Minggu, 08 April 2012

Topeng Bangsa Meksiko

Octavio Paz
diterjemahkan ke bahasa Inggris: Lysander Kemp
dialihbahasakan ke bahasa Indonesia: Ferdiansyah Thajib
http://www.facebook.com/ca.fes1

Dan bagi saya semua sikap ini, meskipun datang dari sumber yang berbeda, membuktikan hakikat “tertutupnya” reaksi kami terhadap dunia di sekeliling kami atau sesama kami. Namun mekanisme pertahanan dan pelestarian diri kami tidaklah cukup. Dan oleh karena itu kami memakai disimulasi (penyamaran, penyaruan), yang hampir menjadi kebiasaan kami. Ia tidak meningkatkan kepasifan kami; sebaliknya, ia menuntut kreativitas yang aktif, dan ia harus membentuk dirinya dari waktu ke waktu.
Kami memang berbohong untuk kesenangan, seperti juga orang-orang lain yang suka berimajinasi, tapi kami juga berbohong untuk menyembunyikan diri sendiri dan melindungi diri dari penyusup. Berbohong memainkan peran penting dalam hidup keseharian kami, politik kami, hubungan cinta kami, dan persahabatan kami, dan karena yang kami hendak tipu adalah diri kami sendiri dan orang lain, kebohongan kami cemerlang dan subur, bukan seperti rekaan kasar orang lain. Berbohong adalah permainan tragis di mana kami mengorbankan sebagian dari diri kami sendiri. Maka kami tidak perlu menghujatnya.

Si penyaru berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya. Perannya menuntut improvisasi konstan, sebuah langkah ke depan yang stabil menyeberangi medan pasir yang selalu berubah. Setiap saat, ia harus membuat-ulang, menciptakan-ulang, memodifikasi pribadi yang ia mainkan, sampai datang saatnya ketika realitas dan tampilan, kebohongan dan kebenaran, menjadi satu. Awalnya kepura-puraan hanya khayalan buatan yang diniatkan untuk membuat para tetangga kita kagum, namun lama kelamaan ia akan menjadi realitas yang lebih unggul—karena lebih artistik. Kebohongan kami mencerminkan apa kekurangan kami maupun apa yang kami hasratkan, baik sosok yang bukan kami maupun sosok yang kami ingin jadi. Melalui penyaruan kami menjadi semakin mirip dengan suri tauladan kami, dan kadang si pengial, seperti yang dicermati Usigli, menjadi satu dengan kialnya dan dengan demikian menjadikannya otentik. Kematian Profesor Rubio mengubahnya menjadi orang yang dia ingin menjadi: Jendral Rubio, seorang revolusioner tulus dan seseorang yang mampu membawa dorongan segar dan kemurnian baru pada Revolusi yang tengah mengalami stagnasi. Dalam naskah Usigli Profesor Rubio menciptakan diri yang baru dan menjadi jendral, dan kebohongannya begitu mirip dengan kebenaran bahkan Navarri yang korup pun tidak punya pilihan lain selain membunuhnya, seakan membunuh mantan komandannya, Jendral Rubio, sekali lagi. Dengan membunuhnya, ia membunuh kebenaran Revolusi.

Jika kita dapat mencapai keotentikan melalui jalan kebohongan, ketulusan yang berlebihan dapat membawa kita pada bentuk-bentuk kebohongan yang lebih murni. Ketika kami jatuh cinta kami membuka diri dan mengungkapkan perasaan-perasaan intim, karena sebuah tradisi kuno menuntut si lelaki menderita demi cinta menunjukkan luka-lukanya pada yang dicintainya. Tapi dalam mempertunjukannya, sang pencinta mengubah dirinya menjadi suatu citra, sebuah objek yang ia haturkan kepada yang dicintainya dan pada kontemplasinya sendiri. Sang pencinta meminta yang dicinta untuk memandangnya dengan mata memuja sebagaimana sang pecinta memandang dirinya sendiri. Dan kini pandangan yang lain tidak menelanjanginya; melainkan membungkusnya dengan rasa iba. Ia telah mengajukan dirinya sebagai tontonan, meminta para penonton untuk memandangnya sebagaimana ia memandang dirinya sendiri, dan dengan demikian ia berhasil selamat dari permainan cinta, ia berhasil menyelamatkan diri sejatinya dengan menggantinya dengan sebuah citra.

Hubungan manusia beresiko untuk menjadi taksa, di manapun dan kapanpun. Terutama hubungan cinta sejati. Narsisisme dan masokisme memang bukan ciri khas orang Meksiko saja, namun sudah diketahui umum bagaimana seringnya lagu-lagu populer dan peribahasa dan perilaku sehari-hari kami memperlakukan cinta sebagai kepalsuan dan pengkhianatan. Kami hampir selalu menghindar dari bahaya dari hubungan telanjang dengan melebih-lebihkan perasaan kami. Pada saat yang bersamaan, naluri bertarung dalam erotisisme kami ditekankan dan diperburuk. Cinta adalah upaya untuk mempenetrasi mahluk lain, namun ia hanya bisa diwujudkan ketika sama-sama menyerah. Selalu suit untuk menyerahkan diri sendiri; hanya sedikit orang di manapun yang berhasil melakukannya; dan bahkan lebih sedikit lagi yang melampaui tahap posesif dalam memahami cinta sebagaimana adanya: sebuah pencarian abadi, menyelam ke dalam lautan realitas; sebuah penciptaan kembali tanpa akhir. Orang Meksiko memahami cinta sebagai pertarungan dan penaklukkan. Ia lebih dekat dengan upaya melanggar kenyataan melalui tubuh ketimbang upaya untuk menembusnya. Dengan demikian citra pecinta yang beruntung, yang mungkin diturunkan dari Don Juan Spanyol—seringkali dikaburkan dengan laki-laki yang sengaja memanfaatkan perasaannya, yang sebenarnya maupun dibuat-buat, untuk dapat memikat seorang perempuan.

Berpura-pura adalah aktivitas yang mirip dengan yang dilakukan aktor di teater, namun aktor sejati menyerahkan diri sepenuhnya ke peran yang ia mainkan dan menubuhkannya sepenuhnya, meskipun ia menanggalkannya lagi, seperti ular yang berganti kulit, ketika tirai panggung diturunkan. Si penipu tidak pernah menyerahkan atau melupakan dirinya sendiri, karena ia tidak akan bisa berpura-pura lagi jika ia menjadi satu dengan citranya. Namun fiksi ini menjadi bagian dari dirinya yang tidak terpisahkan—dan palsu. Ia dikutuk untuk memainkan perannya sepanjang hidup, karena perjanjian antara dirinya dan tiruannya tidak dapat dibatalkan kecuali dengan kematian atau pengorbanan. Dusta mengendalikannya dan menjadi landasan bagi kepribadiannya.

Mensimulasikan adalah menciptakan—atau lebih tepatnya, memalsukan—dan dengan demikian menghindar dari kondisi kami. Disimulasi membutuhkan kesubtilan yang lebih hebat: orang yang menyaru tidak sedang memalsukan; ia justru mencoba menjadi tidak tampak, untuk lolos dari perhatian tanpa menyatakan keindividualannya. Orang Meksiko ahli dalam menyamarkan hasrat-hasratnya dan dirinya. Ia takut dengan tatapan orang lain dan oleh karenanya ia menarik diri, berkontraksi, menjadi bayangan, hantu, gema. Ketimbang berjalan, ia meluncur; ketimbang menyatakan, ia memberi tanda-tanda; ketimbang menjawab, ia bergumam; ketimbang mengeluh, ia tersenyum. Bahkan ketika ia bernyanyi pun—kecuali kalau ia meledak dan membuka dadanya lebar-lebar—ia melakukannya dengan gigi terkancing dan suara yang direndahkan, menyamarkan nyanyiannya:

Dan begitu hebatnya tirani penyamaran ini
sehingga meskipun hatiku bungah
dengan kerinduan yang paling dalam,
mataku senantiasa menantang
dan suaraku senantiasa menyurut.

Mungkin kebiasaan menyamarkan kami ini berasal dari jaman kolonial. Orang Indian dan mestizo harus bernyanyi dengan suara rendah, seperti dalam puisi Alfonso Reyes, karena “kata-kata pemberontakan tidak terdengar jelas dari gigi yang terkancing.” Dunia kolonial telah menghilang, tapi tidak demikian halnya dengan ketakutan, ketidakpercayaan, kecurigaan. Dan kini kami tidak hanya menyamarkan kemarahan kami, namun juga kelembutan kami. Ketika orang sebangsa kami meminta maaf, mereka mengatakan: “Berpura-puralah ini tidak pernah terjadi, senor”. Dan kami berpura-pura. Kami begitu antusiasnya menyaru sampai-sampai kami berhenti mengada.

Dalam bentuknya yang paling radikal, penyaruan menjadi mimikri. Orang Indian menyatu dengan pemandangan alam sehingga ia menjadi bagian yang tak dapat dibedakan dengan tembok putih yang disandarinya di tengah malam, dengan tanah gelap yang ditidurinya di hari bolong, dari kesunyian yang mengepungnya. Ia menyamarkan kemanusiaannya yang tunggal dengan sedemikian rupa hingga pada gilirannya ia memusnahkannya dan berubah menjadi sebongkah batu, sebatang pohon, tembok, kesunyian, dan ruang. Saya tidak sedang mengatakan bahwa ia sedang menyatu dengan Sang Maha seperti seorang penganut panteis, atau ia melihat satu pohon sebagai purwarupa semua pohon, yang saya maksud di sini adalah bahwa ia benar-benar menyatu dengan benda tertentu dengan cara yang kongkrit dan khusus.

Roger Caillois telah menunjukkan bahwa mimikri bukan selalu berupa upaya untuk mengecoh musuh yang memadati dunia luar. Serangga kadang “berlagak mati” atau meniru beragam jenis benda-benda yang membusuk, karena terpikat pada kematian, demi kelembaman ruang. Keterpikatan ini—saya menyebutnya kekuatan gravitasi kehidupan—adalah hal yang lumrah bagi semua mahluk hidup, dan fakta bahwa ia menyatakan dirinya lewat mimikri menunjukkan bahwa kita mesti memahaminya sebagai lebih dari sekadar perangkat instingtif untuk menghindar dari bahaya atau kematian.

Mimikri lebih merupakan perubahan penampakkan ketimbang sifat, dan penting untuk memilih repreesentasi yang bukan kematian ataupun ruang diam. Tindakan meluaskan diri, menyatu dengan ruang, menjadi ruang, adalah satu cara untuk menolak penampakkan, namun pada saat yang sama ia juga merupakan cara untuk menjadi bukan apapun kecuali Penampakkan. Bangsa Meksiko takut dengan penampakkan, meskipun para pemimpinya menyatakan cintanya pada penampakkan, dan oleh karena itu ia menyamarkan dirinya sendiri sampai pada kondisi menyatu dengan benda-benda di sekitarnya. Dengan begitu, ia menjadi Penampakkan murni karena ketakutannya akan penampakkan. Ia tampak sebagai sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, dan bahkan ia memilih untuk tampak mati atau tidak ada ketimbang mengubah, membuka privasinya. Maka penyaruan sebagai mimikri adalah salah satu pengejawantahan dari hermetisme kami. Si pengial memilih menggunakan topeng, dan sisanya dari kami ingin berlalu tanpa diperhatikan. Di kedua kasus, kami menyembunyikan diri kami yang sejati, dan kadang mengingkarinya. Saya ingat siang ketika saya mendengar keributan di kamar sebelah, dan saya bertanya keras-keras: “Siapa di sana?” Jawaban yang saya terima datang dari suara pelayan yang belum lama ini datang kepada kami dari desa: “Bukan siapa-siapa, senor. Cuma saya”.

Kami menyaru demi menipu diri kami sendiri, dan menjadi tembus padang dan seperti hantu. Tapi ini belum berakhir: kami juga berpura-pura bahwa sesama kami tidak eksis. Ini bukan berarti bahwa kami dengan sengaja tidak menghiraukan atau merendahkan orang lain. Penyaruan kami di sini jauh lebih radikal: kami mengubahnya dari seseorang menjadi bukan siapa-siapa; menjadi ketiadaan. Dan ketiadaan ini mempunyai keindividualannya sendiri, dengan wajah dan bentuk yang dapat dikenali, dan tiba-tiba menjadi Bukan Siapa-siapa.

Don Bukan Siapapun, yang adalah ayah Spanyol si Bukan Siapa-siapa. Ia sehat, cukup makan, cukup dihormati; ia punya rekening bank, dan bicara dengan suara keras dan nada percaya diri. Don Bukan Siapapun mengisi dunia dengan kehadirannya yang kosong dan cerewet. Ia ada di mana-mana dan kawannya di mana-mana. Ia seorang bankir, duta besar, usahawan. Ia bisa dijumpai di setiap bar, dan dihormati di Jamaika, Stockholm, dan London. Di satu waktu ia berkedudukan, di saat lain ia berpengaruh, dan perilakunya ketika tidak menjadi apapun, adalah agresif dan sombong. Sebaliknya, Bukan Siapa-siapa pendiam, pemalu dan rendah hati. Ia juga cerdas dan peka. Ia selalu tersenyum. Ia selalu menunggu. Ketika ia ingin mengatakan sesuatu, ia terbentur pada tembok kesenyapan; ketika ia menyapa seseorang, ia diabaikan; ketika ia memohon atau menangis atau berteriak, gerak dan teriakannya hilang dalam kekosongan yang diciptakan oleh kebawelan tanpa henti. Don Bukan Siapapun. Bukan Siapa-siapa takut tidak eksis: ia berulang-alik, berkali-kali mencoba menjadi Seseorang. Akhirnya, di tengah geraknya yang tidak berguna, ia menghilang ke alam limbo tempat ia dulu muncul.

Adalah salah untuk mengira bahwa orang lain melarangnya untuk eksis. Mereka hanya menyarukan keberadaannya dan berlaku seakan ia tidak eksis. Mereka menganulirnya; membatalkannya, mengubahnya menjadi ketiadaan. Percuma bagi Bukan Siapa-siapa untuk bicara, menerbitkan buku, melukis, berdiri di atas kepalanya. Bukan Siapa-siapa adalah kekosongan di raut wajah kami, jeda dalam percakapan, ketenangan dalam kesenyapan kita. Ia nama yang selalu dan pasti kami lupakan, si tukang absen abadi, tamu yang tak pernah diundang, kekosongan yang takkan pernah bisa terisi. Ia adalah penghilangan, namun ia selalu hadir. Ia adalah rahasia kami, kejahatan kami, penyesalan kami. Maka orang yang menciptakan Bukan Siapa-siapa, dengan mengingkari keberadaan Seseorang, juga diubah menjadi Bukan Siapa-siapa. Dan jika kami semua adalah Bukan Siapa-siapa, maka tak satu pun dari kami eksis. Lingkarannya telah terbentuk sempurna dan bayangan Bukan Siapa-siapa menyebar ke seluruh permukaan bumi kami, mencekik si Pengial, dan menutupi segalanya. Kesunyian-kesunyian yang purba, lebih kokoh dari semua piramida dan pengorbanan, dari semua gereja dan pemberontakan dan lagu rakyat—kembali untuk menguasai Meksiko.

Catatan: Octavio Paz, 1985, kutipan dari “Mexican Masks” dalam The Labyrinth of Solitude, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lysander Kemp, Grove Press, Inc., NY, USA, hal. 40-46 dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh Ferdiansyah Thajib.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/octavio-paz-topeng-bangsa-meksiko/379219282106943

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito