Kamis, 26 Juli 2012
BEBERAPA KESIMPULAN DISKUSI “REFLEKSI KEBUDAYAAN”
Ignas Kleden
http://jehovahsabaoth.wordpress.com/
SEBUAH persoalan lain yang banyak dibahas adalah mengenai penciptaan atau daya cipta di satu pihak, serta kebebasan dan kemungkinan kreatif di pihak lainnya Pengandaian umum yang sering kita dengar ialah bahwa daya cipta tidak akan berkembang sampai optimal jika tak ada kemungkinan dan kebebasan kreatif yang mendukungnya. Karena itu perjuangan untuk tetap menegakkan kebebasan kreatif harus terus dijalankan. Sebaliknya, terhadap setiap usaha yang hendak membatasi atau mematikan kebebasan kreatif, harus diberikan perlawanan dan kritik. Hal ini tentu ada unsur kebenarannya dan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan kehidupan budaya akan mengambil sikap dalam persoalan pembatasan atau penindasan terhadap kebebasan kreatif. Tetapi rupanya ada dua soal yang cukup berbeda, yang kemudian menjadi jelas dalam diskusi 9 September itu. Di satu pihak ada kebebasan kreatif sebagai faktor obyektif yang secara budaya harus dipertahankan. Di lain pihak ada kreativitas atau dayacipta yang sedikit banyaknya tergantung kepada daya hidup dan daya tahan seorang individu dengan faktor-faktor subyektif yang mendukung atau tidak mendukungnya. Dengan demikian kalau kita berbicara tentang kebebasan kreatif, kita memperjuangkan faktor obyektif di mana kreativitas diwujudkan. Tetapi berbicara tentang kebebasan kreatif tidak sama dengan berbicara mengenai kreativitas itu sendiri. Sebabnya, kreativitas tidak hanya ditentukan oleh adanya faktor obyektif yang memungkinkan, tetapi juga oleh daya serap individual yang mengolah kembali semua faktor obyektif dalam diri seorang individu. Kreativitas adalah reproduksi individual dan personal dari semua faktor sosial yang diterima oleh seorang individu. Pada titik ini terlihat dua asas yang amat berbeda. Kalau kita berbicara tentang kebebasan kreatif, maka asasnya adalah: semakin besar kebebasan kreatif, semakin besar kemungkinan bagi kreativitas untuk diwujudkan dalam kreasi budaya. Kebebasan kreatif adalah masalah diberikan atau disediakannya kebebasan. Sebaliknya kalau kita berbicara tentang kreativitas maka masalahnya berpindah kepada penerima kebebasan kreatif tersebut. Di sini berlaku asas: apa pun yang diterima, selalu diterima menurut modus si penerima dan bukannya menurut modus si pemberi (guidguid recipitur, secundum modum recipientis recipitur). Ini adalah sebuah asas antropologi filsafat yang sangat tua yang kiranya masih berlaku sampai saat ini. Dalam implikasinya, hal ini berarti, kalau kebebasan kreatif yang besar diterima oleh seorang individu dengan kapasitas kecil, maka kecil pula hasilnya. Sebaliknya, kalau kebebasan kreatif yang kecil diterima oleh seorang penerima yang besar kapasitasnya, maka besar pula kreasi yang dihasilkannya. Ternyata antara kebebasan (freedom) dan daya cipta (creativity) tidak ada hubungan yang lurus. Seorang bisa kreatif karena bebas (because of freedom) dan seorang dapat tetap kreatif kendati dan meskipun tidak bebas (in spite of unfreedom). Kebebasan kreatif selalu berhubungan dengan kebebasan luar yang obyektif, sedangkan kreativitas berhubungan kebebasan dalam, yaitu kebebasan jiwa. Kiblat kebudayaan Dalam hubungan dengan daya cipta masih ada semacam keprihatinan dalam diskusi mengapa gerangan perkembangan kebudayaan Indonesia modern selalu merupakan bayangan perkembangan kebudayaan di bagian dunia lain, sebutlah, di Eropa Barat atau di Amerika Serikat. Keberatan ini segera mengingatkan orang akan debat dalam Polemik Kebudayaan yang terkenal itu, tentang ke mana Indonesia harus mengambil model untuk kebudayaan baru Indonesia. Apakah kita harus mengambil model Barat seperti yang diusulkan oleh S. Takdir Alisyahbana atau model Timur seperti dianjurkan oleh Sanusi Pane dan beberapa tokoh lainnya?
Perdebatan tentang kiblat kebudayaan pada hakikatnya adalah perdebatan mengenai sumber kebudayaan kalau dilihat dari segi strategi kebudayaan atau perdebatan tentang asal-usul kebudayaan dilihat dari segi sejarah kebudayaan. Semua ini terang penting artinya untuk pengetahuan kita, namun membicarakan sumber kebudayaan ini dalam hubungan dengan dayacipta kebudayaan, pada akhirnya tidak banyak membawa manfaat. Sebab, yang menentukan kreativitas bukanlah dari sumber mana pola-pola kebudayaan diambil, tetapi dengan tingkat daya cerna seberapa besar pola-pola itu diterima dalam diri seorang individu atau suatu masyarakat. Dari mana pun asal-usul kebudayaan itu, hal itu tidak begitu penting artinya untuk kreativitas, selama penerima pengaruh-pengaruh itu dapat mencerna semua pengaruh itu dalam suatu proses internalisasi dan integrasi kebudayaan, dan kemudian menjadikan semua pengaruh itu sebagai bahan untuk penciptaan kebudayaan yang bersifat kreatif. Ini berarti, rasa prihatin tentang besarnya pengaruh Barat, sebetulnya mencerminkan rasa prihatin tentang daya cerna kebudayaan kita sendiri. Eropa tidak pernah menyesal belajar dari renaissance, seperti halnya renaissance tidak menyesal belajar dari Roma dan Roma tidak pernah menyesal belajar dari Yunani antik. Pertanyaan baru dan jawaban baru Suatu keprihatinan lain adalah bahwa dalam melakukan diskusi kebudayaan kita cenderung mengulang persoalan lama dan barangkali pula mengulang jawaban yang sama terhadap persoalan tersebut. Apakan kreativitas kebudayaan selalu berarti kesanggupan merumuskan masalah baru? Jawaban terhadap persoalan itu adalah bahwa yang menentukan harga dan bobot sebuah persoalan bukanlah kadar baru dan lamanya, melainkan apakah persoalan tersebut diberi relevansi yang sesuai dengan perkembangan keadaan. Ada banyak persoalan di masa lampau yang tetap belum terselesaikan, dan persoalan tersebut tidak layak ditinggalkan hanya karena merupakan persoalan lama. Yang diperlukan adalah memberikan relevansi baru terhadap persoalan lama tersebut. Demikian pun ada beberapa soal baru yang muncul dan menarik minat. Tetapi tidaklah cukup kalau soal-soal baru tersebut menjadi sekadar mode atau fashion karena yang dibutuhkan adalah membuat soal-soal tersebut relevan dengan keperluan kebudayaan di Indonesia. Eksistensialisme di tahun lima puluhan dan post-modernisme di tahun sembilan puluhan tidak bagitu meninggalkan jejak karena para penganutnya tidak sempat memberikan bobot relevansi yang kuat untuk kebudayaan di Indonesia. Kritik politik dan kritik kebudayaan Dipertanyakan adakah perbedaan antara kritik politik dan kritik kebudayaan? Di antara banyak perbedaan, ada satu hal yang menarik perhatian diskusi tersebut, yaitu bahwa kritik politik adalah cerminan persaingan politik antara sebuah golongan dengan golongan lainnya; sebaliknya, kritik kebudayaan memperjuangkan nilai-nilai (misalnya hormat kepada martabat manusia), dan kritik seperti ini mencerminkan komitmen kepada nilai dan bukanlah komitmen kepada kelompok. Seseorang yang melakukan kritik kebudayaan berjuang untuk menegakkan nilai-nilai kebudayaan yang dijunjungnya, dan menentang pemerkosaan terhadap nilai-nilai tersebut, juga seandainya nilai bersangkutan diabaikan dalam kelompok di mana dia diperanggotakan. Dia juga akan memperjuangkan tegaknya nilai kebudayaan tersebut, seandainya pun nilai tersebut terwujud dalam kelompok yang menjadi lawannya. Dalam kaitan itu perlu disadari ambivalensi pengetahuan dan ketidaktahuan mengenai suatu soal. Politik mengandaikan bahwa pengetahuan tentang suatu soal akan membawa orang untuk terpengaruh oleh pengetahuan tersebut. Kebudayaan mengandaikan bahwa pengetahuan terhadap suatu soal memungkinkan orang mengambil sikap secara dewasa terhadap soal tersebut. Politik mengandaikan ketidaktahuan tentang sebuah soal yang tak disetujui mungkin lebih menguntungkan. Kebudayaan mengandaikan bahwa ketidaktahuan tentang suatu soal selalu merugikan, karena dengan itu proses belajar telah dibatalkan. Strukturalisme, historisisme, kebudayaan, dan konteks Diskusi kebudayaan dan diskursus sosial-budaya di Indonesia semenjak tahun 1980-an rupanya tidak dapat lagi menghindar dari beberapa konsep yang dirumuskan dengan beberapa kata-kunci di atas. Pertanyaan yang penting secara budaya adalah: apakah dan bagaimanakah hal-hal tersebut di atas (struktur, sejarah, kebudayaan dan konteks) mempengaruhi realisasi kemerdekaan menusia dan karena itu mempengaruhi kreativitas manusia secara budaya? Dalam arti luas, struktur adalah konteks dalam ruang. Dilihat secara pesimis, suatu struktur akan membatasi ruang-gerak di mana kemerdekaan dan dayacipta diwujudkan. Ada batas-batas secara politik, ekonomi atau sosial untuk mewujudkan dayacipta tersebut. Sebaliknya, dilihat secara optimis, suatu struktur menjadi kerangka (secara sosial, ekonomis atau politis) di mana kemerdekaan manusia diwujudkan dan diwujudkan secara khas berdasarakan kondisi dalam struktur tersebut. Tanpa kerangka struktural, kemerdekaan dan dayacipta tidak mempunyai landasan untuk direalisasikan. Kalau struktur adalah konteks dalam ruang, maka sejarah adalah konteks dalam waktu. Meninjau kebudayaan secara historis adalah meninjau kebudayaan sebagai sesuatu yang terbentuk dan tercipta dalam waktu, dan melihat syarat-syarat obyektif yang membuatnya mendapat bentuknya seperti ini dan bukan bentuknya yang lain. Karena itulah kebudayaan selalu terikat kepada kekuatan sejarah. Namun demikian, sejarah juga dibentuk oleh kebudayaan. Tidak ada sejarah tanpa kebudayaan di dalamnya. Karena itu sikap historis adalah suatu sikap penting tetapi historisisme bukanlah sesuatu yang mutlak. Kemajuan di dalam sejarah, tidak jarang, disebabkan oleh keberanian untuk berpikir ahistoris dan antihistoris, dengan menciptakan perspektif yang lebih jauh dari kondisi-kondisi yang konkret sekarang ini. Sejarah membentuk kebudayaan kita, tetapi kebudayaan kembali menciptakan sejarah. Manusia tidak bisa membebaskan diri dari sejarahnya, tetapi sejarah pun tidak bisa membebaskan diri manusia yang menggerakkannya. Sikap historis menekankan manusia dalam sejarah, sikap kritis menekankan sejarah sebagai sejarah manusia. Kebudayaan adalah respons manusia dengan kemerdekaannya terhadap pembatasan waktu dan ruang. Hanya melalui kebudayaan kita tidak terjatuh baik ke dalam determinisme strukturalis maupun determinisme historis. Namun demikian bahkan terhadap kebudayaan, kemerdekaan manusia harus sanggup mempertahankan diri supaya tidak terjatuh ke dalam determinisme kebudayaan. Agar supaya suatu kebudayaan tetap dihayati secara kreatif, diperlukan refleksi dari partisipannya bahwa kebudayaan tersebut adalah ciptaan manusia sendiri, yang diciptakan dengan tujuan dan karena keperluan tertentu. Konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. Setiap kreasi budaya selalu lahir dalam konteks tertentu dan karena itu pemahaman terhadapnya memerlukan suatu tinjauan yang bersifat kontekstual. Namun demikian konteks bukanlah suatu pengertian yang statis. Setiap konteks selalu dapat di-dekontektualisasi-kan dan dapat pula di-rekontekstualisasi- kan kembali oleh setiap kelompok pada masanya. Riwayat hidup sebuah kreasi budaya penting untuk menerangkan proses produksinya, tetapi tidak selalu dapat menerangkan kekuatan pengaruhnya dalam kehidupan budaya yang lebih luas. Konteks menjadi penting kalau dia dihayati secara tekstual, di mana setiap kebudayaan dapat menjadi teks yang terbuka untuk pembacaan dan penafsiran oleh siapa saja. Kemerdekaan dan kreativitas selalu merupakan sesuatu yang terbatas. Sedangkan kebudayaan adalah usaha untuk mengatasi batas- batas tersebut.
Ignas Kleden, moderator pada Diskusi “Refleksi kebudayaan” 9 September 1995 di IK7, Jakarta.
Dijumput dari: http://jehovahsabaoth.wordpress.com/2011/09/10/beberapa-kesimpulan-diskusi-refleksi-kebudayaan/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar