Minggu, 06 Juli 2014

Lesbumi dalam Pembentukan Budaya Bangsa

Muhammad Alimudin
http://alieserenisme.blogspot.com

Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) merupakan lembaga seniman budayawan yang di usung oleh NU pada tahun 1950-1960-an. Lebih tepatnya, lesbumi diresmikan pada 28 Maret 1962, oleh almarhum Kiai Saifudin Zuhri, Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia, sekaligus melantik almarhum Djamaludin Malik sebagai ketuanya. Usmar Ismail dan Asrul Sani mendampingi Djamaludin, sebagai Ketua I dan Ketua II. Di lembaga itu para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul.
Berdirinya lesbumi bersamaan dengan munculnya lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan yang berafiliasai dengan partai politik yang tentunya bila diamati keadaan seperti ini menjadikan seni dan budaya dimanfaatkan sebagai alat politik. Awal sejarahnya, Lesbumi yang berafiliasi pada partai NU, memposisikan dirinya berada di”tengah-tengah” (moderat) dari dua titik ekstrim antara kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan. Antara paham realisme sosialis dengan humanism universal. Lesbumi menolak jargon “politik adalah panglima,” yang menjadi gerak aktivitas lekra dan “seni untuk seni” yang menjadi pandangan manifes kebudayaan.

Sikap Lesbumi tersebut dikeluarkanya Surat Kepercayaan Gelanggang. Berikut kutipan dari Surat Kepercayaan Gelanggang.

SURAT KEPERCAYAAN
…..
Dengan ini jelaslah bahwa dalam penilaian kita, kita akan memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masyarakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan “kata untuk kata, puisi untuk puisi”. Kita tidak mau melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah hal yang wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-masalah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan masyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak “isme” apapun dalam kesenian – artinya “isme” dalam kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pribadi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan pada masyarakat.

Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang yang keras pendirian “politik adalah panglima”. Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadikan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan memilih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia (budayawan), dengan memaksa mereka menyerahkan pertanggungan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem pemikiran yang bersifat memaksa.
……
Pernyataan tersebut jelas menandakan eksisnya para seniman dan budayawan muslim Indonesia. Sikap yang memberikan warna lain yang membedakan Lesbumi dari Lekra dan Manifes Kebudayaan.

Lembaga ini sempat stagnan hingga pasca pemerintahan Soeharto, namun kembali dihadirkan melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) . Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.

Eksistensi Lesbumi: Polemik Kebudayaan, Surat kepercayaan Gelanggang, Politik Aliran Kepercayaan

Tiga peristiwa kebudayaan Indonesia di abad 20, yaitu: polemik kebudayaan, surat kepercayaan gelanggang dan politik aliran kepercayaan merupakan perdebatan kebudayaan dimana dalam ketiga peristiwa itu memunculkan pembeda antara kebudayaan “baru” dan “lama” sebagai upaya dalam pembentukan Negara-bangsa Indonesia.

1) Polemik Kebudayaan
Manurut kamus istilah sastra, Polemik kebudayaan adalah perbantahan pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang suatu amasalah konkret ataupun pendirian yang mendasar atau sering disebut juga dengan perang pena.[1]

Polemik kebudayaan yang berawal dari esai-esai yang dikumpulkan menjdai buku oleh Achdiat Karta Miharja, mengandung tiga bagian inti, yaitu polemik menuju masyarakat dan kebudayaan baru Indonesia, pendidikan dan perguruan nasional, serta pembangunan bangsa.

Bagian pertama yang merupakan pencarian kebudayaan baru Indonesia, Sutan Takdir Ali Syahbana (STA) dan Sanusi Pane memperdebatkan identitas antara timur dan barat. Sanusi Pane yang mengajukan semangat ketimuran, sedangkan STA mengajukan kebudayaan barat sebagai kiblat yang harus ditempuh oleh bangsa Indonesia. STA mengemukakan bahwa Indonesia sedang mengarah ke “barat’ yang lebih dinamis dengan indikasi fenomena semangat ke-indonesiaan dan rasa kebangsaan, keinginan untuk maju dan munculnya perkumpulan Budi Utomo tahun 1908 sebagai organisasi modern yang dipimpin oleh mereka yang berpendidikan barat, demikian juga nama Indonesia yang sebenarnya di impor dari bangsa barat.

Pendidikan dan perguruan nasional sebagai bagian kedua dari polemik kebudayaan menjadi perdebatan antara Dr. Soetomo, Tjindarbumi, Adi Negoro, Ki Hajar Dewantara di satu pihak dan STA di pihak lain. Bermula dari hasil Kongres I Permusyawaratan Perguruan Indonesia pada 8-10 Juni 1935 di Solo, polemik ini menghadirkan sistem pendidikan ala Pesantren dan ala Barat. Pesantren yang merepresentasikan budaya timur diajukan oleh sebagian pembicara (Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara dan Sutopo Adiseputro) dalam kongres sebagai model perguruan ‘yang asli’, yang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Model pesantren ini dihadapkan dengan model perguruan yang ada di barat, yaitu H.I.S. (Hollandsch Inlandsche School) dan E.L.S. (Europesche lagere School) yang diajukan oleh STA. Perdebatan ini dapat dikatakan sebagai bentuk refleksi dari situasi peralihan yang dihadapi masyarakat Kolonial, terutama pada masa-masa akhir pemerintahan Hindia-Belanda.

Pada bagian ketiga, tentang polemik pembangunan bangsa. Sebenarnya semua yang bertentangan telah mendapatkan pendidikan dari barat dan hasil dari perdebatan itu hanyalah hal-hal yang sifatnya imajiner.

2) Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG)
Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan resmi yang menyatakan sikap dan pendirian kelompok gelanggang mengenai kebudayaan yang tertanggal 18 Februari 1950 dan diumumkan melalui majalak Siasat edisi tanggal 22 Oktober 1950.[2]

SKG yang sebenarnya dirumuskan oleh Asrul Sani pada 18 Februari 1950 tetapi baru dipublikasikan Sembilan bulan berikutnya, pada 22 Oktober 1950, mengindikasikan bentuk reaksi terhadap Mukadimah Lekra yang dicetuskan pada 17 Agustus 1950. Indikasi itu terlihat dari masuknya beberapa pencetus SKG ke Lekra, perbedaan ideologis antara Lekra dan Generasi Gelanggang, dan Kemajuan Lekra.[3]

Pada saat desakan Lekra begitu kuat, Asrul Sani dan Usmar Ismail dan beberapa teman lainya mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) yang berinduk pada NU.

Sebagaimana yang tercantum dalam SKG, Asrul Sani selalu memegang teguh idealismenya untuk membangun kebudayaan Indonesia, “…ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Asrul Sani juga menolak tegas gagasan politik adalah panglima, “kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian…kita adalah penentang keras ‘politik adalah panglima,” yang dianut oleh Lekra. Dalam pembangunan budaya Indonesia Asrul Sani menyebut kalimat, “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan pemberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.”
Dengan SKG ini menandakan Asrul Sani sebagai bagian dari Lesbumi yang selalu mengawal pembangunan kebudayaan Indonesia dari pengaruh kekuatan penguasa dan pemurnian budaya dengan berpegang pada agama.

3) Politik-Aliran Kebudayaan
Politik-aliran kebudayaan yang berkembang pada tahun 1950-an dibagi menjadi dua aliran utama di kalangan seniman-pengarang saat itu: aliran universalisme (seniman-pengarang gelanggang) dan aliran realisme sosialis (seniman–pengarang Lekra).

Dalam perkembanganya, aliran-aliran kebudayaan hanya mempertentangkan soal jalan atau metode, belum mencapai soal hasil dalam berkebudayaan dan berkesenian. Keadaan itu brejalan sampai memasuki tahun 1960 dan pada saat itulah politik Indonesai dihadapkan pada bapak baru, yaitu diterapkanya ‘Demokrasi Terpimpin’. Sistem Demokrasi Terpimpin ini dilakukan oleh Soekarno sebagai ganti dari liberalisme yang gagal. Selanjutnya konsep Demokrasi Terpimpin yang digagas Soekarno melalui pidato 17 Agustus 1959 ini disebut Manifesto Politik (Manipol). Di mana tidak hanya persoalan yang ekonomi dan politik saja yang menjadi konsen, tetapi juga mengenai kebudayaan.

Pidato tersebut mendapat tanggapan, antara lain dari Asrul Sani yang mengemukakan tentang ketidakmajuan seni budaya nasional disebabkan oleh jatuhnya seni budaya ke tangan kaum birokrat tanpa mengikutsertakan kaum seniman. Lebih jauh, Asrul Sani menyebut bahwa kaum birokrat sibuk dengan soal infiltrasi kebudayaan.

Manipol ini memberikan ruang untuk saling dukung antara pemerintah dan kaum seni. Di satu sisi mengikutsertakan kaum seni dalam revolusi pembangunan bangsa. Namun di sisi lain, terjadi arus politisasi kebudayaan yang sebenarnya bertentangan dengan naluri kaum seni yang beraliran seni otonom.

Konsep Manipol ini juga menjadi momen persinggungan antara kaum seni dan dunia politik. Peringgungan ini yang memunculkan kaum seni yang berafiliasi dengan pemerintah, yaitu Lekra dengan slogan utama ‘Politik adalah Panglima’ dan kaum seniman-pengarang ‘angkatan baru’ (angkatan 45) yang melahirkan Manifes Kebudayaan dengan falsafah kebudayaan Pancasila.

Berbeda dengan kedua kelompok di atas, Lesbumi melalui para pelopornya—meskipun lembaga ini dibawah partai NU—monolak ‘Politik adalah Panglima’. Lesbumi menempuh jalan tengah sesuai dengan karakteristik NU, partai induknya. Alasan ini dikemukakan karena kaum Lesbumi ‘tidak berpegang pada kata untuk kata, puisi untuk puisi’ dan ‘tidak ingin melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya’. Selain itu, Lesbumi juga menegaskan ‘isme’ dalam kesenian tidaklah penting dan yang penting adalah ‘gaya pribadi seniman yang dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak disampaikan kepada masyarakat’.

Meskipun demikian, tantangan kaum terdidik (seperti usmar Ismail dan Asrul Sani) dalam mengembangkan seni budaya Lesbumi di lingkungan nahdhiyyin adalah bagaimana memadukan seni budaya yang ‘modern’ sekaligus ‘religius’ sebagai kepaduan yang baru.

Persoalan lain juga adalah mengenai membumikan pandangan ‘keagamaan Islam tentang seni budaya’ dalam komunitas nahdhiyyin. Tentunya ini menjadi pekerjaan bersama oleh kaum seni Lesbumi dengan para Ulama.

Tantangan Lesbumi di dalam berkesenian dan Berkebudayaan
Hadirnya modernitas yang mendasari sifat kebudayaan pragmatis kini menjadi tantangan nyata bagi Lesbumi untuk berkesenian dan berkebudayaan yang lebih berkualitas dan manusiawi khususnya dengan mengajak seluruh warga NU agar mengembalikan ruh kebudayaan sebagai medium baragama dan bersosialisasi.

Menghadirkan kembali lesbumi sebagai upaya untuk menjadikan berkesenian dan berkebudayaan sebagai pilar dari sikap kemanusiaan. Hal ini dilandasi oleh keadaan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang nampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi menjadi sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya akan terkesan kering, keras dan kaku.

Lesbumi yang terdiri dari para budayawan, seniman, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia, memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kretifitas masyarakat. Proses alienasi kesenian dari komunitasnya disebabkan oleh komersialisasi dan komodifikasi kesenian yang menciptakan pasar mengakibatkan kesenian rakyat selalu dapat dikalahkan oleh kebudayaan dan kesenian kapitalis.

Sudah saatnya NU memberikan perhatian khusus pada dunia seni dan budaya serta menjawab persoalan- persoalan yang dihadapi oleh seniman dan budayawan meski konsekuensinya adalah NU harus memperkaya Bahtsul masail kebudayaan dan kesenian yang dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu.

Untuk meneguhkan komitmenya di bidang kesenian dan kebudayaan, NU melalui Lesbumi sudah saatnya mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran islam dalam rangka untuk membina manusia nuslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan Negara.

Sumber:
Chisaan, Choirotun, Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan, 2008, Yogyakarta: LKIS
Zaidan, Abdul Razak dkk., Kamus Istilah Sastra, 2007, Jakarta: Balai Pustaka, h.156
Mahayana, S. Maman, 9 Jawaban Sastra Indonesia: sebuah oriantasi kritik, 2005, Jakarta: Bening Publishing, h. 452-455

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito