Sebuah novel perjalanan hidup yang penuh intrik emosional dan mimpi
Beni Setia
http://sastra-indonesia.com/
KONSTRUKSI pementasan wayang kulit bertumpu pada kelir–layar–, di mana si penonton ada di sebelah luar dan menikmati serta mengapresiasi tampakan dari bayangan wayang yang dimainkan dalang dan diproyeksikan oleh terang blencong–lampu minyak. Bila dirinci, di zona batas: hadir wayang yang aktualistik dimainkan dalang, ada wayang yang siap untuk dimainkan kalau pembabakan dan kebutuhan cerita memaksanya tampil, dan sekaligus ada wayang-wayang yang hanya jadi pajangan dan tidak akan dimainkan–berjejer di kiri dan kanan arena cerita yang ditandai oleh batang pisang buat menegakkan wayang, di antara kelir dan blencong.
Sedang di zona dalam: ada dalang–realisasi Yang Maha Kuasa, yang mengatur cerita serta pusaran nasib wayang–, dan sinden serta nayaga yang membuat ilustrasi dramatika cerita bagi konflik batin dari wayang yang dimainkan teraksentuasikan. Sekaligus pembabakan seperti itu membuat kita leluasa menarik makna simbolistik dari fenomena: wayang itu manusia yang harus menjalani peranan seperti apa skenario yang ditentukan dalang, sekaligus dalang itu Yang Maha Kuasa, sedangkan para penonton merupakan komunitas yang mengamati dan mengapresiasi–kita bisa menonton sebagai si sesama manusia dari zona depan kelir, atau si yang ruhaniah sebangsa jin atau malaikat dari zona dalam, ada di belakang dalang, bersama sinden dan nayaga.
Dalam pagelaran wayang golek konstruksi itu tetap ada meskipun faktor kelir, layar pemisah antara dua dunia sudah tak ada, tapi wilayah yang ditandai batang pisang tempat wayang dimainkan dalang–setelah gunungan dicabut dan diakhiri pembabakannya ketika gunungan yang ditegakkan kembali–merupakan wilayah batas di antara (dunia) manusia dan (dunia) dewani, sekaligus bagaimana semua pihak itu–yang riil manusia dan si yang rohaniah–menonton, mengapresiasi, serta memaknai lakon yang disandang oleh wayang terpilih dengan skenario yang diatur dalang.
Fenomena hamparan si batang pisang untuk menegakkan wayang, (pohon) gunungan yang dicabut, wayang yang dihadirkan serta ada berinteraksi dengan sesama wayang lain itu wilayah khusus. Sebuah zona yang disitandai spotlight, sehingga semua mata tertuju padanya. Peran dari panggung sangat dominan–di sandiwara klasik layar yang memisahkan si yang menonton dari si yang ditonton senantia hadir, sedangkan teater modern tak memakai layar meski terkadang masih ada pergantian babak, sedangkan pentas teater tradisi yang memakai konsep teater arena menempatkan si penonton di seputar dan di dalam panggung yang melebar. Panggung itu media yang ada mempertemukan si yang ditonton dan si yang menonton, yang mempertemukan apa-apa yang diceritakan dengan mengongkritkannya lewat adegan dan tokoh yang bersiinteraksi sesuai perkembangan cerita dengan si yang datang mengapresiasi sehingga penonton bisa menarik runtutan utuh cerita, memahami keutuhan pesan cerita, serta menyimpulkan apa makna yang disampaikan di panggung–sehingga sang sutradara serta penulis cerita, yang di khazanah wayang terkadang diperankan oleh seorang dalang, jadi terlupakan.
Terlebih ketika cerita itu tak dihadirkan dalam konstruksi utuh tiga dimensi manusia dan properti panggung, atau dua dimensi manusia dan properti riil keseharian dalam ujud film seluloid atau digital. Ketika panggung yang merupakan satu inisiatif (rekayasa) sadar perluasan dan pengkongkritan dari dunia artifisial wayang di atas batang pisang, atau teks lakon menjadi manusia utuh yang menempati ruang khusus serta kongkrit itu dihilangkan dalam manifestasi seni tutur cerita lisan. Sehingga si pendengar cerita otomatis ”dipaksa” untuk memunculkan–oleh kebutuhan agar berkuasa mengerti dan memahami cerita–dan menghadirkan ruang pertemuan serta dikursus yang diisi pembayangan imajiner dari si tokoh serta lokasi yang sesuai rangsangan cerita. Ruang subyektif di antara teks cerita dan yang mengapresiasi penceritaan. Sebuah dunia kanak ketika di sebelum terlelap ibu, ayah, kakek, nenek, dan siapa saja bercerita di tepi pembaringan. Sebuah dunia rekaan di ambang lelap yang bisa terbawa ke dalam mimpi.
***
DI empat puluh tahunan yang lalu, di Bandung, saya mengalami perayaan membaca yang bersipat komunal. Pertama, ketika ritual syukuran panen, dengan pembacaan cerita lisan seusai gabah yang telah kering dijemur akan dimasukkan ke dalam lumbung–meski ceritanya amat baku dan tehnik bercerita yang juga baku. Kedua, saat tradisi syukuran itu berkurang sebab jenis padi yang ditanam bukan lagi dari padi jenis asli lokal, yang harus dikemas di dalam kepang segenggam kumpulan malai bergabah yang sukar rontok, tetapi padi jenis baru yang gampang rontok karenanya segera dirontokkan lantas dijemur dalam ujud bulir-bulir lepas–yang kemudian dikemas dalam karung. Lumbung padi kehilangan fungsi. Pencerita lisan klasik kehilangan pasar. Tapi ledakan buku hiburan bahasa Sunda, yang biasanya berseri sampai 10-20 jilid itu, menghasilkan anomali komunitas perayaan membaca yang serupa–di teras ketika petang dengan semua anggota keluarga menyimak pembacaan buku itu oleh seorang anggota keluarga. Meski monoton, tanpa intonasi serta jeda, tapi semua konsentrasi dan menyimak cerita yang disampaikan penulis lewat mulut si pembaca. Momentum yang asyik yang selalu diperlihatkan oleh tetangga–saat itu saya sudah masuk zona membaca serta asyik membaca buku apa saja sendirian.
Tapi perayaan membaca semacam itu amat menarik, dan selalu mengingatkan pada masa oralitas cerita dari masa kanak-kanak yang intim dan intens dengan orang tua–saya memiliki malam yang asyik, ketika menjelang lelap ibu atau bapak mendongeng, bahkan melisankan cerita klasik yang dihiasi tembang dari buku dan kemudian buku-bukunya itu ditertemukan di lemari. Jauh sebelum saya mengenal tradisi reading naskah, ketika suatu kelompok teater sedang ada mempersiapkan satu pementasan, atau perfoming baca puisi ataupun baca cerpen.. Meski ujud konstruksi panggung, ikon antara si yang menceritakan kisah dengan fokus seorang tokoh–simbolik wayang atau riil manusia rekaan–dengan si yang menyimak cerita, yang menyimpulkan makna dari lelaku sadar apresiasi dan resepsi itu menghilang dan/atau sengaja dihilangkan. Dalam membaca buku–sisi lebih jauh dari menyimak oralitas suatu perayaan pembacaan buku–dunia antara itu sama sekali hilang, tak dihadirkan secara kongkrit. Tidak ada si yang membacakan dan tidak ada pihak yang mendengarkan, semua itu kini dilakukan sendiri dengan teks yang bisu dan penulis yang tak pernah ramah menampakkan diri–tidak peduli biografinya selalu disertakan di buku. Sekaligus membaca buku itu (kini) membutuhkan kesepekatan: bahwa pengetahuan dari si yang menulis buku dan si yang membaca buku itu seimbang serta sebanding, sehingga ketika si penulis menceritakan A maka spontan si pembaca telah ada dan siap mempunyai pengetahuan tentang A–yang kadang tidak pernah ada dijelaskan si penulis buku.
Dunia panggung, zona tempat apa yang diceritakan dihadirkan oleh si penulis buku untuk yang membaca buku tetap ada meski kini agak bergeser semakin subyektif di dalam angan dan benak si pembaca buku–di mana semua yang biasanya telah dikonstruksi si dalang dalam pentas wayang atau sutradara dalam pentas drama harus direkonstruksi secara personal.
Semua kecamuk cerita itu–atau paparan argumentatif atau wewaler filosifis–hanya ada di benak si pembaca, sangat tak lengkap dan blank sehingga si pembaca harus kreatif melengkapi semua tuturan serta narasi si penulis buku secara subyektif–sebagai inisiatif personal. Dunia pemaknaan dari yang diceritakan tidak lagi bersitumpu pada cerita yang dikongkritkan di panggung, tapi yang kuasa dibayangkan dan dilengkapi di dalam benak –sehingga butuh banyak wawasan untuk mengkongkritkannya. Semuanya jadi personal, dan tidak heran kalau kita sering kesulitan menentukan: di mana posisi kita sebagai yang membaca buku di depan yang menulis buku, yang menghadirkan tokoh yang aneh dalam serangkai peristiwa asing dengan lokasi nun tidak bisa dikenali. Aneh. Tidak tertangkap oleh daya imajinasi dan lanturan fantasi, karenanya tak bisa diterima oleh pembayangan–tapi keanehan wayang kulit serta film kartun bisa aman diterima sebagai dunia alternatif. Itu barangkali akibat dari hilangnya tampilan riil panggung yang manusiawi tiga dimensi atau simbolistika dua dimensi. Ternyata kita butuh sesuatu yang disepakati bersama, dan bukan melulu hanya subyektif dikonstruksi teramat personal–bahkan meski dengan sadar membebaskan energi rekonstruksi dari pembacaan sambil mematikan sang penulis seperti yang disarankan oleh Roland Barthes.
***
ITU sisi ekstrim dari penceritaan, saat pencerita yang kini menulis teks membiarkan si pembaca membangun “panggung” pembayangan cerita secara subyektif, di mana dari titik itu mereka kuasa melakukan penafsiran dan pemaknaan personal. Celakanya, bandul ekstrimitas itu belum juga berhenti–kini mereka melangkah lebih ekstrim lagi. Bukan lagi cerita tidak ”berpanggung” lengkap yang dihadirkan bagi para pembacanya, tapi justru si pembaca itu yang ditarik dan dihadirkan di dalam cerita–bahkan cerita yang hanya terjadi dalam benak si tokoh dan bukan di panggung kehidupan. Mungkin orang biasa menyebut itu sebagai genre novel ”arus kesadaran”, mungkin juga ”monolog interior”. Tetapi ada yang riil dan ada yang tidak riil, fakta riil dan lintasan imajinasi si tokoh hadir serta harus dibaca dan dimaknai langsung oleh si pembaca. Kita bisa melihat itu di dalam novel Putu Wijaya, Telegram–apa yang sedang terjadi dan yang telah usai di masa lalu berkelindan dengan yang diangankan dan tidak ada pernah terjadi di masa lalu, masa kini serta nanti, diaduk-aduk dalam satu paragraf, sesuatu yang membuat Budi Darma kebingungan lantas berkesimpulan: apa yang dianggap sebagai tokoh oleh Putu Wijaya itu tidak pernah utuh sebagai tokoh esa dari awal sampai akhir, sebab bisa jadi yang ini di sini dan si itu di situ. Inkonsisten. Selalu imikri–mulah-malih berubah-berganti.
Tapi masalahnya bukan bagaimana tokoh itu harus tetap konsekuen–sesuai tuntutan penokohan klasik–tapi bagaimana tokoh itu mengalami satu kejadian serta berpindah ke peristiwa lain dengan konsekuensi ia harus memakai kostum serta karakter yang berbeda. Tidak ada yang linear ada berawal serta pasti berakhir–semua pusaran dari hal-hal yang fragmentaristik dan bermakna sebagai episode. Dan semua itu terjadi serta hadir sebagai cerita yang terjadi di dalam benak si tokoh. Dan Suwung adalah cerita yang terjadi dalam benak seorang Ra Hasti Dewantari. Seorang anak di luar nikah dari wanita pribumi yang diperkosa oleh bajingan/brandalan berkulit putih di Surabaya, sehingga eksistensi sebagai si berdarah campuran membuatnya diolok-olok warga pribuminya, ia terasing dan karena itu terpaksa dibawa mengungsi oleh pamannya ke pedalaman Jawa–yang justru karena aktivitas politiknya membuat ia harus menjauhi wilayah yang dikontrol oleh administrasi polisi kolonial Belanda. Dengan teman seide pamannya Ra Hasti Dewantari ”babat alas”, mendirikan kampung yang selalu bersiap siaga menunggu munculnya mata-mata Belanda atau pasukan Belanda yang masih terus memburu mereka. Menetap serta bersembunyi di enclave yang entah ada di mana di antara Babat-Jombang, atau Bojonegoro-Nganjuk, di sebuah kampung (rekaan) terpencil di tepi sungai yang masih kental diselimuti alam gaib, tapi segera menjadi kampung suwung yang ditinggalkan penduduknya karena pembukaan jalur jalan baru oleh si pemerintah kolonial Belanda–yang menghubungkan jalur tengah Jawa antara Lamongan-Bojonegoro-Ngawi atau Blora dengan jalur selatan Jawa di antara Surabaya-Jombang-Madiun, melengkapi jalur Jombang-Malang, Nganjuk-Kediri-Blitar, dan seterusnya. Kolone itu menghasilkan satu kampung baru di tepi jalan baru di bawah kampung lama, dan menjadi pusat kehidupan yang lebih ramai dari kampung lama yang semakin suwung–yang dipilih oleh paman Ra Hasti Dewantari sebab merupakan buronan politik kolonial.
Kemudian Ra Hasti Dewantari menikah dengan si pelaut seberang, yang kapalnya kandas dan kehabisan bekal, lego jangkar di lepas pantai utara pesisir Jawa, yang ketika merintis mencari bekal di kampung lewat muara sungai ia memasuki alam siluman yang membuatnya pontang-panting lari. Terus berlari di hutan sampai tersesat ke kampung Ra Hasti Dewantari. Kematian si paman, pengalaman traumatis kelaparan serta luka berburu si paman (= phobia akan warna merah yang menghantuinya di seumur hidup), kampung yang makin suwung akibat keberadaan kampung baru, perkawinan yang diiringi kesulitan ekonomi yang membuat si suami memilih kembali ke tanah asal buat berniaga atau hanya mencari (modal) warisan di sebarang–dengan meninggalkan si Ra Hasti Dewantari yang sedang hamil–membuatnya tidak bisa menjejak di kenyataan riil dan memaksanya lari ke dalam angan-angan. Kondisi traumatik di antara bahagia punya anak, kesulitan ekonomi yang memuncak dan kerinduan pada suami yang jauh dan tidak pernah bersikirim kabar membuat Ra Hasti tak hidup dengan fakta dan berada di alam riil, membuatnya memilih suwung (= kosong) dengan bersibuk dengan angan-angan, sehingga mengalami kejadian riil, peristiwa imajiner, dan lanturan mistik secara tumpang tinding tanpa (ia) kuasa untuk memilah-milah dan membedakan. Ia bukan si subyek yang terbuka pada segala obyek di luar dirinya, tapi menjadi si obyek yang gelagapan menerima serbuan banjir (subyek) hal-hal yang riil, hal-hal yang imajiner dan fantastis, lanturan alam bawah sadar dan tonjokan dari alam gaib. Gelagapan serta dipenjarakan oleh penampakan obyek yang jadi subyek–bahkan Subyek dengan S besar.
Seiring dengan itu semua kejadian dan peristiwa berhenti di momen saat melahirkan dan punya anak, setelah itu ia berada di antara terkelucak punya anak dan membayangkan hidup yang berbeda–bahkan ia disergap bayangan kehadiran manusia gaib serta kejadian mistis. Waktu telah berhenti, kesadarannya tidak menjejak dan dibimbing oleh kenyataan riil, malahan kini terbuka kepada apa-apa yang tampak, apa-apa yang dibayangkan serta diangankan, dan apa-apa yang terlahir dari alam gaib dimensi lain. Ketiganya memsibaur, sementara kenyataan tetap berjalan seperti apa adanya, dan karena itu Ra Hasti Dewantari jadi terasing dari realitas karena kesadarannya telah diblokir dari kenyataan yang bergulir sesuai perubahan waktu. Kesadaran terhenti di momen kampung suwung, dan ia tak bisa menerima bahwa kampung sudah tak suwung lagi. Ia juga tak menyadari kalau suaminya telah pulang karena yang ia tahu: suaminya tak ada di rumah–dan lelaki yang kemudian tertangkap ada di rumah adalah si orang lain yang selamanya dianggap orang lain, seperti ia membayangkan dan percaya Natalia itu hilang, seperti ia juga membayangkan dirinya menjadi orang lain tak peduli ketika menjadi orang lain itu ia diganggu oleh penampakan manusia lain dari alam gaib. Ia terus bermain peran, sambil dipaksa buat mengempatinya dengan sangat bersungguh-sungguh sehingga (kesadaran) suwung tidak bisa jejak di alam nyata–seperti yang dengan lantang diteriakkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam sajak ”Herman”. Lepas dari apresiasi kalau semuanya (kenyataan) itu berjalan sesuai kodratnya Ra Hasti Dewantari memilih tak ingat apa-apa dengan selalu ingin melupakan segalanya. Salto mortale ke dalam angan-angan.
Suwung ini bercerita tentang apa yang terjadi di dalam benak dari si seseorang yang memutuskan untuk memunggungi kenyataan karena beban hidup yang mengelucaknya–sekaligus ia menghayati angan sebagai kebenaran, tak peduli ketenangan angan itu selalu diintervensi oleh alam gaib. Satu saat ia disadarkan oleh kenyataan: suaminya meninggal, anaknya (Natalia) sukses berkarier, dan harta peninggalan suaminya melimpah. Tapi apa itu suatu kebenaran? Tapi apa itu riil? Ra Hasti Dewantari tak bisa memastikannya–dan karenanya ia memilih untuk melupakan semuanya. Untuk kembali ke rumah sakit, untuk kembali ke ketenangan artifisial dari perawatan. Sejarah personal Ra Hasti Dewantari itu telah selesai, dan tidak seorangpun yang tahu bahwa ia menyelesaikannya dengan lari ke dalam labirin angan-angan–meski tak nekad lari ke dalam kegelapan kematian. Tapi apa bedanya? Sekaligus apa yang dilakukan Negara untuk membendung upaya pembunuhan ide dan nyawa dari yang kesulitan ekonomi di tengah kemiskinan yang mengelucakkan rakyat kecil di pedalaman? Apa Negara selalu memilih absen–Suwung bercerita tentang masa kolonial serta di masa pasca kolonial yang melahirkan kemakmuran di dalam ujud pembangunan yang merubah raut fisik lokasi–pada setiap persoalan eksistensial si rakyat kecil karena ihwal mereka itu dianggap terlalu sepele dan hanya menyita waktu untuk ria menunjukkan mercu suar citra kepemimpinan gemilang suatu rezim? Tidak ada jawaban, meski rentetan pertanyaan akan terus memanjang dengan titik tolak dari penggambaran si seseorang menjadi stress dan suwung oleh cekaman kemiskinan yang tak tertahankan dan tak tertanggungkan. Di titik itu arti (kilasan samar) sosio-politik dari Suwung yang amat personal ini.
***
Dijumput dari: http://lina-kelana.blogspot.com/2011/12/suwung-sebuah-novel-perjalanan-hidup.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Azis Masyhuri
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Riyadi Amar
A. Yusrianto Elga
A.H. J Khuzaini
A.J. Susmana
A.S Laksana
Abd. Basid
Abdul Azis Sukarno
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adi Faridh
Adian Husaini
Adreas Anggit W.
Adrizas
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agni Rahadyanti
Aguk Irawan M.N.
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Hartanto
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Naufel
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Airlangga Pribadi
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Aldila Avrikartika
Alfred Tuname
Ali Audah
Ali Soekardi
Amien Wangsitalaja
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
Andry Deblenk
Angela
Anggota FSL
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Septian
Anwar Nuris
Any Rufaidah
APSAS (Apresiasi Sastra)
Arafat Nur
Ari Saputra
Ariany Isnamurti
Arie Yani
Arief Junianto
Arifin Hakim
Arim Kamandaka
Arina Habaidillah
Armada Riyanto CM
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan
Arysio Santos
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atafras
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Babad Nuca Nepa
Babe Derwan
Badrut Tamam
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bambang Kuncoro
Bambang Satriya
Bambang Sugiharto
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bengawan Solo di Karanggeneng
Beni Setia
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Blambangan kuno
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bujang Tan Domang
Bung Tomo
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
CNN Indonesia
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahlan Kong
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Daniel Paranamesa
Danilo Kis
Danuji Ahmad
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David ZA
Dea Anugrah
Dedi Pramono
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dian
Diana A.V. Sasa
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djibril Muhammad
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djulianto Susantio
Dody Yan Masfa
Dom Dinis
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo U. Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Purwanto
Edith Koesoemawiria
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Endarmoko
Eko Nuryono
Elin Yunita Kristanti
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Em Syuhada’
Emha Ainun Nadjib
Eny Rose
Eriyanti
Esai
Evan Ys
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fakhrudin Aris
Fanani Rahman
Fariz al-Nizar
Faruk
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fauzan Al-Anzhari
Fazabinal Alim
Felix K Nesi
Ferdiansyah Thajib
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Forum Sastra Lamongan
Furqon Lapoa
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Gde Artawan
Gede Mugi Raharja
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gito Waluyo
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Haaretz
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamzah Fansuri
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Harry Susilo
Hartono Harimurti
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Henri Nurcahyo
Hepi Andi Bastoni
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Santoso
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Joni Putra
Hikmat Gumelar
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
I Made Prabaswara
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Yunanto
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra J. Piliang
Indra Tjahjadi
Indra Tranggono
IPNU Kabupaten Lamongan 1955
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iwan Kurniawan
Iwank
Jadid Al Farisy
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D Rahman
Jamaluddin Mohammad
Jamrin Abubakar
Jauhari Zailani
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joao Ruiz De Castelo Branco
Johan Khoirul Zaman
John Halmahera
John Sinartha Wolo
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K.H. Anwar Manshur
K.H. Ma'ruf Amin
Karanggeneng
Kasnadi
Katrin Bandel
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
KOSTELA
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kukuh Yudha Karnanta
Kurnia EF
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lamongan 1916
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Loe Lan Ing
Lukisan Rengga AP
Lukman Santoso Az
Lutfi Rakhmawati
Lynglieastrid Isabellita
Lysander Kemp
M Anta Kusuma
M. Aan Mansyur
M. Harir Muzakki
M. Latief
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Majelis Sastra Asia Tenggara
Makalah Tinjauan Ilmiah
Mala M.S
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marsi Ragaleka
Martin Aleida
Martin Lings
Masdharmadji
Mashuri
Mathori A Elwa
Matroni Muserang
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Mohammad Eri Irawan
Muafiqul Khalid MD
Mudjia Rahardjo
Muh Syaifullah
Muhajir Arifin
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yamin
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
Nadhi Kiara Zifen
Nafi’ah Al-Ma’rab
Nailunni’am
Naqib Najah
Naskah Teater
Nasrullah Thaleb
Nawa Tunggal
Nevatuhella
Nezar Patria
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nitis Sahpeni
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nunung Nurdiah
Nurel Javissyarqi
Nurjanah
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi
Obrolan
Octavio Paz
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pagelaran Musim Tandur
Pawang Surya Kencana
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
PDS HB Jassin
Pesantren Tebuireng
Petrus Nandi
Philipus Parera
Pipiet Senja
Plato
Pramoedya Ananta Toer
Pratono
Pringadi AS
Priyatna Abdurrasyid
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Ratnaning Asih
Ratno Fadillah
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992
Rheza Ardiansyah
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riyadhus Shalihin
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rojiful Mamduh
Romi Zarman
Rosihan Anwar
Roso Titi Sarkoro
Rudy Polycarpus
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Mueller
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Samin
Samsudin Adlawi
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sapardi Djoko Damono
Saparinah Sadli
Sartika Dian Nuraini
Sarworo Sp
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Satriwan
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Siwi Tri Puji B
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Solo Exhibition Rengga AP
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
St Sularto
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sudartomo Macaryus
Sugiarta Sriwibawa
Sugiarto
Sujatmiko
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutamat Arybowo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
Syi'ir
Sylvianita Widyawati
Syu'bah Asa
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Th Sumartana
Thales
Theo Uheng Koban Uer
Timur Budi Raja
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
To Take Delight
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tomas Transtroemer
Tosa Poetra
Toto Gutomo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Awaludin
Warih Wisatsana
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wemmy Alfadhli
Wicaksono
Widya Oktaviani
Wina Bojonegoro
Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan
Wisnu T Hanggoro
Wowok Hesti Prabowo
Y Alprianti
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yanto Musthofa
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yok’s Slice Priyo
Yoks Kalachakra
Yona Primadesi
Yoram Kaniuk
Yunit Permadi
Yusi A. Pareanom
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar