Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/
Para Tokoh;
Sartib, lelaki kampung yang berusia 40-an. Hari-harinya dirundung sedih karena belum genap seratus harinya ditinngal istri tercintanya.
Sarto, Bocah laki-laki berusia belasan tahun. Ia bisu dan kurang normal pikiranya, tapi ia punya semangat hidup yang tinggi.
Mbok Sumi, Perempuan Tua yang masih lantang bicaranya. Ia adalah tetangga yang sangat perhatian. Namun sangat cerewet.
Marjo, Pemuda penjual bendera
Kepala Desa, sesusia dengan Sartib. Ia suka main perempuan dan sok berwibawa. Sangat otoriter.
ADEGAN I
Seorang bocah laki-laki bisu berdiri di bawah tiang bendera. Ia memegangi talinya sambil menaikkan bendera merah putih yang sudah sobek-sobek. Ia tarik pelan sambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.
Dalam nyanyian yang hikmat, seorang lelaki dewasa berteriak memanggil bocah yang sedang khusuk bernyanyi. Lelaki yang memanggil itu adalah Sartib, ayah dari si bocah bisu itu.
Sartib : Sarto!
Sarto : (sedang khusuk bernyanyi)
Sartib : Sarto! Bapak minta mantuan!
Sarto : (terus menarik tali, menaikkan benderah merah putih)
Sartib : Sarto, sedang apa kamu?
Sarto : (terus saja ia pandangi benderanya yang sudah naik di atas setengah tiang)
Sartib : (lebih keras suaranya) Kenapa kamu tidak mengindahkan panggilan bapakmu sama sekali, apa kamu sudah budek?
Sarto : (tetap hikmat menyanyikan lagu Indonesia Raya)
Sartib keluar dari rumah, melihat apa yang sedang dilakukan anaknya. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu berusaha bersabar menunggu anaknya menyelesaikan bait terakhir lagu “Indonesia Raya”.
Usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, Sarto kemudian berlagak seperti komandan upacara untuk menghadap dan hormat pada ayahnya yang ia perlakukan sebagai Instruktur Upacara.
Sartib : Sarto, sarto ………… ya sudah bubarkan!
Sarto : (menggelengkan kepala)
Sartib : Sarto, komandan upacara, bubarkan, upacara telah selesai!
Sarto : (menggelengkan kepala)
Sartib : Upacara hari ini sudah bisa dibubarkan, tidak ada amanat dari instruktur
upacara. Ayo bubarkan!
Sarto : (menggelengkan kepala)
Sarto berlarian masuk rumah dan keluar dengan membawa sobekan kardus, ia berjalan tegap seakan membawa map yang berisi teks Proklamasi.
Sartib : Apa yang harus bapakmu lakukan, Sarto?
Sarto : (menggerakkan tangannya untuk meminta membaca teks Proklamasi dengan mengangkat tangannya seakan meneriakkan “merdeka”)
Sartib : Sarto, semuanya kita anggap ‘pre-memori’ ya
Sarto : (terus memaksa untuk membacakan teks Proklamasi dengan mengangkat tangannya”Merdeka”)
Sartib : Ya, pembacaan Proklamasi pre-memori. Ini kan masih latihan. 17 Agustus kan masih beberapa hari lagi.
Sarto : (mengangkat tangannya berulangkali)
Sartib : Ya, nanti anakku, kalau tanggal 17 Agustus kita akan mengadakan upacara di halaman rumah ini. Kita akan mengundang semua teman-temanmu, paman, bibi, semua sanak kita, dan tidak lupa para tetangga.
Sarto : ( terus memaksa bapaknya untuk membacakan teks Proklamasi)
Sartib : (Dengan suara membujuk) Anakku Sarto, upacara kemerdekaan itu harus dilaksanakan dengan banyak orang, tidak cukup hanya berdua. Ada komandan upacara, ada pengibar bendera, ada pembina upacara, ada pembaca teks Proklamasi. Ada pembaca do’a dan puluhan peserta upacara. Kalau upacara itu hanya kita lakukan berdua, akan ditertawakan oleh orang-orang yang lalu lalang di depan rumah kita. Mereka menganggap kita gila anakku, kamu Sarto dan bapakmu ini akan jadi omongan orang, bahwa anak dan bapaknya sama-sama gilanya.
Lagu Indonesia Raya mengalun.
Sarto mulai murung. Ia berjalan meninggalkan bapaknya. Ia sangat kecewa dengan perlakuan bapaknya yang tidak mau di ajak upacara.
Sartib : Sarto, kamu mau kemana? Jangan pergi, bapak masih butuh bantuanmu. Sarto, belikan bapak rokok, ada kembaliannya buat kamu.
Sarto langsung bergegas memenuhi panggilan bapaknya. Ia sangat girang.
Sartib : Ini uangnya, buat belikan rokok dua batang, sisanya buat kamu. (tersenyum merasa senang) Ya gitu, kamu harus riang. Besok kalau 17 Agustus kita akan adakan upacara di depan rumah . Bendera putihnya tidak sobek seperti milik kamu itu, kalau bapak punya uang kita ganti dengan yang baru. (bersemangat) Bendera si Sarto akan berkibar di halaman rumah.
Sarto bergegas pergi, ia berlari sambil menyanyikan bait terakhir lagu Indonesia Raya berulang-ulang.
ADEGAN II
Syair-syair lagu Indonesia Raya, berkumandang keras dalam degup jantung Sartib yang menunggu anaknya si Sarto yang belum juga datang. Pikiran Sartib berkecamuk antara keinginan merokok dan keinginan anaknya untuk melakukan upacara. Sartib meminum kopi untuk membuang pikiranya yang ruwet..
Tiba-tiba seorang peremupuan tua berlarian memanggil-manggil Sartib. Ia adalah mbok Sumi.
Mbok Sumi : Sartib, Sartib gak waras kamu ya, kamu tega dengan anak kamu sendiri. Ternyata kamu lebih sakit daripada anakmu. Sarto walaupun begitu, ia masih anakmu, Sartib!
Sartib : Ada apa mbok Sumi? Apa salah anak saya?
Mbok Sumi : Bukan salah anak kamu, tapi kamu yang salah.
Sartib : Apa yang di lakukan Sarto mbok, apa?
Mbok Sumi : Sartib, Sartib……. kamu bener-bener keterlaluan, kamu tidak bisa menjaga amanat bojomu, gak bisa jaga amanate Karti, Ibunya si Sarto.
Sartib : Mbok Sumi, jangan membawa-bawa nama almarhumah Karti, istriku. Biarkan ia tenang di sisi Tuhan.
Mbok Sumi : Belum genap seratus harinya. Istrimu meninggal. Kamu sudah lupa dengan amanatnya. Istrimu semakin tidak tenang karena kamu tidak bisa menjaga Sarto anaknya.
Sartib : Mbok Sumi……
Seorang laki-laki menggendong bocah yang diselimuti dengan bendera merah putih. Ia adalah si Sarto. Bocah itu ditidurkan di atas amben bambu. Sartib berusaha membantunya. Sartib membuka pelan bendera yang menutupi wajah anaknya.
Karjo : Sudah sabar ya, Gus. Sudah waktunya.
Sartib : Apa yang terjadi dengan anak saya, Mas?
Karjo : Usai membayarkan uangnya pada saya untuk membeli bendera baru itu. Ia bergegas membuka lipatan bendera. Saking gembiranya, ia kibarkan bendera merah putih itu sambil berlarian. Ia tidak melihat kanan kiri langsung berlari menyebrang jalan. Ia kecelakaan, ia ketabrak sepeda motor.
Sartib : Tidak terjadi apa-apa kan dengan dia. Dia hanya ingin tidur kan?
Karjo : Dia sudah meninggal, Gus.
Mbok Sumi : (tangisan mbok Sumi langsung pecah dan menghamburkan tubuhnya merangkul Sarto) Innalillahi, Sarto. Kenapa secepat ini. Kenapa kamu cepat ingin bertemu makmu, le?
Sartib : maksudnya?
Karjo : Ia sudah meninggal dunia, Gus Sarto
Sartib : (menangis histeris) Tidaaaak… tidak anakku Sarto, jangan tinggalkan bapakmu. Sarto ayo bangun, ya bapak mau sekarang, kita akan mengadakan upacara kemerdekaan. Bangun sarto, bapak akan membacakan Proklamasi. Ayo sarto, percayalah pada Bapak akan membacakan Proklamasi. Sarto bangun anakku. Ayo kita melaksanakan upacara bendera. Bangun Sarto…….! (menempelkan pipinya pada telinga anaknya, sambil menangis ia mengucapkan Proklamasi) Sarto anakku…. Karti, maafkan aku yang tidak bisa menjaga anak kita. Maafkan aku Karti….
!
Back soud lagu Indonesia Raya mengiringi kepergian Sarto. Lampu fade out dan panggung menjadi gelap.
ADEGAN III
Lagu Indonesia Raya mengibarkan semangat Sartib untuk bersiap mendatangi Pak Kades di Balai Desa. Ia memakai sarung dan pecinya, dan langsung bergegas berangkat.
Sartib : Assalamualaikum, selamat pagi Pak Kades!
Kades : Pagi, Sartib. Ada apa kok pagi-pagi betul datang ke Balai Desa?
Sartib : Ya ada perlu, Pak Kades
Kades : Ya perlu apa? Mau menikah kamu Tib? Ya sukur. Tapi ya nggak pantes kalau secepat ini kamu mau menikah lagi. Belum genap saratus harinya Surti istrimu meninggal, anakmu yo baru kemarin meninggal. Kalau kamu mau cepat-cepat menikah yo nggak baik. Sabar duluh, tunggu sekitar satu tahun lagi. Kalau benar-benar nggak kuat ya paling tidak setenga tahun lagi la. Ngomong-ngomong mau menikah sama siapa sih?
Sartib : tidak, pak Kades
Kades : Sartib-Sartib, kamu ini seperti anak remaja yang lagi pertama jatuh cinta, pakai malu-malu segala. Perempuan mana, masih perawan atau sudah janda?
Sartib : Tidak pak Kades
Kades : Kita ini sudah berumur, Sartib, sudah makan asam garam persoalan perempuan, persoalan rumah tangga. Kamu kok pakai rahasia segala. Sungguh tidak akan saya sampaikan sama siapa-siapa.
Sartib : Tidak pak
Kades : Sartib, kalau aku tahu dan kenal perempuan itu. Aku kan akan bisa melindungi. Selaku Kepala Desa aku akan mengayomi. Maksud aku, kalau ada laki-laki yang menggoda perempuan calonmu itu, aku kan bisa ngomong kalau perempuan itu tidak boleh digoda karena bakal calonmu.
Sartib : Maaf, pak kades…
Kades : Oh, kamu takut sama saya. Takut kalau calon perempuanmu itu akan aku goda. Maaf Sartib. Selera aku dengan selera kamu jauh berbeda. Selera aku itu perempuan yang suka pakai lipstik, merah warnanya. Sartib sartib…..
Sartib : Maaf, pak kades. Maksud kedatangan saya ke sini bukan mau melapor kalau saya mau menikah.
Kades : Terus untuk apa?
Sartib : hari ini kan tujuh harinya anak saya, Si Sarto
Kades : Lha urusan tahlilan saja kok kamu laporkan ke kantor desa
Sartib : Bukan tahlilannya pak kades
Kades : Terus apa?
Sartib : Hutang saya pada sarto anak saya
Kades : Hutang apa itu?
Sartib : Saya berhutang mau ngadakan upacara bendera di halaman rumah saya, Pak Kades.
Kades : Apa, upacara bendera di halaman rumah kamu?
Sartib : Ya pak.
Kades : Terus sama siapa kamu akan mengadakan?
Sartib : Sama para tetangga. Dan saya berharap pak kades datang sebagai instruktur upacara untuk menyampaikan amanat.
Kades : Kamu tahu sejarah nggak, kenapa upacara bendera itu diadakan?
Sartib : Tidak banyak pak. Setahu saya ya untuk memperingati kejadian pada tanggal 17 agustus sebagai hari kemerdekaan kita. Bendera merah putih dikibarkan dan teks proklamasi dibacakan oleh Bung Karno. 17 agustus adalah pintu gerbang kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merdeka, berkarya dan membangun.
Kades : Hanya itu?
Sartib : ya hanya itu pak, maklum tidak pernah makan bangku sekolah, Pak.
Kades : Kamu pernah lihat tidak upacara itu dihadiri tukang ngarit, tukang angon, tukang matun. Ya pokoknya orang-orang seperti yu ton, mbok sumi, Kang gus marjo tetangga kamu itu. Dengan memakai sewek dan kudung umbrut-umbrut gitu?
Sartib : Belum pak
Kades : Kamu pernah tahu tidak upacara bendera merah putih itu diadakan di depan Rumah?
Sartib : Belum pak
Kades : Begini Kang Gus sartib. Para pahlawan kita itu tidak main-main memperjuangkan kemerdekaan. Ia mengorbankan segala yang dimilikinya termasuk nyawanya. Kita sebagai warga negara yang baik, sebagai generasi perjuangan haruslah bisa merayakan dengan penuh hikmat.
Sartib : Saya serius pak Kades. Sungguh saya tidak main-main
Kades : kalau upacaranya di halaman depan rumah sampean dan yang hadir itu tetangga-tetangga sampean ya itu namanya main-main, Gus
Sartib : Tidak Pak, sungguh saya tidak main-main, saya serius ingin mengadakan upacara bendera, saya ingin menghormati anak saya yang sangat menghormati pahlawan yang memperjuangkannya.
Kades : Kalau ada upacara di laksanakan di halaman rumah dan diikuti oleh para tetangga itu namanya main-main, Gus. Upacara itu di laksanakan di halaman sekolah, di halaman kantor pemerintah, di alun-alun. Dan yang hadir adalah para pegawai pemerintah dan anak-anak sekolah.
Sartib : tapi kami akan melaksanakan dengan serius, pak Kades
Kades : Kalau kamu dan para tetangga yang melaksanakan. Itu namanya mempermainkan
Sartib : Sungguh Pak Kades, saya tidak main-main. Dengan tulus saya ingin mengadakan upacara untuk menghormati anak saya yang menghormati para pahlawannya.
Kades : (membentak) Tidak, tidak ada upacara di depan halaman rumah kamu!
Sartib : kenapa tidak boleh, pak Kades?
Kades : Karena kamu yang melaksanakan.
Sartib : Kenapa kalau saya yang melaksanakan tidak diperbolehkan, padahal saya sunguh-sungguh ingin melaksanakan. Saya ingin menghormati anak saya yang sungguh-sungguh menghormati para pahlawan.
Kades : Tidak! Pak sartib, saya tidak bisa membayangkan buah bibir warga, orang-orang kampung sebelah kalau upacara itu dilaksanakan.
Sartib : Kenapa, Pak Kades?
Kades : Mereka akan mentertawakan kita. Mereka akan menganggap kita gila.
Sartib : Kenapa mereka menganggap kita gila, Pak Kades?
Kades : Karena mengadakan Upacara memperingati kematiannya orang yang tidak normal alias gila.
Sartib : Siapa yang tidak waras pak Kades, anak saya atau para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan kita itu?
Kades : Hai goblok, yang tidak waras itu anak kamu yang bisu itu. (diam) Kang Gus Sartib, Si Sarto anak kamu itu tidak pernah sekolah, tidak pernah belajar, ngomong saja tidak bisa apalagi membaca. Masak kita akan memperingati kematiannya seperti kita memperingatai para pahlawan.
Sartib : Tapi, dia juga pahlawan, pak
Kades : (tertawa) apa, pahlawan? Pahlawan bagi siapa? Enaknya kamu ngomong bahwa ia pahlawan. Enaknya kamu menyamakan orang yang bisu dengan para pahlawan.
Sartip : Dia mati karena sangat mencintai bendera merah putih, dia mati karena dia ingin mengadakan upacara bendera untuk menghormati para pahlawan.
Kades : Pak Sartib. Ya itu, keinginan seperti itu hanya pada orang-orang yang tidak waras. Dia mati karena memperjuangkan ketololannya. Dan dia mati bukan sebagai pahlawan, tapi itu namanya mati gila!
Lagu Indonesia raya melantun mengiris hati. Mengiringi kepergian Sartib dengan rasa kecewa. Kecewa karena tidak dizinkan mengadakan upacara, dan kecewa karena anaknya dikatakan tidak waras dan mati gila!
ADEGAN IV
Sartib memegangi bendera yang seminggu lalu menjadi selimut kematian anaknya. Ia berjalan dengan hati sedih mengingat keinginan anaknya yang ingin sekali mengadakan upacara bendera merah putih. Di bawah tiang bendera ia ikatkan bendera dan ia tariknya pelan. Sampai pada setenga tiang bendera itu melambai sedih. Tiba-tiba Sartib kaget karena ada suara yang menghardik.
Kades : Tangkap Sartib. Dia sedang gila, dia sedang tidak waras, dia menghina bendera merah putih kita! Ayo, amankan si Sartib yang gila itu!
Sartib ditangkap dan diamankan dengan iring-iringan lagu Indonesia Raya.
Lamongan, 30 April 2008
TAMAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar