Sabtu, 07 Juni 2014

Penyair dan Keruntuhan Sejarah

Faisal Kamandobat
Kompas, 12/01/14

Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah? Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.


Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski dipuja tetapi tak cukup didengar.

Namun yang penting, di tengah pasang surut ”kuasa” para penyair itu, kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengganggu, bahkan meruntuhkan posisi para penyair dalam sejarah. Selain itu, kita juga dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik, beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai ”teori” kesadaran dengan puisi sebagai ”rumah utama” bagi keberadaan manusia.

Untuk mengetahui masa ”kejayaan” para penyair, bukti sejarah yang paling baik terdapat pada masa pramodern, yaitu ketika kapitalisme dan ilmu pengetahuan belum sungguh-sungguh melembaga dan otonomi individu belum menguat seiring belum kokohnya kepemilikan individu. Dalam masyarakat demikian, peran penyair dapat dikatakan penting dalam menjaga keseimbangan sosial, yang oleh orang Yunani Kuno disebut kosmos.

Pentingnya peran penyair tersebut terkait dengan kenyataan bahwa puisi (dalam bentuknya yang paling umum, yaitu sebagai produk bahasa berdasarkan permainan irama dan repetisi) masih merupakan bentuk pengucapan yang paling mewakili karakter kosmis dan transenden dari mitos dan ideologi masyarakat pramodern.

Usaha peng-kosmis-an dilakukan melalui permainan harmoni dalam irama puisi, dan transendensi dicapai melalui pola repetisi puisi yang mengantarkan pengucap dan pendengarnya menempuh tingkatan-tingkatan intensitas hingga mendekati bentuk penghayatan yang paling menyerupai tatanan semesta yang dibayangkan, sesuai mitos atau ideologi yang diacu.

Karena itu, tidak heran jika hampir semua kitab suci agama-agama ditulis dalam bentuk yang puitik, pula hampir semua teks yang dianggap suci dalam berbagai kelompok etnis. Dan tentu, kandungan dalam puisi-puisi tersebut mengacu pada peristiwa-peristiwa yang dianggap penting oleh kelompok yang menganutnya, seperti penciptaan, kelahiran, kutukan, kiamat, dan penciptaan kembali. Kitab suci agama-agama lazim diketahui menggambarkan peristiwa-peristwa penting itu, seperti juga sajak-sajak bini yang dibawakan oleh para manaholo, penyair tradisional Rote, berisi peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan oleh para tetua adat di masa yang telah silam.

Melalui puisinya, para penyair pramodern memosisikan dirinya sebagai sumbu yang ”mengendalikan” sejarah masyarakatnya berdasarkan sumber mitis yang diacu, karena terhadap acuan mitis itulah kehidupan masyarakat sehari-hari diorientasikan dan sekaligus menemukan status historisnya. Tanpa mengacu pada sumber yang disepakati, sebuah peristiwa tidak dianggap sebagai bagian dari kosmos alias berada ”di luar dunia”, dan karena itu bersifat ekstra-historis.

Sejarah, dengan demikian, sebagaimana disebut Mircea Eliade (1991) adalah takdir menjalani peristiwa pengulangan terus-menerus sesuai pusat acuan dengan hanya sedikit partisipasi individu dari generasi setelahnya. Hal itu terjadi sejauh individu tersebut bukan seorang penyair, raja, pendeta, penyihir, atau pemberontak yang memiliki daya ledak seorang Dionysius yang mampu mengacaukan kosmos. Agar tidak terlempar dari sejarah, kehidupan sehari-hari yang paling wajar sekalipun mesti dikaitkan dengan pusat acuan, entah dengan puisi atau praktiknya, yaitu ritual.

Hidup dalam sejarah demikian itu, yang terserap secara total ke dalam harmoni kosmis, tak ubahnya tinggal dalam pandangan Plato tentang dunia ideal, di mana dewa-dewa hidup bersama manusia di alam yang sama, dan surga di langit menjadi model yang ”melembaga” dalam realitas sosial di bumi. Para penyair menjadi pewarta agung dalam sejarah yang demikian itu, mengisi makna secara penuh ke hampir seluruh realitas, sehingga ia sering dianggap suci dan bahkan setengah dewa, dan pada akhirnya ikut tenggelam dalam dunia yang mereka nubuatkan.

Kuasa yang terbatas

Pada masa selanjutnya, posisi penyair sebagai penjaga kosmos perlahan terkikis oleh perubahan sosial. Kosmos masyarakat pramodern tidak semata dibentuk oleh rima dan repetisi puisi para penyair, tetapi juga didukung oleh organisasi sosial, pembagian kerja, basis ekonomi, aturan kekerabatan, tatanan religi, yang membentuk kolektiva sosial yang melampaui eksistensi individu.

Perubahan tersebut terjadi hampir menyeluruh. Secara ekonomi, datangnya kapitalisme telah mencabut hak milik adat menjadi milik individu. Dampaknya adalah melemahnya institusi agama, kekerabatan dan adat, diikuti nilai, ritual, dan upacara yang berkaitan dengan semua hal itu. Situasi demikian telah mengubah secara paradigmatik penghayatan masyarakat terhadap sejarah mereka. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai repetisi terhadap pusat acuan mitis yang ditegaskan melalui puisi dan ritual, melainkan interpretasi individu-individu terhadap pusat acuan tersebut yang dilakukan demi menjustifikasi posisi dan kepentingan masing-masing individu itu.

Situasi demikian telah mengubah secara paradigmatik penghayatan masyarakat terhadap sejarah mereka. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai repetisi terhadap pusat acuan mitis yang ditegaskan melalui puisi dan ritual, melainkan interpretasi individu-individu terhadap pusat acuan tersebut yang dilakukan demi menjustifikasi posisi dan kepentingan masing-masing individu—sesuai sistem ekonomi yang baru.

Dalam konteks tersebut, konsep waktu yang semula tunggal, kolektif dan siklis, berubah menjadi plural, individual dan progresif mengikuti kehendak individu. Akibatnya, waktu dipahami oleh tiap individu sebagai arus linear yang menjelajah ke depan dan menembus gugusan teritorial, paralel dengan terjadinya diferensiasi sosial, persebaran penduduk, dan terciptanya struktur sosial baru di pusat-pusat kapitalisme yang sedang tumbuh.

Di tengah situasi tersebut, para penyair pramodern pun goyah di singgasana kosmosnya. Sebagian dari mereka tetap tenggelam dalam kosmologi lamanya, sedangkan sebagian lain yang cukup sigap mencoba menumpang perahu penyelamat dengan ikut mengkreasi sejarah modernitas. Dalam medan baru ini, posisi dan peran mereka tidak sekuat dan sekeramat dulu lagi. Ia harus berbagi kekuasaan dengan para filsuf, ilmuwan, teknolog, politisi, arsitek, pedagang, dan buruh—peran-peran yang pada masa pramodern sering hanya ditempatkan sebagai ”figuran” belaka.

Pembagian kekuasaan tersebut pada akhirnya ikut mengubah bentuk puisi. Pada masa pramodern, bentuk puisi yang diacu adalah koherensi kata, baris dan rima, yang merefleksikan ikatan historisnya dengan harmoni kosmis. Dalam puisi modern, aturan rima demikian justru dilanggar sebagai modus penghadiran individu penyair ke dalam bahasa, sekaligus merefleksikan kuasa penyair yang kian terbatas. Dengan kata lain, jika dalam masyarakat pramodern sosok penyair menjadi manifestasi dari kosmos dan kolektiva sosial, dalam masyarakat modern ia hanya sesosok individu yang berusaha sekuat tenaga menghadirkan dirinya ke masyarakat, bukan lagi ”penguasa” atasnya.

Mekanisme penegasan kuasa sosial para penyair juga ikut berubah. Dalam masyarakat pramodern, puisi dibacakan dalam kegiatan ritual untuk menegaskan status sucinya, di mana sang penyair berbagi kekuasaan dengan para dewa-dewi.

Adapun dalam masyarakat modern, penyair membacakan puisinya dalam festival yang menegaskan status sekuler dan profannya untuk mereguk sepenuhnya kekuasaan yang terbatas atas namanya sendiri. Semakin kuat dan inovatif puisi-puisinya, semakin ia diterima oleh masyarakat; semakin prestisius festival yang diikuti, semakin tegas aura kuasanya sebagai ”pewarta murung” modernitas.

Perlu mekanisme baru

Mekanisme penegasan kuasa semacam itu tentu memiliki konsekuensi. Secara estetis, kuatnya posisi individu memungkinkan pesatnya inovasi, yang secara sosiologis berarti memberi banyak pilihan orientasi terhadap masyarakat. Namun karena inovasi tersebut hanya didukung oleh mekanisme kontestasi yang tidak berkaitan secara kuat dengan institusi-institusi lainnya, baik ekonomi, politik, agama, adat maupun keluarga, kuasa penyair dalam memberi orientasi terhadap sejarah menjadi lemah. Penyair modern (setidaknya di Indonesia) dianugerahi kebesaran nama, tetapi pengaruh sosial dan politiknya telah jauh berkurang.

Untuk meningkatkan ”kuasa” para penyair dalam sejarah modern, panggung festival dan industri penerbitan saja tidak cukup. Kita membutuhkan mekanisme yang sanggup menghubungkan puisi dengan agama, keluarga, kekerabatan, perusahaan, negara, dan pemerintahan yang luar biasa kompleks karena keragamannya di negeri ini. Di samping itu, ideologi yang dibawa para penyair juga mampu menyentuh wilayah ”meta-sejarah” yang menjembatani komunikasi bangsa yang beragam ini, tidak hanya melakukan kreasi estetis berdasarkan bentuk estetis—kendati dalam kadar tertentu bentuk estetis juga menentukan ideologinya.

Jika mekanisme tersebut berhasil dilakukan, para penyair modern setidaknya bisa ikut menunda ”keruntuhan sejarah” bangsanya yang sedang mengalami atomisasi di berbagai bidang, atau bahkan menjadi dirijen sejarah berdasarkan irama puisi-puisinya, untuk bergerak mengikuti pancaran ideologi yang mereka nubuatkan.

Faisal Kamandobat, Penyair.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito