Minggu, 27 Mei 2012

Sastra TKI dan Ciri-cirinya

JJ. Kusni
http://wachyu.depsos.org/

Mengikuti kehidupan perpuisian di dunia maya dan media cetak tanahair, sampai sekarang nampak bahwa sanjak cinta tetap merupakan arus kuat dan gelombang besar yang menggemuruh dan berdebur. Yang saya maksudkan dengan sanjak cinta, tidak lain daripada sanjak-sanjak yang mengambil cinta sebagai tema olahan. Barangkali keadaan demikian berkaitan dengan usia relatif muda para penulis karya-karya puisi tersebut, di samping asal strata sosial mereka yang bisa dikelompokkan pada lapisan kelas menengah, lulusan “tiga pintu” [pintu keluarga, sekolah dan kantor] dan masih asing dari badai topan perjuangan mayoritas penduduk yang bersifat hidup-mati serta kalah-menang. Bersumber dari basis sosial-ekonomi demikian maka sastra-seni yang dilahirkan pun mencerminkan keadaan lapisan kelas-menengah dari mana para pendukungnya berasal. Wajah sastra-seni yang agak kelimis, wangi parfum dan salon yang asyik dengan keasyikan dunia tersendiri di mana tidak jarang soal-soal buruh, tani, politik dilirik sekilas atau dipandang dengan menyipitkan mata keheranan seperti orang tercengang ketika tiba-tiba berhadapan dengan seekor kijang tersesat ke halaman rumah pusat kota. Apalagi selama hampir tiga dasawarsa, rezim Orde Baru Soeharto melakukan depolitisasi yang sangat sistematik.Di tengah-tengah syarat politik, sosial-ekonomi dan budaya dominan yang demikian, maka munculnya manusia penyair yang sekaligus sebagai aktivis gerakan demokratisasi seperti Wiji Thukul yang berasal dari lapisan bawah masyarakat, tidaklah merupakan hal yang jamak. Sekalipun memang dari sisi lain juga bisa dilihat bahwa Wiji Thukul dengan begitu dilahirkan oleh zamannya seperti halnya Mas Marco atau Cak Durasim dilahirkan oleh zaman masing-masing. Perbedaan asal strata-sosial serta jauh dekatnya, terlibat tidaknya para penyair dengan kehidupan mayoritas dan gerakan sosial-politik, memperlihatkan diri kembali pada karya, pada sikap para seniman [dalam hal ini, penyair] ketika menempatkan puisi di tengah kehidupan dan masyarakat. Bahkan pada di mana mereka menempatkan diri sendiri dalam kehidupan dan masyarakat yang tentu saja bersesuaian dengan pandangan hidup yang banyak ditentukan oleh kondisi sosial.

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah gejala yang diperlihatkan oleh warga masyarakat Tenaga Kerja Indonesia [TKI], yaitu orang-orang Indonesia yang mencari pekerjaan dan bekerja di luarnegeri. Seperti umum diketahui bahwa jumlah TKI tidaklah kecil dan mereka tersebar di lima benua, mulai dari Amerika melalui Eropa, Afrika dan Asia sampai ke Australia. Gejala yang saya maksudkan adalah terutama gejala yang berkaitan dengan bidang sastra-seni. Walaupun masih dalam jumlah yang belum menonjol agaknya warga masyarakat TKI sudah mulai mengungkapkan diri, menuturkan pahit-getir serta permasalahan mereka dalam bentuk karya sastra-seni seperti: puisi, laporan, esai, cerpen, lukisan dan drama. Dalam bidang puisi, misalnya nama Mega Vristian [Hong Kong] nampak paling menonjol, sedangkan bidang esai mulai menampilkan dua nama: Jelitheng [Eropa Barat] dan Erine Endri [Beijing], lalu di bidang reportase atau laporan telah muncul nama Suraiya Kamaruzzaman [Hong Kong]. Karya-karya mereka muncul dan disiarkan selain melalui internet juga disiarkan di penerbitan-penerbitan buruh migran di luar negeri serta majalah dan suratkabar di Indonesia.

Karya-karya mereka memperlihatkan ciri yang berbeda dari karya-karya dominan atau arus umum dalam sastra-seni yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Sekalipun para penulisnya hidup di luarnegeri mereka tidak mengesankan tenggelam oleh glamour konsumerisme, tidak silau oleh kemerlap kehidupan negeri orang. Melalui tulisan-tulisan mereka yang tidak lain dari warga masyarakat TKI itu sendiri atau aktivis organisasi buruh migran, kita mengenal pahit-getir, persoalan dan harapan para TKI. Keberpihakan kepada pihak yang lemah, tuntutan akan keadilan dan kemanusiaan merupakan ciri utama karya-karya warga masyarakat TKI ini. Sastra-seni bagi warga masyarakat TKI seperti halnya Wiji Thukul dengan puisi-puisinya, merupakan alat memanusiawikan diri dan kehidupan. Sikap ini nampak jelas dari sanjak-sanjak Mega yang belakangan disiarkan seperti: “Megatruh Purwanti”, “Satiyem: Ibu Indonesia”, “Amien Fahlan”, “Elegi TKW”, “Dari Taman Victoria”, “Mariska”, dan lain-lain… bahkan pada sanjak tiga barisnya berikut:

“MALAM MINGGU”

malam mingu
cuma kuintip dari jendela kamar
ada darah menetes di wajah rembulan

Hong Kong, 27 Maret 2004.”

“Darah [yang] menetes di wajah rembulan” itu adalah darah buruh migran, terutama di Hong Kong di mana Mega hidup dan bekerja sebagai TKI. Mengapa fisik dan jiwa warga masyarakat TKI di Hong Kong sampai berdarah? Penyair memancing dan mengundang kritikus dan pembaca untuk mengenal permasalahan lebih jauh.

Melalui sanjak-sanjaknya yang belakangan, nampak Mega sudah memasuki tahap baru dalam berpuisi. Keberpihakannya makin nyata dan jelas. Mega sudah meninggalkan tema cinta dan memasuki wilayah perjuangan politik, sosial dan ekonomi, hak azasi, keadilan. Mega, seperti halnya juga Erine Endri, Jelitheng dan Suraiya menempatkan karya-karya mereka dalam kontek perjuangan TKI dan kemanusiaan. Keberpihakan dan di mana puisi serta karya-karya ditempatkan oleh para penulis warga masyarakat TKI, diungkapkan dengan tandas oleh Mega dalam sepucuk suratnya [29 Maret 2004] kepada Mawi, penyair yang tinggal di Amsterdam, di mana antara lain dikatakannya:

“Entah abang apakah masih menyediakan waktu untuk membaca puisi saya, yang ada di beberapa milis sastra.Dari situ abang bisa memahami betapa hati dan nurani saya merasa terbantai melihat penderitaan, penindasan dan ketidak adilan yang di alami beberapa rekan TKI lainnya.

Saya ingin melakukan sesuatu untuk mereka, walaupun mungkin apa yang saya lakukan belum bisa menolong banyak terhadap mereka. Lewat puisi, saya berbicara pada dunia, lewat puisi saya mengurai penderitaan mereka pada bunda pertiwi, karena mereka adalah anak negeri yang perlu perhatian, belai sayang dan pertolongan dari bunda pertiwi. Entah apakah bunda pertiwi akan tega membiarkan lima anaknya saat ini meregang takut menanti keputusan hukuman mati dari pemerintah Singapura?”

Keberpihakan para penulis TKI ini tidak berhenti pada kata-kata, tapi mereka ujudkan ke dalam kenyataan dengan terjun langsung sebagai aktivis. Mega dan Suraiya misalnya aktif di Indonesia Migrant Worker Union [IMWU], Jelitheng aktif dalam berbagai kegiatan humaniter di Eropa Barat, Erine yang tadinya di Xiamen melanjutkan kegiatan serupa di Beijing. Kata dan praktek disatukan oleh para penulis TKI karena kata dan praktek adalah kehidupan mereka sendiri. Dituntut oleh kehidupan sebagai TKI, karya, juga puisi di tangan mereka bukan menjadi lagu ninabobok tapi untuk memanusiawikan diri dan kehidupan. Kehidupan jugalah yang mendesak mereka untuk menjadi penyair, menjadi penulis tapi sekaligus sebagai aktivis praktis yang menerjuni langsung kancah pertarungan yang membuat “rembulan” pun terpercik “darah”. Di kancah pertarungan berdarah [yang jauh dari wangi salon dan kelimis wajah fisik dan kekenesan jiwa kelas menengah] inilah mereka menempa, mengobah dan mematangkan diri dan karya-karya mereka. Dengan latarbelakang kehidupan begini maka tokoh yang lahir dari karya-karya penulis TKI bukanlah noni-noni dan sinyo kota serta salon yang suka bingung dan stress.

Dua jenis sastra-seni lahir dari dua sastra sosial berbeda. Keduanya lahir dan hidup di dunia sastra Indonesia sekalipun sastra dan karya yang ditulis diciptakan oleh lapisan bawah sering tidak dipandang sebelah mata, dipandang tidak bernilai seni, kurang bobot universal dan penuh demagogi oleh penulis dan seniman salon. Sikap beginipun memperlihatkan bahwa di dunia sastra-seni terdapat paling tidak dua standar dan norma. Standar salon dan standar populer di kalangan bawah.Yang menggelikan bahwa kehidupan sering mempertontonkan pertunjukan dimainkan para seniman dan manusia salon yang bicara tentang universalisme, tentang kemanusiaan, demokratisasi atau keadilan, sementara pada detik yang sama tindakan mereka menyangkal ucapan mereka sendiri. Sehingga kita dipaksa merenung apakah universalisme tidakkah sama dengan kepentingan kelompok dan golongan; kemanusiaan sinonim dari perbudakan, demokratisasi sama dengan otokorasi dan diktatur; sedangkan keadilan berupa penindasan terhadap yang lain.

Jika demikian, apakah tidak perlu sejarah sastra ditulis kembali atau sejarah sastra lapisan bawah yang tidak dindahkan atau kurang diperhatikan, memang sudah selayaknya ditulis? Jika kelak ia ditulis, saya kira sastra TKI, sastra bawah tanah, sastra-eksil, karya-karya di tahanan dan penjara serta yang selama ini tidak diperhatikan, akan mendapat tempat yang patut.

Catatan belajar ini hanyalah suatu usaha awal memahami ciri-ciri sastra-seni TKI yang sekarang memperlihatkan tanda-tanda keberadaannya di dunia sastra Indonesia. Pernahkah gejala ini sejenak berkelebat di mata perhatian para pengamat sastra dan kalangan akademisi negeri kita? Ataukah karya yang dihasilkan warga TKI akan senasib dengan TKI itu sendiri di kalangan bangsanya. Boleh jadi begini: Warga TKI dan penulis-penulis TKI pertama-tama dan terlebih dahulu, layak pandai dan bisa menghargai serta menghormati diri sendiri. Dalam hal ini organisasi buruh migran seperti IMWU bisa memainkan peranan penting. Siapapun tidak akan menghormati dan menghargai diri kita kalau kita tidak pertama-tama menghormati dan menghargai diri sendiri. Mengapa tidak misalnya ILWU menerbitkan karya-karya tentang TKI dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia? Saya melihat bahwa sastra TKI mempunyai ciri dan watak tersendiri yang hanya membuatmenambah pelangi sastra tanahair bertambah warna.

“Pengorbanan berat membulatkan tekad
yang kuasa menempa surya dan candra
bercahya di cakrawala baru”

demikian seorang penyair Tiongkok menulis ketika Tiongkok menghadapi kesulitan demi kesulitan beruntun. Barangkali kata-kata penyair Tiongkok inipun bisa diterapkan dalam usaha warga TKI termasuk para penulisnya, guna menghormati dan menghargai diri sendiri. Banyak yang bisa dilakukan ketika prakarsa tersulut dan marak.

Paris, Maret 2004.
—————–
sumber:
1) http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/10935
2) http://wachyu.depsos.org/2010/06/02/sastra-tki-dan-ciri-cirinya/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito