Jumat, 23 Desember 2011

Dosa-dosa Demokrasi

Yasraf Amir Piliang
Pikiran Rakyat, 19 April 2009

SETELAH kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada 1998, “sistem demokrasi” dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis atau skeptis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi lebih dilihat sebagai “masalah” ketimbang “solusi”, “ekses” ketimbang “pencerahan”, “disorder” ketimbang “order”.

Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, ketiadaan hukum, matinya etika, runtuhnya tabu dan ketakpedulian sosial yang akut. Demokrasi dijadikan raison d`etre bagi orang atau kelompok tertentu untuk memaksakan kehendak, melampiaskan hasrat, mengutamakan ego, merayakan ekspresi bebas, perilaku menyimpang, dan perbuatan amoral. Demokrasi, ironisnya, justru menjadi “kendaraan” menuju “anarkisme”.

Akan tetapi, menolak demokrasi bukanlah sebuah ajakan bijak pula. Karena sejauh ini tak ada pilihan ideologis lain yang lebih menjanjikan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana membangun “optimisme” secara nasional tentang kekuatan demokrasi dalam membangun masyarakat sejahtera. Bagaimana menafsir ulang demokrasi sebagai kekuatan “pengubah”, “progresif”, “dinamis”, dan “transformatif”, sehingga ketimbang dianggap sebagai “duri” di dalam tubuh bangsa, ia semestinya dilihat sebagai “energi perubahan” ke arah yang lebih baik.

**

MEMANG, proses demokratisasi pada kenyataannya telah meninggalkan berbagai “dosa” kolektif, yang malah mengancam integrasi bangsa. Pertama, ketakmampuan merumuskan batas-batas “kebebasan” dan “kedaulatan” (sovereignty) dalam kerangka demokrasi. Di dalam rezim Orde Baru, negara tampil terlalu “kuat” (strong state), sementara masyarakat terlalu “lemah” (weak society). Akan tetapi, di dalam era reformasi, terjadi pembalikan relasi kedaulatan, di mana negara terlalu lemah, sementara masyarakat terlalu kuat, sehingga “kebebasan” tak mampu “dikelola” dengan efektif oleh negara melalui regulasi. (Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States, 1988).

Di pihak lain, pada tingkat komunitas politik-yaitu partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai “kebebasan eksperimentasi politik” dan “komunikasi politik”, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Sehingga, demokrasi “meruntuhkan maknanya sendiri”, yang menggiring ke arah “demokrasi nihilistik”, yaitu permainan bebas “citra politik”, yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.

Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, yang menggiring pada “desubstansialitas politik”, yaitu terabaikannya aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik. “Rekayasa citra” (political imagineering) mengambilalih “rekayasa sosial” (social enggineering), di mana solusi-solusi sosial yang riil direduksi menjadi retorika-retorika visual, yang sugestif dan manipulatif. Desubstansialitas demokrasi menggiring pada “ketercabutan politik” dari realitas masyarakatnya sendiri.

Selain itu, demokrasi yang minim regulasi, menggiring ke arah kondisi “melampaui” (hyper), yaitu segala sesuatu yang bergerak ke arah “berlebihan”, “keterlaluan” atau “ekstrimitas”. Ketika dalam proses demokratisasi tak mampu dibangun batas dan norma yang jelas, maka segala sesuatu bertumbuh ke arah titik ekstrim: “kebebasan” yang berlebihan, tuntutan “hak” (right) yang melampaui kapasitas, “tindakan” yang bergerak melewati hukum, sehingga demokrasi dipenuhi oleh beban berlebihan dan ekses. Di sini, demokrasi menjelma menjadi “hiper-demokrasi” (hyper-democracy), yaitu demokrasi yang bertumbuh “melampaui” batas-batas alamiah dan idealnya, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri (Jean Baudrillard, Fatal Strategies, 1990). “Hiperdemokrasi” adalah kondisi pertumbuhan elemen-elemen demokrasi (partai, organisasi, aturan, citra, komunikasi, informasi, atribut, simbol) yang melampaui batas rasionalnya, sehingga ia kehilangan konteks, makna, dan tujuannya bagi demos itu sendiri, yaitu kedaulatan warga.

Pemilihan umum legislatif yang lalu merupakan cermin dari kondisi “hiper-demokrasi” itu, di mana pertumbuhan kebebasan (membuat partai, menjadi caleg, melakukan komunikasi politik, memilih) tidak sebanding dengan kemampuan otoritas negara dalam membuat, merumuskan, menyosialisasikan, dan menegakkan aturan atau regulasi politik, sehingga menimbulkan kondisi political chaos yang belum pernah dialami sebelumnya.

**

MASALAH sentral dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks “kebebasan” (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi “duri” dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Di sini, perlu reinterpretasi terhadap “makna” kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan itu pada tingkat “individual” atau “sosial”? Apakah ia “tanpa batas” atau “terbatas”? apakah ia bersifat “absolut” atau “relatif”?

Yang pasti, di dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut “kebebasan penuh”. Pemahaman terhadap “keterbatasan kebebasan” inilah yang tidak dibangun di dalam proses demokratisasi selama ini.

Dinamika demokrasi mengikuti prinsip ayunan “pendulum”, antara “kebebasan” (individu, komunitas, masyarakat) dan “regulasi” (negara). Semakin minimal regulasi, semakin maksimal kebebasan, dan sebaliknya. Sistem demokrasi mencari titik “keseimbangan ideal” di antara dua gaya pendulum ini. Akan tetapi, dalam proses demokratisasi selama ini, “keran” kebebasan dibuka tanpa otoritas regulasi yang kuat, sehingga menimbulkan aneka ekses baik pada tingkat individu, komunitas politik (partai) dan masyarakat.

Demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan “kebebasan” (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan. Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.

Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah “individualisme”. Politik yang berwatak “individualisme” menjadikan individu sebagai “inisiator” dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun “kepercayaan” masyarakat melalui “politik pencitraan” (politic of image). Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan “citra diri”, sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam “reposisi” subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.

Demokrasi yang direduksi menjadi “permainan citra” akan menciptakan “demokrasi tak efektif”, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui “permainan citra”, dengan mengabaikan realitas sosial. Demokrasi tidak mempunyai fondasi dan legitimasi kuat di dunia “riil”, karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Di sini, tugas masa depan adalah: bagaimana menciptakan “demokrasi yang efektif”?

**

UNTUK menghasilkan “demokrasi yang efektif”, dengan citra yang baik, dan pandangan yang optimistik, diperlukan upaya “reinterpretasi demokrasi”. Perlu upaya “pengayaan demokrasi” secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari “etika kekuasaan” yang berbasis kearifan lokal dan indigenous knowledge, yang bergerak ke arah pendulum yang sebaliknya.

Pertama, “etika de-individualisme”. Di dalam sistem nilai lokal, individu tidak menjadi entitas otonom dan “titik sentral” kekuasaan. Komunitas yang menjadi “inisiator” dalam mendorong seorang individu menjadi pemimpin, berdasarkan “kepercayaan” (trust) yang dibangun, ditempa dan “diuji” di dalam “praksis” sosial keseharian. Seorang individu tidak mencari-cari “kuasa”, tetapi komunitas yang membangunnya. Melalui “nilai-nilai komunitas” inilah “budaya malu” dibangun, kompetensi dipentingkan, rasa tanggung jawab diutamakan, dan prestasi sosial dijunjung tinggi.

Kedua, “etika ketulusan”, yaitu memberi tanpa pamrih. Proses demokratisasi sejauh ini telah membangun watak “politik ketaktulusan”, di mana orang memberi bantuan (dana, sarana, barang, infrastruktur), semata karena kepentingan politik, yaitu agar dipilih dalam pemilu. Akibatnya, pilihan politik yang diberikan juga tak tulus. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal mengajarkan kita tentang etika memberi, semata dilandasi “moral kebaikan” (good will), dan kebaikan ini menjadi modal kepercayaan, tanpa perlu direkayasa.

Ketiga, “etika merayakan keutamaan” (virtue). Demokrasi yang berbasis individu dan citra lebih merayakan penampakan luar (appearance) ketimbang kedalaman isi, manipulasi citra ketimbang kompetensi, simulasi ketimbang realitas. Padahal, budaya lokal mengajarkan cara menilai seseorang berdasarkan “keutamaan” yang ia perlihatkan: kecerdasan, kecakapan, tanggung jawab, bukan tumpukan materi dan uang. Demokrasi yang tanpa basis keutamaan, hanya menjadi medan perebutan kekuasaan melalui tumpukan materi dan gemerlap citra.

Keempat, “etika dialogisme” (ethics of dialogism), yaitu etika saling bertukar dan memahami secara mutual (mutual understanding). Demokrasi sejauh ini cenderung bersifat eksploitatif, yaitu mengambil (dari rakyat), tanpa memberi (pendidikan warga). Nilai-nilai dialogisme yang bersifat lokal di sini dapat dijadikan pondasi untuk membangun semacam “demokrasi dialogis” (dialogical democracy), di mana ada “pertukaran gagasan” (ideological exchange) antara elite politik dan komunitasnya, bukan “retorika satu arah”, yang berkembang selama ini.

Kelima, “etika kejujuran”. Virtualitas demokrasi, yang menggantungkan diri pada politik pencitraan, sejauh ini telah menciptakan watak “politik ketakjujuran”, di mana komunikasi justru menjadi ajang manipulasi ketimbang kehendak akan “kebenaran” (truth). Demokrasi berbasis kejujuran tak mengandalkan pada citra, tetapi pada akumulasi tindak dan karya. Komunikasi politik adalah sarana semata untuk menyampaikan pesan politik, bukan sarana penciptaan “kesadaran palsu” (false consciousness) .

Demokrasi yang dibangun di atas pondasi “kearifan lokal” dan indigenous knowledge, dapat menjadi demokrasi dengan fundamental dan legitimasi yang kuat, karena hidup di dalam “ruang politik riil”, bukan “imagologi virtual”. Sistem demokrasi dibangun di atas pondasi mutual checking antara pemerintah, komunitas, dan aktor-aktor politik, sehingga aneka “perilaku menyimpang” dalam politik dikoreksi secara mutual. Hanya melalui demokrasi dialogis berbasis lokal itulah, dapat diciptakan sebuah masyarakat politik yang cerdas, kritis, dan penuh optimisme di masa depan.***

* YASRAF AMIR PILIANG, Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/04/dosa-dosa-demokrasi.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito