Hasnan Bachtiar *
Sastra-indonesia.com
“Don, adone djongkong, djongkong ijo godonge senthe. Ati-ati riko nompo omong, omong manis mesti katute.”
Potongan syair manis di atas didapat dari “kumpulan” lagu-lagu Osing
yang bertajuk “Podho Nginang.” Penulis hanya terlupa siapa pengarang
“asli” syair tersebut. Terjemahanan bebasnya kurang lebih, “Adonan kue
djongkong, kue djongkong hijau itu terbalut daun senthe. Hati-hati
kita semua menerima perkataan, perkataan manis pastilah membuai.” Perlu
diketahui bahwa, artikulasi sastrawi ini memiliki makna yang terpaut
erat dengan persoalan politik, verifikasi ilmiah dan kejujuran
intelektual. Karena itulah, sepanjang tulisan ini secara lugas akan
membahas tentang persoalan sastra dan kejujuran intelektual.
Tulisan ini merupakan kritik. Kritik yang dimaksud, adalah kritik
sastra sekaligus kritik pemikiran dan filsafat. Fokus pembicaraan yang
diajukan, menyangkut teks yang bertajuk, “Sastra Versi Iklan Kecap Indonesia” (2012)
yang ditulis oleh kritikus Nurel Javissyarqi. Meskipun demikian, untuk
kelengkapan bahan kritik, disertakan pula pemikiran-pemikiran dari Dami
N. Toda, A. Teeuw, Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri, sebagai
wacana utama.
Konsepsi kritik ini memanfaatkan analisis multidisipliner, khususnya
ilmu-ilmu dalam disiplin humaniora. Untuk mempermudah analisis, maka
penulis mencoba menjadikan segala bentuk teks dan pemikiran sebagai
bagian dari wacana (discourse). Kendati demikian, tulisan ini
murni interpretasi terhadap teks-teks kritik dan sastra, maupun
pemikiran yang terhampar di hadapan penulis. Karena itu sejak awal,
menghendaki segala permakluman atas perbedaan-perbedaan pandangan
menyangkut gagasan yang diajukan. Persoalan pokok yang menjadi tema
utama adalah, “Apa itu kritik sastra mutakhir?”
Apa itu kritik sastra mutakhir?
Sesungguhnya tidak ada yang paling “mutakhir” dalam gagasan
kemutakhiran yang ditawarkan. Bahkan secara filsafati, ide “mutakhir”
adalah cacat yang tampak di permukaan. Inilah pijakan awal tatkala
membincang setiap pembakuan ide tertentu.
Pelbagai istilah operasional dalam pemikiran, hanyalah alat yang
membantu manusia untuk mempermudah dalam menganalisis. Meskipun dalam
pelbagai aspek, kerapkali menggunakan konsepsi filsafati tersebut dengan
cara yang berbeda. Mungkin benar, salah satu penyebabnya adalah
keberbedaan penafsiran (multi-interpretif) di antara para penulis. Belum
lagi bahwa, konstruksi sosial dan kebudayaan turut menambah bobot
keberbedaan tersebut. Secara lebih jauh dalam psikoanalisa, dimensi
biologis yang paling natural dari manusia (id), emosi-hasrat yang paling pribadi (ego) dan penghayatan individual akan kehidupan (super ego), membentuk adanya kepastian pluralisme daya dalam interaksi di antara subyek-subyek. Ini pembicaraan horisontal.
Sementara dalam ruang vertikal, yang materiil dan yang ideal (manusia
dan alam), dilengkapi oleh struktur hidup yang disebut dengan istilah
“waktu”. Dalam buku Essai sur les données immédiates de la conscience yang ditulis oleh Henry Bergson, telah dipertimbangkan hadirnya ide durée
yang dalam bahasa Indonesia, kurang lebih bermakna “lamanya” atau waktu
yang psikis. Secara eksistensial, waktu ini yang ambigu ini memang ada
dan hadir. Persoalannya, dapatkah istilah “mutakhir” yang memiliki kata
dasar “akhir” yang bermakna purna, ter-kini, terikat oleh waktu yang
paling sekarang, benar-benar menjumpai eksistensinya yang hakiki?
Sebelum para ilmuwan eksistensialis seperti Heidegger, Jaspers dan
Kierkegaard terlibat dalam diskusi dalam mimbar akademik, Gabriel Marcel
dalam karangannya yang berjudul Position et approches concrètes du mystère ontologique
(1933) telah menegaskan adanya keunikan persoalan kehadiran ini.
Kira-kira mirip seperti Bergson, hanya manusia yang insyaf dan
menyadari-lah yang memahami waktu kaitannya dengan ketidakmungkinan yang
paling pasti untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan kekinian dan
kedisinian.
Sampai di sini, berarti ada dua gagasan menyangkut waktu. Pertama, waktu mengada sebagai dirinya sendiri (being in itself), sedangkan yang kedua, waktu hadir dalam benak kesadaran kemanusiaan atau menjadi hal yang fenomenal (terra in cognita). Kedua hal ini menjadi pembicaraan khas dalam metafisika. Seperti misalnya, perbedaan istilah science dan knowledge dalam bahasa Inggris, atau ilmu dan pengetahuan dalam bahasa Indonesia. Bila dihubungkan dengan hakikat “kebenaran” sebagai suatu hal yang senantiasa dicari, maka science (ilmu) itu mengada, sementara knowledge (pengetahuan) menyaratkan adanya dimensi kesadaran agar hadir di tengah-tengah cogito
manusia. Bila yang pertama sudah dalam kodratnya sebagai hal yang
metafisis, sedangkan yang kedua, memiliki potensi tergambar dalam ruang
metafisika tatkala manusia mencoba mencandra apa yang dimaksud dengan
“kebenaran” yang hendak diketahui.
Persoalan ini terangkum secara jernih dalam catatan Husserl sebagai
tokoh fenomenologi dan Sartre sebagai pemikir eksistensialis. Mengikuti
struktur filosofis dalam buku Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie
(1913) yang ditulis oleh Husserl, maka “waktu” itu sendirilah selaksa
mentari yang bersinar menyinari semesta yang penuh harap akan terang
dunia. Hakikat tentang waktu akan sampai kepada manusia, bila manusia
berlapang dada untuk mengetuk dan membuka pintu “ego transendental”,
sehingga ketidakmungkinan mengisi ruang-ruang kemungkinan dalam ruang
batin intelegensia. Tampillah kemudian apa yang dimaksud dengan
visualisasi tentang waktu (Vergegenwärtigung). Membenarkan kesadaran akan waktu dengan cara yang berbeda, Sartre dalam L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique
(1943) berpendapat bahwa, sesungguhnya penyebutan akan kebenaran waktu
itu sama halnya dengan mengatakan keberadaan diri kita sendiri. Waktu
itu hadir, hanya untuk “diidamkan” bahwa hal itu benar-benar hadir dalam
diri (waktu) itu sendiri. Karena kehadirannya diinginkan, maka “atas
ketidakmampuan manusia” sebenarnya itulah “tindakan kreatif” oleh setiap
penulis sendiri (être pour soi). Inilah kesenyapan metafisika, yang senantiasa menjadi misteri.
Sementara dari sini, belum ada satu pun yang sedemikian gegabah
mengatakan bahwa metafisika benar-benar diketahui, dikuasi atau
sebaliknya, metafisika dihancurkan sejak dalam hakikatnya. Nietzsche
berpendapat bahwa atas segala kekurangan manusia inilah, semestinya kita
menaruh hormat atas fenomena nihilisme. Bukan berarti semua kebebasan
diperkenankan, namun secara arogan menisbatkan diri sebagai satu-satunya
pemangku kebenaran, bukanlah contoh yang dapat dipercaya, bahkan itu
berarti, mempertontonkan keruntuhan gagasan yang sejak awal salah.
Sekali lagi, apapun itu, pembakuan bukanlah hal yang dapat diterima.
Dengan mengapresiasi gagasan ini, Michel Foucault dan Derrida secara
konsisten menerapkan dalam karya-karya filsafatnya.
Kendati demikian, kerap kali ditemukan beberapa kesalahan pembacaan
di antara para ilmuwan yang gagal memahami nihilisme dan dekadensi
Nietzsche, kuasa, seni dan dekadensi Foucault, serta metafisika,
logosentrisme dan dekonstruksi Derrida. Resiko bahwa semua manusia
niscaya tidak sempurna, dekaden, selalu ingin berkuasa, tidak sepenuhnya
menangkap metafisika, meninggikan bahasa lisan, memanfaatkan bahasa
tulis dan sebaliknya, secara misterius, manusia sekaligus memiliki
kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk bersikap kritis, termasuk kepada
dirinya sendiri. Semoga pembaca memiliki toleransi yang tinggi dan
menyadari sepenuhnya bahwa setiap pembakuan, justru menunjukkan cela
diri.
Dalam konteks filosofis ini, kritikus yang mempromosikan beberapa
nama-nama asing dalam khazanah kritik sastra Indonesia, tentu memiliki
haknya untuk mendapatkan toleransi tersebut. Hanya masalahnya, secara
tidak sadar mungkin, ketika memperkenalkan nama Roland Barthes misalnya,
ia sengaja melupakan segala gagasan cemerlang Barthes. Salah satu yang
paling menonjol adalah penemuan tentang Le degré zéro de l’écriture
(1953). Peneliti mitos ini hendak mengumumkan langkah yang arif untuk
melepas segala tendensi ideologis ketika memulai menulis suatu karya.
Tentu saja ini hal yang mustahil. Bahkan, seorang filsuf sosial Jerman,
Karl Mannheim dalam “Ideologische und soziologische Interpretation der
geistigen Gebilde” (Jahrbuch für Soziologie, 1i, 1926)
menganggap tidak pernah ada netralitas. Semua pengarang tentu saja
utopis ketika menulis pengetahuan tertentu, tidak terkecuali Barthes dan
Teeuw. Kendati demikian, sangat perlu dimaklumi sekiranya ada promosi
kearifan oleh Barthes yang disampaikan secara kurang arif oleh
komentatornya,
“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad
ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk
membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini
jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori
sastra Indonesia sering ketinggalan zaman.” (Kumpulan esai A. Teeuw,
“Membaca dan Menilai Sastra,” 1983).
Belum lagi bahwa Roland Barthes pernah mengajukan ide “kematian pengarang”. Dalam karya L’empire des signes
(1970) dengan penuh kehati-hatian, Barthes mengingatkan kepada setiap
penafsir bahwa, tidak ada tafsir yang paling baku di mana pun. Seolah
ingin mengungkap bahwa, kita ini adalah manusia-manusia yang papa, bukan
Tuhan. Sayangnya, penetapan adanya “teori mutakhir” yang seolah
meninggikan gagasan Barthesian, justru tersaji secara diluar dugaan.
Kata-kata, “Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal…
Akibatnya, …sering ketinggalan zaman” menunjukkan betapa kita harus
memaklumi adanya alpa terhadap gagasan yang merasa tinggi, sekaligus
mencoba merendahkan yang lain.
Implikasi diskursif ini tentu saja menghampiri beberapa pemikiran
sastra lainnya. Aliran dekonstruksionisme sastra mantra Sutardjian
kiranya perlu dipertimbangkan lagi bila hendak disebut sebagai sastra
mutakhir. Arif Budi Wuriyanto (2012) dalam salah satu sesi kuliahnya
menyampaikan bahwa, Sutardji dengan mantranya, mengidamkan gerak kembali
kepada semesta, kembali kepada alam dan asal-muasal kelahirannya,
sebelum makhluk. Tandasnya, itulah bentuk syukur yang diekspresikan
melalui lantunan sajak-sajak yang tidak berpola, murni dan bebas. Dengan
demikian, segala kekayaan dalam karya “O Amuk Kapak” (1981) adalah
kesadaran akan kepapaan yang sangat manusiawi. Dengan kata lain, itulah
cara Sutardji memahami diri dan Tuhannya dengan sangat religius. Hanya
saja, sekali lagi, ketika pembakuan terjadi atau ada praktik
kategorisasi terhadap gagasan tertentu, termasuk pengukuhan
“dekonstruksionisme” berarti, ia tak lebih dari sekedar penyelewengan
sastra mantra Sutardji itu sendiri. Anehnya, barangkali hal ini terjadi
juga dalam teks kritik, “Isyarat: Kumpulan Esai” (2007) yang “selesai”
ditulis oleh Sutardji. Ada kondisi di mana Sutardji sebagai penyair dan
kritikus sastra. Dalam kompleksitas ini, Ignas Kleden sebagai kritikus
Sutardjian, belum secara detil mengamati peluang-peluang cela atas
gagasannya sendiri.
Kiranya tidak terlalu salah bila penulis menyebut bahwa,
ke-“mutakhir”-an hanyalah angan-angan belaka. Keputusan ini menuntut
para kritikus untuk memeriksa pemikiran-pemikiran sastra di sepanjang
sejarah bangsa ini. Persoalannya, pembacaan akan dilakukan terhadap
substansi pemikiran (epistemé) yang paling pelik sejak zaman
dahulu, ataukah keragaman pemikiran berdasarkan waktu yang paling
menginjak kesekarangan? Misalnya saja, apakah pemikiran sastra W.S.
Rendra sudah cukup mutakhir, ataukah sebagai karya sastra yang usang?
Di titik inilah kiranya, kita justru harus mengapresiasi kerja keras
A. Teeuw, Sutardji dan Ignas Kleden. Pasalnya, dengan menghadapi
tantangan-tantangan pemikiran yang sangat segar, akan melatih setiap
kritikus untuk lebih bersungguh dalam membaca sekaligus mengasah
kearifan yang dimiliki. Di lain pihak, Nurel Javissyarqi yang
terus-menerus berkarya dan konsisten dengan pendiriannya, dalam
posisinya sebagai kritikus telah mengajarkan ketajaman kritik. Dalam
buku “Trilogi Kesadaran” (2006), Nurel sudah sedemikian gencar
melancarkan kritik-kritik yang berbobot terhadap konservatisme pemikiran
sastra. Dogmatisme, baik dalam sastra klasik (sastra daerah), maupun
sastra kontemporer, bukanlah hal yang perlu untuk dibanggakan. Begitu
pula pada bentuk konservatisme lainnya seperti nativisme, estetisme,
narsisme, dekonstruksionisme dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, penulis mengajukan bahwa gagasan “kritik sastra
mutakhir” itu bermasalah. Karena itu, kendati manusia tidak pernah lepas
dari masalah, seorang kritikus yang baik tidak akan mudah terpukau oleh
komentar atau kritik yang manis begitu saja (omong manis mesti katute).
Sebaliknya, ia juga akan bersikap dewasa ketika menghadapi kritik
tajam, karena jiwanya yang kokoh. Tulisan ini hanyalah sekedar diagnosa
(verifikasi ilmiah) terhadap pemikiran sastra dan kritik sastra, yang
berusaha dengan segenap hati untuk jujur secara intelektual, tanpa
“katut” (turut, semena-mena) pada istilah-istilah yang membuai
seperti “mutakhir” dan lain sebagainya. Dengan demikian, silahkan
membaca karya sastra apa pun, dari mana pun, termasuk Serat-Serat
Ronggowarsito atau puisi-puisi Eropa kontemporer tanpa rasa sungkan dan
khawatir.[]
*) Hasnan Bachtiar, Peneliti filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/mendiagnosa-kritik-sastra-mutakhir/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar