Aguk Irawan MN*
Minggu Pagi, Juli 2011
TAK bisa dipungkiri, bagi banyak orang sejauh mata memandang, harta dan kehormatan itulah kebahagiaan. Orang mengejar mati-matian agar menjadi pejabat, tidak lebih tujuannya adalah demi itu. Menjadi pejabat, atau orang terhormat tanpa materi adalah semacam aib besar. Tetapi tidak pada seorang lelaki tua. Di keheningan pagi yang buta, ia seperti berkelakuan aneh, padahal orang seantero negeri ini tahu, kalau ia adalah lelaki terhormat dan kaya. Ia terliihat sedang membongkokan tubuhnya, membersihkan sebuah kuburan di halaman rumahnya, dan kuburan itu masih tanpa nisan, tanpa nama, tapi selalu saja terlihat seperti ada bekas siraman bunga mawar. Dan bau harumnya semerbak sampai ke jalan-jalan.
Ada yang aneh di kuburan itu, kalau dilihat dari seberang jalan ia nampak lapuk dan berlumut hitam, namun bila diperhatikan lebih lama kubur tersebut nampak eksotik dan bersih. Tanpa menghiraukan sesiapa yang sesekali mencuri pandang pada dirinya, lelaki tua itu terus saja membengkokkan tubuhnya, ia terlihat sangat sibuk, tangannya yang hampir jompo itu terus mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kubur tersebut. Apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Kenapa tiap pagi ia selalu saja terlihat mematut-matut diri di kuburan tunggal itu? Tepatnya di depan luas halaman rumahnya yang mewah, dengan sebuah taman indah, penuh tumbuh bunga-bunga lebat berkilaun, dan tak jauh dari kuburan itu ada air bergemericik, seperti perak yang berjatuhan di sebuah kolam.
Tak dipungkuri sudah sepekan lebih ia jadi bahan gunjingan masyarakat setempat. Tiap pagi semua mata orang kampung yang kebetulan sedang lewat persis di depan rumah mewah itu, setiap itu pula mereka tak luput, dan selalu menyunggingkan pandangannya. Dan setiap kali mereka menolehkan mukanya ke sebuah taman yang mewah dan ketika mata mencercap pemandangan sebuah kuburan itu, mereka selalu menyisakan tanda tanya. Kuburan siapa gerangan? Lalu tanda tanya itu menyeruak dan beranak-pinak menjadi desas-desus, dugaan telah terjadi pembunuhan gelap di rumah mewah itu. Sebab tak pernah ada kabar penghuni rumah mewah itu ada yang meninggal, tapi kenapa tahu-tahu ada kuburan di situ? Bahkan sempat seorang warga telah memfitnahnya bahwa dalam keluarga tersebut telah terjadi pertikaian dahsyat, sehingga mengakibatkan kematian.
“Tanya saja pada Pak Kades!” Kata Bulek Ndari, seorang perempuan setengah baya, usia kira-kira tiga puluh lima tahun, pemilik warung kelontong, saat temanku menanyakan perihal kuburan itu.
Teman yang bertanya itu memang sedari awal sudah mencurigai kuburan yang terdapat di halaman rumah mewah itu, tapi ia tak ada nyali untuk mengorek lebih jauh perihal ganjil itu, ia sering bertanya soal kuburan itu kepada teman-teman kami, tapi kemudian ia lupa lagi, dan kembali ia berpikir untuk kehidupannya sendiri, untuk perutnya, dan untuk perut keluarganya yang terus harus diisi. Tapi, tiap kali ia kebetulan sedang lewat di depan rumah mewah itu, melihat kuburan dan mencium aroma bunga mawar, ia kemudian ingat lagi, dan bertanya-tanya, soal kuburan itu.
Pernah pada suatu ketika, ia mengajakku untuk nekat bertamu, dan berkenalan lalu ingin bercakap-cakap dengan lelaki tua itu, tapi kita sama-sama mengurungkan niat. Sebab buat orang seperti kami, betapa merindingnya bulu kuduk ini, jika masuk ke halaman rumah mewah.
Belum beberapa langkah kami berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, yang kebetulan tetangga paling dekat rumah mewah itu.
”He, aku sudah tahu tentang lelaki tua itu!”, selorohnya tiba-tiba.
”Oh, ya?!” Jawab kami serentak.
”Dia itu ayah kandungnya Pakde Surip?”
Saat pemilik warung menyebut nama Surip, tak ada yang asing di kepala kami, sebab memang hanya Suriplah satu-satunya orang kampung kami yang berhasil menjadi militer dan terpandang, hingga ia berpangkat Letnan Kolonel. Banyak orang kampung yang memuji-muji namanya, karena keberhasilannya, bahkan saat anak-anak masih kecil sering dikenalkan oleh ibunya dengan nama Surip, agar kelak nanti anaknya bisa seperti dia.
Rumah Surip yang mewah itu, di hari-hari biasa memang terlihat sepi dan sunyi, sebab ia sering ke luar karena Dinas. Sementara lelaki tua itu tinggal belum berapa lama di rumah itu. Dan sejak kehadiran lelaki tua itu, sejak saat itu pula tahu-tahu terlihat begitu saja gundukan tanah di halaman rumah mewah itu.
“Tahu dari mana kalau itu ayahnya Pak Surip?”, kata temanku.
“Pak Kades yang memberi tahuku, saat membeli rokok kemarin.”
”Nah, begitu dong. Itu baru namanya tetangga!” Celetuk temanku. Lalu segera saja temanku itu menanyakan perihal kuburan itu, tapi tiba-tiba percakapan menjadi sunyi, dan mata, hanya bertemu mata, saling memandang saja. Tak ada percakapan lebih lanjut mengenai kuburan itu.
***
Matahari berputar untuk menuntun manusia bertemu dengan hari berikutnya. Saat itu matahari baru saja merangkak setengah penggalan. Namun, karena sudah banyak desas-desus di desa kami, dengan sangat terpaksa, kami akhirnya sepakat membawa lelaki tua dan asing itu untuk bertemu dengan Pak Kades. Ya, semacam untuk klarifikasi prihal kuburan aneh itu, karena kegenjilan kami sudah cukup bukti, bahwa sejak lelaki itu tinggal dalam rumah mewah itu, sejak itulah kuburan ada.
Dengan cara ramai-ramai, tentu bisa dibilang kurang sopan, kamipun membawa lelaki tua itu menghadap Pak Kades. Tak lama, lalu ia memperkenalkan dirinya, dan mengaku bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Ia telah meninggalkan desa ini saat usianya masih dua puluh sembilan tahun dan baru tiga bulan terakhir ini, ia pulang kampung. Ia mengatakan bahwa Surip adalah satu-satunya anaknya yang selamat. Sebab istrinya, juga kedua anaknya yang lain meninggal dalam genggaman penjajah Belanda, saat gerilya, kemudian ia menyebutkan deretan nama-nama kerabatnya yang lain, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumahnya. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil serta remajanya yang pernah dialaminya di desa kami, sekadar meyakinkan warga dan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Meski logat bahasanya terlihat aneh bagi penduduk desa ini.
Nyaris tak ada warga yang percaya dengan perkataan lelaki tua itu. Bahkan kebanyakan dari kami menganggap bahwa itu cerita bualan saja. Namun, meski begitu, warga dan Pak Kades menghormati dengan cara membiarkan ia bercerita. Suasana hening sesaat, tak ada yang memberi komentar atas pengakuan lelaki tua itu, namun seorang nenek rentah dengan kapur sirih di bibirnya, tiba-tiba muncul di balik pintu rumah Pak Kades. Rupanya dari kamar sebelah ia menguping cerita lelaki tua itu. Kemudian nenek yang tak lain ibu kandung Pak Kades itu berkata-kata.
“Pak Karta?” Kata nenek berambut putih itu. ”Aku mengingatmu, ya aku mengingatmu. Masa lalu. O, kaulah pemimpin gerilya yang menyerang pertahanan Belanda saat itu, saat penjajah memaksa mengambil hasil panen penduduk desa ini. Dan sejak saat itu kamu menghilang. Kukira engkau sudah meninggal, bersama dengan mereka. Betulkah namamu Karta?”.
”Betul namaku Karta.”
Suasana riuh tiba-tiba menjadi nyinyir dan sunyi . Warga dan Pak Kades mengamati ibunya, begitu saja mereka berpelukan dengan lelaki tua yang bernama Karta itu. Semua mata warga memandang, juga menyaksikan masa lalu sedang berputar kembali di depan matanya. Masa gerilya yang tak seorangpun diantara mereka pernah merasakan pahit getirnya perjuangan untuk melawan penjajah.
“Kau sekarang pulang ke kampung ini, dan anakmu telah menjadi Letnan, tentu kau berbahagia sekali Karta?” Suara nenek itu terbata-bata.
“Bahagia? Aku sendiri bertahun-tahun lamanya sedang bertanya soal itu?”, jawabnya.
“Ya pasti kau bahagia, anakmu menjadi orang terpandang, meski istrimu telah lama tiada?”
Karta diam, tak bisa menjawab apa-apa lagi.
“Sudah hampir lima puluh tahun ya, engkau tak pernah nengok ke kampung ini. Dimana saja engkau Karta?”
Karta benar-benar telah kehilangan kata-kata. Saat nenek itu mengingatkan lagi masa lalunya. Dan dalam hatinya pun terbesit oleh sesuatu, “kau tentu telah bahagia Karta?”, ia benar tak bisa memahami selama hidupnya, apa arti kebahagiaan itu? Pangkat, kehormatan, dan harta benda yang ia miliki, nyatanya telah membuat hidupnya semakin terasing. Karena kebahagiaan menurutnya hanya ada dalam angan-angan, atau kebahagian itu lebih tepatnya hanya ada pada diri orang lain saja. Begitulah tiap ia melihat kebahagiaan, tiap itu pula ia membayangkan pada kehidupan orang lain, dan tak ada pada dirinya. Padahal ia mempunyai segalanya apa yang orang sebut dengan bahagia. Satu-satunya yang ia tahu makna kebahagiaan, hanyalah pada saat hari-hari gerilya, perang melawan penjajah. Masa-masa perjuangan itulah hari-hari yang menyenangkan, haru biru melawan musuh-musuh. Sapaan merdeka, di tiap tikungan jalan, saat itulah kebahagian memukau dirinya.
“Kau ingat Kar?”, kata nenek itu sambil jalan tertatih membawa tongkatnya, “lima puluh tujuh tahun yang lalu, sebelum kau beristrikan Yu Sri, ketika pagi-pagi sekali kau sedang buang hajat, tiba-tiba seorang tentara Belanda memberondongmu, dan dua peluru menyasar pinggangmu, lalu kau lari terbirit-birit, ke persembunyian kita di semak-semak lorekali (utara sungai)”
“Ya aku ingat! Tapi itu sudah lama berlalu.”
“Saat kau selamat dan bisa berkumpul dengan kami, bau buang hajatmu yang tak selesai itu bikin hiburan teman-teman yang sedang makan beramai-ramai!”
Diingatkan itu Karta hanya senyum sedikit saja. Dan ia diam lagi, kini pikirannya diam-diam menyusup ke wilayah yang jauh lima puluh tujuh tahun lamanya, masa-masa perjuangan.
“Sebenarnya aku sudah lupa, tapi sekarang kau ingatkan lagi. Ya, waktu itu seperti sekarang ini, masih pagi. Orang-orang kampung kita sudah meruncingkan bambu, siap-siap melawan Belanda. Kami berperang dengan cara gerilya, sebagian ada yang mengumpat di semak, sebagian memanjat pohon, dan sebagian yang lain ada dalam lobangan tanah. Dan saat itu kukira tak ada Belanda, makanya aku buang hajat seenaknya, tak tahunya, e Belanda dari jauh menembakku?”
“Dan akulah perempuan yang pertama kali merawatmu itu?”
“Ya.”
“Masa itu aku masih gadis?”
“Ya, aku masih ingat, aku tersipu, saat kau merawatku penuh dengan perhatian. Dan saat itu, aku tahu kau mau bicara, akupun menunggunya, tapi tak ada apa-apa, lalu kita sibuk bersembunyi, karena Belanda menyerang.”
“Kala itu sebenarnya aku ingin mengucapkan sesuatu yang indah buatmu, agar bisa memberimu semangat untuk bertahan dari siksaan peluru. Tapi bagaimana itu bisa kuucapkan. Sementara Front Timur banyak yang terluka. Bukankah saat itu sebagai perempuan, merawat lelaki yang terkapar dari perang adalah segalanya?”
“Ya, aku mengerti!”
“Begitulah kalau ada warga yang kena peluru, kami langsung merawatnya, dan di waktu malam-malam yang sunyi, kami menghibur mereka, kami bernyanyi, kadang juga menembang. Dan mereka dapat melupakan lukanya dan segala hal yang menekan. Kerana perjuangan masih harus diteruskan sampai titik darah penghabisan!”
“Dan aku sekarang tak bisa bahagia seperti dulu. Sekarang malah aku sering menangis. Menangisi segala sesuatu yang sudah hilang?”
“Untuk apa menangisi masa lalu?”
“Aku tahu itu tak ada gunanya. Tapi aku selalu mengingatnya. Dulu kita bisa berbuat banyak hal yang berarti untuk negeri ini. Dan alangkah bahagianya hidup dalam kebersamaan mempertahankan negeri. Kita bisa berjuang sesuai apa yang kita impikan. Berjuang untuk merdeka, ya merdeka!”
“Tentu hidup seperti itu tidak akan selamanya berlangsung. Karena suatu masa akan berhenti pada waktunya. Dan perang telah selesai, bahkan seperti yang kita harapkan dulu, yaitu kita mendapatkan kemerdekaan!”
Hati Karta menjadi remuk dan berteriak, meneriakkan banyak kenangan yang datang mengharu biru, saat-saat masa gerilya, ia mencoba membuang segala kerisauannya, tapi ia tak mampu, bahkan ia semakin tenggelam dengan masa silam yang terus berputar-putar dalam kepalanya.
“Anakmu jadi Letnan, rumahmu mewah, banyak harta, dan pernah kudengar, kau juga pernah mendapat penghormatan dari Presiden, karena kegigihanmu membela tanah air, apa yang kurang dari hidupmu?”, kata nenek itu penuh semangat.
“Di tengah-tengah kemewahan itulah aku terasing, dan tercampakkan dari hidup sebenarnya!”
Tapi nenek itu tak paham apa yang telah dikatakan Karta. Dan warga yang mengerumuni lelaki tua itu tak ada yang berbicara sepatah pun, suasana dibiarkan hanya milik mereka berdua. Karta dan Nenek rentah itu. Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam kerumunan warga yang ingin mendengar ceritanya.
Dan tiba-tiba, temanku yang dari awal mencurigai perihal kuburan itu, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padaKarta. Karena kesempatan seperti inilah yang sedang ditunggu-tunggu, sejak ia melihat kuburan di pelataran rumah mewah itu.
“Lalu kuburan di depan rumah itu, kuburan siapa?” Tanya temanku dengan penuh penasaran.
“Itu adalah kuburan untukku suatu saat nanti!”, jawab Karta pendek.
Dan betapa terkejutnya warga, mendengar penjelasan lelaki tua yang baru tahu kalau ia bernama Karta. Mata mereka terperangah, setelah mendengarkan penjelasannya.
“Jadi kuburan itu masih kosong?”, tanya warga yang lain.
“Ya. Sebab masih menungguku?”
“Kau masih hidup, kenapa sudah tergesa saja membuat kuburan?”
“Karena itulah rumah yang sebenarnya rumah, yang tak ada satupun bisa mencegahnya untuk masuk di dalamnya. Rumah yang pasti. Karena itu aku telah mempersiapkannya.”
Kerumanan warga itu tampak keheranan. Denyut jantungnya berdetak kencang, saat mendengarkan penjelasan pak Karta lebih lanjut.
“Buatmu yang masih bugar ini?” Tanya warga yang lain sambil terheran-heran.
“Tentu”, berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan perkataannya.” Kalau kau berpikir seperti aku, pasti kau berbuat seperti apa yang kulakukan”
“Apa yang kau pikirkan?”, tanya warga tiba-tiba.
Karta jadi gugup, dan tersentak dari keterbebanan perasaannya yang sedang naik turun. Akhirnya kata-kata pun berhasil disusunnya.
“Kalau kau pernah mengalami seperti aku, hidup di zaman revolusi, gerilya, dan perang melawan penjajah. Pasti kau merasa sudah mati hidup di zaman merdeka seperti sekarang ini”, katanya latah dan terbata.
Kemudian lelaki tua itu meneruskan perkataanya: “Ya, hidup setelah merdeka memang seperti hidup dalam kematian. Betapa tidak? Kemerdekaan yang kami pertaruhkan dengan nyawa, darah dan segala upaya, dengan harapan kita bisa hidup di bumi percikan surga ini dengan bebas, makmur dan sejahtera, tanpa ada rintangan. Ternyata keadaannya, ya keadaannya sungguh jauh dari harapan. Di zaman merdeka ini, betapa kita sering mendengar rakyat terkena korban penggusuran, terlantar, busung lapar, dan lagi-lagi berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Ternyata anak-anak sejarah mengisi kemerdekaannya hanya dengan cara kenyang mengisi perutnya sendiri. Inilah yang membuat aku seperti mati. Lalu aku membuat liang kubur untukku itu!”
Setelah berbicara panjang. Hati Karta bergetar. Ia ambil nafas panjang, dan matanya seperti melampaui segala apa yang dilihatnya. Mata tua yang sayu itu mengucurkan deras air hangat yang meleleh di pipinya.
“Apa kalian setuju dengan apa yang kupikir. Tiap diri dari kita harus membuat kubur dan menghiasnya!”, suara serak itu disertai dengan isak tangisnya.
“Untuk apa? Itu usaha yang sia-sia.” Celetuk salah seorang warga.
“Agar kita bisa menghitung tiap perbuatan. Sebab kuburan adalah semacam kaca tempat kita bercermin.”, sambil mengusap air matanya, Karta tetap meyakinkan warga.
“Itu namanya putus asa!”, jawab warga dengan ringan.
“Untuk mengerti, kalian memang harus pernah berjuang terlebih dahulu, seperti kami dulu, agar kalian bisa memaknai hidup, memaknai kemerdekaan ini, dan selanjutnya membuat kuburan sepertiku!”, suaranya semakin lemah.
Karta merasa tak berhasil meyakinkan warga, bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah benar. Meski ia telah memberi penjelasan yang lebih, yang dia sendiri pada dasarnya sudah tak percaya akan semangatnya lagi. Kemudian ia pulang, pergi dari kerumunan warga yang menyesakkan itu.
Esok harinya, di pagi sekali, orang-orang kampung dikejutkan dengan berita di Layar Televisi. Panglima Jenderal Purnawirawan Sukarta, Ayahanda tercinta Letnan Surip, dini hari pukul 09.15 WIB menghembuskan napas terakhir dalam usia delapan puluh lima tahun, di kampung halamannya desa Kalipang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan. Ia adalah pemimpin gerilya yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum Sukarta memilih tempat tinggal terakhir di desa kelahirannya. Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pindah ke kampung, setelah bertahun-tahun lamanya menetap di Ibu Kota Jakarta, sejak tahun 1963, tepatnya di bulan September. Purnawairawan Jenderal Sukarta memang ingin mati di tempat perjuangannya dahulu, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya, serta teman-temannya yang gugur mendahului di masa gerilya dahulu.
*Aguk Irawan MN, tiga buku kumpulan cerpennya sudah terbit, Hadiah Seribu Menara (Kinanah 2000), Sungai yang Memerah (Lanarka, 2004), Adik Berbaring di Gerobak Ayah (Arti Bumi Intaran, 2007), selain cerpen, ia juga menulis novel, puisi, esai dan menerjemahkan beberapa karya sastra bahasa arab ke bahasa Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar