Marhalim Zaini
http://riaupos.co
SESUNGGUHNYA, menelisik perkembangan puisi Melayu Riau, tak dapat serta merta memisahkan diri dari perkembangan kesusastraan Melayu secara luas. Sebab, begitu menyebut “Melayu Riau” untuk dunia sastra, dunia puisi, maka ingatan kita seolah diajak berkelana ke rentang sejarah yang panjang. Terutama, ketika—rentang sejarah itu—tak dapat pula dicecah-cecah secara administratif, sehingga takboleh tidak, harus pula menyebut sejarah perkembangan kesusastraan Riau-Lingga. Namun begitu, dalam konteks tulisan ini, saya hendak membatasi diri untuk menengok lebih spesifik terhadap teks-teks puisi yang lahir, setelah masa itu. Pembatasan ini lebih bertujuan untuk melihat gerak dinamika puisi-puisi “modern” Melayu Riau, dalam lalu lintas perpuisian modern Indonesia.
Istilah “modern” di sini, lebih untuk memberi batasan terutama pada bentuk-bentuk “puisi klasik.” Puisi modern, dalam konteks ini, bolehmasuk dalam kategori “puisi bebas” dengan tidak lagi terkekang oleh konvensi-konvensi baku, seperti halnya pantun, syair, gurindam, dll. Meskipun, kita tahu, pertanyaan tentang kapan puisi modern Indonesia itu lahir pun masih dalam perdebatan. Apakah dari Hamzah Fansuri (abad XV) atau sejak Bahasa Indonesia lahir, ditandai dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Atau ketika Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta yang mendapat pengaruh dari Eropa, sehingga puisi Indonesia mulai meninggalkan kisah-kisah dunia istana. Namun, sebagai prdouk budaya, puisi tetap tidak dapat dengan mudah memisahkan diri secara tegas batas antara tradisional/klasik dan modern.
Namun, membahas sastra modern, menjadi penting ketika diyakini pendukung utama modernisasi (di) Indonesia itu, sejak semula, adalah bahasa. Dan bahasa Melayu, dengan kematangan wataknya yang egaliter, diterima sebagai bahasa Nasional, seolah tak mendapat hambatan berarti untuk melahirkan “Indonesia” sebagai sebuah “negara-bangsa modern” di awal abad ke-20. Maka, puisi modern Indonesia, yang lahir dan tumbuh dalam “tubuh” bahasa Melayu-Indonesia serupa itu, rupanya turut berkembang dengan amat baik. Para penyair terus lahir, dengan menggunakan bahasa Indonesia (dari bahasa Melayu yang egaliter itu), yang segera menyerap/menerima berbagai bahasa asing dari etnis lain, pun dari bahasa dunia—yang tentu membawa serta berbagai nilai kebudayaannya. Puisi modern Indonesia, pada gilirannya, telah pun diterima dalam pergaulan sastra dunia.
Meski kemudian, bukan sama sekali tidak membawa resiko. Di antaranya, gairah kepenulisan puisi/sastra berbahasa daerah kian tergerus. Sebab, dalam perkembangannya puisi/sastra modern Indonesia demikian mendominasi, selain menjadi arus-kuat-utama dalam penciptaan karya sastra, juga dalam berbagai kajian/kritik sastra di Indonesia. Termasuk juga peran “media sastra” lokal maupun nasional yang lebih memberi tempat pada karya sastra (berbahasa) Indonesia dibanding dengan karya sastra (berbahasa) daerah. Bagi Riau, meskipun karya sastra berbahasa “Melayu daerah” juga mengalami resiko yang sama, namun tetap “diuntungkan” oleh pengalaman-pengalaman kebahasaan (Melayu) yang langsung dipraktekkan oleh si penyair/sastrawannya sejak lahir. Sehingga, bahasa Melayu bagi orang Riau misalnya, lebih “mendarah-daging” dibanding bagi orang yang bukan Melayu.
Hemat saya, pengalaman kebahasaan inilah yang membuat proses penciptaan karya sastra dalam bahasa Indonesia relatif lebih mudah, dan lebih terbuka kemungkinan-kemungkinan eksplorasi bahasa. Sehingga, peluang ini seolah kemudian memberi laluan bagi para penyair (di) Riau untuk secara lebih leluasa mengeksplorasi basis historis-kulturalnya itu. Eksplorasi itu, pada perkembangannya memperlihatkan beberapa kecenderungan bentuk puisi yang diciptakan oleh para penyair Riau, yang setidaknya dapat dilihat dalam tiga kecenderungan: puisi mantra, puisi Islam, dan puisi maritim. Ketiga kecenderungan ini, dalam pembacaan awal saya, dapat menunjukkan “identitas” puisi Melayu-Riau, yang akan saya coba paparkan dalam analisa berikut.
Puisi Mantra
Hemat saya, peluang dan potensi yang semacam itulah yang kemudian diambil oleh Sutardji Calzoum Bachri melalui “puisi mantra”-nya. Selain, tentu kesadaran Sutardji akan penggalian akar kebudayaannya sendiri sebagai wilayah kreatif yang tak pernah padam, yang tak ada habisnya. Elaborasi mantra dengan makna-makna baru dalam bentuk puisi modern, telah membawa Sutardji untuk merumuskan kredo puisinya “membebaskan kata dari makna.” Inilah kontribusi besar Sutardji—sebagai penyair yang berasal dari (Melayu) Riau—dalam memberikan kebaruan dan kesegaran puisi modern Indonesia, yang menurut kritikus Maman S Mahayana, “ternyatalah Sutardji lebih besar dari Chairil Anwar.” Sebab bagi Maman, Sutardji bukan sekedar menerjemahkan-menafsirkan budaya Timur-Barat, melainkan peletak dasar estetika sastra Indonesia.
Selain Sutardji, ada Ibrahim Sattah. Terutama secara bentuk, puisi-puisi Ibrahim Sattah tampak “sealiran” dengan Sutardji. Keberangkatannya menulis puisi, juga dari upaya mengelaborasi mantra Melayu. Entah siapa yang terlebih dahulu menemukan cara berpuisi yang semacam ini, yang pasti, sebagai kawan seangkatan dalam berkarya, mereka berdua telah sama-sama memperkuat satu genre puisi dalam khazanah sastra Indonesia, yakni “puisi mantra.” Tentu, mereka memiliki kekuatannya masing-masing, dengan daya kreatifitasnya masing-masing. Meskipun, bolehjadi kemudian, untuk beberapa puisinya, ditemukan saling keterpengaruhan itu (sebagaimana juga Slamet Sukirnanto pernah menulis “Mengenal Ibrahim Sattah,” dalam Pelita, 19 September 1978). Semisal dalam penggalan puisi berikut:
dukaku dukakau dukarisau duka
kaliandukangiau
resahku resahkau resahrisau
resahbalau resahkalian
(O karya Sutardji Calzoum Bachri)
duka itu saya saya ini kau kau itu duka
duka bunga duka daun duka duri duka hari
(Duka karya Ibrahim Sattah)
Pada generasi berikutnya, “puisi mantra” masih tetap menjadi spirit tersendiri. Setidaknya genre ini masih tetap “dianut” oleh beberapa penyair. Salah satunya, yang tampak dengan bersungguh-sungguh dan konsisten dalam menekuni genre ini, kita bisa menyebut nama Akib (Abdul Kadir Ibrahim). Terutama dalam buku puisinya 66 Menguak (1991) dan Negeri Airmata (2004), Sapardi Djoko Damono (sebagai pengulas buku tersebut) pun menemukan pengaruh mantra dalam puisi-puisi penyair yang menetap di Kepulauan Riau ini. Alazhar, yang pernah membicarakan buku 66 Menguak di tahun 1992 (sebagaimana juga dicatat dalam pengantar Akib sendiri) menyebut Akib adalah “mata rantai” puisi mantra setelah Sutardji dan Ibrahim Sattah. Meskipun ketiganya sama-sama berangkat dari mantra, namun tetap memiliki kekhasannya masing-masing. Alazhar menandaskan kekhasan itu, misalnya Sutardji kata-kata puisinya bebas makna, Ibrahim kata-kata puisinya permainan anak-anak, dan Akib kata-katanya bermakna.
Hemat saya, “mata rantai” itu tidak juga putus sampai di situ. Kalau hendak menelusuri puisi-puisi dari sejumlah penyair yang lain misalnya, maka kita akan juga menemukan model “puisi mantra.” Meskipun tentu dengan frekuensi yang berbeda-beda, dan kadang tampak lebih bersifat insidental. Artinya, “puisi mantra” di situ tidak sebagai aliran arus utama dalam proses penciptaannya, akan tetapi tetap bisa kita lacak dengan mudah jejak-jejak mantranya. Beberapa puisi Rida K Liamsi, dalam Tempuling (2002) misalnya juga memperlihatkan indikasi itu. Tengoklah puisi berjudul "Elegi (I)", "Elegi (I) Mengenang Mishima", "Pada Jam Dua Puluh Lima", dan "Rose (I)".
Andai dapat kita cirikan "puisi mantra” dengan pemakaian repetisi (pengulangan), lalu dengan tempo atau ritme yang cenderung cepat, maka mata rantainya juga bisa kita lihat dalam puisi "Ratap Keasingan" karya Taufik Ikram Jamil (dalam buku Tersebab Haku Melayu, 1995). Misalnya pada bait ini:
telah jadi januari ke oktober
telah jadi februari ke november
telah jadi maret ke desember
Atau pada bait berikutnya:
alilah dikau adnanlah dikau
khalidlah dikau adnanlah dikau
kalsumlah dikau aisyahlah dikau
hasanlah dikau tardjilah dikau
kaulah dikaulah engkaulah itu
Maka sesungguhnya, tradisi “puisi mantra” masih terus hidup dalam puisi-puisi yang lahir dari generasi penyair berikutnya, bahkan bolehjadi juga pada penyair-penyair mutakhir kita hari ini. Dengan begitu, jika Jamal D Rahman dalam sebuah esai pernah menyatakan bahwa mantra itu hanyalah “tradisi kecil” dalam kebudayaan Melayu, dan membandingkannya dengan “tradisi besar” berupa “moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian, dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang,” maka saya kira, Jamal sedang melupakan bahwa tradisi-tradisi kecil itulah yang kemudian membangun tradisi besar. Tradisi kecil macam mantra-lah sebagai “saripati” bahasa Melayu, yang kemudian menjadi tonggak-tonggak kecemerlangan bahasa Melayu.
Puisi Islam
Selain mantra, sebagai salah satu bentuk “identitas” puisi-puisi penyair Melayu Riau, adalah adanya unsur-unsur nilai agama Islam. Identitas sebagai (bolehlah sementara kita sebut dengan) “puisi Islam” untuk puisi Melayu Riau ini, tentu sebagaimana kita ketahui memiliki latar belakang sejarah yang kuat. Sejak abad ke-17, paling tidak, Islam jelas telah memainkan peranannya yang signifikan dalam pembentukan bahsa dan kebudayaan Melayu. Banyak kajian yang memperlihatkan hubungan Melayu dan Islam yang (seolah) tak terpisahkan, termasuk dalam karya sastra baik yang klasik maupun modern. Bentuk puisi Arab seperti syair misalnya, yang kemudain dikenal luas dalam kebudayaan Melayu dapat menunjukkan itu. Belum lagi, pengarang macam Raja Ali Haji yang ulama dan pemuka tarekat Naqsyabandiyah yang berbasis di pulau Penyengat, Riau, pusat penting kebudayaan Melayu di abad ke-19.
Sementara itu, tradisi “sastra Islam” sendiri dalam konstelasi perkembangan sastra modern Indonesia bukanlah hal baru. Sebutan “sastra profetik” misalnya, mengingatkan kita pada nama Kuntowijoyo dan Abdul Hadi WM. Sastra Profetik, sastra yang “bersemangat kenabian” ini, sesungguhnya telah cukup ramai diperbincangkan dalam dasawarsa 1980-an sebagai salah satu gagasan estetika alternatif dalam sastra. Maka tafsir atasnya pun kemudian mengundang keragaman. Meski tetap bersepakat untuk menghala pada bagaimana sastra sebagai sebuah produk budaya—tentu dengan caranya sendiri—mampu mendorong terjadinya perubahan sosial. Bagi Kuntowijoyo sendiri, sastra profetik adalah juga “sastra ibadah” yang merupakan ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agamanya. Untuk itu, sastra profetik jelas merujuk pada pemahaman dan penafsiran Kitab Suci atas realitas, yang otomatis terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Sastra adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra, kata Kuntowijoyo, “adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Dan melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.”
Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sastrawan lain yang juga memperkuat barisan estetika sastra religius, seolah ikut menandaskan bahwa sastra profetik tak selalu identik dengan sastra sufistik. Jika sastra sufistik cenderung hanya dipahami sebagai sastra zikir, atau sebatas ekspresi kerinduan untuk bermanunggal dengan Tuhan semata. Ahmadun menegaskan bahwa “persoalan-persoalan kemanusiaan, bahkan keseharian, juga merupakan persoalan sastra profetik, sebagaimana misi kenabian seorang Rosul Allah” (52:1998). ***
*) Marhalim Zaini, adalah sastrawan dan dosen sastra/seni.
http://riaupos.co/3241-spesial-puisi-mantra,-puisi-islam,-puisi-maritim.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar