Achmad Sunjayadi *
Kompas, 27 Okt 2008
BEBERAPA waktu lalu ada yang mengusulkan untuk mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Alasannya, nama Nusantara lebih sesuai dibandingkan Indonesia. Jauh sebelumnya, tahun 1920-an, Dr Setiabudi yang memiliki nama asli Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950) memopulerkan nama untuk tanah air negeri kita adalah Nusantara. Satu kata yang tak memiliki unsur kata ”Hindia” (dari kata bahasa Belanda = Nederlands Indië, Hindia Belanda). Nama yang digunakan pemerintah kolonial untuk menyebut negeri kita.
Setiabudi mengambil nama ini dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit. Naskah ini ditemukan akhir abad ke-19 di Bali yang lalu diterjemahkan JLA Brandes dan diterbitkan Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Hal menarik adalah pengertian Nusantara usulan Setiabudi sangat berbeda dengan pengertian Nusantara zaman Majapahit.
Pada masa Majapahit, kata Nusantara dipakai untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (dalam bahasa Sansekerta ”antara” berarti luar atau seberang) untuk dioposisikan dengan Jawadwipa (Pulau Jawa). Adalah Patih Gajah Mada yang mengucapkan Sumpah Palapa Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa (Jika pulau-pulau seberang telah kalah, saya baru menikmati istirahat). Setiabudi lalu mengotak-atik kata nusantara zaman Majapahit yang bermakna kolonialis dan memodifikasinya sehingga memiliki pengertian nasionalis.
Setiabudi menggunakan makna kata Melayu asli ”antara” sehingga Nusantara akhirnya memiliki makna baru, yaitu ”nusa di antara dua benua dan dua samudra”. Dengan demikian, Jawa pun masuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah baru Dr Setiabudi ini segera menjadi populer yang digunakan sebagai alternatif nama Hindia Belanda.
Ada pula yang menyatakan bahwa istilah Nusantara diperkenalkan Ki Hajar Dewantara, tokoh pendiri Taman Siswa. Dewantara sendiri menjadi anggota partai Douwes Dekker, Indische Partij. Bersama Dr Cipto Mangunkusumo, mereka dikenal sebagai ”tiga serangkai”. Kemungkinan besar, Nusantara adalah ide Dewantara dan Douwes Dekker yang sejalan.
Nama Nusantara ini pula yang digunakan oleh Bernard HM Vlekke untuk judul bukunya Nusantara. A History of the East Indian Archipelago (1943). Sedangkan buku yang diterjemahkan ini berasal dari edisi kelima tahun 1961 dengan judul Nusantara: A History of Indonesia.
Perbedaannya sangat jelas. Pada edisi 1961 ini ada perubahan sudut pandang. Dari Eropa sentris menjadi Indonesia sentris. Jika pada edisi 1943, khususnya Bab 6, lebih memusatkan pada Jan Pieterszoon Coen sebagai peletak dasar perekonomian Belanda di Hindia, maka pada edisi 1963, bab tersebut lebih memusatkan pada Indonesia di masa Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen. Suatu perubahan sudut pandang dari masa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.
Hal tersebut cukup menarik mengingat Vlekke tentunya kita anggap sebagai pihak luar (apalagi dari Belanda) yang mengamati Indonesia dengan kacamata berbeda. Tak tertutup kemungkinan pendapatnya tak lepas dari pandangan kolonial. Namun, anggapan ini terbantahkan, mengingat Vlekke pada tahun 1940 pergi ke Amerika bersama istrinya, Caroline, untuk bekerja di Nederlandsch Informatie Bureau, New York, sekaligus mengajar di Harvard University, Cambridge (Massachusetts).
Di Amerika inilah Vlekke menulis buku Nusantara. Dalam hal ini, Vlekke harus bisa mengambil jarak dan bersikap ”netral” bagi publik Amerika serta tidak dapat memaksakan pandangan umum bangsa Belanda terhadap negeri koloninya. Apalagi memasukkan cerita kepahlawanan kolonialisme Belanda yang menggulirkan slogan ”Daar werd wat groots verricht’ (Di sana dibangun sesuatu yang besar). Namun, sekaligus ia ingin menggambarkan makna penting kehadiran Belanda di Nusantara sebagai sine ira et studio (without anger and fondness).
Ada beberapa pendapat Vlekke yang berbeda dengan pendapat umum para sejarawan Belanda yang lebih menitikberatkan pada proses perluasan kolonialisasi. Misalnya bagi Belanda, persatuan Indonesia sebenarnya tidak ada dan sebenarnya berkat Belanda-lah ”persatuan” dari Sabang hingga Merauke itu ada. Vlekke menjawab bahwa sebenarnya Indonesia bukan disatukan oleh kolonialisme Belanda. Penyatuan itu lebih disebabkan masa silam gemilang Indonesia yang disebut Nusantara.
Penyajian
Tidak hanya itu, penyajian Vlekke jauh berbeda dengan sejarawan Belanda pada umumnya ketika buku ini pertama kali diterbitkan. Seperti ulasan E Adamson Hoebel dalam American Anthropologist (Oct-Des 1944) yang menyebut Vlekke mengambil sikap netral dalam membahas isu-isu sejarah kontroversial. Vlekke tidak menganalisis budaya Indonesia seperti analisis seorang etnolog yang menempatkan masyarakat pribumi sebagai obyek belaka. Lepas dari budaya yang dimilikinya. Namun, Vlekke lebih menitikberatkan pada masyarakat dan pengaruh budayanya. Oleh karena itu, tulis Hoebel, Vlekke memperlakukan sejarah sebagai a record of man and his accomplishments based on written documents.
Hal itu muncul pada edisi berikutnya (1961), khususnya dalam diskusi mengenai kontak budaya awal antara India dan Nusantara. Menurut Vlekke, kontak budaya tersebut menjadi satu hal yang mungkin dipertimbangkan sebagai masalah penting.
Kenetralan Vlekke tampak karena ia tidak hanya menggambarkan masyarakat Nusantara. Tokoh-tokoh, seperti HW Daendels, TS Raffles, dan Van den Bosch, yang memberikan warna dalam historiografi, baik Indonesia maupun Belanda, juga dibahasnya. Lengkap dengan berbagai intriknya.
Hal menarik lainnya adalah analisis Vlekke tentang jatuhnya Majapahit yang sebagian kalangan meyakini semata-mata ada hubungannya dengan bangkitnya Islam. Menurut Vlekke, memudarnya kejayaan Majapahit disebabkan mulai berkuasanya armada dari China di jalur perdagangan Nusantara. Faktor lainnya adalah para pedagang dan pelaut Eropa (Portugis dan Spanyol) yang mulai berdatangan pada awal abad ke-15 di Jawa. Dengan kata lain, menurut Vlekke, faktor kedua kekuatan utama (China dan Eropa) di samping kebangkitan Islam sebagai penyebab memudarnya Majapahit.
Pada Bab 8 ”Keruntuhan Negara-Negara Indonesia”, Vlekke membantah mitos bahwa keberhasilan Belanda menguasai Nusantara karena peralatan militer mereka yang lebih hebat. Namun, lebih disebabkan faktor internal, yaitu selama 60 tahun, kerajaan-kerajaan di Nusantara saling berperang dan menguasai satu sama lain. Belanda kemudian datang pada saat dan situasi yang menguntungkan mereka. Mereka mengadakan berbagai perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang isinya memudahkan mereka berkuasa di Nusantara.
Analisis menarik lainnya adalah tentang pilihan para raja terhadap Islam bukan karena mereka masuk secara sukarela terhadap agama tersebut, tetapi karena dihadapkan pada pilihan bersekutu dengan Portugis atau bekerja sama dengan Demak dan Johor. Dengan kata lain, pilihannya Islam atau Kristen. Pada dua bab terakhir (Bab 15 dan 16), Vlekke mengangkat lahirnya suatu bangsa melalui perjuangan kaum nasionalis di meja parlemen hingga jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda.
Buku ini dilengkapi pula dengan ringkasan peristiwa-peristiwa secara kronologis, mulai dari masa Hindu-Buddha hingga Hindia Belanda, baik yang terjadi di Nusantara dan Belanda. Selain itu, buku ini memuat daftar nama penguasa Jawa dan gubernur jenderal.
Secara garis besar, tema-tema dalam buku babon ini masih sejalan dengan masalah-masalah yang muncul pada masa kini. Bagi generasi baru, membaca buku ini seperti membaca ”dongeng” Nusantara yang tentu juga harus diimbangi dengan sikap kritis.
*) Achmad Sunjayadi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/sejarah-membaca-dongeng-nusantara.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar