Jumat, 23 Maret 2012

Lelaki Penghias Kubur

Aguk Irawan MN*
Minggu Pagi, Juli 2011

TAK bisa dipungkiri, bagi banyak orang sejauh mata memandang, harta dan kehormatan itulah kebahagiaan. Orang mengejar mati-matian agar menjadi pejabat, tidak lebih tujuannya adalah demi itu. Menjadi pejabat, atau orang terhormat tanpa materi adalah semacam aib besar. Tetapi tidak pada seorang lelaki tua. Di keheningan pagi yang buta, ia seperti berkelakuan aneh, padahal orang seantero negeri ini tahu, kalau ia adalah lelaki terhormat dan kaya. Ia terliihat sedang membongkokan tubuhnya, membersihkan sebuah kuburan di halaman rumahnya, dan kuburan itu masih tanpa nisan, tanpa nama, tapi selalu saja terlihat seperti ada bekas siraman bunga mawar. Dan bau harumnya semerbak sampai ke jalan-jalan.

Ada yang aneh di kuburan itu, kalau dilihat dari seberang jalan ia nampak lapuk dan berlumut hitam, namun bila diperhatikan lebih lama kubur tersebut nampak eksotik dan bersih. Tanpa menghiraukan sesiapa yang sesekali mencuri pandang pada dirinya, lelaki tua itu terus saja membengkokkan tubuhnya, ia terlihat sangat sibuk, tangannya yang hampir jompo itu terus mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kubur tersebut. Apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Kenapa tiap pagi ia selalu saja terlihat mematut-matut diri di kuburan tunggal itu? Tepatnya di depan luas halaman rumahnya yang mewah, dengan sebuah taman indah, penuh tumbuh bunga-bunga lebat berkilaun, dan tak jauh dari kuburan itu ada air bergemericik, seperti perak yang berjatuhan di sebuah kolam.

Tak dipungkuri sudah sepekan lebih ia jadi bahan gunjingan masyarakat setempat. Tiap pagi semua mata orang kampung yang kebetulan sedang lewat persis di depan rumah mewah itu, setiap itu pula mereka tak luput, dan selalu menyunggingkan pandangannya. Dan setiap kali mereka menolehkan mukanya ke sebuah taman yang mewah dan ketika mata mencercap pemandangan sebuah kuburan itu, mereka selalu menyisakan tanda tanya. Kuburan siapa gerangan? Lalu tanda tanya itu menyeruak dan beranak-pinak menjadi desas-desus, dugaan telah terjadi pembunuhan gelap di rumah mewah itu. Sebab tak pernah ada kabar penghuni rumah mewah itu ada yang meninggal, tapi kenapa tahu-tahu ada kuburan di situ? Bahkan sempat seorang warga telah memfitnahnya bahwa dalam keluarga tersebut telah terjadi pertikaian dahsyat, sehingga mengakibatkan kematian.

“Tanya saja pada Pak Kades!” Kata Bulek Ndari, seorang perempuan setengah baya, usia kira-kira tiga puluh lima tahun, pemilik warung kelontong, saat temanku menanyakan perihal kuburan itu.

Teman yang bertanya itu memang sedari awal sudah mencurigai kuburan yang terdapat di halaman rumah mewah itu, tapi ia tak ada nyali untuk mengorek lebih jauh perihal ganjil itu, ia sering bertanya soal kuburan itu kepada teman-teman kami, tapi kemudian ia lupa lagi, dan kembali ia berpikir untuk kehidupannya sendiri, untuk perutnya, dan untuk perut keluarganya yang terus harus diisi. Tapi, tiap kali ia kebetulan sedang lewat di depan rumah mewah itu, melihat kuburan dan mencium aroma bunga mawar, ia kemudian ingat lagi, dan bertanya-tanya, soal kuburan itu.

Pernah pada suatu ketika, ia mengajakku untuk nekat bertamu, dan berkenalan lalu ingin bercakap-cakap dengan lelaki tua itu, tapi kita sama-sama mengurungkan niat. Sebab buat orang seperti kami, betapa merindingnya bulu kuduk ini, jika masuk ke halaman rumah mewah.

Belum beberapa langkah kami berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, yang kebetulan tetangga paling dekat rumah mewah itu.

”He, aku sudah tahu tentang lelaki tua itu!”, selorohnya tiba-tiba.

”Oh, ya?!” Jawab kami serentak.

”Dia itu ayah kandungnya Pakde Surip?”

Saat pemilik warung menyebut nama Surip, tak ada yang asing di kepala kami, sebab memang hanya Suriplah satu-satunya orang kampung kami yang berhasil menjadi militer dan terpandang, hingga ia berpangkat Letnan Kolonel. Banyak orang kampung yang memuji-muji namanya, karena keberhasilannya, bahkan saat anak-anak masih kecil sering dikenalkan oleh ibunya dengan nama Surip, agar kelak nanti anaknya bisa seperti dia.

Rumah Surip yang mewah itu, di hari-hari biasa memang terlihat sepi dan sunyi, sebab ia sering ke luar karena Dinas. Sementara lelaki tua itu tinggal belum berapa lama di rumah itu. Dan sejak kehadiran lelaki tua itu, sejak saat itu pula tahu-tahu terlihat begitu saja gundukan tanah di halaman rumah mewah itu.

“Tahu dari mana kalau itu ayahnya Pak Surip?”, kata temanku.

“Pak Kades yang memberi tahuku, saat membeli rokok kemarin.”

”Nah, begitu dong. Itu baru namanya tetangga!” Celetuk temanku. Lalu segera saja temanku itu menanyakan perihal kuburan itu, tapi tiba-tiba percakapan menjadi sunyi, dan mata, hanya bertemu mata, saling memandang saja. Tak ada percakapan lebih lanjut mengenai kuburan itu.

***

Matahari berputar untuk menuntun manusia bertemu dengan hari berikutnya. Saat itu matahari baru saja merangkak setengah penggalan. Namun, karena sudah banyak desas-desus di desa kami, dengan sangat terpaksa, kami akhirnya sepakat membawa lelaki tua dan asing itu untuk bertemu dengan Pak Kades. Ya, semacam untuk klarifikasi prihal kuburan aneh itu, karena kegenjilan kami sudah cukup bukti, bahwa sejak lelaki itu tinggal dalam rumah mewah itu, sejak itulah kuburan ada.

Dengan cara ramai-ramai, tentu bisa dibilang kurang sopan, kamipun membawa lelaki tua itu menghadap Pak Kades. Tak lama, lalu ia memperkenalkan dirinya, dan mengaku bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Ia telah meninggalkan desa ini saat usianya masih dua puluh sembilan tahun dan baru tiga bulan terakhir ini, ia pulang kampung. Ia mengatakan bahwa Surip adalah satu-satunya anaknya yang selamat. Sebab istrinya, juga kedua anaknya yang lain meninggal dalam genggaman penjajah Belanda, saat gerilya, kemudian ia menyebutkan deretan nama-nama kerabatnya yang lain, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumahnya. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil serta remajanya yang pernah dialaminya di desa kami, sekadar meyakinkan warga dan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Meski logat bahasanya terlihat aneh bagi penduduk desa ini.

Nyaris tak ada warga yang percaya dengan perkataan lelaki tua itu. Bahkan kebanyakan dari kami menganggap bahwa itu cerita bualan saja. Namun, meski begitu, warga dan Pak Kades menghormati dengan cara membiarkan ia bercerita. Suasana hening sesaat, tak ada yang memberi komentar atas pengakuan lelaki tua itu, namun seorang nenek rentah dengan kapur sirih di bibirnya, tiba-tiba muncul di balik pintu rumah Pak Kades. Rupanya dari kamar sebelah ia menguping cerita lelaki tua itu. Kemudian nenek yang tak lain ibu kandung Pak Kades itu berkata-kata.

“Pak Karta?” Kata nenek berambut putih itu. ”Aku mengingatmu, ya aku mengingatmu. Masa lalu. O, kaulah pemimpin gerilya yang menyerang pertahanan Belanda saat itu, saat penjajah memaksa mengambil hasil panen penduduk desa ini. Dan sejak saat itu kamu menghilang. Kukira engkau sudah meninggal, bersama dengan mereka. Betulkah namamu Karta?”.

”Betul namaku Karta.”

Suasana riuh tiba-tiba menjadi nyinyir dan sunyi . Warga dan Pak Kades mengamati ibunya, begitu saja mereka berpelukan dengan lelaki tua yang bernama Karta itu. Semua mata warga memandang, juga menyaksikan masa lalu sedang berputar kembali di depan matanya. Masa gerilya yang tak seorangpun diantara mereka pernah merasakan pahit getirnya perjuangan untuk melawan penjajah.

“Kau sekarang pulang ke kampung ini, dan anakmu telah menjadi Letnan, tentu kau berbahagia sekali Karta?” Suara nenek itu terbata-bata.

“Bahagia? Aku sendiri bertahun-tahun lamanya sedang bertanya soal itu?”, jawabnya.

“Ya pasti kau bahagia, anakmu menjadi orang terpandang, meski istrimu telah lama tiada?”

Karta diam, tak bisa menjawab apa-apa lagi.

“Sudah hampir lima puluh tahun ya, engkau tak pernah nengok ke kampung ini. Dimana saja engkau Karta?”

Karta benar-benar telah kehilangan kata-kata. Saat nenek itu mengingatkan lagi masa lalunya. Dan dalam hatinya pun terbesit oleh sesuatu, “kau tentu telah bahagia Karta?”, ia benar tak bisa memahami selama hidupnya, apa arti kebahagiaan itu? Pangkat, kehormatan, dan harta benda yang ia miliki, nyatanya telah membuat hidupnya semakin terasing. Karena kebahagiaan menurutnya hanya ada dalam angan-angan, atau kebahagian itu lebih tepatnya hanya ada pada diri orang lain saja. Begitulah tiap ia melihat kebahagiaan, tiap itu pula ia membayangkan pada kehidupan orang lain, dan tak ada pada dirinya. Padahal ia mempunyai segalanya apa yang orang sebut dengan bahagia. Satu-satunya yang ia tahu makna kebahagiaan, hanyalah pada saat hari-hari gerilya, perang melawan penjajah. Masa-masa perjuangan itulah hari-hari yang menyenangkan, haru biru melawan musuh-musuh. Sapaan merdeka, di tiap tikungan jalan, saat itulah kebahagian memukau dirinya.

“Kau ingat Kar?”, kata nenek itu sambil jalan tertatih membawa tongkatnya, “lima puluh tujuh tahun yang lalu, sebelum kau beristrikan Yu Sri, ketika pagi-pagi sekali kau sedang buang hajat, tiba-tiba seorang tentara Belanda memberondongmu, dan dua peluru menyasar pinggangmu, lalu kau lari terbirit-birit, ke persembunyian kita di semak-semak lorekali (utara sungai)”

“Ya aku ingat! Tapi itu sudah lama berlalu.”

“Saat kau selamat dan bisa berkumpul dengan kami, bau buang hajatmu yang tak selesai itu bikin hiburan teman-teman yang sedang makan beramai-ramai!”

Diingatkan itu Karta hanya senyum sedikit saja. Dan ia diam lagi, kini pikirannya diam-diam menyusup ke wilayah yang jauh lima puluh tujuh tahun lamanya, masa-masa perjuangan.

“Sebenarnya aku sudah lupa, tapi sekarang kau ingatkan lagi. Ya, waktu itu seperti sekarang ini, masih pagi. Orang-orang kampung kita sudah meruncingkan bambu, siap-siap melawan Belanda. Kami berperang dengan cara gerilya, sebagian ada yang mengumpat di semak, sebagian memanjat pohon, dan sebagian yang lain ada dalam lobangan tanah. Dan saat itu kukira tak ada Belanda, makanya aku buang hajat seenaknya, tak tahunya, e Belanda dari jauh menembakku?”

“Dan akulah perempuan yang pertama kali merawatmu itu?”

“Ya.”

“Masa itu aku masih gadis?”

“Ya, aku masih ingat, aku tersipu, saat kau merawatku penuh dengan perhatian. Dan saat itu, aku tahu kau mau bicara, akupun menunggunya, tapi tak ada apa-apa, lalu kita sibuk bersembunyi, karena Belanda menyerang.”

“Kala itu sebenarnya aku ingin mengucapkan sesuatu yang indah buatmu, agar bisa memberimu semangat untuk bertahan dari siksaan peluru. Tapi bagaimana itu bisa kuucapkan. Sementara Front Timur banyak yang terluka. Bukankah saat itu sebagai perempuan, merawat lelaki yang terkapar dari perang adalah segalanya?”

“Ya, aku mengerti!”

“Begitulah kalau ada warga yang kena peluru, kami langsung merawatnya, dan di waktu malam-malam yang sunyi, kami menghibur mereka, kami bernyanyi, kadang juga menembang. Dan mereka dapat melupakan lukanya dan segala hal yang menekan. Kerana perjuangan masih harus diteruskan sampai titik darah penghabisan!”

“Dan aku sekarang tak bisa bahagia seperti dulu. Sekarang malah aku sering menangis. Menangisi segala sesuatu yang sudah hilang?”

“Untuk apa menangisi masa lalu?”

“Aku tahu itu tak ada gunanya. Tapi aku selalu mengingatnya. Dulu kita bisa berbuat banyak hal yang berarti untuk negeri ini. Dan alangkah bahagianya hidup dalam kebersamaan mempertahankan negeri. Kita bisa berjuang sesuai apa yang kita impikan. Berjuang untuk merdeka, ya merdeka!”

“Tentu hidup seperti itu tidak akan selamanya berlangsung. Karena suatu masa akan berhenti pada waktunya. Dan perang telah selesai, bahkan seperti yang kita harapkan dulu, yaitu kita mendapatkan kemerdekaan!”

Hati Karta menjadi remuk dan berteriak, meneriakkan banyak kenangan yang datang mengharu biru, saat-saat masa gerilya, ia mencoba membuang segala kerisauannya, tapi ia tak mampu, bahkan ia semakin tenggelam dengan masa silam yang terus berputar-putar dalam kepalanya.

“Anakmu jadi Letnan, rumahmu mewah, banyak harta, dan pernah kudengar, kau juga pernah mendapat penghormatan dari Presiden, karena kegigihanmu membela tanah air, apa yang kurang dari hidupmu?”, kata nenek itu penuh semangat.

“Di tengah-tengah kemewahan itulah aku terasing, dan tercampakkan dari hidup sebenarnya!”

Tapi nenek itu tak paham apa yang telah dikatakan Karta. Dan warga yang mengerumuni lelaki tua itu tak ada yang berbicara sepatah pun, suasana dibiarkan hanya milik mereka berdua. Karta dan Nenek rentah itu. Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam kerumunan warga yang ingin mendengar ceritanya.

Dan tiba-tiba, temanku yang dari awal mencurigai perihal kuburan itu, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padaKarta. Karena kesempatan seperti inilah yang sedang ditunggu-tunggu, sejak ia melihat kuburan di pelataran rumah mewah itu.

“Lalu kuburan di depan rumah itu, kuburan siapa?” Tanya temanku dengan penuh penasaran.

“Itu adalah kuburan untukku suatu saat nanti!”, jawab Karta pendek.

Dan betapa terkejutnya warga, mendengar penjelasan lelaki tua yang baru tahu kalau ia bernama Karta. Mata mereka terperangah, setelah mendengarkan penjelasannya.

“Jadi kuburan itu masih kosong?”, tanya warga yang lain.

“Ya. Sebab masih menungguku?”

“Kau masih hidup, kenapa sudah tergesa saja membuat kuburan?”

“Karena itulah rumah yang sebenarnya rumah, yang tak ada satupun bisa mencegahnya untuk masuk di dalamnya. Rumah yang pasti. Karena itu aku telah mempersiapkannya.”

Kerumanan warga itu tampak keheranan. Denyut jantungnya berdetak kencang, saat mendengarkan penjelasan pak Karta lebih lanjut.

“Buatmu yang masih bugar ini?” Tanya warga yang lain sambil terheran-heran.

“Tentu”, berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan perkataannya.” Kalau kau berpikir seperti aku, pasti kau berbuat seperti apa yang kulakukan”

“Apa yang kau pikirkan?”, tanya warga tiba-tiba.

Karta jadi gugup, dan tersentak dari keterbebanan perasaannya yang sedang naik turun. Akhirnya kata-kata pun berhasil disusunnya.

“Kalau kau pernah mengalami seperti aku, hidup di zaman revolusi, gerilya, dan perang melawan penjajah. Pasti kau merasa sudah mati hidup di zaman merdeka seperti sekarang ini”, katanya latah dan terbata.

Kemudian lelaki tua itu meneruskan perkataanya: “Ya, hidup setelah merdeka memang seperti hidup dalam kematian. Betapa tidak? Kemerdekaan yang kami pertaruhkan dengan nyawa, darah dan segala upaya, dengan harapan kita bisa hidup di bumi percikan surga ini dengan bebas, makmur dan sejahtera, tanpa ada rintangan. Ternyata keadaannya, ya keadaannya sungguh jauh dari harapan. Di zaman merdeka ini, betapa kita sering mendengar rakyat terkena korban penggusuran, terlantar, busung lapar, dan lagi-lagi berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Ternyata anak-anak sejarah mengisi kemerdekaannya hanya dengan cara kenyang mengisi perutnya sendiri. Inilah yang membuat aku seperti mati. Lalu aku membuat liang kubur untukku itu!”

Setelah berbicara panjang. Hati Karta bergetar. Ia ambil nafas panjang, dan matanya seperti melampaui segala apa yang dilihatnya. Mata tua yang sayu itu mengucurkan deras air hangat yang meleleh di pipinya.

“Apa kalian setuju dengan apa yang kupikir. Tiap diri dari kita harus membuat kubur dan menghiasnya!”, suara serak itu disertai dengan isak tangisnya.

“Untuk apa? Itu usaha yang sia-sia.” Celetuk salah seorang warga.

“Agar kita bisa menghitung tiap perbuatan. Sebab kuburan adalah semacam kaca tempat kita bercermin.”, sambil mengusap air matanya, Karta tetap meyakinkan warga.

“Itu namanya putus asa!”, jawab warga dengan ringan.

“Untuk mengerti, kalian memang harus pernah berjuang terlebih dahulu, seperti kami dulu, agar kalian bisa memaknai hidup, memaknai kemerdekaan ini, dan selanjutnya membuat kuburan sepertiku!”, suaranya semakin lemah.

Karta merasa tak berhasil meyakinkan warga, bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah benar. Meski ia telah memberi penjelasan yang lebih, yang dia sendiri pada dasarnya sudah tak percaya akan semangatnya lagi. Kemudian ia pulang, pergi dari kerumunan warga yang menyesakkan itu.

Esok harinya, di pagi sekali, orang-orang kampung dikejutkan dengan berita di Layar Televisi. Panglima Jenderal Purnawirawan Sukarta, Ayahanda tercinta Letnan Surip, dini hari pukul 09.15 WIB menghembuskan napas terakhir dalam usia delapan puluh lima tahun, di kampung halamannya desa Kalipang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan. Ia adalah pemimpin gerilya yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum Sukarta memilih tempat tinggal terakhir di desa kelahirannya. Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pindah ke kampung, setelah bertahun-tahun lamanya menetap di Ibu Kota Jakarta, sejak tahun 1963, tepatnya di bulan September. Purnawairawan Jenderal Sukarta memang ingin mati di tempat perjuangannya dahulu, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya, serta teman-temannya yang gugur mendahului di masa gerilya dahulu.

*Aguk Irawan MN, tiga buku kumpulan cerpennya sudah terbit, Hadiah Seribu Menara (Kinanah 2000), Sungai yang Memerah (Lanarka, 2004), Adik Berbaring di Gerobak Ayah (Arti Bumi Intaran, 2007), selain cerpen, ia juga menulis novel, puisi, esai dan menerjemahkan beberapa karya sastra bahasa arab ke bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito