Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Di antara warna-warna kesedihan wajah, ada tersisa gurat ceria. Di
sebaliknya, gelimang absurd gelak tawa senantiasa diintip rasa cemas,
dan siap meluas. Ajaran Tao menekankan kepercayaan pada perimbangan
kalkulasi kenyataan. Begitu pula yang terjadi di Surabaya kini. Di
antara ruap gelibat kasus (sampah, penggusuran PKL, sakitnya walikota,
dll), kabar gembira mesti diyakini. Surabaya,
ibukota propinsi Jawa Timur, kota pahlawan yang kini lebih dikenali
sebagai kota banjir, merasang bakal para penyair nasional. Penyair
dengan tawaran estetika tertanggung-jawab, alias bukan penyair sekadar.
Berita gembira ini datang dari jurnal kebudayaan Kalam. Usia belum
begitu tua, Kalam mampu “melanjutkan tradisi sastra/ seni yang pernah
ada di tanah air”. Para penyair Jawa Timur ada di dalamnya. Mereka turut
mengangkat, mencecapi, serta memberi peran lebih terhadap Kalam.
Kalam, dari edisi pertama (1994) sampai edisi terkini (2001),
mencatatkan 8 (delapan) penyair dari Jawa Timur. Surabaya tampil
sebagai ibukotanya, pusat propinsi Jawa Timur. Akhudiat, D. Zawawi
Imron, HU. Mardi Luhung, W. Haryanto, Beni Setia, Arief B. Prasetyo,
Mashuri, dan Deni Try Aryanti. Delapan penyair yang tidak saja
terpublikasikan di jurnal Kalam, media massa lokal dan nasional kerap
disinggah-tempati. Mereka saling membesar, sekaligus saling membedakan
secara puitik.
Pertanyaan patut disorongkan terhadap fenomena. Mengapa Jawa Timur,
pusatnya ada di Surabaya, terkondisikan sebagai tempat lahir para
penyair handal. Sedikit sosiologis, memang. Tetapi, kekhawatiran estetik
tidak perlu terlalu meluap. Cynthia Ozick, sastrawan Amerika,
menandaskan dalam sebuah interviu di The New York Times, “penulis (baca:
penyair) mau tidak mau merepresentasikan sifat-sifat kebudayaan dan
peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan”. Jerman memberi dan diberi
karakter oleh Goethe melalui Doktor Faust. Yasunari Kawabata tidak
terlepas dari mencerap dan mengondisikan tradisi Jepang lewat
Penari-penari Itzu.
Agar berimbang letak posisinya, penyair dengan tempat tinggal dan
penyair dengan karya puisi, estetika puisi patut dibedah. Organ-organ
pembentuk puisi dicatat. Simpul-simpul kode puisi ditafsirkan. Pun juga,
diketengahkan pertautan antar penyair dari Jawa Timur. Estetika puisi
ada pada cara membentuk kenyataan, ini penting dicermati, bahasa puitik.
Gambaran Prulalitas Estetik
D. Zawawi Imron, penyair Madura yang tidak pernah tahu tanggal
kelahirannya, menuliskan puisi bermetaforik susul menyusul. Puisi
berjudul “Utang”: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi
rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah
kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat
kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat
berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat
berlayar cucu-cucu kami.
Paralelistik kata dipergunakan Zawawi untuk menegaskan arus
pemikiran. Kata “utang” digulirkan berurutan dengan identitas berlainan.
Masing-masing bermain di lingkungan tersendiri, sekaligus masing-masing
kait berkait sebagai jalur peristiwa. Seperti kelak kelok sungai, kata
“utang” merebak dari mata air dan menempuh tempat-tempat asing. Ketika
bertemu sawah, ia berbau tunas padi dan racun tikus. Ketika melewati
hutan, ia terjatuhi guguran daun jati, dan menjadi lembab karenanya.
Ketika singgah di kota, ia menjadi asin. Masing-masing lingkungan
membentuk sifat dan sikap pada kata “utang”.
Keberadaan wilayah-wilayah kata “utang” tidak saling memisahkan diri.
Atau sebagai kematian. Masing-masing menjadi rangkaian utuh genetik.
Sifat-sifat khas metamorfosa muncul dalam kata, sekaligus kata tidak
bisa dikategorikan pada aspek historis di luar dirinya. Sebuah pola
kronologi metamorfosa kata dari arti tunggal ke wujud jamak. Konsepsi
utang terbentuk lalu bergerak melebar hingga menyentuhi persoalan yang
lebih universal.
Arief B. prasetyo, penyair yang hingga kini masih disibukkan
“perjuangan mencipta personalitas teks”, menuliskan puisi yang serasa
chaos. Struktur puitik mecah memecah, pendar memendar, saling
menyingkir, dan saling berpusaran. Di pinggulmu selusin sayap ingin
mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus,
terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala
yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar menggapai-gapai akar
darah…
Akrobatik diksi puisi “Mahasukka” tersebut amat lincah. Kalau pada
puisi Zawawi, diksi “utang” menjadi pusat dan digulirkan secara
berkelanjutan, Arief tidak membutuhkan pusat diksi. Kata “pinggulmu”,
kata tempat pijak kenyataan teks, dimunculkan hanya sekali, selebihnya
pusaran ataupun belitan-belitan adegan. Sebuah struktur puisi yang
panik.
Pembacaan Nirwan Dewanto terhadap puisi Arief B. Prasetyo perlu
diketengahkan. Nirwan mendapatkan kesulitan dalam mengikuti gerak
gelibat puisi Arief. Dan atas kesulitan itu, klaim disorongkan. “Jika
pembaca tersesat terlalu pagi, ia akan habis sebelum sampai pada neraka
semut api atau mahasukka”, tulis Nirwan dalam semacam kata penutup dari
antologi Mahasukka. Nirwan lebih suka berdasar pada tradisi puisi yang
telah ada, menghakimi karya puisi baru. Perbedaan-perbedaan bentuk atau
variasi-variasi puitik yang membingungkan dianggapkan sebagai “menyalahi
tradisi”. Pandangan yang mirip dengan Sutan Takdir Alisyahbana ketika
mengomentari puisi, “karya Chairil Anwar” buruk. Ukuran puisi tradisi
Pujangga Baru dipakai, sementara Chairil membuka bagi tradisi
pasca-Pujangga Baru. Nirwan tidak terbuka terhadap tawaran. Akan lebih
bermanfaat bagi publik puisi, Nirwan memahami (atau memaknai) tawaran
puisi Arief lalu memberi gambaran struktur teks sebagai variasi dari
tradisi puisi yang telah pernah ada.
Puitika akrobatik juga terbit pada puisi W. Haryanto. Lewat puisi,
pembaca bisa menyaksikan kata-kata berlompatan membentuk
realitas-realitas tanpa terduga, tetapi dapat diterima nalar. Kata-kata
dirakit tanpa kepercayaan pada landasan kuat membentuk lompatan.
Kata-kata seakan bersijingkat dalam medan makna. Latar belakang
dihadirkan sebatas pemenuhan alur teks.
Di sebelah matamu, segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh, dan
kegelisahanku mencipta gairah-beku karang-karang di langit, dengar
penggalan tanyaku ini, Ida; ketika kuntum arus ombak memberi sebuah
akhir dari radang-radang pelapukan musim; dan lihat lukaku ini, Ida.
Penggalan dari puisi “Surat yang Terpotong, Buat Aida”.
Penggambaran puisi tampak jauh dari suatu ekspresi. Rasa bersalah
yang semestinya abstrak, masuk dalam wilayah moral, pada puisi mendapat
citra visual konkret. Segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh.
Rasa bersalah dihilangkan, tetapi dimunculkan rasa gelisah. Dua ciri
rasa puas terhadap interaksi manusia. Tidak ada paradigma lebih lanjut
dari dua oposisi material teks yang dalam kehidupan sosial empirik
bersatu karakter. Yang terjelaskan, sebuah penggal tanya. Juga luka.
Segalanya dengan visualisasi mengejutkan.
Bila pada Arief, akrobatik puisi muncul dalam wilayah antar kata. W.
Haryanto memunculkannya dalam wilayah antar kalimat. Arief sering
mempercayakan kenyataan dalam banyak tanda baca koma dengan isian satu
kata, sehingga teks menjadi sugestif. Sebuah percepatan sintaksis,
percepatan pikiran, dan tercipta suasana mistis. Puisi W. Haryanto
mengisyratkan penolakan terhadap sugesti. Kalimat-kalimat yang panjang
dari puisi W. Haryanto menyebabkan pembaca sepenuhnya berada di
kesadaran. Karenanya, kerumitan pada puisi menggambarkan kerumitan dalam
logika berpikir. Puisi membentuk sebuah dunia dan dunia tersebut
dipenuhi pikiran-pikiran spontan.
Satu-satunya penyair perempuan dari delapan penyair Jawa Timur, Deny
Tri Aryanti. Belajar menulis puisi baru 4 tahun, puitika sajiannya
memperlihatkan kecenderungan luar biasa matang. Penguasaan terhadap
tubuh sebagai acuan struktur puitik sangat bagus. Lihat puisi berikut,
wajahmu mewarnai batu karang yang kering, sedangkan aku masih terus
berjalan di atas rambutmu yang memutih, menggulung pori-pori, untuk
kujadikan aliran darah dari mulutku.
Tubuh mengalami tiga tataran kenyataan dalam puisi “Malaikat Putih”
tersebut. Pertama, tubuh sebagai daging yang bisa diraba, dan merasakan
sakit bila dicubit. Kedua, tubuh sebagai simbol untuk membahasakan
pikiran. Ketiga, tubuh sebagai persepsi atas kenyataan. Tiga eksplorasi
tubuh serentak hadir membentuk identitas teks. Pada puisi W. Haryanto
atau beberapa penyair lain, tubuh lebih banyak diperankan dalam dataran
persepsi. Pengaruhnya, pembaca tidak dapat mengenali tubuh dalam puisi
sebagaimana tubuh dalam kenyataan.
Kelengkapan puisi Deny dalam mengolah tubuh membuat pembaca seakan
dibawa berkeliling dalam aneka macam pariwisata tubuh. Berbagai konteks
diciptakan hingga penafsiran atau pengalaman tentang tubuh mudah
diikuti. Pengetahuan terbuka dari tubuh. Lompatan-lompatan pikiran pun
dapat dipahami secara ketubuhan. Hasilnya, teks puisi dengan struktur
ketubuhan.
Dari puisi Mashuri, penyair jebolan dua pondok pesantren, pembaca
mendapatkan karakter “pengetahuan yang diimajinasikan”.
Pemikiran-pemikiran tokoh diimpor. Pengetahuan tersebut ditafsirkan,
diimajinasikan, dan difantasikan sehingga mencapai makna baru, mungkin
bisa dikenali, mungkin pula terbebas dari pengetahuan lama. Pola puitik
ini mirip dengan kinerja puisi Goenawan Mohamad. Hanya saja, pengalaman
individual dan latar geografis yang berbeda menghasilkan situasi teks
dan sikap teks yang berbeda pula. Pastinya, puisi ciptaan Mashuri
menuntut pembaca memasuki lingkungan pengetahuan khusus. Pembaca yang
tidak sampai pada lingkungan pengetahuan yang dijadikan materi puisi
akan sulit untuk meraih pemaknaan yang sesuai keinginan penyair.
Ada sebuah contoh puisi Mashuri yang bersandar dari puisi penyair
lain. Jika aku membangun surga, ia bukan rumah, ia hanya lukisan di
cakrawala, bukan kata benda, bukan pula dermaga segala muara. Kutipan
diambil dari puisi “Biografi Hujan: malna, sejarah tak pernah ada”
Penyebutan “malna” pada sub judul puisi, tidak bisa tidak,
mengarahkan pembaca pada satu nama penyair setengah botak: Afrizal
Malna. Ini merupakan puisi tanggapan atas puisi Afrizal; kita pernah
membuat rumah, sebuah dunia, tapi dengan merasa heran, kita bertanya,
kemana mesti pulang (puisi berjudul “Hujan di Pagi Hari”). Puisi Mashuri
menolak konsepsi “rumah” dari puisi Afrizal. Lebih jauh lagi, puisi
Mashuri memberi kritik terhadap puisi-puisi Afrizal yang bertumpahan
kata benda.
Pilihan puitik pengetahuan dari Mashuri sungguh penuh tantangan. Ada
jebakan besar, bisakah puisi mengikatkan diri pada lokalitas pengetahuan
sekaligus merebak ke universalitas hidup. Artinya, puisi tidak hanya
berkutat pada pengetahuan. Puisi memberi tanggapan juga atas
pengetahuan, dan kompleksitas kehidupan. Maksimalitas
perangkat-perangkat perpuisian mutlak diperdayakan. Perangkat tersebut
akan membentuk adonan rupa, bau, bunyi, ataupun penyataan mitologi yang
hampir semua manusia sanggup memahami.
Selanjutnya, puisi HU. Mardi Luhung berjudul “Ziarah ke Reruntuhan
Makammu” patut dicermati khasanah tata kramanya. Tapi lewat
kangkangan-kangkangan kakinya, yang persis di tengahnya, aku lihat
lubang-lubang syahwat merayu segala gerak yang lewat, segala gerak yang
menyusun bangkai-bangkai laki dan perempuan, menjadi sedotan-sedotan
dengan nganga yang cuma dua saluran “menyedot sampai tuntas, atau
disedot sampai habis!”
Puisi Mardi dengan “kangkangan-kangkangan” serta “sedotan-sedotan”
puitiknya (meminjam istilah puisi Mardi sendiri) seolah menguji standar
ketertiban estetik. Sopan santun dari kanon estetik dipertanyakan,
disodok-sodok dengan kenyataan ragam bahasa pinggiran. Ucapan atau
bahkan umpatan-umpatan dalam khasanah publik diambil lalu dijadikan
bahasa puisi. Mardi Luhung telah melakukan reproduksi bahasa publik,
terutama bahasa masyarakat pinggiran kota besar. Reproduksi ini membuat
bahasa puisi menampakkan seabrek kegaduhan dan kekalutan dari
persinggungan-persinggungan personal dan kepentingan. Mardi mengulang
kinerja Chairil Anwar yang berhasil mengangkat ragam bahasa Melayu
Rendah dalam keindahan. Puisi bertindak sebagai penyuci kericuhan bahasa
publik marjinal.
Lain Mashuri, lain Mardi, lain pula Beni Setia. Penyair, yang katanya
tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menulis ini, memproduksi
kenyataan dari beberapa nama tokoh sejarah dan merengkuhnya dalam
peristiwa yang banal. Dan Ronggowarsito+Hasan Mustopa menjelajahi New
York dan New Delhi dengan bis bertingkat –di Cililitan mereka ketemu
J.P. Coen (puisi “Catatan Turistik tentang Jakarta”).
Pertemuan tiga tokoh dari jaman berbeda, dan tempat berbeda, serta
sarana pertemuan yang aneh pada puisi Beni Setia menciptakan kenyataan
banal namun parodis. Masing-masing tokoh dalam puisi masih dilekati
identitas kesejarahan. Representasi terhadap biografi tokoh tidak begitu
kuat, mungkin sengaja. Sehingga teks puisi tampak bermain di wilayah
permukaan. Justru kebanalan biografi tersebut, ketika masing-masing
tokoh dipertemukan, kenyataan parodi yang melawan sejarah terciptakan.
Ruang dan waktu dalam sejarah dihapuskan. Lahir kemudian, kenyataan teks
dari persilangan biografis.
Tentang Akhudiat, Akhudiat lebih menarik dibicarakan masa lalunya
daripada kekiniannya. Puisi-puisi Akhudiat terkini, lebih mengarah pada
penciptaan geografis dengan kesan realisme sosial. Aspek komunikatif pun
tidak disublimkan secara mendalam. Puisi Akhudiat terkini seakan
mengulang gaya puisi-puisi mahasiswa yang membentuk angkatan 66,
“patriotisme pembelaan terhadap kaum miskin”. Sebuah puisi cenderung ke
pernyataan idealistik daripada riuh sengkarut kenyataan.
Tahun 1970-an, Akhudiat justru mampu menciptakan puisi penuh tawaran.
Ram tam tam tam: Naik kereta roda kaki. (Alfin Toffler & Co, salut
dari gubug). Si penumpang tidur molor, bangun menjelang lohor, ketika
geludug bukan halilintar, di ranjang bawah tanah. RAM RAM TAM TAM TAAM
RAM RAM RAM. Puisi Akhudiat ini bila dikerjakan secara serius, sangat
mungkin akan mampu mencapai standar puitika Afrizal Malna.
Setidak-tidaknya, Akhudiat mampu menyamai puitika Beni Setia.
Propinsi tanpa Dunia Simbolik
Tetapi, mengapa yang justru berkembang di Jawa Timur adalah
kepenyairan, dan bukannya drama atau prosa. Ada beberapa prasyarat
kedramaan dan keprosaan yang patut dipertimbangkan dalam kaitannya
dengan masyarakat Jawa Timur: komunalitas.
Drama sebagai salah satu bentuk estetika membutuhkan sekelompok
manusia dalam penciptaan. Satu produksi drama terdiri dari perangkat
sutradara, tim artistik, anggota properti, anggota pencahayaan, tim make
up, tim aktor, dan administrator. Ketika teater Garasi Yogyakarta
datang ke Surabaya dalam pentas “Caligula” naskah Albert Camus tahun
1995, kru yang dibawa berjumlah 70 orang. Berbagai peralatan dan
perlengkapan dibawa, saat itu dibutuhkan satu truk besar untuk
pengangkutan.
Jawa Timur, sangat mungkin, kekurangan modalitas dalam pembentukan
karya secara kelompok. Bagi masyarakat Yogyakarta membentuk sebuah
teater adalah perkara mudah. Ikatan komunal terdapat di Yogyakarta.
Posisi Yogyakarta sebagai “daerah istimewa” di bawah kekuasaan HB X
membuat mereka mempunyai kemudahan membangun persepsi yang sama. Kerja
kelompok berteater disatukan oleh ikatan tersebut. Perbedaan-perbedaan
utopia dan gagasan dapat dengan gampang terselesaikan karena Yogyakarta
mempunyai acuan yang jelas terhadap satu tatanan hidup. Kehidupan
keraton dengan segala keseharian dan keagungan.
Jawa Timur sebagai “propinsi biasa” menghadapi pluralitas hidup
kemasyarakatan. Surabaya terlalu rentan untuk penciptaan ikatan utopia
ataupun tradisi. Keadaan akan, dan senantiasa, ubah berubah. Pada
kondisi perubahan, pembentukan teater dengan jumlah anggota puluhan
orang (bahkan ratusan) dan intensitas proses berkualitas sulit
terjalani. Kerja berteater membutuhkan kesamaan dalam mentalitas dan
bentuk penerapan gagasan bersifat komunal. Persamaan kesejarahan dan
persamaan utopia tradisi.
Bila beberapa orang Jawa Timur dikumpulkan dan saling membangkitkan
keidentitasannya, kejiwaan yang tertangkap adalah keterbelahan.
Tradisional kesilamannya berasal dari tradisi Jawa. Utopia kedepanannya
beranjak lurus ke tradisi anti Jawa. Persoalan yang bukannya sukar
ditebak.
Tata hidup dan kehidupan dibentuk oleh kejawaan. Hanya saja, Jawa
sebagai pusaran tradisi, pusatnya ada di Yogyakarta. Mataram. Jawa
Timur, dulu memang, wilayah Mataram, kini, pusat Jawa Timur adalah
Surabaya. Ada penolakan yang bersumber dari identitas kejawaan yang
telah mapan. Diskontinuitas muncul dalam benak. Keterputusan antara masa
silam dan kekinian. Lebih terputus lagi, kesilaman dengan kedepanan.
Padahal untuk menciptakan teater sangat membutuhkan keakaran dan
keidentitasan yang sama. Satu acuan yang dapat dipakai untuk menciptakan
format masa depan.
Mungkin, Jawa Timur akan mendapatkan keidentitasannya jauh sebelum
Mataram. Dua kerajaan besar pernah hadir di propinsi ini: Singasari
(1222-1292) yang menguasai hampir seluruh pulau Jawa, Majapahit
(1293-1528) yang justru menguasai hampir seluruh Nusantara. Singasari,
kini hanya menyisakan ceceran candi-candi kecil, sulit menjadi simbol
Jawa Timur. Candi Jago yang telah kehilangan separuh badannya, patung
Ken Dedes yang kini ada di Leiden, candi Kidal yang hanya berupa
bangunan kecil, candi Singasari yang telah rompeng, dan candi-candi lain
lebih parah nasibnya. Majapahit pun tidak meninggalkan bangunan megah
yang layak menjadi simbol keidentitasan Jawa Timur.
Kecuali dua kerajaan besar tersebut, Jawa Timur pernah dihuni
beberapa kerajaan kecil. Darmawangsa, Panjalu, Jenggala, Sumenep,
Blambangan, Kahuripan, Dhaha, dan lain-lain. Tragisnya, tradisionalitas
(hal-hal yang menjadikannya tradisi) hanya berhenti pada jamannya an
sich. Aziz Manna, sejarawan dari Unair Surabaya, dalam sebuah diskusi
sempat menyatakan, “masyarakat Jawa termasuk masyarakat yang gemar
perang”. Resiko ada pada kini, warisan yang dapat dijadikan sandar
kesatuan simbolik tidak ada. Masing-masing kerajaan telah saling
menghancurkan dan menghapus tradisi. Terakhir yang terjadi, kebesaran
Majapahit terhapuskan oleh Mataram. Tradisi Majapahit hanya tersisa di
masyarakat Tengger, sebuah masyarakat terasing yang primitif bagi ukuran
modern, atau di masyarakat Bali. Keidentitasan Jawa telah direbut
Mataram. Tanda-tanda ke arah perebutan itu bukannya tidak kentara,
sampai sekarang. Mitologi acuan yang hidup dan mengikat kejawa-timuran
tidak terbaca dari masa silam, justru masa mendatang.
Kesejarahan yang tidak mendukung bagi teater diperparah oleh
perubahan-perubahan terkini. Masyarakat Jawa Timur tengah bergerak
menuju masyarakat ekonomik. Sebuah masyarakat rasional yang mengutamakan
perkembangan ekonomi dan teknologi. I Ketut Nehen dan Glan Iswara, dua
dosen Udayana Bali, melihat pertautan yang saling berlawanan antara
nilai ekonomi dan nilai seni. Kedua ilmuwan tersebut menuliskan dalam
majalah Prisma no 3 tahun XIX 1990, “peningkatan nilai ekonomi
berpengaruh terhadap penurunan nilai seni”. Jawa Timur dengan
perkembangan bidang ekonominya semakin bersifat individual. Keperluan
dan prosesi seni yang berskala masyarakat semakin kekurangan alasan
untuk dikerjakan, atau mungkin tidak dibutuhkan. Penciptaan seni teater
yang besar akan mengerem pijakan ekonomi yang telah dibangun.
Dua fakta, kesejarahan dan perkembangan ekonomi, membuat Jawa Timur
kehilangan dunia simbolik, sebuah simbol yang universal. Simbol yang
bisa diterima atau sedang melandasi aksi dan kreasi menyeluruh bagi
masyarakatnya. Dunia simbolik (symbolik universe) menurut pengertian
Peter Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social Contruction of
Reality “badan-badan atau bagian tradisi secara teoretis yang membakukan
berbagai makna propinsi dan meliputi tatanan institusional dalam suatu
totalitas simbolik” tidak terpenuhi di Jawa Timur. Secara spekulatif
dapat ditegaskan, apakah mungkin, “orang-orang Jawa Timur bukan suatu
masyarakat melainkan mengacu kepada kerumunan atau organisasi bentukan”.
Dunia simbolik juga sangat diperlukan dalam penciptaan prosa. Genre
prosa mensyaratkan pemenuhan plot dan interaksi antar tokoh cerita.
Prosa merupakan representasi dari masyarakat. Struktur prosa merupakan
analogi dan refleksi struktur masyarakat. Pada sebuah propinsi, seperti
propinsi Jawa Timur, yang tidak memiliki dunia simbolik, penciptaan
prosa dengan struktur utuh dan mendalam amat kekurangan modal
referensial kreatif. Hal ini berbeda dengan sastrawan yang hidup di
propinsi Jawa Barat yang memiliki tradisi Sunda, atau propinsi di
Sumatera yang masih memiliki tradisi Melayu.
Kesulitan, tetapi semoga bukan ketidakmungkinan, penciptaan prosa dan
drama, berbalikan dengan kerja kepenyairan. Jawa Timur sangat
kondisional untuk kepenyairan. Rasionalisasi yang paling niscaya: tidak
mungkin sebuah masyarakat berlari jauh dari dunia estetika atau dunia
keindahan. Sebuah masyarakat senantiasa menciptakan karya yang
menunjukkan apresiasi atau representaasi keindahan. Persoalannya
hanyalah bentuk keindahan yang dimungkinkan. Pilihan tertampung ke karya
sastra bergenre puisi.
Propinsi Masa Remaja
Berada di antara masyarakat Jawa Timur, seseorang akan merasa berada
di rumah sendiri. Setiap orang boleh menjadi dirinya sendiri,
diperlegalkan menjalani tradisi independen. Kondisi yang tercipta oleh
sebab di Jawa Timur tiada dunia simbolik. Berada di Yogyakarta,
seseorang dari luar daerah akan terkondisikan untuk beradaptasi dengan
tradisi Jawa, pengaruh keraton Yogyakarta terlalu sulit diabaikan.
Jawa Timur merupakan propinsi terbuka. Inilah sebuah kondisi yang
bisa disebut puitik. Wilayah yang representaatif untuk datangnya tradisi
luar dan gagasan baru. Tradisi dari luar tersebut, dalam skala minimal,
dipakai dan dikembangkan oleh lingkup kecil masyarakat pembawanya.
Pluralitas bahasa dan tematik puisi para penyair Jawa Timur tidak
terlepas dari kondisi kerentanan tradisi. Dunia simbolik Jawa Timur
adalah sesuuatu yang ada di masa depan. Dunia simbolik yang menunggu
untuk dibentuk. Mardi Luhung, penyair dari kota pantai Gresik, dalam
puisi seringkali melakukan adopsi kultur pesisiran dengan percampuran
kultur asing, bahkan kultur benua berbeda.
Keterbukaan struktur puisi Mardi tercipta oleh pluralitas
materialitas puisi. Kenyataan kultural. Ketika Mardi mencoba menggali
pesisiran, di Gresik tradisi itu pernah dibentuk oleh Sunan Giri,
tradisi Islam, kenyataan yang muncul justru simpang siur tradisi. Gresik
bukan lagi kota pesantren. Gresik telah menjadi tempat tinggal “pabrik”
dan banyak orang-orang datang untuk berprofesi sebagai buruh. Mau tidak
mau, ingin tidak ingin, tradisi pesisiran puisi Mardi Luhung bergeser
jauh dari tradisi pesisiran Sunan Giri. Pada puisi berjudul “Ziarah ke
Reruntuhan Makammu”, Mardi membuka puisi dengan larik, apa yang bisa aku
baca dari reruntuhan makammu, yang kini tinggal lubang kakusnya itu.
Analogi paling tepat dari propinsi Jawa Timur adalah kehidupan
seorang remaja. Usia yang belum matang dan psikologi yang tidak utuh.
Orang muda cenderung berani melakukan percobaan-percobaan dan
berspekulasi untuk menerima tantangan gagasan baru. Tanggung jawab yang
ketat, semisal rumah tangga, belum kuat mengikat. Para penyair
terkondisikan untuk bereksperimen terhadap puitika-puitika baru. Ikatan
tradisi dengan sastra lama, pola rima dan irama tembang, yang sempat
menjadi identitas sastra Jawa, menjadi mudah diabaikan. Pemicu tindakan
ini, Jawa bukan ada di Jawa Timur, saat ini, Jawa ada di Yogyakarta.
Pergeseran pusat tradisi masyarakat Jawa Timur sangat penting untuk
dicatat. Jawa Timur, dahulu, merupakan bagian kerajaan Mataram, pusatnya
ada di Yogyakarta. Kini, Jawa Timur merupakan sebuah propinsi baru,
pusatnya ada di Surabaya. Yogyakarta = kejawaan. Surabaya =
perekonomian. Golongan bermartabat dalam pandangan Jawa adalah pamong
praja (baca: pegawai) dan agamawan (baca: kyai). Pedagang bukan orang
terpandang. Surabaya, sebagai kota yang sedang bergerak dengan motivasi
perekonomian, pedagang sukses mendapat kehormatan besar dari masyarakat.
Orang-orang Jawa Timur sedang berada dalam keakutan pergeseran pusat
budaya. Satu sisi menyandang keagungan mitologi kejawaan, di sisi lain
menghadapi godaan ekonomi yang glamour. Dua sisi saling bertentangan ini
bukannya tidak tampak dalam puisi para penyair Jawa Timur. Dilema
kultural justru mendukung nilai estetik. A. Teeuw dalam buku Sastra dan
Ilmu Sastra menengarai, “puisi dibentuk oleh serangkaian pertentangan
gaya dan tema”. Para penyair Jawa Timur, dengan ketegangan kulturalnya,
tidak sulit untuk membangkitkan dan membentuk pertentangan-pertentangan
struktur teks. Hanya dengan sedikit sublimasi, para penyair Jawa Timur
akan menyadari “saya ada dalam dua kultur saling bergesekan”.
Surabaya sebagai kota perekonomian juga membuat kehidupan menjadi
banal. Komunalitas masyarakat Jawa Timur dibentuk oleh sistem yang
bersifat non-spiritual. Desakralitas lembaga agama. Spiritualitas
tersisa terdapat dalam seorang perseorang. Individu bebas memilih dan
menjalani keagamaan tertentu, wujud transendensi, hubungan personal
dengan Tuhan.
Berbagai gambaran ketuhanan atau kehidupan religi tersurat dalam
puisi penyair Jawa Timur. Kesemuanya memiliki kesamaan menggairahkan,
religi diartikulasikan secara material dan personal. Tuhan bukanlah
sosok yang patut diperagungkan. Tuhan merupakan sosok yang layak
dipertanyakan sekaligus dicari bentuk kelembagaannya, di antara bentuk
lembaga-lembaga yang telah ada.
Beni Setia dalam puisi “Pelampung” menuliskan, kalau duka itu bertali
dan tuhan boleh diseru sambil bergulingan di pinggir jalan, tentu rasul
akan sabar menungguiku mengurai di dipan. Tampak sekali, Beni cari
mencari hubungan ketuhanannya di dalam materialitas yang banal. Tuhan
digambarkan boleh diseru sambil bergulingan di jalan. Adegan dalam puisi
Beni sangat bertolak belakang dengan adegan orang bersembahyang di
tempat-tempat ibadah.
Kembali kepada Jawa Timur sebagai kelincahan kaum remaja, di propinsi
ini segala ilmu pengetahuan dapat begitu saja masuk sekaligus dapat
sedemikian cepat untuk lenyap. Seorang remaja, dengan sedikit sentuhan,
bisa tiba-tiba menggemari satu tokoh pengetahuan. Berhari-hari dihantui
oleh fokus pengetahuan tersebut. Setiba-tiba pula, sang remaja berpindah
ke pengetahuan lain sembari anti pati terhadap ilmu pengetahuan yang
lebih dulu digemari. Demikian pula gambaran puisi dari Arief B. Prasetyo
dan Mashuri, pada sejumlah puisi kedua penyair tersebut, tokoh ilmu
pengetahuan keluar masuk dengan melimpah. Berganti-ganti. Cepat tumbuh.
Dan, terlupakan.
Kondisi pengetahuan yang beganti-ganti sangat buruk bagi pertumbuhan
sosial kemasyarakatan dalam kenyataan. Kematangan dan perkembangan yang
terarah tidak terealisasi, tetapi tidak bagi puisi, masuk dan keluarnya
beragam pengetahuan mampu memberi keragaman puitik pada teks.
Masing-masing pengetahuan memberi corak yang berbeda. Penyair pun tidak
terkungkung oleh satu bentuk puitik. Lebih bagus lagi, penyair tidak
terkuasai oleh ideologi. Kondisional ini juga membuka kemungkinan
terbalik, penyair memilih berkonsentrasi terhadap satu pengetahuan atau
ideologi yang selalu diperjuangkan. Di propinsi masa remaja ini, para
penyair berhak dan dapat dimaklumi untuk menghidupi pilihannya; tidak
ada patron di Jawa Timur.
Jawa Timur, Surabaya sekalipun, memang bukan pusat pengetahuan.
Mobilitas pengetahuan di kota-kota propinsi Jawa Timur masih kalah jauh
dibanding kota Bandung, Yogyakarta, apalagi Jakarta. Impor pengetahuan
di kota-kota tersebut sedemikian cepat, penelitian atau penerapan
pengetahuan baru pun banyak terwujud. Sangat sedikit ilmuwan dari Jawa
Timur yang berskala nasional. Penerbit pun sangat sedikit jumlahnya.
Ilmu pengetahuan datang ke Jawa Timur dalam jumlah terpotong-potong dan
dalam tahapan yang tidak stabil. Jawa Timur menjadi imajinatif
karenanya.
Pengetahuan datang ke Jawa Timur tidak tumbuh berkembang sebagai ilmu
pengetahuan. Teraplikasikan bukan dalam bentuk karya ilmiah atau
pengetahuan tertulis. Pengetahuan masuk dan berkutat-kutat lalu keluar
dalam bentuk puisi. Pengetahuan menemukan kelengkapannya melalui
keretakan kultural, fantasi, dan imajinasi. Penerima paling menghormati
adonan kultur adalah kesenian, utamanya puisi.
Ada hal penting lain yang patut dicatat, pemahaman masyarakat Jawa
Timur terhadap alam. Sebagian besar wilayah Jawa Timur dialiri sungai.
Dua sungai yang besar adalah Brantas, sepanjang 317 km, dan Bengawan
Solo, sepanjang 540 km. Keberadaan sungai-sungai tersebut, selain untuk
pengairan dan transportasi antara daerah, didayagunakan untuk bendungan,
pembangkit tenaga energi, perikanan, dan wisata. Selain sungai, ada
juga rawa-rawa, telaga, waduk, mata air, dan sumur bor. Berbeda dengan
masyarakat Bali, alam di Jawa Timur bersifat profan. Alam kurang
dikaitkan dengan ritual-ritual mistis.
Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Jawa Timur.
Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa
sewaktu-watu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi
alam didayagunakan untuk kepentingan manusia. Alam sah untuk digali dan
diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala
antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev,
seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah
pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib
alam. Puisi-puisi penyair Jawa Timur tidak terbebas dari konsepsi
antroposentrisme ini.
Alam dalam puisi ditempatkan pada posisi pemyampai gagasan. Identitas
alam dicampur baur dengan keseharian aku lirik untuk membentuk bahasa
puitik. Deny Tri Aryanti melalui puisi “Wicarang Denta Saisa”
menyebutkan, dalam tidurku, kuulur jalan beraspal dari gulungan tikar
yang ngilu, tembok-tembok mengkuti jalanku, dari kerikil ke kerikil
hingga debu yang menempel pada ranum wajahmu. Aku lirik dalam puisi Deny
tampak berkuasa terhadap alam. Tidak saja dalam kesadaran, dalam mimpi,
aku lirik masih menjadi tuan bagi alam. Jalan aspal diulur, gulungan
tikar diberi sifat ngilu, tembok-tembok diperjalankan, sampai debu yang
ditempelkan ke ranum wajah orang lain.
Puisi W. Haryanto pun memiliki posisi dilematis terhadap alam. Puisi
tidak hanya meniru, mempercayakan, atau merepresentasikan identitas
alam. Puisi memproduksi alam hingga melampaui identitas alam dalam
kenyataan. Berikut kutipan dari puisi “Djati Bening, 1270”, kutangkap
selarik musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari,
luka memar telah membelah, jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada
bening gelas. Fungsionalitas dan wujud alam dicampur adukkan oleh W.
Haryanto. Rakitan-rakitan “diksi alam” yang saling berhubungan secara
sintag-paradigmatik membuat “alam” tidak lebih sekadar penanda (konsep)
dan bukannya petanda (wujud). Perhatikan rakitan kata; selarik musik,
musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari, luka memar
yang membentuk pada bening gelas. Kesemuanya tidak mungkin dijumpai
dalam kenyataan, dan karenanya membentuk kenyataan baru. Sebuah
kenyataan yang berpusat pada kondisi keterpecahan identitas manusia.
Lebih umum, keterpecahan kultural propinsi Jawa Timur. Propinsi para
penyair.
________Studio Teater Gapus Surabaya
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/8/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar