Sabtu, 07 Januari 2012

Mata Kanan Mata Kiri Sastra Indonesia?

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XIII kupasan keenam dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Mitos angka 13 senomor kesialan, mungkin ada yang sampai ke tataran mempercayai. Karena kini menemui bilangan tiga belas, saya kan buka selaputan penuh paragraf satu-dua esainya IK dengan kaca mata tiga dimensi.

"Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi."

"Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut."
***

Sebelum mengudarnya, apakah mitos? Ia hadir kala kesepakatan realitas dan angan belum nyambung, dapat dikata putus. Lewat ungkapan tertentu berhadap adanya ikatan memaknai peristiwa secara tepat yang diikuti kerjanya imaji di ruang kesementaraan atau kesepakatan bisa berubah menurut jenjang kedewasaan masyarakat menerima / menolaknya. Misalkan 'bidadari menggendong kucing di bulan.'

Ia hadir ada yang melontarkan. Pengungkap dapat disebut penanda yang menandai sesuatu. Sering penanda lebih kuat dari petanda, di sini hukum dialog mitos muncul, kabar diberitakan membentuk wacana lantas menjadi hidup ditafsirkan. Pula bisa berganti balik, petanda lebih menguasai jalannya cerita daripada penanda, saat kata-kata dibentuk mengikat kuat suara awalnya. Tapi betapa pun pewarta menentukan jalannya kisah pada namanya alam mitos.

Apa pun bahasanya; lisan, tulisan, isyarat, sampai bahasa tubuh di ruang senggama, memungkinkan masuk menghidupi mitos, kala harapan lebih mendengung datang sambil merangkai kekuatan tak terjangkau yakni Realitas Tunggal. Ini terjadi karena bahasanya merebak dikonsumsi masyarakat, menjalar sejalur wicara atas kekuatan bahasa itu. Dan keseluruhan alam bisa terperangkap jaring mitologi, manakala lahan mensugesti masih subur mendiami setiap kepala. Hanya yang mawas bercuriga tak gampang jatuh ke jurang akal-akalan.

Olehnya kehendak saya menawarkan kaca mata ini; penanda, petanda dan tanda, di balik itu waktu lampau, sekarang, serta masa depan. Barangkali setelah dedahan ini, tidak mudah terima ungkapan meski dari seorang ternama dengan silap menelan mentah, tapi benar mewaspadai, minimnya duduk di kursi kesadaran seorang terdidik / tidak taklid buta, gampang dibodoh-bodohkan karena tidak melawan arus berkesungguhan.

Pun bahasa seni pahat, gurat lukisan, gambar bergerak / film, iklan-iklannya, sanggup memasuki alam kesementaraan mitos atas dukungan perangkat dimiliki menjebol indra terlena, terpukau diserang dari pelbagai penjuru. Sebab napasan mitos sejenis tambahan, balon udara dipompa berangin -karbit (zat gas), memungkinkan melambung disaksikan banyak orang dengan keheranan awal. IK meniup balon udara / memberi sorot lampu di ruang pameran keramik, kerajinan patung, lukisan juga televisi menyuguhkan tayangan, atau penanda menginformasikan petanda dari tandanya SCB.

IK penyihir, penyulap membuat orang-orang penasaran, jelas di atas tingkatan sebagai penanda. Dengan 'asap dupa kemenyan,' merobah kata ‘bebas’ SCB ke ‘terobos’ seular melungsungi, tepatnya akrobatik koin hilang dari telapak tangan dengan kemunculan di telapak lain, atau memberi wejangan ini-itu kepenyairan Sutardji. Jelas SCB saat itu dalam keterpengaruhan gravitasi kecendekiawanan IK, seampuh-ampuhnya petanda lebih mempuni penanda, selukisan van Gogh lebih bernilai ketika ada kurator; mereka memitoskan keberadaannya salah satu pelukis terbaik dunia dipunyai Belanda. Di seberang itu lukisan van Gogh tak luput pembajakan dan masih berkelas dibanding yang diperjualbelikan di trotoar Malioboro. Di sini tanda palsu terimbas mitos, ketika wicara merebak memenuhi semesta wacana.

Sinyal mitos adanya kesepakatan tak menutup ruang manipulasi dan bisa serempak sebunyi-bunyian lagu himne di media massa, olehnya gerak terpaksa pun saat dalam satu komando, terciptalah sejarah? Ini bisa juga lantaran musiman, pasar kaget tak mendiami bangku hakiki, suara kabur dengungan keras menyumbat telinga. Mereka minder kala para empu mengamini, lalu mitos terjadi tak sanggup dipertanggungjawabkan, akal-akalan dari turunanya. Nyata tergantung pengucapnya, meski porsinya lemah di dalam yang diungkapkannya dan bukan keilmuan, oleh menggeser realitas dengan angan. Atau tingginya bukit mengajak mendongak menyaksikan penyeru walau terpaksa pun manut. Misal pembeli lukisan repro dari karyanya van Gogh berbahagia mengoleksi dengan kebanggaan menelan mitos!

Jika pembaca di posisi bagian III lalu menyimak paragraf IK di atas, tampak ia memainkan musik keras, ibarat musikus klasik Mussorgsky sekehendak menjatuhkan batu besar ke jurang kesunyian, keheningan, sebab kita sudah tercengang heran, takjub barangkali tersihir; kok bisa ya batu sebesar bukit diangkut ke gunung lalu diterjunkan? Di sisi lain ungkapan Dami N. Toda; "Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya" sudah dikutip banyak kritikus. Pada wawancara disiarkan koran Republika "Sang ‘Mata Kiri’ yang Mengembara" 19 Agustus 2007, Sapardi Djoko Damono yang menempatkan julukan itu, demikian labut mitos merebak menguap. Lalu dikemanakan lainnya?

Mitos tak sanggup bergerak seperti SCB di manapun pengulangan, tiada upaya menerobos gagasannya secara jantan.’ Istilah ‘presiden penyair Malioboro’ pun kandas alias mandul kekaryaannya, barangkali oleh tingginya angin memitos tidak menjabarkan kata-katanya, jua hasil pemikiran menjurus pengertin dipakainya. Kebangkrutan menguat dikarna penerusnya tidak memberi dedahan menakjubkan di alam kesadaran wacana ke jenjang nan digayuh. Bentuk memitos mendapat topangan denting permainan ‘piano’ IK di permukaan Pidato Kebudayaan, yang disampaikan di Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM 19 Juli 2007, dimuat Kompas 04 08 2007 tersebut.

Barangkali sejarah sastra Indonesia dibangun lewat mitos melihat deretan di atas, terbuai seanak balita diayun ibundanya sambil bercerita; 'kalau ada bidadari menggendong kucing di bulan,' 'hujan melalui jendela langit,' 'bidadari mandi keramas di sendang pelangi.' Mitos datang berbentuk buaian, angan melambung merayu orang turut merasai lamunannya, diperkuat puja-puji nyanyian menyenyakkan, kritik bercampur penyedap rasa bahan pengawet tak menyehatkan. Tindak ketidakalamiahan ini saya geser pisaunya Roland Barthes, bahwa mitos menjelma gossip di sini, mungkin iktikatnya mengikuti ungkapan Victor Hugo menjuluki Arthur Rimbaud sebagai 'Putra Shakespeare.'

Gossip lelucon itu saya tulis berjudul FENOMENA PRESIDEN PENYAIR DAERAH SEBAGAI DAGELAN POPULER, 18 Nov 2008 atau klik http://sastra-indonesia.com/2008/11/fenomena-presiden-penyair-daerah-sebagai-dagelan-populer/ Sebelum berlanjut mari hening sejenak; adakah tiang-tiang susastra kita dengan kritik tajam, selain pujian memabukkan yang dihasilkan dari mitos pun gossip? Bukankah selama ini kita sudah kenyang sanjungan sampai ada ingin jadi tuhan? Tidakkah nalar hidup mengolah bahan melimpah dijadikan santapan lezat nan menyehatkan, setonggak keadaban pantas disegani? Atau terlelap saja dalam lamunan panjang oleh bisikan?
***

Jika Barthes menyebut mitos ialah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech), saya mengatakan ‘kedalaman bahasa mata;’ bayang-bayang pula angan di kegelapan.

Selama ini ‘indra penglihatan’ digunakan sealat melihat saja, saksi kejadian tampak lalu terekam di ruang ingatan, seolah tak memiliki kemampuan mandiri kesadarannya! Kini rasakan bagaimana ‘kedalaman bahasa mata’ membentuk asosiasi, melahirkan sebuah pandangan (pemikiran) yang tak kalah penting mempengaruhi jalannya pengetahuan.

Saya ambil contoh ‘bidadari menggendong kucing di bulan,’ ‘Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare’ pun ‘Gunung Tangkuban Perahu.’ Pada orang-orang tak mengetahui Arthur Rimbaud pula Shakespeare secara langsung, kehadirannya sebayang-bayang seorang belum pernah ke Gunung Tangkuban Perahu, seorang buta tidak melihat raut bulan di malam hari. Tapi hasananya kuat terekam angan kegelapan, melekat ditopang bacaan cerita sekitar, dan kemampuan berimajinasi ke sebuah ungkapan yang terpaksa diterima seolah masuk akal.

Demikian ‘SCB Presiden Penyair Indonesia’ yang awalnya dikatakan sendiri sebelum membaca puisinya lantas diperkuat Dami N. Toda; "Kalau mata kanan sastra Indonesia Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya." Itu jadi suatu bentuk (a form -istilah Barthes) yang terjadi diperkuat, diturunkan orang berbahasa menyihir pesonakan mata pada teks -mendengar muatannya, entah sebab titel yang mengatakan membentuk keumuman oleh diumumkan di media. Kita tahu salah satu melemahkan penelitian ialah berharap dipandang, mencari muka seperti yang dikatakan Ibn Khaldun di awal Muqoddimah-nya.

Barangkali Sejarah Sastra Indonesia dibangun lewat mitos. Ini kelihatan hampir seluruh penelitian di lapangan sastra pujian, kecil sekali kritik tajam apalagi pengoreksian ulang pada kisaran sekelilingnya. Sejenis dongengan, seakan hidup di awang-awang bersama mimpinya akan sejarah sastra dunia digayuh, seolah sederajat hasil temuannya dengan mensejajarkannya, atas minimnya mencurigai kelemahan yang menjegal diterimanya wawasan. Yang terbit maka persamaan kulit, jika ditelusuri kurban diberikan belum seberapa. Olehnya paling ditekankan mentalitas guna tak cepat puas, apalagi merasa sekelas tapi bertepuk sebelah, kecuali beberapa peristiwa saja dapat didudukkan bijak.

Ungkapan melambung paragraf IK satu-dua berbentuk meyakinkan seajaib mungkin, namun sudah saya preteli hingga bagian tiga belas ini berlanjut. Jika dapat turunan lagi tanpa penyangkalan, tentu bayangan memitos hidup di angan kegelapan, sastra awang uwung segelembung leher katak bersenandung, itulah mitos memperkosa penalaran. IK berupaya menarik mitos ke dalam bahasa revolusi, tindakan realitas ilmu pengetahuan, lewat merubah kata ‘bebas’ ke ‘terobos.’ Ini sungguh cantik tapi tak lagi menggetarkan, saya juga tak menutup kemungkinan yang tertulis ini kelak malahan jadi mitos terbesar SCB, bagi yang kelebihan muatan angan-angan.

Andai menerima nafas realitas tentu jenjang pengetahuan terarah, misal sejarah sastra baru di tingkatan mitos di beberapa kasus. Lalu membekukan sampai penelitian dalam hingga terkuak kelopak kembang sumekar menebarkan harum berangin wacana, yang diberikan kesuntukan mengolah bahan. Tetapi rasanya tidak, serupa ketakmungkinan para astronom awal kali meneliti bulan oleh perkiraan adanya bidadari. Victor Hugo menjuluki Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare tentu sampai, karena orang-orang tidak masuk akal jika mencari siapakah ibundanya? Dan turunan ke berapa? Mereka paham logika ungkapannya sekadar penghormatan, yang tidak mematikan langkah di alam kenyataan.

Bandingkan ‘SCB Presiden Penyair Indonesia,’ dimana kekuatan politik negara ini sangat kuat mencengkeram kehidupan rakyatnya, maka memaksa angan tersebut siapa rakyatnya? Apa seluruh warga negara Indonesia penyuka sastra? Siapa wakil-wakilnya? Ini jadi lelucon seperti negara federal, karena ada presiden penyair Malioboro, presiden penyair Cirebon, Presiden Penyair Jawa Timur, seterusnya. Seakan obsesinya mereka membentuk negri bayang-bayang, mitos sampai kini diterima tanpa kajian mendalam. Ini berbeda kalau menengok plakat diberikan Hugo, mungkin tertutupi istilah 'anak haram.' Saya kira paling pas, Presiden Penyair Indonesia adanya di dunia ludruk / panggung Petruk, Gareng dan Bagong.

Penggambaran saya mengenai mitos ‘kedalaman bahasa mata;’ bayang-bayang pun angan di kegelapan, dapat ditaruh perluasan paham Barthes melukiskan tata surya, ia sendiri kemungkinan tidak sengaja / barangkali menyembunyikan langit inspirasinya. Coba cermati tulisannya di buku “Mythologies” (1972), diterjemahkan sedari bahasa Prancis oleh Annete Lavers, “The Eiffel Tower and Other Mythologies” (1979), diterjemah dari bahasa Prancis atas Richard Howard, pada penerbit yang sama New York: Hill and Wang, yang diindonesiakan penerbit Jalasuta, 2007, halaman 299:

"Zhdanov mengolok-olok Alexandrov sang filsuf, yang berbicara tentang 'struktur bulat planet kita.' Zhdanov berkata, 'Sampai sekarang dianggap bahwa hanya bentuklah yang dapat bulat.' Zhdanov benar: kita tidak dapat berbicara tentang struktur dalam sudut pandang bentuk dan sebaliknya. Namun di atas bidang 'hidup,' tidak terdapat apapun kecuali totalitas tempat struktur-struktur dan forma-forma (bentuk-bentuk) tidak dapat dipisahkan. Tetapi ilmu tidak berguna bagi hal yang tidak terucapkan itu: ilmu harus berbicara tentang 'hidup' jika ingin mentransformasikannya. Menentang angan-angan tertentu tentang sintesis, yang sangat platonis, semua kritik harus setuju pada kecermatan, pada kecakapan analisis, dan dalam analisis, kritik harus sesuai dengan metode dan bahasa."
***

Sambil mempertontonkan saya jawab beberapa lubang belum tertutupi di larik-larik sebelumnya. Jika Oktavio Paz mengakui dirinya ‘antropolog amatir’ yang memiliki iktikad baik di bukunya "Claude Lévi-Strauss An Introduction." Sebagai pengelana, saya girang turut berbagi yang tidak menutup kemungkinan perluasan, meski baru sampiran di sini.

Perihal mitos dapat dibilang hampir tuntas dibahas Barthes, namun saya memaklumi mengenai ‘ke-sakral-an’ luput dari pengamatannya, mungkin terlalu terpikat 'Mitos Dewasa Ini,' sehingga hal-hal lampau menghantui dunia kini, walau kecil diabaikan. Disadari atau tidak, yang dimitoskan membentuk alam tersendiri, ini wajar sebab mitos membuat pribadinya terpencil. Seperti 'kesunyian bidadari di rembulan,' 'sepi pahitnya hikayat Tangkuban Perah' pun 'kisah Arthur Rimbaud Sang Putra Shakespeare yang menjulang.' Mitos menjauhkan dirinya dari penalaran, memang seungkapkan Barthes “tiada mitos abadi.” Tapi setidaknya mendiami ruang-waktu antara, masa-masa terikat gravitasi sendiri selepas diterima khalayak, meski dengan keragu-raguan penuh sebagai imbas sesuatu 'tak ternalar.'

Saya tersedot legenda dara langsing Roro Jonggrang dari Kerajaan Boko, insan dikutuk dijelma patung bersama patung-patung kembarannya di Candi Prambanan oleh Raden dari Kerajaan Pengging, Bandung Bondowoso, cukup itu mitos setelah para arkeolog bersetia mengidentifikasi usia batuan dll. Dan ketakmampuan orang buta melihat yang didongengkan menjadi 'bayang ingatan,' seperti langkah dikaburkannya beberapa esais sastra mengungkap Sumpah Pemuda serta lainnya, dengan menghapus nama para tokoh penting demi mengekalkan orang-orang berucap setelahnya. Sejauh itu mitoslah terbangun, intinya berhasrat disakralkan sejarah, tentu tak lama sebab secara naluriah insani menginginkan kejujuran, bukan informasi gagah-gagahan.

Kita di dunia Timur kerap terlupa, mungkin terlena atas alunan alamnya ditiup angin mendayu setarikan gegaris katulistiwa, tropis nan sentausa. Sampai kejadian beberapa jengkal masa lalu sudah mendiami pekabutan mitos, kadarnya tergantung seberapakah kesadaran membaca realitas. Tengok peristiwa meletusnya Gunung Krakatao, jikalau arsipnya tak ditemukan dan disebar atau terlalu percaya cerita mulut gossip, mitoslah berkembang, lalu terhilangkan kekayaan hikmah yang terbit di sana. Pun menuliskan sejarah tanpa ditali di tonggak semestinya, malah turunannya, dipastikan putus gairah besar yang sepantasnya berkembang senyala api penelitian di masa datang. Maka tiada lain disalahkan tidak jelinya menyerap kabar berita membentuk gemawan memanjakan mereka di bawahnya, padahal dapat terjadi dikala itu sang surya tengah di ubun-ubun sebuah kesaksian terbesar.

Upaya para kritikus meninggikan orang-orang dianggapnya jempolan, melupa bandingan hasil capaian mereka pada sandaran dianggapnya –telah pantas, terbentuk nuansa kejauhan namun kental, seakrab warna langit membiru di mata teramat jauh jaraknya; kedekatan ini berasal perasaan “fanatik juga melemahkan daya penelitian,” menyitir Ibnu Khaldun. Seperti kecondongan IK pada esai saya dedah kini serta para penganalisa lain serupa penyeritaan atau tangan menyuarakan ‘wicara’ istilah Barthes, menurunkan mitos lantas otomatis jarak tersebut melembaga ‘kesakralan.’ Setidaknya pandangan lain olahan pengupas mendiami ruang berbeda, pada waktu tertentu ibarat kepercayaan nenek moyang pada animisme, dinamisme. Atau sesegan santri pada kyai juga tempat-tempat keramat yang pendekatannya cenderung keimanan, dengan ragu takut kuwalat mendekati secara kritis, meski beriktikat kedinamisan pada derajad keadaban membangun, misalnya.

Dapat saja di titik tertentu berkadar masing-masing, contoh lukisan wajah Monalisa karya Leonardo Da Vinci menjelma teka-teki misteri wajah pelukisnya, lukisan Van Gogh, Picasso, menjadi nyanyian tersendiri bagi pelukis pemula. Atau Kitab Hang Tuah, Hikayat Perang Sabil, Syair Lampung Karam 1883, Faus-nya Goethe, Siddhartha-nya Hermann Hesse, Wirid Hidayat Jati-nya R.Ng. Ronggowarsito, Sabda Zarathustra-nya Nietzsche, sekali lagi sebatas tertentu di benak-kepala pembaca bisa membentuk mitos, lantas kembangkan kabut kesakralan serupa kitab suci agama ardhi dst. Kerapkali alam mitos menjauhkan dirinya dari kenyataan, membatasi untuk diteliti / kurang menginsyafi harga penalaran kritis, sehingga terperosok ke jurang kekaguman. Seperti sindiran Hassan Hanafi kepada ulama'-ulama' klasik ditiap pengantar karyanya / ketawadhuan menjerat pencari sejati di jalan kembaranya, yakni tidak berbuat lebih sedari terpesona, tiadanya tindakan dialektika nan dinamis.

Kala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi. Lebih fatal diskusi kejar tayang di setiap minggu pagi, tak lebih polemik itu petasan cepat habis di malam lebaran -yang secara logis Ilahi pun tak mungkin ada rembulan di atas kuburan di malam lebaran, kecuali pembesar keadaan, puitisasi peristiwa agar terlihat bermakna nan mengusung logika sekenanya. Ini jauh panggang dari arang, membaca kilauan hasil tanpa menyelidiki prosesnya, seperti perihal Barthes tiada bisa menolak mitos, misal kaum pedalaman yang tidak percaya jikalau ada manusia turun ke bulan.

Selanjutnya agak menyanggupi kaca mata tiga dimensi bagi tafsiran pada Barthes yang menyembunyikan langit inspirasinya, yakni ‘tata surya’ bidang 'hidup' daripada sebuah bentuk yang hanya bulat pada Zhdanov. Kelak dan mungkin tengah terjadi, webset atau situs-situs perpustakaan beredar di google membentuk kewibawaannya, dan pada drajat tertentu menjelma bahasa ucap antar blogger sampai menempati ruangan mitos, kesakralannya terpantul atas wibawa yang disuguhkannya sebagai mitos jaman mendatang. Seperti gemintang beredar terang ketika malam, dimana alam bawah sadar terangkat, timbullah hawa kurang percaya diri atas hidup. Sehingga berpegangan akar rapuh, ketika temuan mutakhir melecuti hati pikiran insan seakan sia-sia hidup di muka bumi, atau terkenanglah pada kematian Jacques Derrida, Paris, Prancis, 8 Oktober 2004.

Sebagai penutup saya kutip ujaran Pablo Picasso; bahwa seni adalah kebohongan yang memungkinkan kita untuk menyadari kebenaran. Ini sangat berbeda jauh dengan alibi!

Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2012/01/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_06.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito