(bagian XXI kupasan ketujuh dari paragraf tiga dan empat)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
“Increscunt animi, virescit volnere virtus.” (Nietzsche)
Sebagai prolog, kini dengar lagu Holiday oleh kelompok musik Scorpions,
sambil mengendus kalimat Nietzsche di atas saya lancarkan ini, semoga
bisa terbang tidak berkecamuk dalam kepekatan. Saya telah tunjukkan
luka-luka dari bagian I-XX, ini akan jadi borok semua pelaku susastra
Indonesia, dan saya cukup menikmati sehiburan saat-saat belajar.
Pertumbuhan ini menyenangkan, setidaknya dari pengelana tinggal di
desa lewat sekali bidikan melihat tipuan, bahasa agak halus sulapan di
fakultas kesusastraan. Andai bola mata serta pikiran saya bisa
ditransfer cepat ke para kritikus sastra Tanah Air, kemungkinan besar
terbongkarnya kasus karbitan, tegasnya tidak jujur setindak kebohongan,
atau penggorengan istilahnya di dunia lukisan.
Lewat menyeruput wedang kopi pagi ini harapan saya, mata jeli nan
waras tidak silap mudah percaya, dipakai mengisari secara telanjang
bungkus kemayu, atau menafsiri ayat dengan ugal-ugalan. Terbukti
berkesadaran membaca tempaan dari para pendahulu, para ahli terpercaya;
nyata mereka melenceng argumentasinya dekat permainan jemari.
Ini hari agak mendung, pagi-pagi terlihat pelangi seolah dari
Mojokerto, lengkungannya di atas tanah Lamongan, ke pucuk lengkung
satunya di kota Tuban. Seumpama dedahan saya terdahulu
mengkondisionalkan suhu udara atas drajat cuaca tertentu, dan wewarna kluwung muncul
adanya penerimaan. Atau saya telah usahakan sesuatu, lalu kesaksian
saudara penentunya; apakah sekadar turun di dongeng mitos, atau lebih ke
puncak realitas? Saya percaya saudara lebih segala, dan sekecil ini
selarik tangga seyogyanya dihadapi, jika tak ingin dianggap lari
tunggang langgang, atau masih tiduran? Benarkah saya tak berbuat
apa-apa, dan kasus tersebut hawa udaranya, maka ini pelanginya?
Untuk meningkatkan tekanan angin disertai buliran keringat, kuping
saya ambil dengar musiknya Metallica “Enter Sandman,” demi mengimbangi
ungkapan sastrawan filsuf itu; “Jiwa bertumbuh, kekuatan dipulihkan dengan melukai.”
Anggap sehiburan istirah sementara saya menghentak-hentakkan kaki
memompa detakan nadi debaran jantung, geleng-geleng kepala pun boleh
tidak percaya. Seperti separuh hilang kepercayaan pada pelaku sastra
yang tidak bertanggungjawab atas langkah kekeliruannya. Terlalu jauh
bandingkan SCB dengan tokoh Nietzsche, ‘wong’ baca konsep akidahnya
dipetik pun tak sanggup mencernanya?
Hantaman cadas pukulan keras, jebolkan kendang udaranya, lengkingan
pekat di langit ke ujung senjakala. Itu kesurupan menyandingkan Sutardji
dengan penggunjang jaman; adakah karyanya seampuh Kitab Sabda
Zarathustra? Dengan sangat memalukan saya baca mitos itu berkeliaran,
dan saudara yakin halnya mengenai sejarah susastra Indonesia sejenis
gempa; di suatu wilayah tidak lama, dan hanya taklid buta terguncang
keder olehnya? Masihkah sarapan pagi dengan mimpi-mimpi? Bacalah
berkecurigaan mawas, kedudukan Sastra Indonesia di belantikan
Kesusastraan Dunia?
***
“Kenapa Nietzsche membongkar kubur Socrates, lalu memakan daging busuknya, serta menelan tulang-belulangnya?” Socrates-lah
dedengkot turunnya ‘nilai wahyu kesadaran’ yang mengajarkan kepada
Plato, pada gilirannya menuju Aristoteles. Dapat dibilang dari mereka
bertiga mencair ke belahan bumi di Timur hingga Barat, dan Nietzsche
tidak ingin cairan racun ditenggak Socrates menjelma akal budi membusuk,
seperti daging barusan ia makan.
Nietzsche berkedengkian hitam menganggap kematian Socrates merupakan akal liciknya sendiri paling sempurna (baca: Senjakala Berhala).
Atau ia berhasrat menghisap limpahan cairan mematikan yang sudah
menyebar di kepala para filsuf dan sastrawan dunia dengan palunya paling
keras, “Tuhan telah mati.” Sudahkan Sutardji melakukan? Karena sampai
detik ini belum, sedang para peneliti membandingkan dengannya telah
berkoar-koar, tidakkah mereka sulapan?
Apakah dengan perombakan “Kun Fayakun” dimaknai “Jadi, lantas
jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” termasuk cara-cara pembunuhan
terhadap Tuhan? Bukan! Namun penghinaan di depan hadirin Mastera 2006,
DKR 2000, juga mengolok-olok diri sendiri, tersebab menampakkan
kebodohannya, pula mempermalukan kritikus pendukungnya, tentu kalau
sadar!
Memang sah mensejajarkan SCB dengan Nietzsche, wong
menyepadankan penyair dengan Tuhan tidak masalah (baca buku gugatan saya
sebelumnya). Begitulah para penelisik tak pernah memakai timbangan,
hanya menimang-nimang sejauh perasaan keliru lantaran grusa-grusu, maka menjadi lelucon manakala dihadapkan pada kewaspadaan saya.
Kenapa bagian lalu saya sandingkan kesalahkaprahan SCB diamini
kritikus, hampir sama keberingasan watak bebal kaum Qaramitah nan
menumpahkan darah di tanah suci depan Ka’bah? Di batas tertentu teks
Kitab Suci al-Qur’an dan kiblatnya umat Islam sama terjaga, meski ada
mengotori, menghinanya. Sebayangan Allah Swt tidak serta-merta mengirim
ulang sekawanan burung ababil kepada serdadu Qaramitah, sebagaimana
menimpai pasukan Abrahah.
Sepertinya Tuhan membiarkan SCB merombak makna firman-Nya di depan
para penikmat susastra, di sebelah mungkin saja Sutardji menyerupakan
Abu Tahir pemimpin Qaramitah yang menyerang kaum muslimin kala bertowaf,
dengan ayunan pedangnya berkata “Aku Allah… Aku Allah” Segelombang SCB
tidak mengoreksi ulang catatannya, membiarkan kalau “Kun Fayakun” adalah
“Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” seperti ‘penguasa’
saat itu, sejurus lagi para kritikus bungkam, melempem!
Kata-kata saya tak berharap lebih serupa burung ababil mencengkeram
bebatuan panas didatangkan dari neraka, hanya semoga sederas air hujan
membanjiri Tanah Suci demi mensucikannya, selepas pembantaikan nan
berdarah juga mencemari air Zamzamnya.
***
Di bagian XVII tersebutkan, “anggap semua tulisan ini monolog semut-semut hitam merayap.”Jika
ditarik ke peristiwa di Ka’bah sebelum datangnya banjir besar pada
wilayah Idam, teringatlah pasukan semut mengejar orang-orang Jurhum yang
kepala suku terakhirnya al-Harits III, pergi menuju Ka’bah mengambil
dua patung emas rusa, beberapa pedang serta perisai yang ada di
dalamnya. Merasa sedang diawasi, segera melempar barang-barang rampasan
ke sumur Zamzam, lalu menutupnya dengan pasir.
Seperti dituturkan Fathi Fawzi ‘Abd al-Muthi dalam bukunya “The Ka’bah,”
jauh di lain masa …Abdul Muttalib dan anaknya al-Harits mengeluarkan
dua patung emas rusa, beberapa perisai dan pedang yang dikubur oleh
Madad al-Jurhumi ketika pasukannya kalah perang. Abdul Muttalib yang
sebelumnya mendapati firasat letak sumur Zamzam di antara sampah dan
darah… diparuh burung gagak bersayap keputihan… dekat sarang semut.
Dan kita ingat Abdul Muttalib meminta kembali unta-unta yang dirampas
serdadu Abrahah. Kepada Raja Abrahah ia berkata sepenuh yakin; “Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Rumah (Ka’bah) itu akan dilindungi oleh pemiliknya.” Ini hampir senada Surat Al-Hijr (15): 9, antara kesucian al-Qur’an dengan Ka’bah yang terjaga: “(Sesungguhnya Kami-lah) lafaz Nahnu mentaukidkan atau mengokohkan makna yang terdapat di dalam isimnya Inna, atau sebagai Fashl (yang menurunkan Adz Dzikr) Al-Qur’an (dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari penggantian, perubahan, penambahan dan pengurangan.”
Di padang gersang dibanjiri darah pertikaian, jauh setelah wafatnya
Nabi Saw., sosok Abdullah ibn Zubair teringat yang dikatakan Ummul
Mukminin Aisyah, tentang sabda Nabi Saw. Kepadanya; “Wahai Aisyah!
Jika kaummu tidak berada dekat ke masa Jahiliah pra-Islam, aku akan
menyuruh agar Ka’bah dirobohkan termasuk yang tersisa darinya,
meratakannya dengan tanah, dan membuatnya dua pintu, satu menghadap ke
timur dan yang lainnya menghadap ke barat; satu pintu untuk masuk dan
pintu lainnya untuk keluar.”
Ibn Zubair membangun kembali Ka’bah sebagaimana yang dikehendaki
Rasulullah, namun selang beberapa masa kala Abdul Malik ibn Marwan
diangkat jadi Khalifah Umayyah 65 H (685 M), ia merasa kalau kekuatan
Ibn Zubair dapat mengancam kekhalifahan Umayyah, maka berupaya keras
mengikisnya. Abdul Malik mengirimkan pasukan ke Makkah di bawah pimpinan
al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi.
Al-Hajjaj menghujani Ka’bah dengan bebatuan menyerang pasukan Ibnu
Zubair hingga peroleh kemenangan keji, tapi tetap tak merasa terpuaskan.
Ia mengubah tampilan Ka’bah dibangun Ibn Zubair yang berdasarkan sabda
Nabi Saw, al-Hajjaj ingin menghapus ingatan orang-orang terhadap jejak
Ibn Zubair yang terdapat pada bangunan Ka’bah.
Al-Hajjaj mengirim utusan kepada Abdul Malik ibn Marwan di Damaskus,
melaporkan perubahan dilakukan Ibnu Zubair kala merenovasi Ka’bah. Ia
memalsukan fakta, membohongi majikannya. Kemudian meminta izin
mengembalikan Ka’bah ke tampilan semula. Ia menutup pintu sebelah barat
Ka’bah serta meruntuhkan dinding di sebelah Hajar Aswad dan membangunnya
kembali. Sekiranya ia berkesempatan memangkas tinggi Ka’bah, ia pasti
akan melakukannya.
Hari-hari berlalu, Allah Swt. menghendaki terbongkarnya perbuatan
jahat al-Hajjaj, menyingkap muka kekejiannya. Tidakkah perombahkan
dilakukan al-Hajjaj pada Ka’bah, sebanding “Kun Fayakun” disalahartikan:
“Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”?
Jika pengelanaan ini menempati filsafat amatiran, maka sudahlah menjawab pandangan Nietzsche (1844 – 1900) yang mengatakan ‘filsuf tidak memiliki kesadaran sejarah,’ di esainya “Nalar” dalam Filsafat (: Senjakala Berhala). Kini kembali ke orang Jerman itu.
***
Tiba-tiba saya dipanggil Hegel (1770 – 1831), padahal tak ada waktu membaca ulang karyanya “The Philosophy of History,” saya petik saja kalimatnya mengenai hakikat ruh: “Hakikat
Ruh dapat dimengerti dengan melihat lawannya yang langsung -Materi.
Karena hakikat Materi adalah Gaya Berat, maka di lain pihak, kita dapat
menyatakan bahwa substansi, hakikat Ruh adalah Kebebasan.”
Sedari mula catatan ini sejak awal penalaran saya menyoal perangai
kata ‘bebas,’ bukan sebebas lepas tanggungjawab, pula tidak bablas
sedari beban makna. Tapi sedaun-daun runtuh ke tanah oleh kekeringan
atau kebebasan tetap setiai hukum dikandungnya. Jika Hegel menyebut
materi bergaya berat, maka ruh punya gaya bebas!
Ruh merupakan kesatuan diri aktual, bisa masuk dan lepas dari materi.
Tanpa adanya ruh, maka materi sekadar ‘mumi-mumi’ -istilah Nietzsche.
Kita teringat ungkapan Valeri, “suatu upaya untuk menciptakan yang saya sebut ruh dari ruh.” atau “ruh,“ruh dari ruh” adalah kerja”:
Derrida. Sedang gaya berat atas materi dalam kehidupan ini tak lebih
terhukumi / tergantung gaya gravitasi. Limpahan materi tanpa ruh
menyatukan, tentu berserakan terpecah-pecah, sedari sini Nietzsche
berani melangkah lepas berkabar ‘Tuhan telah mati.’ Saya memaklumi,
tersebab ianya girang berjalan di depan, dirinya tidak ingin jadi orang
melihat orang, hanya berhasrat dilihat. Sejauh mengidam garis finis
duluan, misal mengungkap nilai baik, yang diplototi efeknya keseimbangan
baik, &st.
Karena bagian ini akhir kupasan paragraf Ignas Kleden 3 dan 4, olehnya diunggah ulang: “Sebuah
kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai
kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi
tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab
tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.”
“Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan
kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa,
seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari
lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau
norma-norma moral.”
Tidakkah pandangan SCB yang diungkap IK menginginkan perilaku
kesurupan? Sebab naik-turunnya musik pergeseran makna adalah niscaya
bagi pemilik ruh pengertian. Di mana kekisarannya menghadirkan
dialektika atau perbedaan sedari pergesekannya, perpindahannya terhadap
sesuatu nilai tersebut memungkinkan tafsiran berkesadaran lain, yang
menambah derajad ‘kata,’ hingga memancarkan pelbagai kilauan mewujud
dinamika peradaban.
Aturan bahasa, logika kebahasaan pun perhelatan sosial pula
norma-norma, serupa sarana kata-kata memenuhi maknanya! Adapun efek-efek
buruk menimpainya tidaklah harus kabur lepas tanggungjawab, tapi
bagaimana caranya dikembalikan ke letak semula. Para peletaknya
orang-orang yang berkepentingan, pemilik kebulatan ruhani demi hawa
harum kedewasaan nan mencerahkan.
Perihal materi, kita dapat melihat perselisihan pendapat suku-suku
bangsa Arab dalam perebutan hasrat, siapakah terpantas memindahkan batu
Hajar Aswad ke tempat semula? Menyoal ruh pengertian, seyogyanya waras
lagi mawas membaca, mencermati-pahami pola-pola pergeseran, lalu memberi
penerang darinya. Bukan malah menafsiri lepas asbabun nuzul pada
ayat-ayat al-Qur’an, apalagi merombak makna firman-Nya?
Bagaimana tidak disebut kesurupan, menulis puisi dari kata-kata yang
tiada artinya dari bahasa atas bebangsa mana pun? Tidakkah itu
kreatifitas kebablasan, kebebasan tanpa pondasi dari jiwa lemah mudah
disusupi makluk halus? Lantaran oleh tingginya suhu badan berdemaman,
sehingga mengoceh tak karuan, yang kata-katanya terjadi melucuti
maknanya?
Kredo Puisi SCB, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan
pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah
pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Tidakkah ini malah
menyelewengkan konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma
moral? Membuat suara-suara kebebasan tak manusiawi, terbuang dari
kesadaran insani. Kata-katanya tiada ruh, ruh yang bekerja, ibarat batu
mandek; tidak adanya perbuatan kecuali menumpuk kata-kata benda tak
bermakna! Hanya kritikus kesurupan pula mengandaikan ketinggian
kesastrawiannya, sedari perangai kemandulan tersebut!
Untuk mengurai jauh, sepertinya sesuai paragraf IK ke 5. Maka
mendingan balik ke Nietzsche, Hegel, atau orang-orang yang serius
bekerja.
***
“A person cannot be God, certainly not replace God, and rule the
world as a Superman; he will only succeed in creating more chaos and
make a greater mess of the world. In the century after Nietzsche
man-made disasters left the blackest records in the history of
humankind. Supermen of all types called leader of the people, head of
the nation and commander of the race did not baulk at resorting to
various violent means in perpetrating crimes that in no way resemble the
ravings of a very egotistic philosopher.” (Nobel Lecture, Gao Xingjian,
Translation by Mabel Lee).
Jumputan paragraf kedua, kuliah Nobel Sastra Gao Xingjian yang
notabene kaum ateis itu, masih menunjukkan penghormatan kepada sesuatu
yang tak terketahui (Tuhan). Menganggap tak mungkin manusia menjadi
Tuhan pun menyepadankannya, -meski berperangai paling unik sekalipun!
Ini pukulan telak bagi pelaku sok, yang beberapa kritikus
menggolongkannya penyair sufi, karyanya puisi sufistik, tapi nyatalah
ngawur!
Riak pemikiran Nietzsche masih terus bergentayangan, dan saya
memasuki lewat komposer ia kagumi pula sebaliknya. Sebab tanpa musik
sepertinya mandul, atau ianya musik sastra yang berdenyut sedari jantung
filsafat, meski ada menganggapnya ricauan filsafat yang sangat angkuh.
Bulan Maret 1861, Krug memberi ceramah “Tristan und Isolde,”
ini awal kali Nietzsche mendengar mengenai Wagner. Di tahun-tahun di
Pforta itu komposer favoritnya Schumann (meninggal 1856, meski demikian
ia komposer kontemporer, ‘moderen’; sementara ‘Tristan’ saat itu belum
dipergelarkan, merupakan musik masa depan). Ayahnya F. Nietzsche, Karl
Ludwing Nietzsche, lahir 1813, sama tahun kelahiran Richard Wagner.
(Kronologi Kehidupan Friedrich Nietzsche dari bukunya “Ecce Homo, How One Becomes What One Is,” terjemahan bahasa Inggris R.J. Hollingdale, pengantar dan revisi edisi Inggris oleh Michael Tanner, Penguin Group 1979, 1992).
Agak sulit memulai, sementara para tokoh yang hendak saya tulis sudah
mewakili jari-jemari; ada di jari kelingking, jari telunjuk, jari
tengah, jari jempol pula jari manis. Sebaiknya saya ambil perkataan
pelukis Pablo Picasso (1881 – 1973):
“Sindiran dari seseorang yang menyatakan, bahwa tidak ada lebih
berbahaya dari beradanya alat-alat perang di tangan para jenderal, dan
kita dapat mengubahnya dalam arti yang disesuaikan lagi cocok bagi para
seniman. Dalam artian yang sama, tidak ada lebih berbahaya daripada
keadilan di tangan para hakim dan kuas-kuas untuk melukiskan di tangan
pelukis! Bayangkan saja bahayanya bagi masyarakat.” (Selajutnya
bisa dibaca di sini
http://pustakapujangga.com/2009/09/philosophy-of-picasso-strategy-revolution-creative-process/
). Ungkapan Picasso itu tak lebih sama kata-kata dalam pidatonya Gao
Xingjian yang terpetik. Saat membacanya terlintas wajah sang dikator
Adolf Hitler (1889 – 1945) salah satunya, seniman lukis kapiran!
Jiwa seniman demikian pula penggagas buku “Mein Kampf” ialah
jiwa-jiwa tangguh lebihi karang. Pemampu mengolah kesedihan jelma
keriangan, kemalangan ditatanya rapi. Terhinakan bagi tempaan hidup,
atau semua dihadapi sealat tukar demi meningkatkan drajat mentalitas
pencarian nan menambah jumlah pendapatan nilai-nilai dibangunnya. Tidak
lebih mensyukuri derita melipat gandakan kesaksian, semacam cahaya yang
melesat kemudian.
Setiap atom penderitaan memancari sinar terang bagi yang tak ngelokro berjiwa
loyo. Kesungguhan hidup, patriotisme kesemangatannya merebut
kemungkinan mendatang, panji kejayaan dari pemikiran dan pilihan matang
sebelumnya, itu tapak langkah mengharuskan mewaspadai sambil menekan
resiko sekecil-kecilnya. Sekalilagi sudah terlampau hafal kepahitan
hidup, tekanan berat telah biasa dipanggulnya.
Jiwa seniman besar tidak cengeng mudah termakan waktu terhisap jaman,
ia melayang terbang di puncak cakrawala penalaran, sekali tempo
menyabet ikan-ikan bernasib sialan dari kedalaman lautan. Ia meletakkan
dasar-dasar pemikirannya, tak melupa memberikan oksigen secukupnya, atau
bebidang pengetahuan terus memompa gagasannya, meski musim kemarau tak
sampai sekarat! Bagaimana tidak ambruk pertimbangan didasari iseng
asal-asalan, coba-coba? Maka amburadul itu pantas bayarannya!
Demikian juga komposer ulung menurut Schopenhauer: “Tristan dan
Isolde bukan hanya satu sintese dari Wagner tentang teori seni, ia lebih
banyak menggambarkan sebagian dari drama Wagner yang hidup tragis dan
bingung. Apakah yang direncanakan oleh otak si seniman diwujudkan dengan
secara menakjubkan oleh hatinya.”
Wagner mengunyah buah maja kehidupan, lantas dicerna dalam ketenangan
mempuni hingga hadirkan perbandingan pun penelusuran halus, antara
pengembaraannya di pinggiran sungai hayati mencerminkan hasil-hasil
karyanya. Kebeningan perangai nalarnya, keindahan hati mengelus soal,
perkiraan tiang pancang harapan, yang menujah perut bumi laksana akar
menyedot saripati. Dan sekelebat bendera kesegaran daun adanya angin,
sereaksi tegaknya hukum kausalitas memayungi jiwa-jiwa sentausa.
Di sela-sela menggarap karyanya ‘Nibelungen’ yang besar itu,
atau Wagner amat terpaksa merampungkan ‘Tristan’ terlebih dulu. Yang
menurut Ackere dalam suasana kebingunan, ia ‘melarikan diri’ ke Venesia
demi melupakan Mathilde. “Sebagai manusia ia coba melupakannya,
sebagai seniman ia tak bisa matikan perasaannya. Begitulah ia sambil
bercucuran air mata dan dalam kesepian yang mencekik menulis “Tristan”
yang baginya menjadi lambang dari kekecewaan hidup.”
Batin Wagner terlunta-lunda bersama raganya meninggalkan Mathilde.
Kasih meminta jarak pandang tak terlihat demi menerjemah getarannya; hal
sudah meresap tidak mungkin terhapuskan, hanya tetumpukan peristiwa
kadang terlupa sejenak. Saat kenangan ditingkatkan jelma sebuah karya,
sebayangan makna tengah dirasai, bergolak kian menguat menggetarkan
pemahatnya juga mereka menyaksikannya tertimpai beban hampir sama. Air
mata terus berlinang di sudut gelap kesepian, sambil menginsyafi perkara
tak mudah dielak. Jalan takdir telah tergurat dan atas langkah
kesabaran menguatkan segala, tak terkecuali setiap peraman wewarna
melodi menggayuhnya bertabah.
Untuk opera Tristan, mengambil dengar komposisi komposer Wagner -Tristan und Isolde ‘Prelude’
sepengantar ringkasan menulis ulang kisahnya di atas J.Van Ackere;
Tristan berkelahi hebat sampai membunuh Morold, tunangan Isolde. Tristan
sendiri mendapat luka parah, dan sebab dendam, Isolde hendak membunuh
Tristan dengan pedang Tristan. Kala mengangkat pedang dan sedang
diayunkannya, matanya bertemu mata terdalam Tristan, hatinya terpaut
jerat sama. Mereka berdua telah menjadi junjungan nasib berjumpa. “Ia memandang mataku, Aku kasihan akan keadaannya dan mengobati lukanya.”
kata Isolde. Tapi keduanya punya kewajiban yang menghalangi percintaan.
Tristan mendapati perintah membawa Isolde berperahu kepada raja Marke,
yang hendak menjadikan permaisuri, mengangkatnya sebakal ratu Cornwall.
Isolde jadi dengki oleh acuh tak acuh Tristan, memerintah
pengiringnya Brangaene supaya menyuruh Tristan datang dan memujanya
sebagai bakal ratunya. Tristan bawaan raja Marke, dengan sendirinya
menjadi bawaan Isolde. Tristan membungkuk di hadapannya, lalu berkata, “Hamba bersedia menjalankan segala perintah Paduka.” “Adakah hutang jiwa antara kita?”, diterangkan Isolde. “Ini pedangku, bunuhlah aku sekarang juga!” jawab
Tristan dengan pahitnya. Setiap perkataan mereka merasai saling
mencintai. Tetapi mereka mempunyai kewajiban, ia bawaan dan Isolde
permaisuri raja Marke. Hanya kematian yang bisa menghentikan keadaan
menyempitkan dada ini.
Isolde menyerahkan kepadanya beker dengan racun yang disuruh
disediakan Brangaene. Keduanya tahu, bahwa setiap saat mereka bisa mati,
tapi mereka ingin menghentikan hidup tiada gunanya. Betapa kuatnya,
betapa beraninya Isolde kala menyerahkan beker sial itu kepada Tristan.
Suaranya berapi-api menuduh Tristan berhianat, karena hendak
menghabiskan isi beker, dan membiarkannya ia hidup sendiri. Betapa manis
penandaan ini penuh tanggung jawab terkurung, tapi sudah menentukan
cintanya. Namun Brangaene silap. Daripada menyuguhkan beker racun, ia
memberi beker cinta untuk raja Marke. Mereka tidak berdosa lagi, dan
sudah demikian.
***
Kita berada di suatu tempat terbuka di rimba, memasuki wilayah
kekuasaan raja Marke. Malam menjalin bajunya yang biru pada dedaunan,
dan menara-menara dari istana raja. Isolde menunggu berpenuh ketakutan
di depan pintu dengan obor di tangannya menyala, ketika raja Marke
berangkat bersama pengiringnya untuk pergi berburu di malam hari. Kalau
lampu-lampu telah dipadamkan, ini menjadi tanda untuk Tristan. Cinta
asmara Isolde semakin meluap… Hatinya berdebar-debar kalau ia melihat di
sela-sela pohonan suatu bayangan. Itu dia! Dengan penuh hasrat mereka
berpeluk-pelukan. Ketakutan dan ketidaksabaran hawa nafsu, semua
diucapkan oleh orkes dan sungguh menyatakan pergolakan batin.
Suara-suara terjalin lembut mendebarkan, teks kata-kata melebur, satu
perkataan saja dinyatakan membumbung nafsu tak kenal batas.
Tristan!
Isolde!
Di sini kita merasakan detik detakan jantung Tristan,
lalu keluhan Isolde…
Apakah ini mata kakanda?
Apa ini mulutmu?
Ini tanganmu?
Ini Hatimu?
Kedua suara itu saling bersengkarut memotong perkataan, kemudian
bersatu. Melodi terus mengalung tanpa bentuk tak berakhir, menandai
Wagner lambang hasrat romantik tiada batas, Tristan dan Isolde
menjanjikan kebahagiaan, harapan mereka supaya hari siang, dan bukan
kematian menyusul malam ini.
Tristan kembali sebagai buangan ke kastil nenek moyangnya. Di atas
bebatuan karang berlumutan, dalam kesepian di tepi lautan nan tenang,
berdirilah benteng mau runtuh itu. Di sela-sela batu tumbuh rerumputan
subur. Di dinding-dinding yang pecah, Tristan sedang sakit melihat ke
gulungan ombak, di sampingnya berdiri pengiringnya yang setia, Kurnewal.
Seorang pengembala akan memberitahu datangnya Isolde di perahunya
dengan lagu girang. Tapi makin menitik lagu sial itu ke dalam hati
Tristan mengerang, menipis harapannya serta bertambah keinginannya.
“Das Schiff! Siehst du es noch nicht?” keluhnya. Tiada layar satu pun
yang datang memecahkan kebosanan air, yang hijau biru sekeragu-raguan
menyiksa. Hasratnya kian kuat seperti laut mengalun di depan matanya.
Akhirnya, muncul kedua perahu berbendera putih di tiangnya, tanda Isolde
di perahu. Turun ke darat dan buru-buru naik ke atas batu karang. Ia
menerima Tristan dalam pelukannya sedang mati. Kini menyanyikan “Mild
und leise” yang terkenal itu. Pada ciumannya terakhir, Tristan
memberikan juga nafasnya yang penghabisan. Isolde mematikan kematian
cintanya menuju mayat Tristan.
Raja Marke datang mengampuni dan mendekati mayat keduanya. Ia tahu,
pasangan itu hanya didorong minuman sialan, dan bukan oleh kemauan
mereka sendiri. Tristan dan Isolde ialah musik abadi, nan terus berlaku
sebagai ayunan ombak tiada habisnya, dimana pandangan Tristan sia-sia
mencari pembebasannya. Sebagaimana ibundanya Malin Kundang, atau suara
burung penyesalan yang setiap pagi-petang menjerit-jerit menyebut
induknya, sambil menyusuri pinggiran sendang.
Pada esai ‘Religiositas dalam Sastra Kristen Barat,’ dalam buku “Sastra dan Religiositas,” Penerbit Kanisius 1988, Y.B. Mangunwijaya berkata: “Isolde,
dan sekian banyak peran-peran putri-putri istana balada-balada kala itu
adalah jenis wanita fatal, dambaan murni, maut murni. Tepatnya, dambaan
fana belaka, maut siklus alam raya belaka, lahan dasar manusia
biologis, sadar rimba belantara negeri-negeri Utara.”
Opera “Tristan dan Isolde” yang didengar Nietzsche dari
kawannya; Gustav Krug, saya sedari Ackere, mungkin dianggapnya kuno,
selawas “Romeo- Juliet” William Shakespeare; setidaknya di masa-masa
berikutnya, ia berhadapan langsung dengan Wagner.
“Siapakah yang benar-benar meragukan bahwa aku, prajurit artileri
tua aku ini, memiliki kemampuan untuk mengangkat senjataku yang berat
melawan Wagner? — Untuk diriku sendiri kusimpan segala hal yang
menentukan dalam hal ini — aku dahulu mencintai Wagner. — Pada puncaknya
ini adalah sebuah serangan terhadap sesuatu yang ‘tak dikenal’ yang
subtil yang tidak dapat dengan mudah dideteksi oleh orang lain, dalam
arti dan arah tugasku…” (‘Kasus Wagner, Persoalan Seorang Musikus,’ terjemahan Omi Intan Naomi, “Ecce Homo Lihatlah Dia Friedrich Nietzsche,”
terbitan Pustaka Pelajar, Cetakan III 2004). Lantas marilah dengar
salah satu karya komposer favoritnya, R. Schumann “Manfred (Kakak
Faust).”
Kalau tak keliru, saking sialnya tokoh ‘Manfred’, tiada pada karya terbesarnya Goethe yang bertitel “Faust.”
Dalam diri Manfred, Schumann menemukan dirinya sendiri. Pada tokoh
Faust masih ada cahaya pertolongan, sedangkan pada Manfred tiada jalan
keluar. Kakak Faust itu selalu diganggu kegelisahannya, dikejar-kejar
fikirannya sendiri. Ia punya kastil di Jungfrau atas pegunugan Alpen,
jauh dari orang-orang, hidup dalam kesunyian hati kecewa nan tersiksa.
Pagi-pagi melepaskan pandangannya melalui batu-batu karang, mata
mengutuki menyingsingnya fajar, kalau ia bisa meremukkan perasaan
penjelasannya ke bebatuan karang ini. Bumi maupun laut, angin pun pula
pegunungan, sedang kemauannya yang dahsyat tak bisa penuhi keinginannya;
melupakan segala-galanya. Itu hanya bisa diberikan maut padanya, dengan
maut untuk jiwa, dan kejahatannya yang tak terkikiskan.
Di tempat lain J. Van Ackere menuturkan singkat hal komponis Johannes
Brahms (1833-1897), tidak mengabdikan seorang kekasih. Dalam seluruh
hidup mencintai istri kawannya paling akrab, cinta yang tragis dan
sia-sia. Brahms bekerja sama dengan penampil utama di masanya, termasuk
pianis Clara Schumann (istri komponis R. Schumann). Gambaran simbolis
hidup Schumann adalah tragis, dua jurang dimana hanya terdapat tumbuh
beberapa bunga bahagia nan halus. Jurang awal pergulatan memiliki
perempuan yang dicintai, pergolakan lama serta sulit yang hanya bisa
dimenangkan di depan hakim. Jurang lain lebih dalam, setelah
perkawinannya yang berbahagia datang menghancurkan keelokan hayatnya,
musik datang pun tak dapat menghibur, penyakit gila, mundurnya otak yang
gemilang, puncaknya tanggal 27 Februari 1854, ia meninggalkan rumah,
pergi ke sungai Rhein lalu menerjunkan diri di tengah-tengah arus,
untung dapat ditolong pelaut-pelaut yang kebetulan lalu, namun otaknya
sejak itu semakin terganggu.
Schumann sebelum jadi musikus mulanya penyair, menulis dua buah
roman, naskah-naskah drama dan syair, ia memuja penyair Inggris Lord
Byron, saya jumput saja petikan sajaknya bertitel “Darkness” pada tulisan Goenawan Mohamad di majalah.tempointeraktif.com 06 Oktober 2008, “In the Wee Small Hours.” Judul
ini sama persis label album studio kesembilan American, vokalis Frank
Sinatra, filmnya dirilis bulan April 1955 di Capitol Records, diproduksi
Voyle Gilmore atas pengaturan Riddle Nelson. Goenawan mengambil dari
nyanyian Sting, “In the wee small hours of the morning.” Di sini saya hanya mengenai sajak Byron atas terjemahannya:
…dan bintang-bintang
menggelandang di ruang kekal
tanpa sinar, tanpa jalur,
dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta…
Dalam kesendirian panjang Robert Alexander Schumann (1810 – 1856) berkata-kata: “Kalau
aku Senyum itu sendiri gerangan, aku mau menggelepar di sekeliling
matanya; kalau aku Kegembiraan aku diam-diam akan mengalir dalam
nadi-nadinya.” Schumann seperti Manfred, lebih jauh adalah Nietzsche, dan Lord Byron mula segalanya. Kata Nietzsche ”… To die proudly when it is no longer possible to live proudly.” (The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro).
…dan bintang-bintang
menggelandang di ruang kekal
Manusia-manusia yang bernyali besar, kelebihan gairah, sudah terbiasa
merasai kepahitan hidup, rasa ampang atas persoalan mendera, mencintai
waktu-waktu kesunyiannya, menyingsingkan semangat tinggi-tinggi, paras
wajahnya terus bertambah cahaya oleh kepercayaan diri. Keyakinan yang
diimani, menggelandangkan seluruh kepemilikannya, mempertaruhkan dalam
kepenuhan pencarian, hidup tidak hidup bagi mereka, tapi baginya luapan
abadi kekekalan waktu, atas restu Sang Pemilik Masa.
Demikian waktu menghadiahkan insan selalu bergumul ikuti irama, waktu
memberikan tempat tak disangka-sangka, tetapi begitulah nyanyian
semesta; bintang-gemintang menembus lapisan cahaya, menerobos masa
lampau pun yang datang. Salah satu cara bertahan pada lawatan tersebut
mengatur nafas, disimpannya di lambung perencanaan, lambat laun
mendapati cara lain. Awalnya menahan nafas lalu bernafas dalam kedirian
terdalam, permenungan, penghayatan sedari waktu sebelum dan
mendatangnya. Mempelajari kepadatan angin bebisikan bayu, kemudian
berseluruh daya terbang menuju ruang hampa, letak segenap kerja ditaruh
pada lapisan langit kekekalan terbuka lembarannya atas magnit yang sama,
ketika bumi berputar pada porosnya.
tanpa sinar, tanpa jalur,
Meski sudah memamah wawasan sekesadaran gemilang, bebentuk kelebihan
gairah selalu terbentur misteri hidup rahasia Ilahi, lontang-lantung
seakan tak bertujuan, lantaran jalur ditempuh tak ada lain itu
kepasrahan. Ketundukan pada hukum besar alam, seolah buta arah
menggembarakan naluri bekerja, hatinya merambahi alam-lama disaksikannya
dalam keimanan. Tapi begitu bagi mereka memandang benar matang
lelangkahnya, ini tidak lebih sudah tergariskan, harus mengembarai
ruang-ruang kekal;
Wewaktu tak dapat ditembus kecuali lewat kesuntukan pelajari
keseluruhan hidup benturan tekat, dan tersebab kasih-sayang-Nya pada
bebintang itu, dipertemukannya orang-orang mengemban nasib ganjil, lalu
sama-sama menerobos kegelapan. Perpisahan mencipta jarak rindu, dan
dengannya menanjaki kedewasaan menawan, keampuhan bersegenap kemauan
abadi, kecintaan terhadap kekekalan. Tanpa sinar sebelumnya, tanpa jalur
yang sudah-sudah, karena dirinya perintis salah satu jalur
kelanggengan, pengungkap jaman kejahiliyaan.
dan Bumi yang dingin
bergoyang, buta…
Siapa yang peduli di masa hidupnya? Gairah Lord Byron? Kesialan Manfred?
Kegilaan Nietzsche? Bumi dingin, lebih dingin dari ribuan tepuk tangan
panjang dengan telinga tuli; lama-lama ruangan bergoyangan hebat, kian
waktu tambah frekwensinya, kemudian meletus. Dalam materi ini saya ambil
misal letusan gunung berapi dalam menafsirkannya;
Ada meloloskan lava cair secara merata, muntah tumpah ke mana-mana,
ada letusan interval serta terus bersambung-sinambung, ada lavanya
mengental sehingga menyumbat mulut kawah, lantaran tersumbat tekanan
dari dalam kian meningkat memecahkan sumbatan lava, hingga keluarkan
lahar dingin nan mengalir disertai awan panas, ada darinya keluar
material padat pun cair berkekuatan erupsi besar nan tinggi sedari perut
magma dalam gunung, ada yang wataknya hampir sama menyumbatan kawah
sebab lava padat kental, menjadi letusan kecil beruntun, lalu keluar
lava berpijar laksana air mancur karena sumbatan, ada letusanya dahsyat
sampai puncak gunung hancur dan kawah menjadi rendah, ada kawah memiliki
danau lantas meletus berakibat danau kawah berubah menjadi lahar panas
ikut meluber, menyerang daerah-daerah sekitarnya serta lebih.
***
Setelah cukup menghirup udara segar di luar, sesudah bedah bukunya Aguk Irawan Mn “Penakluk Badai, Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari” di Pon-Pes Sunan Drajat, isi seminar di STITAF Siman, Lamongan, diteruskan mengikuti seminar Internasional “Budaya Asia Tenggara” di UNESA, lalu ikuti bedah karya “Baju Bertuah Nabi Yusuf” karangan M. Fathoni Mahsun, lantas ikut serta bedah kumpulan puisi “Balada Lelaki Tua di Pamatang Sawah” Karya A. Rego Ilalang di Jombang. Yang membikin cemburu berat mendapatkan buku kritikus sastra Maman S Mahayana bertitel “Pengarang Tidak Mati”
disaat menginap di hotel Singgasana kota Pahlawan, setidaknya saya
selalu terbakar semangatnya sampai kini, tatkala balik memijakkan kaki
di bumi Reog, tempatnya pujangga R. Ng. Ronggowarsito dulu nyantri di
Gebang Tinatar, Tegalsari, pada Kyai Ageng Hasan Besari.
Saya lanjutkan catatan ini demi menggenapi langkah ke muka, terpetik saja ungkapan Simuh di bukunya “Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita” terbitan UI-Press, 1988, hlm 47: “Melalui
hasil-hasil karya seni dan sastra, istana merupakan barometer peradaban
dan kebudayaan Jawa. Walaupun wibawa istana melalui hubungan kekuasaan
kenegaraan telah hilang, namun istana berhasil memperbesar wibawanya
melalui hubungan kebudayaan dan kesenian.”
Dan saya mencium gelagat sejarawan Hegel,“Bila satu jiwa yang agung membuat dirinya menjadi terkemuka -bagaikan sebuah gelombang besar dalam lautan yang bergelombang.” (G.W.F. Hegel, Bab II Agama Islam, dalam bukunya The Philosophy of History).
Walau dalam Seksi I, ‘Unsur-unsur Dunia Jerman Kristen’ pada bab saya kutip di atas, Hegel menghentikan kalimatnya lewat ungkapan, “Islam
telah lama hilang dari tahap sejarah pada umumnya, dan telah mengalami
kemunduran di dalam ketenangan dan ketentraman Timur.” Namun… “…bintang-bintang / menggelandang di ruang kekal / tanpa sinar, tanpa jalur, / dan Bumi yang dingin / bergoyang, buta…” (Lord Byron).
Ronggowarsito menggelandang ke tengah-tengah malam pergolakan jaman
ke hutan Ponorogo. Nama ‘Ponorogo’ berasal dari kata ‘Pono’ dan ‘Rogo’;
“Pono” dalam bahasa Jawa berarti ‘melihat, tahu, mengerti, wasis,
mumpuni,’ atau ‘dinaya perasaan yang mengandung indera keenam di dalam
mengetahui peristiwa kan terjadi.’ “Rogo” bermakna raga, diri atau
orang. Menurut versi lain, “Pono” sedari serapan bahasa Arab berasal
kata “Pono / Fana” artinya ‘hancur, hilang, lenyap, rusak, tak
terlihat.’ Sedang “Rogo” adalah tubuh / jasad manusia. Maka “Ponorogo”
dapat dikatakan, insan memiliki kekuatan supranatural di dalam
mengetahui peristiwa masa depan, juga pengetahuan akan rusak atau
lenyapnya badan. Tepatnya, kepribadian manusia yang mempunyai kesadaran
berfikir jauh, mengingat bahwa kehidupan ini fana.
Santri Tegalsari tersebut bagai bintang kutukan dari keraton
Surakarta, bergaul dengan para bandit, warok, berjudi, sabung ayam
sebangsanya, mengumbar senang sebelum menilik kandungan pekerti lama, sedurung wahyu
kapujanggaan menempa dirinya. Seolah alam telah menyiapkan datangnya,
sehingga di masa sudah direstui semesta raya, ianya mudah menyerap
petuah-petuah para wali (baca karyanya bertitel Wirid Hidayat Jati), demikian pun budi pekerti dari pelbagai kepercayaan yang tumbuh subur di tanah Jawa.
Setidaknya ini menjawab Hegel; “‘diam-diam’ di dalam ketenangan dan ketentraman Timur”
yang dibius politik adudomba penjajahan Belanda, ajaran Islam menyusup
indah, menyenggamai tanah-tanah dipijaknya, nafas-nafas rerumputan
bersatu ke dalam peluk denyutan kasih mesra Jawa Seraya.
Lalu merujuk kalimat Sutan Takdir Alisjahbana “…dalam tiap-tiap
kebudayaan itu yang terpenting adalah jiwanya, sikap hidupnya, cara
berpikirnya, dan nilai-nilai tujuannya. Adapun bahan-bahan dan alat-alat
boleh saja berasal dari mana saja, apalagi dari kebudayaan tradisi itu
sendiri.” (Menutup Polemik Kebudayaan, Tempo 21 Juni
1986). Maka buku ini jawaban ataupun membuka tutup polemik kebudayaan,
sebagaimana STA menyebutkan dalam esainya yang sama:
“Sebenarnya kalau saya mengatakan kebudayaan tradisi itu harus
diintegrasikan dalam kebudayaan baru, hal itu artinya kebudayaan tradisi
itu mesti mengalami transformasi. Dalam hal yang demikian yang diambil
dari kebudayaan yang lama itu adalah unsur-unsur lahirnya, bentuk dan
caranya. Tapi semuanya harus berubah menjadi penjelmaan jiwa kebudayaan
modern yang, seperti kita tahu, dikuasai oleh kemajuan ilmu, ekonomi,
dan teknologi. Di sini kelihatan bahwa Sutardji kurang memahami
pengertian kebudayaan sebagai suatu struktur.”
“Tiap-tiap kebudayaan itu mempunyai konfigurasi nilai-nilainya
yang menentukan struktur dan arahnya sendiri, dan kebudayaan modern
adalah kebudayaan yang berbeda sekali nilai-nilai dan strukturnya, bukan
hanya dari kebudayaan Abad Pertengahan di Eropa, tetapi juga dari
segala kebudayaan tradisi yang bersifat keagamaan. Kebudayaan modern
yang bersifat sekuler itu mementingkan tanggung jawab manusia, hasil
pemikiran dan pekerjaan manusia dalam usahanya menguasai alam.”
Lantas kita tengok pendapat Adolf Hitler, sebelum memanasi Perang Dunia ke II: “Keduanya
berbahaya. Pembicaraan palsu terjadi karena ia tidak pernah bisa
menembus pusat masalah, sementara sentimentalitas salah terjadi karena
ia terlewati begitu saja.”
Saya ambil dari bukunya “Mein Kampf,” Edisi Lengkap, Volume I
& II, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit Narasi, 2010.
Kalimat Hitler itu tak lebih menyerang bayangan musuh-musuhnya, sebab
ianya sebelum memegang tampuk kepemimpinan Nazi atau dapat dibilang
masih waras, bagi yang menganggap gerakan kesadarannya menumpasi
nilai-nilai kemanusiaan, tetapi saat memakai cara licik dan ini
diperbolehkan dalam peperangan (pada peraturan peperangan Islam, tak
boleh membunuh anak, para orang tua serta kaum wanita yang tak
membahayakan, juga tidak ingkar terhadap perjanjian). Sayangnya Hitler
kebablasan, dipakailah kalimat di atas untuk mengelabuhi atau
berpropaganda, sedikit banyak memalsukan data gambar pun kata-kata, demi
membikin sentimentalitas atau nasionalisme ‘buatannya’ yang tidak
berakar dari realitas perjuangannya.
Jika saya pakai kalimat Hitler dalam membongkar teks SCB, tidakkah merupakan “Pembicaraan palsu terjadi karena ia tidak pernah bisa menembus pusat masalah?” Membentuk “sentimentalitas salah terjadi karena ia terlewati begitu saja?” Kemudian para kritikus terpukau silap mengikuti gayanya, kalau “Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantra.”
Atau “Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi,
lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah
benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah
eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata
yang adalah makna itu sendiri” atau “Pada mulanya Sang Maha
Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki
dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri.
Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri.” “Ke
sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki
itu sendiri.”
Jelas-jelaslah ini suara palsu, sentimentalitas salah kaprah! Maka
sejauh pengembaraan saya menghadapi tetumpukan masalah serta peristiwa
tidak main-main, sebagai jawaban soal-soal tidak mereka sentuh secara
sungguh, pada kasus yang terang-terangan tidak berpijak dan tidak
memiliki akar-akar sesungguhnya! Atau teringat kata penutup Ayu Sutarto
dalam seminar, Prek!
Lamongan-Ponorogo, bencah Tanah Jawa,
25 Juli 2012, hari ke 5 Ramadhan 1433 H.
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/07/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_25.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar