Octavio Paz
diterjemahkan ke bahasa Inggris: Lysander Kemp
dialihbahasakan ke bahasa Indonesia: Ferdiansyah Thajib
http://www.facebook.com/ca.fes1
Dan bagi saya semua sikap ini, meskipun datang dari sumber yang
berbeda, membuktikan hakikat “tertutupnya” reaksi kami terhadap dunia di
sekeliling kami atau sesama kami. Namun mekanisme pertahanan dan
pelestarian diri kami tidaklah cukup. Dan oleh karena itu kami memakai
disimulasi (penyamaran, penyaruan), yang hampir menjadi kebiasaan kami.
Ia tidak meningkatkan kepasifan kami; sebaliknya, ia menuntut
kreativitas yang aktif, dan ia harus membentuk dirinya dari waktu ke
waktu.
Kami memang berbohong untuk kesenangan, seperti juga orang-orang
lain yang suka berimajinasi, tapi kami juga berbohong untuk
menyembunyikan diri sendiri dan melindungi diri dari penyusup. Berbohong
memainkan peran penting dalam hidup keseharian kami, politik kami,
hubungan cinta kami, dan persahabatan kami, dan karena yang kami hendak
tipu adalah diri kami sendiri dan orang lain, kebohongan kami cemerlang
dan subur, bukan seperti rekaan kasar orang lain. Berbohong adalah
permainan tragis di mana kami mengorbankan sebagian dari diri kami
sendiri. Maka kami tidak perlu menghujatnya.
Si penyaru berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Perannya menuntut improvisasi konstan, sebuah langkah ke depan yang
stabil menyeberangi medan pasir yang selalu berubah. Setiap saat, ia
harus membuat-ulang, menciptakan-ulang, memodifikasi pribadi yang ia
mainkan, sampai datang saatnya ketika realitas dan tampilan, kebohongan
dan kebenaran, menjadi satu. Awalnya kepura-puraan hanya khayalan buatan
yang diniatkan untuk membuat para tetangga kita kagum, namun lama
kelamaan ia akan menjadi realitas yang lebih unggul—karena lebih
artistik. Kebohongan kami mencerminkan apa kekurangan kami maupun apa
yang kami hasratkan, baik sosok yang bukan kami maupun sosok yang kami
ingin jadi. Melalui penyaruan kami menjadi semakin mirip dengan suri
tauladan kami, dan kadang si pengial, seperti yang dicermati Usigli,
menjadi satu dengan kialnya dan dengan demikian menjadikannya otentik.
Kematian Profesor Rubio mengubahnya menjadi orang yang dia ingin
menjadi: Jendral Rubio, seorang revolusioner tulus dan seseorang yang
mampu membawa dorongan segar dan kemurnian baru pada Revolusi yang
tengah mengalami stagnasi. Dalam naskah Usigli Profesor Rubio
menciptakan diri yang baru dan menjadi jendral, dan kebohongannya begitu
mirip dengan kebenaran bahkan Navarri yang korup pun tidak punya
pilihan lain selain membunuhnya, seakan membunuh mantan komandannya,
Jendral Rubio, sekali lagi. Dengan membunuhnya, ia membunuh kebenaran
Revolusi.
Jika kita dapat mencapai keotentikan melalui jalan kebohongan,
ketulusan yang berlebihan dapat membawa kita pada bentuk-bentuk
kebohongan yang lebih murni. Ketika kami jatuh cinta kami membuka diri
dan mengungkapkan perasaan-perasaan intim, karena sebuah tradisi kuno
menuntut si lelaki menderita demi cinta menunjukkan luka-lukanya pada
yang dicintainya. Tapi dalam mempertunjukannya, sang pencinta mengubah
dirinya menjadi suatu citra, sebuah objek yang ia haturkan kepada yang
dicintainya dan pada kontemplasinya sendiri. Sang pencinta meminta yang
dicinta untuk memandangnya dengan mata memuja sebagaimana sang pecinta
memandang dirinya sendiri. Dan kini pandangan yang lain tidak
menelanjanginya; melainkan membungkusnya dengan rasa iba. Ia telah
mengajukan dirinya sebagai tontonan, meminta para penonton untuk
memandangnya sebagaimana ia memandang dirinya sendiri, dan dengan
demikian ia berhasil selamat dari permainan cinta, ia berhasil
menyelamatkan diri sejatinya dengan menggantinya dengan sebuah citra.
Hubungan manusia beresiko untuk menjadi taksa, di manapun dan
kapanpun. Terutama hubungan cinta sejati. Narsisisme dan masokisme
memang bukan ciri khas orang Meksiko saja, namun sudah diketahui umum
bagaimana seringnya lagu-lagu populer dan peribahasa dan perilaku
sehari-hari kami memperlakukan cinta sebagai kepalsuan dan
pengkhianatan. Kami hampir selalu menghindar dari bahaya dari hubungan
telanjang dengan melebih-lebihkan perasaan kami. Pada saat yang
bersamaan, naluri bertarung dalam erotisisme kami ditekankan dan
diperburuk. Cinta adalah upaya untuk mempenetrasi mahluk lain, namun ia
hanya bisa diwujudkan ketika sama-sama menyerah. Selalu suit untuk
menyerahkan diri sendiri; hanya sedikit orang di manapun yang berhasil
melakukannya; dan bahkan lebih sedikit lagi yang melampaui tahap posesif
dalam memahami cinta sebagaimana adanya: sebuah pencarian abadi,
menyelam ke dalam lautan realitas; sebuah penciptaan kembali tanpa
akhir. Orang Meksiko memahami cinta sebagai pertarungan dan penaklukkan.
Ia lebih dekat dengan upaya melanggar kenyataan melalui tubuh ketimbang
upaya untuk menembusnya. Dengan demikian citra pecinta yang beruntung,
yang mungkin diturunkan dari Don Juan Spanyol—seringkali dikaburkan
dengan laki-laki yang sengaja memanfaatkan perasaannya, yang sebenarnya
maupun dibuat-buat, untuk dapat memikat seorang perempuan.
Berpura-pura adalah aktivitas yang mirip dengan yang dilakukan aktor
di teater, namun aktor sejati menyerahkan diri sepenuhnya ke peran yang
ia mainkan dan menubuhkannya sepenuhnya, meskipun ia menanggalkannya
lagi, seperti ular yang berganti kulit, ketika tirai panggung
diturunkan. Si penipu tidak pernah menyerahkan atau melupakan dirinya
sendiri, karena ia tidak akan bisa berpura-pura lagi jika ia menjadi
satu dengan citranya. Namun fiksi ini menjadi bagian dari dirinya yang
tidak terpisahkan—dan palsu. Ia dikutuk untuk memainkan perannya
sepanjang hidup, karena perjanjian antara dirinya dan tiruannya tidak
dapat dibatalkan kecuali dengan kematian atau pengorbanan. Dusta
mengendalikannya dan menjadi landasan bagi kepribadiannya.
Mensimulasikan adalah menciptakan—atau lebih tepatnya, memalsukan—dan
dengan demikian menghindar dari kondisi kami. Disimulasi membutuhkan
kesubtilan yang lebih hebat: orang yang menyaru tidak sedang memalsukan;
ia justru mencoba menjadi tidak tampak, untuk lolos dari perhatian
tanpa menyatakan keindividualannya. Orang Meksiko ahli dalam menyamarkan
hasrat-hasratnya dan dirinya. Ia takut dengan tatapan orang lain dan
oleh karenanya ia menarik diri, berkontraksi, menjadi bayangan, hantu,
gema. Ketimbang berjalan, ia meluncur; ketimbang menyatakan, ia memberi
tanda-tanda; ketimbang menjawab, ia bergumam; ketimbang mengeluh, ia
tersenyum. Bahkan ketika ia bernyanyi pun—kecuali kalau ia meledak dan
membuka dadanya lebar-lebar—ia melakukannya dengan gigi terkancing dan
suara yang direndahkan, menyamarkan nyanyiannya:
Dan begitu hebatnya tirani penyamaran ini
sehingga meskipun hatiku bungah
dengan kerinduan yang paling dalam,
mataku senantiasa menantang
dan suaraku senantiasa menyurut.
Mungkin kebiasaan menyamarkan kami ini berasal dari jaman kolonial.
Orang Indian dan mestizo harus bernyanyi dengan suara rendah, seperti
dalam puisi Alfonso Reyes, karena “kata-kata pemberontakan tidak
terdengar jelas dari gigi yang terkancing.” Dunia kolonial telah
menghilang, tapi tidak demikian halnya dengan ketakutan,
ketidakpercayaan, kecurigaan. Dan kini kami tidak hanya menyamarkan
kemarahan kami, namun juga kelembutan kami. Ketika orang sebangsa kami
meminta maaf, mereka mengatakan: “Berpura-puralah ini tidak pernah
terjadi, senor”. Dan kami berpura-pura. Kami begitu antusiasnya menyaru
sampai-sampai kami berhenti mengada.
Dalam bentuknya yang paling radikal, penyaruan menjadi mimikri. Orang
Indian menyatu dengan pemandangan alam sehingga ia menjadi bagian yang
tak dapat dibedakan dengan tembok putih yang disandarinya di tengah
malam, dengan tanah gelap yang ditidurinya di hari bolong, dari
kesunyian yang mengepungnya. Ia menyamarkan kemanusiaannya yang tunggal
dengan sedemikian rupa hingga pada gilirannya ia memusnahkannya dan
berubah menjadi sebongkah batu, sebatang pohon, tembok, kesunyian, dan
ruang. Saya tidak sedang mengatakan bahwa ia sedang menyatu dengan Sang
Maha seperti seorang penganut panteis, atau ia melihat satu pohon
sebagai purwarupa semua pohon, yang saya maksud di sini adalah bahwa ia
benar-benar menyatu dengan benda tertentu dengan cara yang kongkrit dan
khusus.
Roger Caillois telah menunjukkan bahwa mimikri bukan selalu berupa
upaya untuk mengecoh musuh yang memadati dunia luar. Serangga kadang
“berlagak mati” atau meniru beragam jenis benda-benda yang membusuk,
karena terpikat pada kematian, demi kelembaman ruang. Keterpikatan
ini—saya menyebutnya kekuatan gravitasi kehidupan—adalah hal yang lumrah
bagi semua mahluk hidup, dan fakta bahwa ia menyatakan dirinya lewat
mimikri menunjukkan bahwa kita mesti memahaminya sebagai lebih dari
sekadar perangkat instingtif untuk menghindar dari bahaya atau kematian.
Mimikri lebih merupakan perubahan penampakkan ketimbang sifat, dan
penting untuk memilih repreesentasi yang bukan kematian ataupun ruang
diam. Tindakan meluaskan diri, menyatu dengan ruang, menjadi ruang,
adalah satu cara untuk menolak penampakkan, namun pada saat yang sama ia
juga merupakan cara untuk menjadi bukan apapun kecuali Penampakkan.
Bangsa Meksiko takut dengan penampakkan, meskipun para pemimpinya
menyatakan cintanya pada penampakkan, dan oleh karena itu ia menyamarkan
dirinya sendiri sampai pada kondisi menyatu dengan benda-benda di
sekitarnya. Dengan begitu, ia menjadi Penampakkan murni karena
ketakutannya akan penampakkan. Ia tampak sebagai sesuatu yang lain dari
dirinya sendiri, dan bahkan ia memilih untuk tampak mati atau tidak ada
ketimbang mengubah, membuka privasinya. Maka penyaruan sebagai mimikri
adalah salah satu pengejawantahan dari hermetisme kami. Si pengial
memilih menggunakan topeng, dan sisanya dari kami ingin berlalu tanpa
diperhatikan. Di kedua kasus, kami menyembunyikan diri kami yang sejati,
dan kadang mengingkarinya. Saya ingat siang ketika saya mendengar
keributan di kamar sebelah, dan saya bertanya keras-keras: “Siapa di
sana?” Jawaban yang saya terima datang dari suara pelayan yang belum
lama ini datang kepada kami dari desa: “Bukan siapa-siapa, senor. Cuma
saya”.
Kami menyaru demi menipu diri kami sendiri, dan menjadi tembus padang
dan seperti hantu. Tapi ini belum berakhir: kami juga berpura-pura
bahwa sesama kami tidak eksis. Ini bukan berarti bahwa kami dengan
sengaja tidak menghiraukan atau merendahkan orang lain. Penyaruan kami
di sini jauh lebih radikal: kami mengubahnya dari seseorang menjadi
bukan siapa-siapa; menjadi ketiadaan. Dan ketiadaan ini mempunyai
keindividualannya sendiri, dengan wajah dan bentuk yang dapat dikenali,
dan tiba-tiba menjadi Bukan Siapa-siapa.
Don Bukan Siapapun, yang adalah ayah Spanyol si Bukan Siapa-siapa. Ia
sehat, cukup makan, cukup dihormati; ia punya rekening bank, dan bicara
dengan suara keras dan nada percaya diri. Don Bukan Siapapun mengisi
dunia dengan kehadirannya yang kosong dan cerewet. Ia ada di mana-mana
dan kawannya di mana-mana. Ia seorang bankir, duta besar, usahawan. Ia
bisa dijumpai di setiap bar, dan dihormati di Jamaika, Stockholm, dan
London. Di satu waktu ia berkedudukan, di saat lain ia berpengaruh, dan
perilakunya ketika tidak menjadi apapun, adalah agresif dan sombong.
Sebaliknya, Bukan Siapa-siapa pendiam, pemalu dan rendah hati. Ia juga
cerdas dan peka. Ia selalu tersenyum. Ia selalu menunggu. Ketika ia
ingin mengatakan sesuatu, ia terbentur pada tembok kesenyapan; ketika ia
menyapa seseorang, ia diabaikan; ketika ia memohon atau menangis atau
berteriak, gerak dan teriakannya hilang dalam kekosongan yang diciptakan
oleh kebawelan tanpa henti. Don Bukan Siapapun. Bukan Siapa-siapa takut
tidak eksis: ia berulang-alik, berkali-kali mencoba menjadi Seseorang.
Akhirnya, di tengah geraknya yang tidak berguna, ia menghilang ke alam
limbo tempat ia dulu muncul.
Adalah salah untuk mengira bahwa orang lain melarangnya untuk eksis.
Mereka hanya menyarukan keberadaannya dan berlaku seakan ia tidak eksis.
Mereka menganulirnya; membatalkannya, mengubahnya menjadi ketiadaan.
Percuma bagi Bukan Siapa-siapa untuk bicara, menerbitkan buku, melukis,
berdiri di atas kepalanya. Bukan Siapa-siapa adalah kekosongan di raut
wajah kami, jeda dalam percakapan, ketenangan dalam kesenyapan kita. Ia
nama yang selalu dan pasti kami lupakan, si tukang absen abadi, tamu
yang tak pernah diundang, kekosongan yang takkan pernah bisa terisi. Ia
adalah penghilangan, namun ia selalu hadir. Ia adalah rahasia kami,
kejahatan kami, penyesalan kami. Maka orang yang menciptakan Bukan
Siapa-siapa, dengan mengingkari keberadaan Seseorang, juga diubah
menjadi Bukan Siapa-siapa. Dan jika kami semua adalah Bukan Siapa-siapa,
maka tak satu pun dari kami eksis. Lingkarannya telah terbentuk
sempurna dan bayangan Bukan Siapa-siapa menyebar ke seluruh permukaan
bumi kami, mencekik si Pengial, dan menutupi segalanya.
Kesunyian-kesunyian yang purba, lebih kokoh dari semua piramida dan
pengorbanan, dari semua gereja dan pemberontakan dan lagu rakyat—kembali
untuk menguasai Meksiko.
Catatan: Octavio Paz, 1985, kutipan dari “Mexican Masks” dalam The
Labyrinth of Solitude, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Lysander Kemp, Grove Press, Inc., NY, USA, hal. 40-46 dialihbahasakan ke
bahasa Indonesia oleh Ferdiansyah Thajib.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/octavio-paz-topeng-bangsa-meksiko/379219282106943
Minggu, 08 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar