikut sempoyongan dan mabuk, tetapi sudah menjadi yang sempoyongan dan mabuk saat memasuki hamparan sajak-sajak Nurel. Rupa-rupanya saat kata-kata bungkam dari nalar sadar saya, entah mengalir ke dalam maupun keluar, justru di situlah kata-kata itu mengada menjadi kata-kata tersendiri. Karena bungkam/diam juga bagian dari kata-kata.

Maka seturut pengalaman membaca “Kitab Para Malaikat”, saya tak hendak memasuki sajak-sajak Nurel yang meraung di hutan belantara bahasa, mengelombang di gegulungan ombak samudera yang membisik lirih penuh kecemasan, harap, duka, cita dan doa dengan upacara baku nalar sadar saya. Tetapi berupaya mengihlaskan diri menjadi bagian dari hamparan sajak-sajak ini. Supaya saya tidak tersesat di hutan belantara bahasa atau tergulung mati di gegulungan ombak samudera yang dapat membuat saya menyepi sendiri, sunyi kemudian mati. Karena muskil mengandalkan nalar pikir semata untuk memahami suatu karya yang melepaskan nalar pikir dalam perjalanan prosesnya. Jerit jiwa hanya bisa ditangkap dengan ruang jiwa. Sebagaimana cinta dalam bahasa kalbu hanya dapat ditangkap dengan bahasa kalbu. Di mana pikiran harus rela terpinggirkan untuk sementara waktu.

3/
Sementara itu saya menemukan satu titik pijak sadar dari si empunya di dalam Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat; “Allahumma Sholi ala Sayidina Muhammad; ruh bersaksi sederaian gerimis mengantarkan rasa atmosfer semesta terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga “ (I). Titik sadar yang saya maksud dalam hal ini adalah bahwa Nurel menyadari betul bahwa dia sebagai si empunya Kitab Para Malaikat haruslah berpijak pada dunia insani. Insan kamil (Kanjeng Nabi Muhammad), tepatnya. Sebagaimana sholawat yang menggores di awal sajak. Nurel ingin begelayut pada surban Kanjeng Nabi untuk mengharap syafaat dan ia tak ingin “…menghitung masa bertirakat…” supaya persembahan diri lewat untaian sajak dapat mengusir pandir dan bisa menemu hilir. Dalam Waktu Di Sayap Malaikat.

Lebih lanjut aroma ketertundukan diri pada takdir ilahi tercium mewangi bak bebunga di tetamanan begitu nampak. Nurel menyisir pengalaman hidupnya dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari satu kejadian ke kejadian lainnya untuk menemukan dirinya yang sejati. Kesadaran Man arafah Nafsahu Faqad Arafah Rabbahu sepertinya tengah memusara dalam dirinya saat mencipta. Ia tak ingin hidup sekedar hidup. Mengingatkan saya pada bait pembuka puisi WS. Rendra bertajuk MA; “Ma, bukan maut yang menggetarkan jiwaku. Tetapi hidup dan tdak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya…”. Dalam falsafah jawa dikenal dengan“Sang Kang Paraning Dumadi”. Atau ungkapan Nietzsche “Temukan Dirimu”. Pencarian jati dirinya ia ungkapkan dengan “Sengaja mengunjugi masa silam, puja keagungan di tengah pencarian kesejatian, bertarian Keilahian terpatri di dinding gua sejarah, inilah relief-trelief orang-orang berbudi utama” (XII) Nurel merajut masa yang silam, kini, dan masa mendatang untuk menemukan kekamilan dirinya. Tekad, tumbuh kembang dan tumbangnya semangat pencarian kekamilan diri tersebut telah mengantarkan dirinya menyusuri alam kesunyian.

Kesunyian telah menjungkir balikkan logika berpikir Nurel. Dari yang nyata menjadi tiada, atau berlaku hukum sebaliknya, dari yang tiada menjadi nyata. Yang nyata dan tiada sudah ia leburkan jadi satu. Ia ikat dalam tali benang rasa yang mendorong-dorong dirinya untuk terus menerus beranjak dari satu alam kesunyian menuju alam kesunyian lainnya dan begitu seterusnya. Karena pada alam kesunyian inilah Nurel menegakkan marwah dirinya. Diri yang telah terpusara oleh berbagai kejadian dan pengetahuan itu telah menuntutnya untuk terus meraung-raung menantang dunia.

Kadang kala raung jiwanya pada alam kesunyian itu membuahkan hasil, kadang juga tergolek sia-sia, menjuntai jatuh tanpa makna. Dalam pada ini saya mendapat pengalaman dari sebuah pertarungan yang tak kunjung selesai antara dirinya (Nurel) dengan yang bukan dirinya (Nurel) untuk menemu dirinya (Nurel). Dalam hal ini kesadaran Nurel muncul saat ia berdiri pada pintu gerbang kegamangan yang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, saat itu ia bersimpuh meluruhkan raga dan jiwanya pada Rahmat ilahi. Kemudian ia menari-nari bersama sesunyian ilahi dengan berpegangan erat-erat pada surban kanjeng nabi untuk menggoda-goda suratan takdir demi penyelamatan jiwanya yang terkatung-katung di alam kesunyian. “Mengagungkan rahmat-Nya sejauh menimba sumur terdalam, jikalau bersemedi di dalam gua nurani” (XXI).

Kemudian sudahkah ia bertemu dengan dirinya yang hakiki? Pada kumpulan sajak Waktu Di Sayap Malaikat ia memberi siratan kabar itu lewat puisi-puisi di dalamnya bahwa ia pernah berjumpa dengan dirinya yang hakiki dalam satu waktu tertentu, tetapi perjumpaan itu belumlah permanen mematri. Melainkan masihlah parsial. Karena gerak-gerik kesadaran terhadap laku kehidupan dirinya masih harus diperjalankan, dibenturkan ulang, ditempa kembali dengan penuh kesungguhan. Seperti seorang empu yang membuat sebuah keris. Dari mana kita bisa mengatakan sesuatu yang sudah berwujud serupa keris adalah keris? Apakah hanya ketika kita melihat secara materiil (bentuk) bahwa ia memiliki unsur-unsur dari apa yang dinamakan keris? Bukankah kita pun tahu bahwa hal seperti itu masihlah perlu diperiksa ulang? Apakah ia benar-benar sudah bisa dikatakan sebagai keris dalam makna simbolis, falsafi, nilai dan kedalaman-kedalaman yang dimiliki oleh keris dengan berbagai tingkatan dan tata aturan yang menyelimuti keris itu sendiri. Atukah hanya sebatas mengejar wujud. Jika hanya mengejar serupa wujud. Sudah barang tentu keris souvenir pun bisa disebut sebagai keris dalam arti wujud rupa semata.

Selain dari pada itu, Nurel Javissyarqi dalam Waktu Di Sayap Malaikat. Mengabarkan kepada pembaca bahwa suatu kesungguhan tak bisa dicampuradukkan dalam satu wadah yang sama dengan gojek kere (geguyonan). Apa yang saya maksud dalam hal ini adalah bahwa jika kita tengah meniatkan diri untuk mencapai sesuatu, maka jangan pernah anggap remeh sedikitpun segala proses yang mengiringimu. Saya menangkap hal ini pada sajak “Panjangnya layang—layang ditiup bayu, rambut terurai, selendang mendatang yang mendentang, dan wengi melahirkan hikayat di bawah sadar penciptaan” (XXVI). Di sini terlukis bagaimana Nurel membagi pembelajaran pada pembaca untuk menemukan hikmah-hikmah yang tercecer di alam semesta yang dimiliki oleh malam. Gelap adalah terang yang belum nampak. Dan terang adalah gelap menyilaukan. Sekurang-kurangnya saya memaknai pencarian hikmah pada malam seperti itu.

4/
Beberapa sari-sari dari sesarian yang telah Nurel peras dalam barisan sajak bertajuk Waktu Di Sayap Malaikat I-XXXIX dapat saya tangkap dan maknai sebatas pemahaman cetek saya sekurang-kurangnya adalah bahwa puncak kehidupan manusia adalah menemukan diri sendiri. Mengenali tahapan-tahapan dalam menempu dan menempa diri untuk mengenali dirinya sendiri. Berani melawan dan memasuki berbagi dimensi dalam kehidupan yang nampak mustahil. Tidak terlena pada kenyataan yang nampak indah. Mawas diri adalah kunci. Menyerahkan diri adalah jalan. Menekadkan diri adalah senjata. Nurel sepertinya menyadari akan berbagai dimensi dan hal-hal yang berkelindan pada sebuah pencarian diri.

Kodrat manusia tercipta sebagai kalifah sekalian alam, dan manusia yang ‘berhak’ menyandang gelar kalifah adalah manusia yang tuntas melewati proses takhali, taqhali, tajali yang maujud menjadi insan kamil. Oleh karenanya Tuhan menghendaki bahwa manusialah pemimpin sekalian alam (para malaikat). “Kitab”, menjadi pilihan diksi yang menarik sebagai kata awal untuk judul. Kemudian disusul dengan kata “Para Malaikat”. Dari judul yang metaforis ini saya menggumam lirih; bahwa Nurel menghendaki pembacanya atau penikmat karya ini adalah para malaikat atau orang-orang yang sudah berada di maqam kemalaikatan. Atau mengharap para pembacanya dapat mencapai maqam ini setelah menyecap habis hamparan sajak yang berjejal di dalamnya. Sayangnya saya hanya manusia biasa. Heheh.

Mungkinkah antologi puisi bertajuk “Kitab Para Malaikat” ini diandaikan bagi manusia bermaqam malaikat? Sebuah maqamat yang tak mudah untuk diraih oleh sekalian manusia. Apakah malaikat memerlukan sebuah “kitab”? Jika malaikat adalah bagian dari mahluk Tuhan yang keterciptaanya diperuntukkan untuk menjadi abdi manusia, barangkali “kitab” itu perlu adanya. Lantas kemudian perlukah manusia mencipta kitab untuk para malaikat? Lalu manusia sekaliber apakah yang diharapkan dapat melakukannya? Apabila merunut dari ungkapan Budi Darma yang berpendapat bahwa seorang sastrawan (penyair) adalah sang “nabi”, maka Nurel adalah salah satu penyair yang berupaya menjadi. Dan ia pun sudah mengerjakannya.

Ah akhirnya, kopi dalam cangkir sudah mulai menipis dan tembakau dalam bungkusan kertas pun beranjak habis. Pula playlist lagu pada windows media player ikut-ikutan habis. Saya pun undur kata dari Waktu Di Sayap Malaikat untuk mengatur nafas kembali guna memasuki sajak-sajak dalam tajuk “Membuka Raga Padmi.”.

Kopi hitam
Sewon, Bantul, Yogyakarta 2017.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito