Jumat, 26 Juli 2013

S Jai Menangi Lomba Novel Etnografis

Reporter: Ribut Wijoto
beritajatim.com 22 Mei 2013

Novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih karya S Jai memenangi lomba novel etnografis yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur pada 2013 ini.

Novel yang bertutur tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa —tepatnya di sebuah dusun di Kediri— dalam menghadapi gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman tersebut terpilih sebagai satu-satunya pemenang, oleh juri sastrawan Beni Setia, M Shoim Anwar dan S. Yoga.
S Jai, pengarang yang memenangi lomba ini, sebelumnya juga dikenal penulis sejumlah novel; Tanah Api (LkiS 2005), Tanha (Jogja Media Utama 2011) dan Khutbah di Bawah Lembah (Najah 2012). Pria yang tinggal di Desa Munungrejo Kecamatan Ngimbang Lamongan ini, sehari-harinya juga bekerja pada Women and Youth Development Institute of Indonesia.

Kepada beritajatim.com pengarang kelahiran Kediri 4 Pebruari 1973 ini mengatakan bahwa berita kemenangannya itu diterima melalui surat pemberitahuan pada 20 Mei lalu.

Biografi dan Kekuasaan Danyang Desa

“Saya menulis novel ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat banyak orang. Namun sebagai bentuk sastra, saya menggunakan prespektif (sudut pandang) danyang desa,” tutur pengarang yang juga kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1973 ini.

Novel terbarunya ini, katanya, terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Kumara. Meski banyak sekali menuai kritik dan ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak habis-habisnya.

“Sudut pandang kumara saya gali dari sana. Kumara adalah wilayah kekuasaan danyang desa. Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi —salah satu putra Dewa Siwa,” ungkap sarjana bidang studi Sastra Indonesia dari FISIP Unair tersebut.

Dikatakannya, sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap disebut ‘sejarah’ itu—Jai banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan wawancara banyak orang.

“Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja. Atas kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada pertanyaan-pertanyaan tajam saya,” papar Jai.

Di mata Jai, tokoh-tokoh dalam novel Kumara, adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yang keukeuh pada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional.

Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknai stupid vainglory dengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka —termasuk oleh Geertz.

“Saya merasa agak beruntung berkenalan dengan karya Umar Kayam, Para Priyayi yang mencoba mengurai kembali gerak lembut tranformasi kaum priyayi ke dalam novel itu. Dan inilah yang memantik saya menulis novel Kumara. Saya mengambil jalan yang lain: maka Kumara dari saya adalah sebentuk pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta,” terang pria yang juga dikenal dramawan tersebut.

Keberanian Memasuki Sejarah Kelam

Sebagai konsekuensi dari ‘jalan lain’ yang ditempuhnya itu, lanjut Jai, dirinya mengumpulkan keberanian memasuki wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah. Atau setidaknya berlanjut dalam kontroversi. Yakni sejarah kelam 1965, misalnya.

“Pada novel saya ini, saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut. Melainkan, saya bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak, apalagi mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya,” tandas pria yang beberapa saat lalu juga memenangkan sayembara Cerita Panji yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang.

Jai mencontohkan, apa yang dilakukan Umar Kayam melalui tokoh Sri dalam Sri Sumarah, sesungguhnya telah tumbuh kepeduliannya pada perempuan ‘abangan.’ Namun demikian Umar Kayam tidak melakukan beberapa hal yang Jai sebut belakangan: tentang kepedulian pada korban dan absennya alasan kemanusiaan —yang kehadirannya justru seringkali untuk menyembunyikan diri karena mengamini pembunuhan.

“Nah, pada Kumara, saya tampilkan bagaimana kekuatan daya budi para perempuan yang tak mau kalah dari kepintaran kaumnya yang telah memilih membiakkan kecerdasannya menjadi anggota Gerwani, atau para pemuda yang menebar benih kritisnya dengan tergabung dalam Pemuda Rakyat,” ujar ayah dari Raushan Damir, Kasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini.

Menurut pengakuan Jai, sebagai sebuah karya yang dimaksudkan selaku biografi, dalam penulisan novel Kumara ini dirinya berutang budi pada Pipit Rochijat —seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke Berlin Barat— yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman hidupnya, menjawab surat-suratnya, memasrahkan data, catatan harian serta dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan menulis cerita ini.

Bukan hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada tahun-tahun itu ditelisik untuk memperkaya tulisan Jai. Bahkan dari pria itu, Jai mendapatkan transkrip wawancara intelektual Arief W Djati dengan ayahanda Pipit Rochijat, Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa G-30-S di Kediri.

“Begitulah Kumara saya tulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia,” tandas Jai.

Kesaksian Leluhur Kampung

Dikisahkan dalam novel Kumara, empat orang anak, tiga diantaranya perempuan, Surat, Suratemi, Markonah dan Marsitun ditinggal bapaknya mati muda. Mereka kemudian diasuh oleh ibunya, Tukinem dan tinggal serumah dengan kakeknya, Man To Karso, yang beristri seorang perempuan pawang hujan.

Anak-anak itu tumbuh besar juga oleh doa dan restu dari leluhurnya yang berdiam di punden kampung Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari. Kakek Man To Karso dan Nenek Nyi Tuk —tukang talang hujan itulah- yang berpengaruh besar dalam keyakinan hidup mereka.

Surat tumbuh menjadi laki-laki dusun yang mengurus diri berkat kekuasaan yang ada padanya. Marsitun melarikan diri dari kebusukan suaminya, dengan merantau ke Sumatera. Sementara Suratemi dinikahi Satijo, mandor tebu Pabrik Gula Ngadirejo yang suka main perempuan. Sedangkan Markonah menikah dengan Ngali, pria tetangganya yang kemudian bersama-sama merantau sebagai pedagang di dekat Jengkol.

Novel ini berkisah seputar kehidupan mereka dan anak-anak turun mereka, sekaligus sebuah kesaksian leluhur Mbah Singa Maya —pelindung seluruh warga dusunnya.

Para Korban G 30 S yang Selamat

Ketika geger Gestok, Markonah harus terus menerus menyembunyikan Ngali agar lolos dari para pemburu yang haus darah dan nyawa. Sementara Suratemi harus terus bertahan dengan penderitaan batin karena perilaku sewena-wena suaminya, sebelum kemudian memilih tidak lagi sudi hidup bersama. Di sisi lain, ia terus memikirkan anak tirinya yang mondok di pesantren Kiai Jauhari sebelum pecah peristiwa Kanigoro.

Adik Ngali, Sumiatun yang bersuamikan Sajuri, Juru Tulis Pabrik Gula PG Ngadirejo tak bisa melahirkan seorang anak pun. Karena itu keduanya sepakat untuk mengadopsi salah seorang anak Markonah yang masih berusia 3 bulan. Penyerahan bayi lelaki yang kemudian bernama Supriyadi itu terjadi beberapa hari sebelum meletusnya peristiwa Gestok.

Perang saudara tahun 1965 itu ternyata menyibukkan Pak Karta —seorang lelaki beristerikan perempuan keturunan priyayi, Raden Rara Moendjijah Martosoebroto— yang saat itu menjabat direktur Pabrik Gula PG Ngadirejo— atasan Sajuri. Sejak belasan tahun lamanya sebelum pecah perang saudara itu, Pak Karta terus diserang dan dibenci kaum komunis, bahkan menjadi musuh utama sejak peristiwa Jengkol. Namun pada saat geger Gestok, justru Pak Karta melakukan pelbagai cara untuk melindungi kaum komunis demi kelangsungan perusahaannya, dan tentu saja atas nama kemanusiaan. Karena sebagian besar karyawan Pak Karta adalah anggota Serikat Buruh Gula—organisasi buruh di bawah PKI, jelas bila mereka semua dikirim ke ‘sukabumi’, maka bongkorlah perusahaannya itu. Pak Karta menyembunyikan mereka di dalam pabrik selama kekacauan politik waktu itu. Termasuk Sajuri.

Sajuri pun yang telah bekerja belasan tahun lamanya pada perusahaan negara itu, bertahun kemudian terkena pembersihan alias skrining yang berdampak pada kehidupan pribadi dan tentu pada masa depan anak angkatnya, Supriyadi. Walau demikian Sajuri menempuh jalan hidup yang tak biasa. Sajuri menjadi petani penggarap yang punya lahan sawah dan tegal cukup luas. Ia malah sempat mempekerjakan Ngali, memulangkan Markonah dan anak-anaknya ke kampung. Bahkan Sajuri bertahun kemudian justru menikahkan Supriyadi dengan Yatim Muhaeni, seorang gadis yang bapaknya menjadi korban 1965 karena salah seorang Ketua BTI.

Keluarga Supriyadi mewarisi kehidupan yang tidak kalah pelik dari Sajuri, walau zaman telah berubah. Mereka terus hidup dalam rasa takut. Bahkan hingga anak-anak mereka tumbuh dewasa. Ketika Palupi, anak gadisnya mengurus pernikahannya dengan pria asal Korea Selatan bernama Young Sub Shin, di depan pejabat pemerintah, bayang-bayang ketakutan itu terus membayangi. Sebagai orangtua dari anak-anak yang ingin hidupnya bahagia, Supriyadi dan Yatim Muhaeni merasa dipersulit.

Meski demikian, betapa pun sulit hidupnya, mereka semua menyakini leluhur Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari senantiasa bersama —melindungi dan memberi restu jalan hidupnya.

Kini, Markonah, Suratemi, Sajuri telah benar-benar tua. Usianya dimakan pergerakan zaman. Yang bisa dilakukan hanyalah menyaksikan jalan hidup yang ditempuh anak turun mereka pada hari ini sebagai pewaris zaman —dalam lintasan keangkuhan atau kerendahhatiannya, pasang surutnya pergeserannya juga ketegangan serta kelembutan perubahan padanya.

Mereka semua telah betul-betul menyakini, hari ini adalah masa depannya, juga masa depan anak-anak mereka. [but]
Dijumput dari: http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/gaya_hidup/2013-05-22/172421/S_Jai_Menangi_Lomba_Novel_Etnografis

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito