Jumat, 30 Desember 2011

MEMBACA SASTRA DARI LOKUS BUDAYA SANG PENGARANG

Studi “Serampangan” atas Buku Puisi Takdir Terlalu Dini karya Nurel Javissyarqi *
Mh Zaelani Tammaka
http://sastra-indonesia.com/

KETIKA saya diminta untuk mengupas karya-karya puisi Nurel Javissyarqi, seperti yang terlumpul dalam Takdir Terlalu Dini ini, saya nyaris buta terhadap pengarang ini. Hal itu di antaranya karena faktor dekade kepengarangan dari yang bersangkutan, yang muncul pada paruh akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, di mana pada periode itu lebih aktif sebagai seorang jurnalis daripada sebagai aktivis sastra. Tentu saja akan berlainan dengan kawan-kawan penyair yang aktif menulis pada tahun-tahun paruh akhir 1980-an hingga paruh pertama 1990-an, saya lebih banyak mengenalnya secara pribadi, setidak-tidaknya lebih intens membaca karya-karyanya, karena pada waktu itu memang sebagai besar waktu saya banyak tercurahkan pada dunia sastra.

Tentu saja pengetahuan saya yang minimal ini terhadap diri si penyair, dan juga karya-karyanya, mau tidak mau sedikit merepotkan saya, setidak-tidaknya menyulitkan saya harus memulai dari mana ketika harus berhadapan dengan puisi-puisi tersebut. Namun demikian, ketidakkenalan saya ini bisa saja menjadi lebih menguntungkan, karena barangkali penilaian saya akan lebih obyektif, meskipun tidak menutup kemungkinan justru melahirkan ketersesatan. Bukankah studi strukturalisme dalam sastra justru mengharuskan adanya pengabaian terhadap latar belakang pengarang, karena bisa saja kehadirannya justru menjadi “kecap penyedap rasa” sehingga menenggelamkan nilai obyektif dari karya sastra itu sendiri.

Karena keminusan pengetahuan saya pada diri pengarang bisa melahirkan dua kemungkinan yang saling bertolakan – antara berpikir obyektif dan peluang ketersesatan – ditambah tiadanya kesempatan untuk melakukan studi yang mendalam, maka tidaklah terlalu salah kalau saya menamakan pembahasan ini sebagai sebuah “studi serampangan”. Semoga saja, sebagai “studi serampangan” atas pembacaan yang penuh ketergesa-gesaan ini, tidaklah melahirkan terlalu jauh “ketersesatan”, namun justru menghasilkan suatu pembacaan yang “otentik” karena kecilnya pengaruh-pengaruh di luar teks puisi – seperti biografi pengarang – yang kehadirannya justru bisa saja mencemari proses penyimpulan.

Fokus pembahasan ini memang saya hindarkan dari upaya penilaian atau penghakiman, karena tulisan ini memang bukanlah dimaksudkan sebagai kritik sastra, tetapi lebih upaya penyelaman terhadap lokus budaya si pengarang yang mau tidak mau sering kali akan mempengaruhi corak kepengarangan yang bersangkutan. Dari sini diharapkan akan lebih membimbing pada pemahaman dan penghayatan terhadap puisi- puisi yang ada, bukan sekadar memperoleh pengetahuan kognitif-struktural tapi lebih pada pengetahuan afektif-emosional-transendental.

SEORANG penulis (pasti) memiliki “rumah”. Demikian kata Chintia Ozick, pengarang Yahudi Amerika ketika diwawancarai The New York Time pada awal 1990-an, sebagaimana pernah dikutip R. William Liddle ketika memberi pengantar buku Catatan Pinggir 3 Goenawan Mohammad (1991: VII). Ketika itu, dengan mengutip Shakespeare bahwa kehidupan moral memiliki “a habitation and a name” – bertempat tinggal dan bernama – , Ozick menegaskan bahwa seorang penulis mau tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.

Bahkan, dengan nada sedikit provokatif, Ozick memberi kredo, yang barangkali bisa dijadikan panduan bagi seorang sastrawan: “If you want to live the live that can best bring into a sense of being a civilized person, then you heve to suize it through your own culture.” Kalau anda ingin menghayati kehidupan yang akan menyebabkan Anda merasa menjadi orang beradab, Anda harus merebutnya melalui budaya Anda sendiri.

Memang, meski setiap orang memiliki “rumah”, yang tidak lain adalah kebudayaan sendiri, namun tidak semua orang berhasil menemukan “rumah”-nya tersebut. Butuh perjuangan panjang, dialektika yang tiada henti, agar seseorang menemukan “rumah”-nya, yang tidak lain adalah jati dirinya sendiri. Namun demikian, yang tidak dapat dielakkan, pastilah setiap orang pertama-tama dan pada akhirnya mestilah mereguk peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.

Lantas di mana “rumah budaya” Nurel Javissyarqi? Dari sedikit pengetahuan yang saya milki, khususnya setelah saya menemukan nama kunci Nur Laili Rohmat yang sedikit banyak telah saya kenal, saya mendapatkan kesan kuat bahwa Nurel pastilah “orang Jawa” yang berasal dan dibesarkan dari kultur santri. Memang, dari puisi-puisinya yang ada, termasuk banyaknya nama samaran yang dia pakai, tampaknya dia masih dalam periode “pengembaraan” dan belum sepenuhnya menemukan “rumah jati diri”-nya, namun dari potret perjalanan yang ada, alur “pesantren” tampak lenih dominan.

Kuntowijoyo pernah menyebutkan ada tiga loci kebudayaan Jawa, yaitu keraton, pedesaan dan pesantren dengan unsur wong agung, wong cilik dan santri. Tentu, kalau dilihat dari pendekatan tiga loci model Kuntowijoyo ini, kebudayaan yang dominan yang membentuk pribadi Nurel adalah loci pesantren, meski pada perkembangannya juga bersentuhan kedua loci budaya Jawa yang lain (wong cilik dan wong agung) dan budaya kosmopolitan (Barat dan Timur) khas kelas menengah (terdidik) di negara berkembang, seperti Indonesia ini.

Corak “kesastrapesantrenan” Nurel tampak dari kecenderungan gaya bertutur yang kuat dalam puisi-puisinya. Ini seakan mendekatkan pada puisi-puisi lisan pesantren, seperti syair puji-pujian, cara pembacaan kitab-kitab yang dilagukan, serta suluk yang berisi ajaran-ajaran tarekat (sufisme) dan sebagainya. Gaya ini juga ditunjukkan pada kecenderungan pada pola epik daripada lirik. Gaya epik kian terasa ketika membaca, misalnya “Balada Jala Suta” atau tiga sajak tentang Van Gogh. Dengan demikian, sajak-sajak Nurel lebih mengesankan sastra lisan yang ditulis.

Sebagai sastra epik, khususnya epik-tutur, puisi-puisi tampak mengedepankan “pikiran” daripada “perasaan”, khususnya ketika ia harus dihadapkan pada kesimpulan-kesimpulan filosofis-ideologis. Puisi-puisinya tidak lagi cenderung bernyanyi seperti sajak-sajak imajis yang banyak berkembang di Tanah Air, tetapi lebih mengajak berpikir dan berfilsafat. Gaya seperti ini barangkali ada pararelismenya – kalau tidak dikatakan terpengaruh – dengan sajak-sajak Iqbal yang juga berkecenderungan filosofis-ideologis.

Sekadar contoh pararelisme antara Iqbal dan Nurel tampak pada perbandingan berikut ini. “Kemarajaan Roma yang megah ada obat penawar/Sekali lagi telah kita turunkan mimpi Yulius Caesar/Kepada Musolini, anak cucunya, yang bertangan besi/Bangsa ini amat perkasa menjaga laut Itali/Dalam sejarahnya pernah megah kemudian jatuh tersungkur tanah” (kutipan “Parlemen Setan” Muhammad Iqbal). Sementara dalam bait XXIX puisi “Nistsche, Aku Tetap Diet”, Nurel menulis: “Kau cemooh Socrates, dengan dialektikanya/kau tak sadar dengan dialektikanya sendiri/seperti serangga dalam kuluman bunga teratai/di atas kertas ia berdiam diri, sedang telaga-samudra Tuhan.”

NANUN demikian, kecenderungan epik dan kelisanan Nurel bukannya tidak ada bahayanya. Yang paling nyata barangkali puisi-puisinya menjadi sangat “memprosa” dan sangat boros dengan kata-kata. Kata-kata tidak lagi diperas hingga diperoleh kata-kata yang metaforis, tetapi cenderung lugas dan apa adanya. Sesuatu yang barangkali bertolakan dengan prinsip-prinsip puisi modern, apalagi seperti yang dirumuskan oleh “wali” penyair Indonesia Chairil Anwar yang berkata, “ …tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernwood, ke kernbeeld.” (Chairil Anwar, Kartu Pos, 8 Januari 1944).

Bahkan, dalam tataran ekstrem, puisi-puisi Nurel menjadi terasa “anti-puitik”. Sebab, kalau hendak konsisten dengan teori-teori puisi modern, setidak-tidaknya syarat-syarat bahasa puisi yang bersumber dari tradisi sastra Barat-Modern, jelas sebagian puisi-puisi itu tidak memenuhi syarat sebagai puisi, setidaknya dianggap puisi yang gagal. Ini tampak, misalnya, pada sajak “Nyala Api Kehidupan”. Bait-bait dalam sajak ini lebih kumpulan jargon-jargon kata-kata mutiara, yang dalam hal tetentu sering kehilangan kepaduan. Bahkan, ada baik-bait yang berisi sumber-sumber inspirasi penyair, yang ditulis begitu saja dan terkesan kurang pendalaman.

Kelemahan lain yang tampak adalah penyebutan nama-nama tokoh atau sumber yang tidak akurat dalam puisi. Ini penting, sebab bila memilih bentuk ucap puisi epik-filosofis-ideologis seperti Iqbal, akurasi baik nama maupun sumber menjadi penting. Sebab, kalau tidak, bisa menimbulkan keraguan bagi pembaca bahwa itu sebagai perwujudan sikap kenes, sok filsafat, namun sebenarnya belum menyentuh inti filsafat itu sendiri.

Namun demikian, saya tetap merasakan hangatnya nyala semangat kepenyairan Nurel. Di lihat usianya yang relatif muda (kelahiran Kendal, Kemlagi, Lamongan, 8 Maret 1967), masih terbentang harapan perkembangan ke depan. Dan tampaknya kekuatan bentuk pengucapan epik tuturan, yang ini merupakan salah kekhasan sastra pesantrenan, sangat berpeluang untuk terus digali dan kelak pasti bisa ikut memperkaya khazanah sastra Indonesia yang terlanjur Eropa-sentris. Semoga!***

Solo, Wisma Ceremai V-14E, 10 Juni 2001

*) Sekadar bahan diskusi untuk Bedah Buku “Takdir Terlalu Dini” Karya Nurel Javissyarqi di Taman Budaya Surakarta (TBS), 11 Juni 2001.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Azis Masyhuri A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Riyadi Amar A. Yusrianto Elga A.H. J Khuzaini A.J. Susmana A.S Laksana Abd. Basid Abdul Azis Sukarno Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adi Faridh Adian Husaini Adreas Anggit W. Adrizas Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agni Rahadyanti Aguk Irawan M.N. Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Hartanto Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Naufel Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Airlangga Pribadi Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Aldila Avrikartika Alfred Tuname Ali Audah Ali Soekardi Amien Wangsitalaja Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 Andry Deblenk Angela Anggota FSL Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Septian Anwar Nuris Any Rufaidah APSAS (Apresiasi Sastra) Arafat Nur Ari Saputra Ariany Isnamurti Arie Yani Arief Junianto Arifin Hakim Arim Kamandaka Arina Habaidillah Armada Riyanto CM Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Arysio Santos AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atafras Atmakusumah Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Babad Nuca Nepa Babe Derwan Badrut Tamam Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bambang Kuncoro Bambang Satriya Bambang Sugiharto Bandung Mawardi Banyuwangi Bengawan Solo di Karanggeneng Beni Setia Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Blambangan kuno Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P Hatees Budiawan Dwi Santoso Bujang Tan Domang Bung Tomo Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerkak Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah CNN Indonesia D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahlan Kong Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Daniel Paranamesa Danilo Kis Danuji Ahmad Darju Prasetya Darmanto Jatman David ZA Dea Anugrah Dedi Pramono Deni Jazuli Denny Mizhar Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dian Diana A.V. Sasa Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djibril Muhammad Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Yan Masfa Dom Dinis Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo U. Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Edi Purwanto Edith Koesoemawiria EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Endarmoko Eko Nuryono Elin Yunita Kristanti Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Em Syuhada’ Emha Ainun Nadjib Eny Rose Eriyanti Esai Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fakhrudin Aris Fanani Rahman Fariz al-Nizar Faruk Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fauzan Al-Anzhari Fazabinal Alim Felix K Nesi Ferdiansyah Thajib Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Forum Sastra Lamongan Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawan Gede Mugi Raharja Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gito Waluyo Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Haaretz Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamzah Fansuri Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Harry Susilo Hartono Harimurti Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Henri Nurcahyo Hepi Andi Bastoni Heri CS Heri Latief Heri Listianto Heri Santoso Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru CN Heru Joni Putra Hikmat Gumelar Hilmi Abedillah Hudan Hidayat I Made Prabaswara I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Yunanto Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra J. Piliang Indra Tjahjadi Indra Tranggono IPNU Kabupaten Lamongan 1955 Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iwan Kurniawan Iwank Jadid Al Farisy Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D Rahman Jamaluddin Mohammad Jamrin Abubakar Jauhari Zailani Javed Paul Syatha Jean Couteau Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Joao Ruiz De Castelo Branco Johan Khoirul Zaman John Halmahera John Sinartha Wolo Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K.H. Anwar Manshur K.H. Ma'ruf Amin Karanggeneng Kasnadi Katrin Bandel Kemah Budaya Panturan (KBP) Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) KOSTELA Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kukuh Yudha Karnanta Kurnia EF L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Sitoresmi Lamongan Lamongan 1916 Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Christanty Liza Wahyuninto Loe Lan Ing Lukisan Rengga AP Lukman Santoso Az Lutfi Rakhmawati Lynglieastrid Isabellita Lysander Kemp M Anta Kusuma M. Aan Mansyur M. Harir Muzakki M. Latief M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahamuda Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Majelis Sastra Asia Tenggara Makalah Tinjauan Ilmiah Mala M.S Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marsi Ragaleka Martin Aleida Martin Lings Masdharmadji Mashuri Mathori A Elwa Matroni Muserang Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Misbahus Surur Mochtar Lubis Mohammad Eri Irawan Muafiqul Khalid MD Mudjia Rahardjo Muh Syaifullah Muhajir Arifin Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yamin Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mujtahid Mujtahidin Billah Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak Nadhi Kiara Zifen Nafi’ah Al-Ma’rab Nailunni’am Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Thaleb Nawa Tunggal Nevatuhella Nezar Patria Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nitis Sahpeni Nizar Qabbani Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nunung Nurdiah Nurel Javissyarqi Nurjanah Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Octavio Paz Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pagelaran Musim Tandur Pawang Surya Kencana PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin PDS HB Jassin Pesantren Tebuireng Petrus Nandi Philipus Parera Pipiet Senja Plato Pramoedya Ananta Toer Pratono Pringadi AS Priyatna Abdurrasyid Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi Puji Santosa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Ratnaning Asih Ratno Fadillah Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak 1991-1992 Rheza Ardiansyah Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riyadhus Shalihin Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Rodli TL Rojiful Mamduh Romi Zarman Rosihan Anwar Roso Titi Sarkoro Rudy Polycarpus Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Mueller Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Samin Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Saparinah Sadli Sartika Dian Nuraini Sarworo Sp Satmoko Budi Santoso Satriani Satriwan Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sejarah SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Siwi Tri Puji B Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Solihin Solo Exhibition Rengga AP Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi St Sularto Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudartomo Macaryus Sugiarta Sriwibawa Sugiarto Sujatmiko Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suripto SH Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutamat Arybowo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad Syi'ir Sylvianita Widyawati Syu'bah Asa TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Th Sumartana Thales Theo Uheng Koban Uer Timur Budi Raja Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto To Take Delight Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tomas Transtroemer Tosa Poetra Toto Gutomo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wahyu Awaludin Warih Wisatsana Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Wemmy Alfadhli Wicaksono Widya Oktaviani Wina Bojonegoro Wingko Legendaris dari Babat-Lamongan Wisnu T Hanggoro Wowok Hesti Prabowo Y Alprianti Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yanto Musthofa Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yoram Kaniuk Yunit Permadi Yusi A. Pareanom Yusri Fajar Yuval Noah Harari Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito