Wawancara Ranang Aji SP dengan Saut Situmorang
http://koranopini.com
KoPi, Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia melahirkan kontroversi dan dianggap berpotensi menodai sejarah sastra Indonesia. Setelah wawancara KoPi bersama Jamal D Rahman beberapa waktu lalu, pelbagai tanggapan kelompok kontra semakin mengeras. Berikut adalah wawancara KoPi dengan salah satu tokoh pembuat petisi penolakan buku tersebut; Saut Situmorang. Dalam kesempatan yang sama, Penyair dengan tradisi kiri ini menganggap tuduhan kontra demokrasi Denny JA terhadap dirinya sebagai pemutarbalikan fakta.
“Sejak bulan Mei saya menulis komen di situs Denny JA, komen saya tidak pernah dimuat karena tidak memuji-muji dia”, ucap Saut. Fakta kecil ini menunjukkan siapa yang sebenarnya tidak demokratis.
Berikut adalah wawancara selengkapnya berkaitan dengan penolakan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia. Wawancara ini juga dimaksudkan sebagai pemenuhan kaidah jurnalistik cover both-side.
Ranang Aji SP (RASP) : Reaksi temen-temen dianggap berlebihan. Begitu ya?
Saut Situmorang (SS) : Bagi tim 8 pasti sangat berlebihan, kalau mungkin mereka tidak menduga kan? bahwa reaksi dari dunia sastra Indonesia akan begitu. Bagi kami, itu sangat wajar. Reaksi seperti itu sangat wajar karena memang yang sedang direspon ini adalah suatu usaha manipulasi sejarah yang bisa dikatakan hampir tidak pernah terjadi dalam sejarah sastra Indonesia. Jadi, makanya, reaksinya kita lihat kan reaksinya lintas komunitas? Bahkan para perintis petisi itu, kalau kau lihat komposisi orang-orangnya, saya, Faruk HT, Nuruddin Asyhadie, Eimond Esya itu berbeda-beda. Itu bukan dari satu komunitas atau pun dari satu ideologi. Kalau di luar isu ini, mungkin kami perang. Jadi kau bisa bayangkan reaksi itu lintas komunitas, lintas ideologi. Sangat berlebihan memang iya.
RASP : Dalam demokrasi pendapat mestinya sah-sah saja, kenapa tidak membuat buku tandingan? Saya dengar sudah ditawari membuat buku yang sama.
SS : Itu Orang yang punya ide seperti itu, satu disamping naif, itu penipu. Pertama, Buku itu tidak kami anggap sebagai buku, itu cuma dusta. Makanya kami menulis petisi. Kalau buku itu masih kami anggap buku, tidak akan kami petisikan seperti itu. Kedua, kalau kita membaca isi petisi, itu secara sangat hakikat untuk dibicarakan hal-hal yang sebenarnya diklaim oleh buku itu sendiri. Jadi kita meminta pembaca untuk membaca buku itu, sampah menurut kami itu, dari perspektif yang buku justru itu tawarkan, kriteria-kriteria yang mereka berikan dalam melakukan seleksi. Jadi kalau kita bilang, itu buku dibalas buku, kita sudah mengakui kalau buku itu memang buku, kita tidak mengakui itu buku, ini persoalannya.
Bagi kita, itu dusta sejarah. Bahkan covernya aja dusta. Covernya itu milik pelukis, Hanafi, temen juga, yang dicuri. Hanafi tidak diberi tahu. Dan Hanafi mengkontak mereka. Sampai yang saya tahu, mereka enggak pernah merespon. Itu kalau enggak salah Hanafi wawancaranya di sebuah portal berita apa gitu, tapi istrinya menulis juga di Facebook, di status. Emang benar. Lukisan itu diambil dari buku. Buku ini kerja sama antara Hanafi dengan orang yang nulis novel Chaibi, perempuan itu siapa namanya, lupa aku namanya. Jadi itu salah satu ilustrasi dalam buku ini bukan anak, diambil dari situ. Bahkan kalau kita ngeliat di kolofon buku, lukisan itu enggak ada judulnya. Kan biasanya orang, oh, ini lukisan judulnya botol karya…kan gitu? Jadi bahkan dari covernya aja, dia udah enggak benar, apa yang mau direspon coba? Itu pencurian, itu kalau di luar, itu kedelapan orang itu sudah masuk penjara itu.
RASP: Membredel buku bukannya merusak logika demokrasi?
SS: Siapa yang membredel buku? Nah ini persoalannya. Kita dalam petisi itu, menganjurkan kepada pemerintah, yaitu Depdikbud. Kenapa Depdikbud? Karena buku ini direncanakan untuk menjadi bacaan resmi di kurikulum sekolah-sekolah. Nah makanya kita pakai Depdikbud yang merupakan otoritas untuk buku itu, supaya menilai kembali buku ini, kan begitu? Menilai kembali buku ini pakai parameter buku itu sendiri. Nah itu terserah Depdikbud siapa yang akan dia pilih untuk membaca kembali buku ini. Nah kalau dari hasil bacaan ini menunjukkan buku ini adalah sampah, tarik aja buku ini. Buku ini kan berbahaya. Kita tidak ada yang bilang memberangus. Coba baca aja petisinya. Mereka itu membalik-balikkan aja. Petisinya tidak ada yang bilang seperti itu. Kita menganjurkan buku ini dibaca kembali. Dibaca dalam konsep kritik sastra, benar-benar metodologinya jelas. Dari pembacaan ini hasilnya kalau negatif, buku ini jangan dijadikan pegangan. Karena buku ini bukan buku, sampah… Berbahaya buku ini kalau masuk ke sekolah-sekolah karena isinya tidak benar. Mereka menciptakan sejarah baru sastra Indonesia. Dan yang luar biasanya ada nama Denny JA, kita enggak tahu siapa Denny JA dan belum ada kesepakatan bahwa yang dia tulis adalah puisi. Semua orang-orang, yang menulis baik-baik tentang puisinya itu dibayari dia. Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calsoum Bachri, Putu Wijaya, dibayar-bayar dia. Masak senior dibayarin? Nah ini persoalan. Belum lagi banyak sekali tokoh-tokoh yang sebenarnya sangat berpengaruh tidak masuk ke buku. Contohnya Sitor Sitomorang ,penyair itu.. siapa yang enggak kenal Sitor Simorang? Tidak masuk ke buku itu. Saya baca, saya punya bukunya, saya baca alasan mereka. Alasannya cuma sederhana karena Sitor lebih banyak tinggal di luar negeri. Loh ngapain?… Loh kalau emang dia tinggal di surga pun kan selama dia bisa menulis, orang masih bisa membaca karya dia, selama dia belum mati, kan begitu? Dan satu lagi, mereka… kalau kita bicarakan sejarah sastra Indonesia, salah satu orang yang sangat berpengaruh bagi pengajaran sastra dan bahasa Indonesia.. itu orang Belanda, namanya A. Teeuw. Semua orang yang pernah belajar sastra Indonesia di Indonesia pasti akan baca buku A. Teeuw, minimum “Pokok dan Tokoh”. Bahkan, H.B. Yasin baca itu, tapi nama A. Teeuw tidak masuk dalam daftar 33 itu. Alasannya, karena A. Teeuw itu orang asing. Oke… A. Teeuw orang asing, tapi di dalam tim 8 ada orang asing, Berthold Damshauser, orang Jerman dan bukan ahli bahasa Indonesia. Dia cuma penerjemah biasa. Dia bukan ahli Indonesia, saya kenal dia. Kok bisa dia masuk jadi tim juri? Di antara tim 8 itu? Dia orang asing, nah ini kan aneh? Tabrakan toh? Di satu sisi ada tokoh besar yang diakui semua orang sangat berpengaruh di sastra Indonesia, namanya A. Teeuw, tidak dimasukkan namanya karena katanya orang asing, sementara di tim 8 juri itu ada orang asing. Dan orang asing ini sama sekali bukan ahli Indonesia, dia cuma penerjemah. Dia bisa bahasa Indonesia gitu lah, bukan ahli. Nah, kalian enggak lihat itu tabrakan? Tabrakan semua itu, mulai dari cover sampai komposisi tim 8 itu semua tabrakan. Isinya liar. Wiji Tukul enggak masuk, coba kau bayangkan. Wiji Tukul pengaruhnya di kalangan aktivis. Aktivis mungkin enggak baca puisi Chairil. Tapi mereka tahu Wiji Tukul, dan satu pernyataan Tukul dipakai menjadi slogan kan? Hanya ada satu kata ‘lawan’ iya ndak? Dia enggak masuk dan tidak ada penjelasan mengapa tidak masuk. Denny JA masuk (Ketawa). Nah itu loh… itu aja sederhana… belum yang lain? Banyak sekali… banyak sekali.
RASP: Petisi yang mendorong pemerintah untuk menilai buku itu, kayak memenempatkan politik sebagai panglima?
SS: Ya memang , politik memang sebagai panglima. Dari dulu, dimana-mana politik sebagai panglima. Sejak 65 sampai sekarang, politik sebagai panglima dalam kebudayaan Indonesia. Kalau kau tahu sejarah Indonesia ya… sejak 65 itu pengarang Lekra tidak ada. Kau belajar sastra Indonesia enggak? Nah, pernah enggak kau baca pengarang Lekra? yang kau baca kan pengalamannya Manikebu kan? Atau yang diberikan Horizon? Kemana pengarang Lekra? Padahal mereka ada kan? Kecuali Pramudya, karena Pramudya terlalu besar. Nah, kemana yang lain-lain? Kalau kau baca buku sejarah sastra Indonesia, sebelum 65 mereka ada semua karena mereka ada. Begitu 65, begitu menang Manikebu dan Orde Baru, tiba-tiba aja menghilang namanya. Ini politik sastra, ini panglima bagi politik sampai sekarang. Coba kau lihat karya-karya yang mucul di Horizon. Ada enggak karya-karya yang realis? Semuanya eksperimental. Dan sejak tahun 66, semua pengarang Indonesia yang dianggap pengarang besar itu adalah pengarang yang eksperimental. maksudnya yang enggak menulis apa-apa, yang menulis non-sense, misalnya kayak Surtadji kan nulis non-sense. Danarto, dia nulis apa? enggak ada.
RASP: Sastra gelap ya..
SS: Nah itu dianggap dahsyat. Sementara orang yang nulis benar-benar itu enggak dianggap apa-apa. Kuntowijoyo enggak pernah dianggap pembaharu kan? Atau pengarang-pengarang Islam, ada enggak yang pembaharu? Kenapa pengarang-pengarang yang enggak jelas ini, yang tidak ada apa-apanya dilakukan tiba-tiba jadi pembaharu? Itulah politik kebudayaan. Yang seperti saya bilang tadi di buku Wijaya Herlambang itu sejak 1965 ya begitu. Nah, cuma mereka ini, selalu mengklaim, selalu menuduh memfitnah Lekra itu lah yang seperti itu. Lekra kan sudah habis? Ada yang dibunuh, ada yang di buang ke pulau Buru. Mereka tahanan politik lagi.. gila banyak susah ini… Pramudya, sampai sekarang dilarang kan karya dia, walaupun ironisnya buku tetap terjual, sampai sekarang di kurikulum enggak boleh karya Pramudya dipelajari. Itu bukan politik? Itu politik selera lagi. Selera kita ditentukan oleh mereka. Apa yang harus kita buat ditentukan. Wah itu dahsyat banget. Kelompok ini sangat terkenal, kelompok Manikebu, ini kan anak cucunya kelompok Manikebu Horizon, orang-orang seperti Jamal D Rahman ini kan anak kecil, malu ni aku, Agus R Sarjono, Rahman Ismahayana, Acep Zamzam Nur, itu temen-temen semua. Kenal semua aku… Johny. Ini kan orang-orang, terus terang saja ya… secara kritik sastra, ini ke delapan orang ini enggak ada, enggak mampu membahas karya. Mereka sebagai pengarang mungkin oke, nah gitu. Harus dibedakan, pengarang yang menciptakan karya sendiri dengan orang yang menganalisis karya sastra saja itu berbeda. Jangan dianggap karena dia seniman dia bisa langsung membahas karya orang, belum tentu. Dan kedelapan orang, karena saya kenal benar enggak mampu. Makanya kalau anda baca buku itu, itu sama sekali tidak ada ciri-ciri sastra. Jadi mereka itu sama seperti menulis feature. Kalau anda tahu Pokok dan Tokoh, ini siapa, ini Ranang… ini gini gini… baru kutip… menurut anu… ini gini gini. Gitu aja kok isinya. enggak ada memang membahas misalnya Chairil itu pengaruhnya di mana… begini karena begini dia begini… enggak ada. dia itu cuma menuliskan lahirnya di mana, besar di mana, curi buku di mana. Menurut penulis ini, ini hebat… Cuma begitu kok. Itu aja isinya buku itu. Padahal, mereka mengatakan ini paling berpengaruh. Kalau saya bilang anda paling berpengaruh, saya kan harus buktikan di mana anda paling berpengaruh, kan gitu? Oke, untuk menguatkan saya harus kutip orang, tapi saya yang membuktikan, begini loh… ini jadi gini gini.
RASP: Ini politik dagang juga?
SS: Itu sudah politik. Makanya kita menyimpulkan itu bukan buku. Ini proyek besar, terutama karena ada nama Denny J.A di situ. Ini proyek besar yang tujuannya, satu, jelas ini menipu sejarah sastra Indonesia. Yang kedua, harus di ingat tahun depan ada yang namanya book fair di kota Frankurt, di Jerman. Itu book fair paling besar di dunia. Dan Indonesia diundang secara resmi sebagai tamu kehormatan. Nah negara Indonesia oke, bersedia menjadi tamu kehormatan itu. Berarti negara kan dananya milyaran untuk membentuk panitia yang akan membawa buku-buku itu ke sana. buku-buku ini kan diterjemahkan dalam berbagai bahasa kan? Itu salah satu tujuan dari buku ini. Dan saya dengar, buku ini sedang diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh si Berthold tadi. Jadi ngak bisa buku itu sekedar dilihatin. Kalau menurut saya, di luar dari tokoh Denny JA, kelompok Horizon ini ingin… karena saya dengar, ada dua nama dari tim 8 ini yang masuk dalam juri, tim khusus yang dibentuk dari Depdikbud. Dua nama itu adalah Agus R Sarjono dan Berthold Damshauser. Jadi kita tahu, Taufik Ismail itu, Horizon itu suka mencari Funding. Pertama kali itu dari Ford Foundation, kemudian oleh Ford ditendang. Kemudian dia menciptakan proyek, proyek namanya “sastrawan Bicara Siswa Bertanya” itu milyaran. Nah ini yang dicari orang ini, kelompok Horizon ini, karena contoh begini… di dunia ini redaktur sastra, redaktur majalah sastra yang punya mobil, itu semua redaktur Horizon. Coba bayangan ini? Di barat itu tidak ada redaktur majalah sastra itu bisa naik mobil. Dan ini, yang saya bilang tadi, proyek untuk tahun depan ini, pemerintah sudah oke. Ini gila dananya. Itu yang mau diambil orang itu. Ini ada dua tujuan mereka ini. Berbahayanya di situ. Jadi enggak bisa hanya sekedar melihat buku gini. Pembaca umum memang dialihkan supaya melihatnya begitu. Makanya mereka kan kita tantang, berani enggak debat publik terbuka? Berani ngak kalian? Mereka kan pada takut… karena akan dibongkar. Orang-orang yang kalau itu jurnalis berusaha akan mencari, benar enggak ini bahwa ini sangat terlibat dengan tahun depan. Kalu dicari, ketakutan mereka. Saya yakin yang untuk tanggal 9 ini yang akan saya datang di seminar, ketakutan mereka. Jadi sengaja dibikin lah tuduh-tuduhan Denny, oke lah itu fasis, itu tu begini… begini.
RASP : Sampai hari berapa tanda tangan terkumpul di petisi itu?
SS: Kalau di petisi itu lebih dari 500, tapi kita kan juga bikin spanduk, ditanda tangani. Dan juga dukungan-dukungan dari komunitas sastra di daerah. Terakhir dari Malang, sebelumnya dari Kairo. Ini nanti para penulis perempuan di Hongkong juga mendukung. Itu lintas wilayah. Di Hongkong, mereka sangat kuat itu penulis perempuannya.
RASP: Berbicara liar di media sosial tidakkah itu melemahkan tradisi intelektual kita?
SS: Ya, karena kan begini. Kalau saya ya, saya melihatnya misalnya media sosial seperti twitter. Ya itu isi tweetnya aja dilihat apakah isi tweetnya memang bermutu atau cuma sampah. Fitnah atau memang dia punya isu. Itu aja. Saya pikir, kalau kita ngelihat, penipuan publik yang dilakukan oleh media kertas itu luar biasa di zaman Orde Baru. Kalau media kertas pasti akan menghina media on-line karena lawannya, kan begitu. Tapi kita ngelihat, itu kan alternative. Kalau media on-line dihajar sama media kertas, karena media kertas takut kemapananya terganggu. Kita kan tahu yang mana, yang enggak benar itu yang mana. Dulu tahun 2001, saya dan temen-temen membentuk komunitas yang namanya Cyber sastra. Itu sastrawan yang menulis di internet. Kami yang pertama. O itu mendapat perlawanan yang luar biasa. Dan terutama perlawanan dari media cetak. Jadi koran-koran di pulau Jawa dan majalah dari Jakarta sampai Surabaya menghajar kami. Sekarang lihat, koran-koran dan majalah semuanya on-line toh? Dulu kita dihina diejek macem-macem.
RASP: Anda ini kanon sasta kiri yang tersisa di Indonesia. Saya kira anda adalah pewaris tradisi Pramudya yang mendorong bagi lahirnya sastra Indonesia yang bermutu. Menurut anda puisi narasi Denny JA jauh dari itu?
SS: Sekarang begini saja, banyak orang yang sekarang mulai bicara, membocorkan bahwa sebenarnya yang dibilang puisi Denny JA itu ditulis oleh orang lain, ghost writer, yang dia bayar, itu salah satu. Nah, jadi caranya membuktikan, jadi seperti yang saya tantang dia melalui twitter,berani enggak Denny JA dengan saya langsung menulis puisi seperti dia itu di depan umum? Kalau dia memang pencipta puisi itu, jenis baru puisi seperti itu, harusnya dia ahli toh? Maka saya tantang Anda dengan saya di depan umum, kita menulis puisi seperti puisi anda. Bukti aja, anda menulisnya apa tidak. Kan begitu? Sampai sekarang enggak dijawab. Nah itu aja dulu. Jadi kalau kita ngomongin soal sajak, itu sajak biasa. Dan kalau dibilang puisi esai, puisi esai kan tetap puisi ya? Iy ndak? Walaupun anda bilang puisi majalah, kan puisi ya? Nah sekarang, di mana puisinya puisi Denny? Itu dulu. Orang kan ributkan dia esai gini… gini… tahi kucing lah. Tetap puisi toh? Nah, di mana puisinya puisi dia itu? Tahu enggak apa itu puisi? Nah sekarang itu dulu. Kenapa sebuah puisi disebut puisi? Nah itu dalam kan jadinya?
RASP: JDR lebih menimbang kuantitas?
SS : Manusia ini, Denny JA ini membayar orang, dan orang-orang murahan yang dibayari ini mau menulis, muji-muji dia dengan mengarang macam-macam. Tentang puisi esai itu, nah tidak ada itu puisi esai. Kalau mau tahu, dalam sejarah sastra dunia, itu abad 18, para pengarang di Inggris nulis namanya puisi esai, itu bentuknya puisi isinya esai membicarakan persoalan misalnya kematian, apa itu kematian. Jadi bentuknya puisi. Dia nulis apa Denny JA itu? Dia nulis apa? Enggak ada nulis apa? Tahu enggak arti esai? Itu dulu. Kalau kita ngomongin puisi esai, adalah puisi yang isinya esai, kan begitu? Nah ini kan berat. Pertama kali, dia harus puisi dulu. Kemudian isinya esai. Yang saya katakan tadi, tahu enggak apa itu puisi? Coba dulu sebutkan kenapa semua puisi jadi puisi. Kalau dulu di zaman pantun, apa itu pantun? Pantun itu jelas. Pantun itu bentuknya empat baris, terdiri dari empat sylabel, rimanya, sajak belakangnya itu AB- AB. Itu jelas kalau dah begitu itu pantun namanya. Nah sekarang ini puisi esai, nah puisi esai dalam istilah puisi yang kayak mana coba? Pernah ngak dibahas? Itu aja dulu. Coba anda buktikan tim 8 itu, di mana puisinya puisi essay itu? Jangan ngomong esai-esainya, enggak perlu! Dia mau bikin puisi rokok aja itu ngak apa-apa, ini bahas puisi dulu kan? Nggak ada disana kan? Nah itu lah yang akan dituntut kepada mereka kalau mereka berani ngomong dengan kita. Saya akan tuntut Ahmad Gauz itu yang menominasikan nama Denny. Coba dulu anda buktikan bahwa itu puisi. Satu dulu puisi coba. Apa unsur-unsur yang membuat tulisan menjadi puisi coba! Saya mau anda ajari, saya goblok. Setelah anda mampu baru kita bicarakan isinya di esai. Begitu kan? Nah kita itu, inilah yang kita harapkan, Depdikbud lakukan terhadap buku ini. Itu isi petisiku. Tapi kita dibilang fasis, o kita ini dibilang melarang buku itu, ini kan ada metodenya tentunya. Kita membaca, kalau buku ini negatif, buku ini sampah kan? Harus ditarik! Kalau hasilnya positif ya silahkan, kan begitu? Siapa yang membilang membredel buku? Enggak ada kan? Karena mereka ini, si Jamal ini, orang pesantren yang sesat itu ngak membaca, fitnah, kebiasaan orang itu seperti itu. Dan menuduh kita enggak membaca bukunya. Loh, waktu kita kemarin demo, mereka bagikan bukunya juga ke kita kok. Ya kita ambil aja, baca kan. Saya sudah dapat bukunya. Bahkan sudah saya coret-coret bukunya itu, karena hujan aja bukunya ngak di bawa. Ya baca dong. Masak belum baca langsung gitu. Kita digituin. Itu kan gila, anda mengomentari sesuatu yang belum and baca. Kan gila itu… bagaimana kita menulis petisi itu kalau kita belum baca bukunya. Nah ini lah, ini lah dusta-dusta mereka itu, termasuk JDR. Nah terakhir kan isunya, Ahmad Gauz yang belum, dia bilang coba lihat situsnya ini, hitsnya sampai sekian juta katanya kan, mengalahkan Agnes Monica di Youtube, gini-gini. Sekarang kan semua ahli computer, ahli internet membahas. Dusta lagi… hits itu bukan berarti pengunjung. Hits di situs bukan berarti pengunjung. Saya bisa aja menghits sepuluh kali, karena saya mungkin, yang ini saya hits, yang itu saya hits. Kan gitu? Menulis komentar saya hits. Udah sepuluh kali kan? Padahal cuma satu. Cuman saya kan? Tapi mereka klaim karena hitsnya sampai sekian juta. Pengunjungnya sampai sekian juta ternyata itu dibuktikan tidak. Salah satu pembuktian dari page rank situsnya. Page rank situsnya malah kalah dari page rank situs saya, Boemipoettra. Saya 2 per 10, mereka cuma 1 per 10. Bayangin? Page rank nggak bisa ditipu kan? Itu kan berdasarkan dari banyak orang yang mengunjungi, populernya, mungkin yang dikirim ke mana lagi. Nah itu dusta, itu kan disebut-sebut Jamal dalam wawancaranya juga kan? Nah dia dari… anda tahu ngak facebook kita yang anti buku itu? Tahu kan? Nah di situ kita mention nama mereka, JDR ini ngak pernah mau merespon. Padahal itu di bawah wawancara kau, itu kan? Bagaimana ini silahkan respon ini? Aku kan bilang bahwa link hitsnya ini, nah ini dibuktikan oleh Syahlul dari Malang, salah semua. Saya langsung nanya responnya sampai sekarang nggak ada. Saya bahkan di twitter langsung ke akunnya si Ahmad Gaus dan Denny JA, ngak pernah dibalas. Ini respon dong ini! kalian bilang gini hitsnya ini lihat, nah ini buktinya kalau kalian dusta. Ngak pernah dibalas sampai sekarang. Tapi tetap pula dituduh, yang ini lah, yang itu lah.
RASP: Peran kritikus sastra sangat dibutuhkan ya?
SS: Itu sangat penting, dan di Indonesia sangat minim. Di Indonesia kalau kita mau ngomongin soal kritikus sastra itu misalnya kita sebut nama A. Teeuw, orang Belanda itu kan? Dia bisa disebut awal. Atau juga Armin Pane zaman pujangga baru, kemudian ada Bachri Siregar orang Lekra. Kalau sampai kebawa-bawa sini, ya mungkin namanya Dani Entoda, ada Bun E Sumaryati, Subagyo Sastro Wadoyo terutama, terakhir Katrin Bandel. Kalau kita ngomong ini, H.B Yasin ya tidak… H.B Yasin tidak pernah menulis kritik sastra. H.B Yasin penting karena dia mengumpulkan karya-karya sastra sejak awal, itu aja. Dia itu sebagai documenter penting. Ngak ada tulisannya kritik sastra, coba baca aja. Sebagai penulis essay ya dia mungkin oke. Tapi kritik sastra lain, kritik sastra bukan seperti itu.
***
Dijumput dari: http://koranopini.com/index.php/tokoh/wawancara/item/1329-saut-situmorang-buku-33-tokoh-itu-sampah?showall=
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar