Rabu, 16 Juli 2014

Matinya Genre Sastra Kritis

Jafar Fakhrurozi
kawanmalaka.wordpress.com

Membaca tulisan saudara dosen Aprinus Salam (AS) yang berjudul Sastra dan Penafsiran Ideologis di Jawa Post, Minggu (09/11), di mana di mata AS, kajian-kajian sastra kini seakan menjauhkan diri dari kacamata ideologis. Hal itu dianggap kontraproduktif dengan realitas sosial Indonesia yang dilanda berbagai krisis. Dari sana saya membayangkan bahwa para ilmuwan sastra kita masih berpersoalan dalam cara berfikirnya. Apalagi di era kebebasan seperti sekarang, setelah kebebasan berideologi kita direnggut orde baru, kinilah saatnya kaum intelektual merayakan kebebasan berideologi demi terciptanya diskursus konstruktif bagi bangsa.
Kita semua resah dengan kondisi bangsa kita dewasa ini, terlebih dunia intelektualitas kita yang asyik masyuk dengan dunianya sendiri, bahkan diperbudak oleh arus besar kapitalisme. Hemat saya, apa yang disampaikan oleh AS tentang minimya kritik sastra ideologis cukup beralasan. Sayangnya AS kurang menyertakan data-data untuk mendukung pemikirannya. Namun wacana tersebut kiraya menarik untuk diperdebatkan. Sebagai seorang akademisi, AS mungkin menjumpai secara empirik apa yang terjadi di lapangan akademis. Kita tahu, bahwa sedikit jurusan sastra yang sudah memperbaharui materi kurikulumnya. Kurikulum yang dimaksud adalah teori dan kajian sastra mutakhir seperti teori pos-strukturalisme, cultural studies, dan sebagainya.

Kajian sastra selama ini masih berkutat dari wacana positivisme, kaku, dan sempit. Bahkan menghindarkan dari konteks sosial yang semakin genting dan absurd. Ilmu pengetahuan dipelajari hanya untuk kepuasan berfikir serta keuntungan individu semata. Di Indonesia banyak sekali ilmuwan seperti itu. Termasuk di dunia sastra. Banyak ilmuwan sastra kita yang mencari “selamat”. Alih-alih bersikap netral, mereka malah ikut arus dunia yang menyengsarakan bangsa. Apa yang disebut netralitas keilmuan adalah sebuah jalan aman yang menyesatkan. Padahal idealnya sebatas itu ilmiah, sastra sebagai ilmu seharusnya mesti liar dan menjelajah seluruh sendi kehidupan. Bukankah begitu yang dilakukan para penemu peradaban dahulu. Bagaimana Alfa Edison dicap gila sebelum menemukan listrik, Galileo yag dihukum mati lantaran bilang bumi itu berputar mengelilingi matahari. Pramoedya AT dibui karena banyak mengkritik pemerintah dalam karya-karyanya. Keliaran itu yang justru melahirkan peradaban baru yang berguna untuk alam semesta.

Dunia akademis kita seperti alergi terhadap dunia ideologi. Sebagai contoh, pengalaman di jurusan saya. Waktu saya mengajukan usulan penelitian skripsi tentang kajian novel dengan menggunakan pendekatan teori sastra Marxis. Ternyata usulan saya ditolak dengan alasan yang kurang ilmiah, di mana jurusan belum siap untuk melegitmasi kajia-kajian “kiri’ seperti kritik sastra Marxis. Saya heran, kok di jaman yang sudah demokratis masih ada yang ketakutan untuk belajar. Sebuah alasan yang tak masuk akal.

Ternyata di beberapa kampus lain pun masih alergi terhadap kajian sastra kritis. Fakta tersebut kontan membuat saya pesimistis dengan perkembangan sastra di Indonesia. Apalagi pembelajaran kajian sastra kita hanya mengandalkan kampus.

Kondisi lebih parah ditemukan di kampus-kampus pencetak guru dan eks IKIP, di mana dalam kegiatan pembelajaranya, substansi keilmuannya sendiri kurang diperhatikan. Kampus seakan tidak serius membekali mahasiswanya. Kuliah di jurusan bahasa dan sastra indonsia tidak lebih dari sekedar belajar menjadi guru tapa harus dibebani untuk mendialektiskan teori-teori bahasa dan sastra yag sudah ada. Akibatnya guru-guru bahasa dan sastra yang dihasilkan bukanlah guru-guru yang kritis dan berwawasan tinggi tentang bahasa dan sastra, melainkan guru-guru yang hanya akan meneruskan tradisi mengajar textbook dan tidak memberikan kesempatan pada siswa untuk menggauli dan memfilsafatkan ilmu-ilmu bahasa dan sastra.

Di luar akademis, kondisinya tak jauh beda. Sedikit sekali para kritikus sastra kritis yang tampil di koran atau buku. Hal itu juga disebabkan oleh minimnya karya-karya yang kritis atau ideolois. Setelah era pramoedyaananta toer, kita tidak banyak menjumpai sastrawan ideologis. Dari sekian nama sastrawan serta kritikus mapan seperti Sapardi Djoko Damono (UI), Maman S Mahayana (UI), Faruk HT (UGM), Suminto A Sayuti (UNY), Abdul Wachid BS (Unsoed) serta Rachmat Djoko Pradopo (UGM), adakah yang punya pandangan-pandangan ideologis?

Pascakemenangan kelompok Manikebu, perkembangan sastra kritis mengalami hambatan yang besar. Sastra berideologis seakan barang haram untuk dibaca dan diikuti. Seperti disebutkan oleh Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, bahwa berbagai pengertian mengenai sastra bertujuan seperti di atas, khususnya sastra ideologis dan sastra propagandis, lebih banyak dikaitkan dengan pengertian negatif (2005:379). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sifat negatif itu dikarenakan sastra ideologis lebih banyak meninjau fungsi dan manfaat karya dengan sudut pandang tujuan, sehingga mengorbankan hakikat karya sebagai rekaan,baik sebagai kualitas estetis maupun studi cultural. Lebih ekstrim lagi sastra ideologis dikaitkan degan ideologi marxis.

Pendapat NKR tersebut seolah melakukan pembenaran. Pertanyaannya, apakah salah teori Marxis? Lantas bagaimana dengan teori lainnya yang hari ini digunakan? Apa bedanya?

Selain itu untuk kasus Indonesia, tidaklakunya sastra ideologis lebih disebabkan faktor eksternal sastra, yakni sistem politik Negara yang melarang ajaran komunis-marxis. Selama orde baru ideologi kiri itu dimatikan denga berbagai cara, termasuk di dunia sastra. Sampai hari ini pun aturan tentang larangan itu masih berlaku.

Cap politik masa lampau ternyata berbekas di benak ilmuwan kita. Ideologi Marx terutama telah dianggap gagal dan malah menjadi sumbermalapetaka bagi Indonesia. Padahal tentang ideologi itu sendiri, beberapa pemikir terdahulu telah merumuskan definisi yang jelas. Misalnya, Dani Cavallaro berpendapat bahwa ideologi dapat di definisikan secara netral ataupun kritis. Secara netral, ideologi adalah seperangkat ide tanpa konotasi-konotasi politis yang jelas/terang-terangan. Sedang secara kritis, ideologi diartikan sebagai seperangkat ide melalui mana orang membiasakan dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks sosio-historis yang spesifik, dan melalui mana kemakmuran kelompok-kelompok tertentu dikedepankan. Hemat saya, dua-duanya tidak berisiko. Ketakutan-ketakutan para ilmuwan terhadap politik atau daya pikir dan sikap kritis hanyalah sebuah ketakutan semu yang dan tidak merdeka. Seolah-olah Indonesia adalah manigestasi ideologi Marxis yang gagal selayaknya Soviet. Pada kesimpulannya, mereka melegitimasi paham liberal yang mendukung Imperialisme.

Jauh dari politik praktis, dalam hal ini saya bersepakat dengan Manneke Budiman, yang dalam kata pengantarnya di buku Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern, mengatakan bahwa kajian sastra perlu diposisikan sebagai bagian dari praksis, yang tak hanya berdimensi tekstual tetapi juga sosial, serta bercita-cita melakukan transformasi melalui diseminasi wawasan atau kesadaran kritis. (2006:xii). Sayangnya, kajian semacam itu hanya dilakukan di kelompok-kelompok praksis seperti di lingkungan aktivis. Padahal peran dan posisi kaum intelektual hari ini sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi bangsa.

Berangkat dari persoalan tersebut, penting kiranya wacana ini kembali diperluas dan ditindaklanjuti oleh lembaga akademis dengan memperbaharui kurikulum sastra yang lebih luas dan multidispliner. Termasuk di dalamnya kajian-kajia idologis.

Namun lagi-lagi, hal ini akan memancing kontroversi. Sebab memaksakan ideologi dalam dunia sastra, sama halnya dengan meabuh genderang perang. Tapi dalam kondisi bagsa yang penuh krisis ini, ideologi mutlak diperlukan. Di sini masing-masing ideologi mesti menawarkan jawaban, bukan saling meyerang demi kepentingan kepuasan berfikir, apalagi kepentingan kekuasaan. Mari kita mulai! (2009)
***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito